Archive for 2021

Maaf dari Langit



Saya menonton video konser element dalam dua dimensi waktu yang berbeda, pertama dilaksanakan saat medio 2019 sementara yang lain dilakukan saat tahun 2006. Saya sengaja memilih lagu yang sama agar bisa cukup mudah membedakan apa yang terjadi selama pertujukan berlangsung. 

Pemandangan pertama yang sangat jelas terlihat adalah gairah penonton. Bagaimana dari kedua konser tersebut sangat kontras gerak gerik penonton saat menikmati konser, dan yang kedua adalah adanya hape dalam pegangan penonton. 

Pada tahun 2006, histeria penonton sangat luar biasa, penonton bak kesurupan oleh sajian "Maaf dari Surga" milik element, ada dua diantara mereka yang naik pagar pembatas area penonton dan pangung sembari memutar-mutar kaos layaknya kun aguero saat mencetak gol penentu Man City Juara EPL. sementara kerumunan orang dibelakangnya mengangkat tangan kegirangan seperti ujur rumput padang safana tersapu angin. 

Sementara untuk koser tahun 2019, hanya sedikit penonton yang bergoyang, sehingga kala kamera paling belakang yang shoot gambar, terlihat penonton hening seperti sedang berdoa. Hanya beberapa diantara mereka yang bergoyang, itu pun kecil-kecil saja,  hanya mengoyangkan pinggul bak seorang culun yang baru masuk klub musik. Selain itu, yang cukup jelas terlihat adalah mayoritas di antara mereka menyalakan aplikasi perekam di gadget masing-masing seolah terdorong hasrat "ayo rekam, ini momen tidak akan ada di media mana pun".

Kita mungkin bisa maklum bahwa pada tahun 2019, hype element tentu sudah redup, mereka adalah band 90an dan tentu anak-anak jaman sekarang tidak begitu familier dengan mereka. Mereka adalah band besar bada masanya, tetapi gagal mendesar hiruk pikuk band saat ini, tidak seperti Gigi, Dewa, atau Sheila on 7 yang sampai saat ini masih tetap eksis dan mampu bersaing dengan band-band baru. Buktinya jelas, mereka jarang diundang dahsyat atau inbox. 

Mula-mula saya kira itu jawabannya, tetapi mau tidak mau saya munculkan jawaban lain untuk situasi kenapa konser 2019 terlihat sangat membosankan, dan itu adalah HP.

Oke, saya bukan orang yang gemar menyalahkan HP, saya lebih sepakat dengan argumen bahwa bukan HP yang salah tetapi orang yang membawanya. Jadi persoalan bukan pada HPnya tetapi pada kegagalan manusianya dalam mengelola intensitas dengan HP.

Tapi, mau gak mau kita memang perlu mengakui bahwa HP memberikan sebuah candu yang saya kira sulit untuk kita kendalikan, terutama candu untuk bisa hadir utuh sadar penuh pada sebuah keadaan. Buat saya, masalah pertama dari HP yang kadang gagal kita kelola bukanlah soal terlalu merampas waktu kita dan membuat kita tidak begitu aware pada lingkungan terdekat, tetapi HP bisa membuat kita tengelam dalam imaji kotak bergambar sampai-sampai tidak sadar tubuh pemiliknya sedang di mana. 

Tempat di mana diputar sound dengan suara cukup kencang, dengan ketukan drum yang tidak pelan dan pemandu lirik meloncat-loncat tetapi kita tidak ikut meloncat adalah gambaran yang buat saya bisa menjadi potret bahwa persoalan konser hening bukan karena kita tidak kenal band yang main, tetapi kita lebih fokus pada gawai dari pada meninternalisasi musik. 

Pemandangan ini juga sering saya temukan pada pengalaman langsung, bahwa pada konser-konser tahun ini, separuh dari pengunjung memang lebih suka mengabadikan, terutama membuat konten stori, dari pada bergoyang dengan band yang sedang mereka lihat. 

Bahkan ada seorang vokalis yang ketus ngomong pada penontonnya saat sedang memulai pertujukan "letakkan benda itu (HP) di kantong kalian dan ayo bersedang-senang".

Ini bukan urusan benar salah, bukan terus mereka yang fokus pada gandet terus jadi salah dan mereka yang goyang kegirangan jadi benar. Ini adalah soal bagaimana kita bisa hadir penuh sadar  utuh. bahhwa kesadaran itu penting, kita mengetahui dan menyadari bahwa raga ini ada di suatu tempat serta jiwanya juga tidak terbang kesana kemari adalah sebuah sesuatu yang penting, dan lama-lamat untuk bisa hadir penuh sadar utuh menjadi sesuatu yang mahal akhir-akhir ini. 

Waallahu A'lam.
Minggu, 26 Desember 2021
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

2020, Internet, dan Adaptasi

 

Ilustrasi dari @zunarkartunis


Satu kebiasaan baru yang diarusutamakan saat 2020 di banyak lini adalah pemaksimalan potensi internet. Tentu kita masih ingat akhir Maret tahun lalu, saat kasus pertama Covid-19 diumumkan Presiden, hal yang nyaring terdengar di telinga kita adalah bekerja, belajar dan beribadah dari rumah. Selain ibadah, dua himbauan yang lain tentu merujuk pada penggunaan internet dalam membantu menjalankan aktivitas.


Para siswa menggunakan internet untuk belajar dan para pekerja menggunakan internet untuk meeting dan mengirim pekerjaan. 


Saya pun merasakan hal yang sama, saya kira juga anda. Meskipun saat awal pandemi saya belum bekerja dan juga sudah tidak mahasiswa, tetapi internet menjadi menu santap harian. Bagaimana yang selama ini kegiatan saya berkutat pada training dan diskusi, yang semuanya harus dilakukan dengan tatap muka, sementara saat pandemi, hal ini nyaris tidak mungkin terjadi. 


Hanya organisasi bebal saja yang masih nekat melakukan training saat kondisi wabah seperti ini.


Saat itu, nyaris tiap minggu saya melaksanakan diskusi secara daring, sejujurnya sangat tidak enak, bahkan sampai sekarang, saat penggunaan internet untuk diskusi sudah berlangsung lebih dari 9 bulan. 


Kata-kata yang sering muncul di penghujung rapat tatkala ada tugas yang belum selesai dibahas seperti “selanjutnya kita bahas di grup ya” adalah kata paling nonsese dalam setiap rapat, karena nyaris di organisasi atau komunitas yang saya ikuti, tidak akan pernah terealisasi dengan baik. Kalaupun ada, itu masih dalam taraf yang ecek-ecek.


Saya pun lebih memilih bertemu langsung dengan kerabat ketika membicarakan hal yang penting, mendesak, atau sensitif. “Wes na ayo ketemu sek ae”. Saya memang lebih memilih komunikasi di dunia luar jaringan dari pada dalam jaringan. Entah, mungkin karena kebiasaan atau ada rasa yang unik dan spesial buat saya saat bisa bertemu langsung dan tidak bisa terwakili lewat bertemu dalam jaringan.


Kasak-kusuk, sebenarnya saya pun tak diam, saya coba mikir-mikir, kenapa ya saya sulit sekali beradaptasi dengan internet. Rasa-rasanya, saya tidak pernah bisa konsen berlama-lama dan menikmati diskusi secara utuh ketika penyelenggaraannya di dunia internet. Dan satu jawaban yang bisa saya temukan adalah mengelola diri.


Mengelola diri yang saya maksud di sini adalah hadir secara utuh dan sadar secara penuh pada setiap acara daring.


Dalam dunia luring, ketika kita diskusi, saya merasa lebih mudah untuk hadir secara lahir dan batin di sebuah forum. Tubuh saya memang ada di lokasi diskusi, dan otak saya bisa hadir untuk benar-benar mendengarkan diskusi. Ya meskipun kadang-kadang bisa beralih juga oleh notifikasi atau intermezo dari kawan. Tetapi yang pasti, kondisi luring adalah kondisi di mana saya bisa memposisikan yang primer adalah diskusi, sementara notifikasi yang sering muncul hanyalah angin lalu. 


Semua berubah ketika pandemi, yang semua angin lalu itu kemudian disulap menjadi yang primer dan yang sebelumnya primer kadang-kadang bisa jadi sekunder. Taruhlah contoh kuliah online yang diikuti dari rumah. Pada mulanya, rumah adalah hal primer, kita di rumah untuk istirahat atau membantu orang tua, dan sesekali notif dari sosial media adalah bumbu di sela kesibukan dan waktu istirahat di rumah. Sekarang tidak, dari gawai yang penuh notifikasi itu lah kita harus berkonsentrasi dan menjadikannya pusat perhatian dengan sekaligus membuat rumah jadi hal sekunder dan berharap tidak mengganggu.


Sejujurnya saya kesulitan untuk benar-benar bisa hadir utuh dan sadar penuh ketika di forum online. Bukan hanya masalah jaringan yang kadang-kadang tidak stabil, tetapi adanya fitur tidak menyalakan video saat meeting atau diskusi membuat proses diskusi seolah latihan monolog, dan ketika video dinyalakan membuat beban pada jaringan bertambah. Selain video, audio juga bisa jadi penghambat, saat semua audio peserta dinyalakan, tentu akan mengganggu, tetapi ketika tidak ada yang dinyalakan, tidak ada yang nyaut saat kita tidak-tiba bertanya, jadilah diskusi yang hening dan sepi. 


Proses mentransfer hadir utuh sadar penuh pada gawai itu lah yang menurut saya benar-benar menjadi tantangan. 


Dalam bicara hadir utuh sadar penuh, kita bisa tinjau dari segi fisik dan pikiran. Secara fisik tentu kita tidak hadir, karena memang sedang menjaga jarak, sehingga satu-satunya jalan agar kita bisa hadir utuh sadar penuh adalah dengan pikiran. Pikiran yang konsentrasi dan fokus pada diskusi. Mensetting pikiran kita benar-benar ada di alam pikir diskusi atau meeting yang sedang diikuti. Dan saya merasa bahwa fokus berlama-lama pada layar gawai tidak semudah pada narasumber di panggung.  


Belum lagi masalah teknis semisal mata mulai pedih melihat sinar layar gawai, notifikasi yang tak henti-hentinya bermunculan dan membuat konsentrasi kita sering kali ambyar, sampai gangguan audio yang bikin diskusi tidak nyaman.


Hal ini tentu sangat berbeda dengan luring. Saat luring, yang membawa pengeras suara adalah narasumber. Ketika ada peserta lain berisik, setidaknya dia tidak menggunakan pengeras suara. Sedangkan saat daring, baik narasumber atau peserta, memiliki volume yang sama ketika ia berbicara. 


Meskipun begitu, kita pun mau tidak mau memang harus memilih adaptasi. Sesuai teori hukum alam, mereka yang tak mau adaptasi ya merekalah yang dilibas zaman. Dari sana, pada tahun 2020 ini saya tetap “memaksa” diri saya untuk mau menulis, meskipun rasanya sungguh berbeda ketika masa sebelum pandemi. Sebelum pandemi saya bisa melakukan aktivitas menulis benar-benar seperti kerja. Saya mandi dulu, cari makan dulu, pergi ke tempat yang nyaman dan barulah menulis. Tetapi saat pandemi, usaha-usaha seperti orang bekerja itu semuanya hilang. Sehingga kadang sering muncul rasa ogah dan malas.


Saya yang cerewet ini juga akhirnya “memaksa” untuk mau tampil lewat video live di instagram yang saya beri tajuk badal ngopi. Saya melakukan itu karena saya memang merasa perlu menyalurkan energi saya lewat berbicara dan mendengar yang selama ini saya lakukan lewat media ngopi, sehingga saya buatlah acara itu di kanal instagram saya, padahal sebelumnya saya tidak pernah menyentuh fitur live itu, hanya sesekali dan itu pun wajah saya tak muncul.


Dan saya pun "memaksa" tubuh saya untuk hadir di beberapa forum diskusi meskipun sulit untuk konsentrasi. 


Sepertinya 2021 ini tetap menjadi kawah candradimuka untuk saya agar supaya tetap bisa adaptasi. Seperti mulai kembali menikmati diskusi meskipun secara online, mulai bercanda dan bercerita juga secara online, dan melakukan banyak hal lain juga via online. Karena 2021 bukan berarti pandemi selesai, kita masih berkutat dengan pandemi yang artinya pertemuan online masih akan tetap langgeng. Apalagi ada walikota yang tidak melakukan pembatasan saat malam pergantian tahun baru.


Oke, sekian dulu. Selamat tahun baru. Ingat, pandemi masih ada, corona tidak mati karena letupan mesiu kembang api saat malam pergantian tahun. Tetap sehat tetap waras.


Jumat, 01 Januari 2021
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Popular Post

Tengok Sahabat

Diberdayakan oleh Blogger.

Top Stories

About

- Copyright © Tigabelas! -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -