- Back to Home »
- Embun »
- Refleksi Ramadan #5
Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id
Jumat, 10 Mei 2019
[Sumber: yusufmansur.com] |
Bahwa ngerasani
kenapa harus ditunda sampai buka? Memang dengan adanya keterangan bahwa
ngerasani itu ngerogoti amal manusia yang berpuasa terus lantas kita setelah
magrib boleh ngerasanali lagi?
Apakah konsepnya
begitu?
Jamak orang sudah
mengerti kalau ngerasani bukanlah sarat sah puasa, alias kalau kita ngerasani
pun puasa kita diterima. Tetapi saat kita ngerasani, amal ibadah kita dipotong,
bahkan ada riwayat yang mengatakan banyak orang puasa yang hanya menerima haus
dan lapar saja, salah satunya orang yang suka ngerasani ini. Sehingga ganjaran amal
yang dipotong inilah yang menjadi penghalang kepada beberapa orang tidak mau
ngerasani saat sedang puasa.
Poin positifnya
adalah kepecayaan pada hal-hal yang gaib yang mana ini adalah salah satu bagian rukun iman. Amal kan gaib, tapi amal bisa mengubah
tingkah laku kita. Tapi, negatifnya, kenapa terasa sangat perhitungan sekali?
Apakah memang
tujuan beribadah adalah amal?
Semakin memperbanyak
pertanyaan yang perlu dijawab, tapi aku ingin kembali ke pertanyaan, apakah
konsepnya memang seperti ini? Bahwa kita bisa ngerasani lagi saat selepas buka?
Kok aku rasa ndak
sama sekali. La dasarnya ngerasani itu tidak merusak sahnya puasa, artinya dia
tidak terpaut langsung dengan puasa. Yang dinamakan puasa ya menahan makan,
minum serta menyetubuhi pasangan. Bukankah secara dhohir seperti itu.
Puasa level
terlihat, belum membincang soal level-level puasa yang lebih tinggi, yang mana
juga menahan telinga mendengar hal yang buruh, mulut ditahan berbicara kasar
dan lever tertinggi menahan hati merasakan hal-hal buruk.
Yang diatur dalam
puasa secara jelas adalah keadaan dhohir, larangan menuruti nafsu dari fajar
sampai magrib adalah untuk hal makan dan minum. Lalu dalam mengondisikan mata,
telinga dan hati, apakah konsepnya pakai itu juga? Kok rasanya ndak.
Misal, kita ulas
dari amal yang dilipat gandakan. Kita harus yakin juga bahwa saat kita berbuat
baik, amal memang dilipat gandakan, tetapi saat kita berbuat buruk, apakah
ganjaran dosa nilainya sama saja? Apakah tak ikut dilipat gandakan juga? kalau sama dilipat gandakan, bisa runyam sekali kan, sedikit berbuat salah, dosanya bisa langsung terkumpul banyak sekali.
Apakah amal yang
dilipat gandakan itu hanya saat puasa alias siang hari, apakah saat malam
aturan itu tidak diguanakan? Kok rasanya ndak juga, lawong ganjaran amal yang serupa seribu
bulan malah kondisi malam, lailatul qadar bukan naharul qadar.
Jadi saya kira
kok ndak ada ya buka untuk puasa ngerasani.
***
Fokus ke perkara
ngerasani. Aku kira bahwa ngerasani yang dilarang adalah perihal sesuatu yang
apabila orang yang kita omongkan itu ada, dia bisa marah, minimal tidak suka. Sehingga
ngerasani yang dilarang adalah saat kita mengomongkan kejelekean orang lain,
atau dalam bahasa lain kita mengumbar aib orang lain, serta kita merasa benar.
Merasa
benar inilah yang sebenarnya cukup samar-samar tidak kita rasanakan. Menurutku mengomongkan
aib orang lain itu lebih jelas terlihat, sementara perasaan merasa lebih baik,
suci dan unggul dari orang lain ini lebih samar dan sulit dideteksi, padahal
sama-sama dalam koridor menyakiti perasaan yang lain.
Karena saat kita
membicarakan ide serta menyari hikmah dari sebuah kejadian yang dialami orang
lain, kita bisa saja ngomongin orang.
***
Refleksi ini
cukup intim, karena ini adalah penyakit yang memang sebenarnya aku secara
pribadi mengidap. Sulit sekali kita tidak merasa lebih baik dari yang lain. Kita
bisa dengan jelas tidak sedang menyebarkan aib orang, tetapi merasa baik dan
suci itu samar sekali di hati.
Semoga teman-teman
semua sukses dalam mereduksi perasaan lebih baik dari liyan.
Semoga kita bisa
menahan diri masing-masing.
Salam.