Archive for Juli 2019
Review Dua Garis Biru: Film yang Lengkap Meskipun Tidak Ada Adegan Enak-enak
[Sumber: hot.detik.com/] |
Setelah beberapa waktu lalu menulis respon orang-orang pada film dua garis
biru yang dicap banyak madhorodnya. Akhirnya setelah itu aku putuskan untuk
menonton dan membuktikan apakah film ini benar-benar sebegitu buruknya atau
malah berisi sebaliknya dan menjadi film yang patut direkomendasikan.
Ekspektasi awal sebelum menonton film dua garis biru adalah film yang akan
berisi banyak hal haru dan memilukan. Apalagi dari sedikit cuplikan di trailer
ada beberapa adegan marah-marahan antara orang tua ke anak. Selain itu juga ada
kalimat vonis dokter kehamilan pada Rara dan Bisa tentang bahayanya hamil di
usia muda.
Dan ternyata benar saja, setelah menonton film yang durasinya hampir dua
jam itu, adegan cerianya hanya sepersekian menit saja. Sedikit sekali, sekolah,
bercanda, pulang, bercanda di kamar terus buyar. Bahkan adegan enak-enakpun
yang dikhawatirkan itu tak ada. Semi enak-enak tak ada. Enak-enak disensor ndak
ada. Bahkan pemanasan enak-enak pun ndak ada. Blas ndak ada titik film yang
bisa membuat ngaceng sedikit saja. Blas ndak ada. Astagaaaa.
Selanjutnya, mungkin dari menit ke 10 menit awal sampai selesai, film itu isine
pilu kabeh, penyesalan, kebingungan, keputusasaan, kekecewaan dan keharu-biruan
sejenis.
Sesuai ekspektasi!. Setidaknya egoku menang melawan orang-orang yang bilang
kalau “film ini akan mengajarkan enak-enak” serta yang mengakatakan bahwa “enak-enak
pada pelajar itu oke”.
“Mana ada? Tidak ada yang seperti itu” batin egoku.
Selain pemuas atas ego, film ini masuk dalam kategori yang menyenangkan. Bahkan
kalau dirangking, film ini bisa mendapat poin 9/10 dalam takaran kepuasanku.
9/10 ini pun bukan isapan jempol, ada alasan jelas dariku kenapa nilainya
bisa sampai 9/10. Satu kata pertama kenapa film ini menyenangkan sekali:
komplit!.
Saya kira film ini sudah memiliki semua hal-hal yang aku butuhkan untuk
dikatakan menyenagkan untuk dilihat.
Film ini kuat pada dramanya, nangis adu biyung. Apalagi konflik yang
dibangun adalah konflik keluarga. Huhuhu. Apalagi setjara subjektif ancen aku
ndak isoan kalau konflik yang diangkat adalah keluarga, sedihe ya Tuhan. Seperti
saat film cek toko sebelah. Sedih banget.
Selain itu keruwetan yang dihadirkan dalam drama konflik dua keluarga ini
juga seru. Penataan latar belakang dan sifat yang dikenakan pada masing-masing
tokoh juga bagus. Rara berlatar belakang keluarga kaya dan sudah pasti orang
tuanya menjadi sibuk, rumah menjadi sering kosong dan kahirnya Rara sering cerita
ke adiknya. Sementara Bima adalah keluarga miskin di pingiran sungai Jakarta,
punya ayah yang alim nan sabar dan ibu yang khas stereotip ibu-ibu gang,
cerewet dan ceplas-ceplos.
Kehadiran tokoh yang kuat ini di beberapa adegan menjadikan cerita menjadi
sangat dramatis. Apalagi saat Rara
ketahuan hamil dan ke dua orang tua mereka dipanggil sekolah. Pertangkaran di
ruang UKS menjadi adegan tumplek blek karakter kuat di satu ruangan yang
menghasilkan adegan yang sensasional.
Selain drama yang kuat, sepanjang film aku menunggu pada poin “di mana akan
ada pelajaran tentang seks?” akankah ada superhero yang tiba-tiba muncul dan
menjelaskan apa itu kesehatan resproduksi? Ataukah info itu akan muncul dari
layar teve atau berita, ataukah akan ada seseorang kerabat yang kebetulan
seorang pegiat kesehatan reproduksi?
Jawaban itu turun pada dokter kehamilan. Cukup wajar. Dan akhirnya
menjadikan adegan tidak terlalu dibuat-buat.
Penyampaian materi itu pun wajar dan tidak berlebihan sampai membuat film ini
menyerupai film dokumenter yang banyak keterangan dan penjelasan. Dalam menyampaikan
penjelasan pun diselinggi adegan yang cukup mengelitik dan membuat keterangan
tidak begitu tegang.
Selain ada keterangan eksplisit, dalam film ini juga menampilkan keterangan
implisit dari setiap adegan yang ada. Semisal tentang perubahan perut dan
kondisi kehamilan, kapan bayi mulai menendang, cek USG sampai keluarnya susu
saat seorang ibu hamil.
Asli untuk urusan susu keluar pas ibu lagi hamil dan mendekati masa kelahiran
adalah hal yang baru aku tau.
Film bermanfaat gini kok dibilang ngajari enak-enak. Hilih.
Belum lagi saat masa-masa klimaks, muncul beberapa kata yang cukup
menguncang batin. Untukku bagian ini jatuh saat dialog Bima dan Ibunya setelah
solat. Bima bilang dia selalu berdoa kalau dia masuk neraka, dia ndak pengen
ibunya ikut masuk neraka karena Bima. Dijawab juga oleh ibunya bima, bahwa
beliau selalu berdoa semoga anaknya masuk surga. Ini hampir pecah, tapi belum. Sampai
muncul kata dari Ibunya bima “harusnya kita lebih sering ngobrol kayak gini ya
bim”. Tumpahlah anak dan ibuk itu dipelukan yang basah oleh air mata.
Dan satu hal lagi yang membuat aku suka dengan film ini adalah saat
memberikan jawaban atas konflik yang dibangun.
Dalam cerita itu ada satu konflik yang dibangun, yakni ananya Rara yang
masih dalam kandungan rencananya akan diberikan ke tantenya karena tantenya itu
berdua belum dikaruniai anak. Bima tak setuju, bukan hanya karena itu anaknya,
tetapi keputusan akan memberikan bayinya Rara dan Bima ke tantenya Rara adalah
keputusan sepihan ibunya Rara. Rara pun tak setuju.
Belum lagi saat ibunya Rara bilang “ngurusi anak itu bukan hal yang mudah,
mama aja gagal, apalagi kamu Ra yang masih kecil”. Rara dan Bima tersudut, mau
ndak mau mereka mengakui memang masih muda dan mungkin belum siap mengurusi
bayi. Belum lagi urusan pekerjaan dan sekolah yang masih jadi mimpi. Mereka anak
SMA dan belum punya penghasilan untuk ngerumat keluarga, tentu sulit
kalau dipikir-pikir. Mereka terlihat menyerah dan mungkin terpaksa mengiyakan
pinta mamanya Rara.
Tetapi jawaban atas konflik ini indah sekali. Bukan atas adu argumen Rara
dan Bima vs Mamanya Rara, tetapi pada hasil yang didapatkan Rara.
Ternyata Rara saat melahirkan mendapat bekas pendarahan di rahim dan
membuatnya harus dioprasi pengangkatan Rahim. Yessss!
Ini keputusan yang bagus, pengangkatan rahim Rara memastikan anaknya tidak
akan diberikan ke tantenya Rara. Jawaban yang indah, meskipun aslinya adegan
itu sangat sedih. Terutama untuk Mamanya Rara yang harus menerima kenyataan
bahwa anak sulungnya harus oprasi pengangkatan rahim sebelum anaknya genap
lulus SMA. Haru biru. Hu hu hu
Jadi, kurang lebih itulah hal-hal indah yang aku temukan dalam film dua
garis biru. Dan dari serangkaian keindahan film ini, kembali bisa aku pastikan
bahwa kekhawatiran film ini menjadi pelegalan enak-enak adalah bualan belaka.
Lawong sedih tok, kapan enak-enake, sampek afirmasi enak-enak... hemmm
Menikah, Enak Kali Ya
[Sumber: entertainment.kompas.com/] |
Saya belum menikah, sehingga bukti kesakralan menikah ini aku dapatkan dari pengalaman mengamati orang lain yang sudah menikah. Dengan sedikit bertanya kepada yang bersangkutan untuk mengverifikasi apa yang kuamati. Setidaknya aku punya dua cerita tentang sakralnya menikah.
Pertama, menikah yang akan memberikan barokah rejeki.
Saat itu, ada seorang perjaka yang belum menikah tetapi sudah bekerja. Dari
pengakuannya, hasil kerjanya sebelum menikah untuk mencukupi kebutuhan
sehari-hari masih sering kurang. Bahkan sesekali perjaka ini meminta tambahan
uang pada orang tuanya.
Kebutuhan sehari-harinya pun sebenarnya standar, dari makan, pakaian,
bensin dan beberapa keperluan rumah semisal sabun. Ditambah kebutuhan rokok
yang akan menemani waktu senggangnya.
Dia hidup sederhana, bahkan jauh dari kehidupan bermewah-mewahan. Rokok
yang dibelinya pun bukan rokok yang harganya mahal, rokok dengan harga medium
dan itu pun dihabiskan dalam waktu kurang lebih dua hari per bungkus.
Segala yang melekat dalam dirinya pun sebenarnya tidak ada yang benar-benar
mewah, semuanya serba sederhana. Mementingkan fungsi dari pada gengsi.
Ketika ia menginjak umur, mungkin sekitar, 27, Dia memutuskan menikah.
Keputusannya ini pun membuatnya hidup pindah ke rumah istrinya, hal ini
dikarekanan istrinya hanya tinggal bersama ibunya, karena ayah istrinya sudah
tidak ada. Sehingga perjaka ini tidak hanya akan menjadi kepala keluarga kecil
barunya, tetapi sudah akan langsung menjadi tulang punggung keluarga barunya.
Sebenarnya secara logika rasional, kehidupannya akan sulit. Bagaimana
tidak, dia hidup sendiri saja masih harus amat sangat menghemat. Setelah
menikah kok langsung menanggung kehidupan 2 orang, istrinya dan ibu mertuanya.
Belum lagi setahun atau dua tahun lagi dia akan dikaruniai buah hati.
Tetapi harga rasional itu benar-benar terbantah.
Berkahnya menikah benar-benar terwujud darinya, jangankan untuk menghidupi
keluarganya, pemuda ini pun mengaku bisa kridit 2 motor dengan lancar dan
menabung sedikit demi sedikit. Padahal kerja yang dilakukannya pun tidak
berubah dari sebelum menikah.
Dan aku sudah cukup dengan ini, lain kali saja aku membutuhkan penjelasan
rasional lebih. Saat ini aku cukup dan mengamini bahwa menikah memang membawa
keberkahan. Cara mendapatkan berkah itulah yang perlu dicari.
Kedua, menikah akan mengubah aura seseorang.
Kisahnya aku sudah kenal perempuan ini dari sebelum dia menikah. Dia orang
yang baik dan penuh ketegasan. Ketegasan ini lah yang kadang-kadang serem juga
kalau dilihat.
Mungkin niatnya bercanda atau sekedar meminta penjelasan pada suatu hal,
tetapi rasa-rasanya serem aja. Sejujure sebagai teman yang tidak pernah punya
masalah dengannya, aku juga cukup takut kalau misal ada masalah dengan dia,
penyebabnya ya karena auranya kalau dia sudah mulai sebal itu serem sekali.
Sering dia digoda temannya dan terpancing percikan sebal kecil ala teman,
itu pun ada seramnya.
Belum lagi kalau cerita pada orang yang tidak disukainya. Aura seram
perempuan ini semakin pekat terasa.
Sehingga sentilan pertama yang muncul di otak saat mendengarnya dia akan
menikah “ini beneran mau menikah, pacarnya aja sering dimarahi, gimana itu
nanti keluarganya. Serem gitu e”
Dan, bimsalabim.
Setelah ia menikah, seminggu setelahnya aku baru bertemu dengannya lagi.
Rasa-rasa serem itu sudah benar-benar alpa.
Dia digoda teman sampek sebal? Masih
Dia cerita orang yang tidak disukai? Masih
Dia marah-marah gemas ke teman? Masih
Tapi semua beda rasanya. Terasa ada nuansa ayem yang terpancar dari
air mukanya. Sekarang, melihatnya hanya ada satu hal yang terpancar dari
dirinya, gembira.
Anehnya, ketika dilihat di foto, dia tersenyum saat diambil gambar, rasanya
si biasa aja, gak ada yang berubah dari sebelum dan sesudah menikah. Tetapi
kalau sudah bertemu, barulah pancaran bahagia itu terasa.
Terasa banget malahan.
Dan sekali lagi, aku masih belum benar-benar membutuhkan penjelasan paling
rasional tentang fenomena ini, biar ini menjadi misteri yang seru aja di hidup.
Selain dua yang aku ceritakan, sebenarnya ya ada beberapa menikah yang
rasanya biasa aja si. Semoga kita kebagian efek indahnya menikah lah ya.
Untuk yang belum menikah, ya sekarang kita siap-siap saja.
Tidak perlu terburu-buru, yang sudah ada calon atau yang belum, kita masih
kebagian jatah berusaha memperbaiki dan mempersiapkan diri. Biar kejutan Tuhan
yang berperan.
Guns n Roses Yang Biasa Aja!
[Sumber: www.youtube.com/watch?v=1w7OgIMMRc4] |
Ketika ada pertanyaan, pernah gak kalian tidak suka pada sebuah band tapi
hampir rata-rata orang suka?
Kebetulan aku memiliki jawaban “iya”. Band itu adalah Guns N’ Roses. Sungguh
aku biasa-biasa aja pada band ini, padahal dalam hidupku, aku pernah merasakan
seriusnya belajar gitar, hampir setiap hari ngulik dan mencoba lagu serta melodi baru. Dan memang harusnya Guns N’ Roses adalah salah satu
band yang aku pelajari dalam bermain gitar.
Asal mula ketidaksukaanku pada Guns N’ Roses masih berkaitan dengan momen
pertemuan pertama. Saat itu, kurang lebih saat kelas VIII Mts. Ketika masa awal
belajar gitar.
Untuk seorang gitaris pemula, para sesepuh sering kali memberikan materi
gitar yang enak untuk dipelajari dan dimainkan. Point plus selain enak dan
mudah tentu soal keren. Dan Guns N’ Roses adalah salah satu band yang sangat
direkomendasikan dalam awal belajar gitar.
Dibilangnya “wah band ini rock sekali. Enak dan keren. Coba latihan sweet
child o mine!”. Tentu bisa ditebak karena apa, tentu karena solo gitar dari Slash yang membanjiri lagu ini. Baru mulai saja sudah solo.
Tapi itu semua sayangnya tidak berlaku di hidupku. Permulaan lagu yang
hanya berisi melodi pelan, suara yang sama sekali tak unik, nada yang standard dan pastinya menjadi alunan pembuka yang kurang memikat. Disusul petikan bass
yang bermain harmonisasi berniat memberikan sentuhan melodik, gitar ngenjeng
sesekali yang membangun ritme dan drummer yang hanya sesekali bermain simbal
untuk memberikan suasana lebih hidup.
Namun sayangnya semua itu tidak berguna di telingaku. Pembukaan yang
membosankan dan tidak mengairahkan. Dan yang paling krusial, lagu ini pelan,
pelan sekali untuk mau dikatakan band rock. Hal ini karena di kepalaku dulu,
yang namanya rock ya temponya harus cepat dan kuat.
Sebenarnya solo awal tidak sepenuhnya gak enak. ya enak, tapi gak sampek
buat tercengang dan berseru “wah ini!”. Tidak memikat, dan ya hanya berlalu
saja. Nada-nada pembuka seperti itu sudah tidak memberikan efek kejut di
telinga.
Kalau yang ditanya soal “Ikonik?” Tentu, sangat ikonik, apalagi para pemuja
Guns N’ Roses sangat memvisualisasi mereka dengan sangat baik. Sangat dewa lah.
Apalagi memang didukung dengan dandanan yang nyentrik.
Siapa coba yang tidak terpikat dengan gaya kepala dari Slash?
Tapi masalahnya tidak hanya soal persona, tapi ya tadi, soal irama.
Lagu yang isinya hanya permainan drum dobble strok “duk tak duk duk tak duk
duk tak duk duk~”, itu saja sampai lagu selesai, sangat standart dan
membosankan!.
Permainan gitar kedua yang tidak memberikan peran signifikan. Udah lah gak
pakek gitar kedua juga gak apa-apa. Beda gitu rasanya kalau mendengar gitar
kedua dari My Chemical Romance atau Avenged sevenfold yang menurutku sangat
bekerja keras untuk membangun suasana.
Permainan gitar kedua yang krusial dan sangat berpengaruh pada aura lagu. Sementara
gitar kedua Guns N’ Roses di lagu sweet child o mine tidak semenarik itu.
Bass juga tidak begitu menarik, kayaknya emang karena nada dasar yang
diambil adalah standar begitu ya, jadi ya hasilnya standar semua. Dan untuk Axl
Rose, ini adalah salah satu kelebihan, kuat karena suara yang melengking khas. Sayangnya
memang Axl sepenuhnya sendirian, bahkan solo slash yang tengah pun buatku biasa saja. Ya cepat,
tapi apa? Sudah ya begitu aja.
Begitulah sweet child o mine yang tidak sweet di hidupku.
Memang sayangnya adalah kenapa pertemuan pertamaku dengan Guns N’ Roses
adalah lagu sweet child o mine, coba kalau pertemuan pertamaku adalah welcome
to the jungle atau paradise city. Mungkin akan lain ceritanya. Bisa jadi yang
aku idolakan sekarang bukan Metallica, tetapi Guns N’ Roses ini, karena Metallica
baru hadir belakangan ini.
Selamat Mendengar Musik!
Malas Membaca, Gemar Komentar
[Sumber: hot.detik.com] |
Yang uniknya, kenapa yang berisik berceloteh demikian adalah orang-orang dari satu afiliasi ormas yang sama. Padahal konteks yang dikritik adalah film, kenapa tidak menjadi global saja, kan film adalah hiburan konsumsi publik, kalau emang film ini jelek, kan bisa bernarasi masing-masing sesuai penilaian.
Apa jangan-jangan karena memang selama ini mereka yang berceloteh tadi
kerap berkampanye menolak pacaran dan langsung nikah aja, meskipun masih belia.
Eh
Ketika ditanya balik soal celoteh mereka, apa sudah mereka menonton film
itu, eh ternyata jawabannya belum.
Mereka berkata, dari trailer saja sudah kelihatan arah film itu. Trailernya
bercerita pergaulan bebas anak SMA yang berani bersetubuh di luar nikah. Lalu mereka
berbondong-bondong menyerang film dan penontonnya, terutama yang
menganggap film itu bagus. Ya dengan narasi tadi, film menyuruh berhubungan
bebas kok dibilang bagus.
Padahal, sependeknya saya kenal film. Ini serius, saya emang pendek
pengetahuan tentang film, karena emang jarang-jarang aja liat film. Bukan bermaksud
merendah, emang saya rendah.
Saya tidak pernah sekalipun bisa menebak arah dan maksud dari suatu film hanya
dari sebuah trailer, asli. Selalu banyak lika-liku yang tidak mungkin
diceritakan di trailer. Lagian trailer ini kan tujuannya cuma menampilkan
beberapa cuplikan film. Paling yang pasti ditampilkan cuma setup awal
film. Ditampilkannya pun kerap tidak runtut, kadang dari depan, terus belakang
dan berakhir ditenggah. Jadi sungguh film ndak bisa hanya dinilai dari sebuah
trailer, an sich.
Tapi kalau emang ada trailer film yang sudah dapat menjelaskan isi film,
itu adalah bukti bahwa pengetahuan saya tentang film emang pendek.
Hal lain, selain mengklaim kebenaran pengehatuan film dari trailer, mereka
juga menyebut film menyuruh berhubungan bebas kok ditonton, kok dibilang bagus.
Nah ini konyol. Asli.
Apa ya mereka ndak pernah liat film action yang isinya tembak-tembakkan. Apa
ya mereka ndak pernah liat film komedi yang suka memunculkan korban untuk
menampilkan tawa. Apa mereka ndak pernah nonton film triler yang penuh darah. Apa
ya mereka ndak pernah nonton film drama yang dikit-dikit galau, nyanyi dan
cipokan. Apa ya mereka ndak pernah nonton AYAT-AYAT CINTA yang hadehhhhhh~
Kan ini film. Banyak tujuan yang ingin dicapai dari film. Ada maksud dari
film. Ada pesan yang ingin disampaikan dari film.
Kalau saya liat Jhon Wick yang hobi tembak-tembakan, apa ya artinya jhon
wick ngajari saya untuk nembaki orang sepanjang jalan kaliurang. kalau saya
liat Alladin yang dikit-dikit suka nyanyi, apa ya saya harus dikit-dikit nyanyi
di jalan gejayan. Kalau saya lihat 5cm yang suka naik gunung, apa ya saya harus
naik gunungnya an*s. kalau saya liat bumi manusia, minke cium annelis di pertemuan
pertama, apa ya artinya bumi manusia nyuruh saya nyium gadis di pertemuan
pertama dengan cewek berjaket biru dongker di toko buku togamas gejayan yang
cantinya aduhai itu.
Kan ndak begitu cara mainnya.
Kok bisa dibilang bahwa film dua garis biru ngajari kentu di luar
nikah hanya karena trailernya/set up filmnya bilang kentu di luar nikah.
Ini kan pengambilan keputusan yang terlalu prematur.
Nah, sesudah sebel-sebelnya saya pada mereka yang kadong mencaci film dua
garis biru senbelum nonton. Kok ndilalah saya melihat unggahan terbaru dari KH
Musthofa Bisri di Instagram. beliau menulis “Kalau memahami status saja tak
sempat, mengapa tergesa-gesa mengomentarinya?”
Ehh ternyata kebiasaan komentar sebelum memahami maksud seseorang itu gaya
hidup to. Hehehe. Sampek KH Musthifa Bisri menuliskan hal seperti itu.
Kok sampek terang benderang gini alur dan ritmenya dalam pengen nyacati
orang dan gagasan yang gak disuka.
Bijaknya seperti apa, monggo dirembuk masing-masing.
Salam
Dewa 19 Adalah Dewa
[Sumber: www.tokopedia.com/mascisjunior/cd-dewa-19-bintang-lima] |
Seingatku,
aku sunat pada liburan kelas 3 menuju kelas 4 MI. Motivasi sunat saat itu tidak
hanya soal agar terbebas ecean teman karena belum sunat dan bujukan
seperti digigit semut, tetapi dorongan yang lebih penting
adalah soal uang yang akan didapat kalau mau sunat.
Banyak diantara teman yang memang mau sunat karena uang santunan sunat akan dipakai untuk beli ini dan itu. Paling sering si aku temui targetnya adalah beli PS. Meskipun banyak diantaranya yang berakhir di hayalan, karena emang PS adalah hal yang istimewa dan tentu juga malah. Sehingga keistimewaan itu hanya didapat oleh mereka yang kaya dan sunatnya bermegah-megahan. Selebihnya paling keinginannya tereduksi menjadi CD player, kaos, sepatu atau bola.
Banyak diantara teman yang memang mau sunat karena uang santunan sunat akan dipakai untuk beli ini dan itu. Paling sering si aku temui targetnya adalah beli PS. Meskipun banyak diantaranya yang berakhir di hayalan, karena emang PS adalah hal yang istimewa dan tentu juga malah. Sehingga keistimewaan itu hanya didapat oleh mereka yang kaya dan sunatnya bermegah-megahan. Selebihnya paling keinginannya tereduksi menjadi CD player, kaos, sepatu atau bola.
Nah, untuk diriku sendiri, dulu yang kudapat
adalah CD player dan beberapa keping CD. Selain CD film power ranger turbo dan
beberapa power ranger dari Jepang, yang kuambil adalah kepingan CD lagu. Saat itu
yang kuambil adalah CD lagu album Dewa 19 “Bintang Lima”. Tidak karena kualitas
musik atau sudah ngefans dengan Ahmad Dhani dan Andra Ramadan, saat itu aku
masih kelas 3 dan berumur 7 tahun, atau sekitar tahun 2001, jadi kenapa aku
putuskan membeli album bintang lima hanya karena cover CD-nya bagus. Hati dengan
sayap dan diatasnya bertuliskan DeWA 19. Sangat ikonik.
Sebenarnya kebiasaanku mendengar lagu
sudah berjalan sejak lama, hal ini karena emakku yang selalu nyetel
qasidah dan banjari. Serta kedua kakakku yang jarak usianya 7-10 tahun di
atasku selalu membawa lagu-lagu top 40 dari daerah rantaunya masing-masing,
sehingga lagu-lagu seperti Padi atau Sheila on 7 bukanlah hal yang aneh aku
dengar.
Dan puncaknya tentu di Album Dewa 19
ini, bukan hanya karena aku sendiri yang memilih kasetnya, tetapi karena
lagunya memang enak luar biasa.
Tidak hanya satu atau dua lagu. Semua lagu
di album Bintang Lima adalah kategori enak di telinga dan hatiku.
Sedikit aku sampaikan, bahwa dari dulu
sampai sekarang, aku tak terlalu biasa menelisik isi kandungan lirik terlalu
jauh. Asal nada enak, cocok dan nyaman, sudah pasti aku sebut lagu itu enak,
meskipun liriknya amat norak.
Dan benar saja, kebiasaan ini amat
sangat dimanjakan dengan album Bintang Lima.
Isian melodi gitar dari Andra yang
selalu membuat kita berhayal menjadi rock star yang sedang solo gitar di sebuah
konser, permainan keyboard dari Ahmad dani yang tipis-tipis tapi membuat lagu
ini amat lengkap. Gebukan drum dan olah bass yang selalu membuat beat yang
mudah membuat pendengar berjoget, minimal mengeleng-gelengkan kepala. Apalagi dengan
suara khas once yang serak, sangat maco dan menjadi jubir terbaik dari lagu-lagu
yang melodis dan megah dari Dewa 19.
Mendengarkan album bintang sembilan
memberikan efek seperti kita sedang dipertontonkan sebuah opera atau mungkin teater.
Album ini seolah memiliki alur, ritme dan emosi yang dimainkan. Album dibuka
dengan lagu berjudul mukadimah, isinya hanya instrumen dan diujungnya
seakan-akan bersambung dengan lagu ke 2, Roman picisan.
Kekuatan lagu Dewa 19 buatku tidak hanya
soal harmoni musik yang selalu membuat ekstase pecintanya. Tetapi pemilihan
nada dari pengisi vokal juga sangat khas, aneh dan unik. Ada yang mendayu, ada
yang seperti membaca mantra, ada yang seperti orasi, ada yang seperti merayu,
dan tentu ada yang seperti marah-marah.
Kalau mau menelisik liriknya sedikit
serta meresapi apa yang ingin disampaikan, sebenarnya pemilihan diksi dari lagu-lagu
Dewa 19 selalu kuat dalam mengekspresikan hati sang Arjuna.
Malam-malamku bagai malam seribu bintang
Yang terbentang di angkasa bila kau di
sini
Tuk sekedar menemani
Tuk melintas jiwa
Yang selalu tersaji di satu sisi hati –
Roman Picisan
Hawa tercipta di untuk menemani sang
Adam
Begitu juga dirimu, tercipta tuk temani
aku – Dua Sejoli
Kau hancurkan diriku
Bila kau tinggalkan aku
Kembalilah padaku bahwa separuh nafasku
Kau dewiku – Separuh Nafas
Selanjutnya, buatku, lagu terbaik di
album ini adalah “Cemburu”. Entah ini genre apa, meskipun aku selalu lemah
dalam mengidentifikasi genre. Tetapi efek magisnya sudah terasa sejak drum
mulai digebuk. Dibuka dengan kata-kata –sebenarnya sangat norak- “ingin ku
bunuh pacarmu!”. Lirik macam apa ini, tapi ya begitulah dewa 19, selalu
blak-blakan.
Lalu saat masuk ke part “mungkin ku
katakan kepadanya saja, bahwa aku juga milikmu, bahwa aku juga u u u u u, bahwa
aku juga kekasih hatimu” adalah klimak kemarahan yang sangat benar-benar marah,
memberikan efek ingin jingkrak dan teriak.
Dan ajaibnya, langsung disusul dengan
permainan solo Andra yang berkali-kali, berhasil menyihirku. Sial.
Sehingga tak berlebihan bahwa aku
menyebut Dewa 19 adalah dewa, inilah pertemuan pertamaku dengan musik secara
intens dan berjalan sangat manis.
Bebas untuk para pengkritik musik, bisa
melihat kekurangan ini itu dari album ini, tapi ya begitulah cinta pertama,
selalu berjalan indah dan membutakan.