Archive for Juni 2017

Lebih dari Terlewat. Ini Semua Dihilangkan dari Buku Sejarah!

[Salah satu ilustrasi pada buku 'Yang Kelewat Di Buku Sejarah']

Lamongan, Duapuluh Juni 2017

Apakah diantara kita pernah ada yang menganggap bahwa PKI, Komunis dan yang dikroni-kronikan oleh rezim Soeharto dengannya adalah sinonim dari atheis? Saya yakin ada!

Kita dengan mudah mengeneralisir komunis menjadi atheis adalah sebuah tindakan kejahatan. Tindakan kejahatan yang telah melukai akal dan nurani. Kalau teman-teman semua ingin tahu lebih tentang kejahatan ini, selain buku yang akan saya ceritakan pada tulisan ini, patut juga bahkan penting untuk membaca buku karya Wijaya Herlambang yang diterbitkan marjin kiri yang berjudul kejahatan budaya pasca 65.

Kenapa menurut saya ini penting? Agar kita tahu diri. Sampai saat ini, masih banyak orang yang menganggap bahwa Komunis adalah atheis. PKI adalah musuh negara yang halal darahnya. Sehingga pustaka tentang ini perlu dikembangkan, dilestarikan serta diamalkan, salah satunya buku yang ingin saya ceritakan pada kesempatan kali ini.

---
[Awal mula bertemu buku 'Yang Kelewat Di Buku Sejarah']
Oke, mari kita mulai. Buku yang ingin aku ceritakan kali ini berjudul “Yang Kelewat Di Buku Sejarah”. Ketidak sengajaan bertemu dengan buku ini di twitter membuatku melirik, kepo dan unduh elektronik book ini. Apalagi setelah membaca judulnya yang mengusik ketenangan batin. Memang secara pribadi, sejarah yang hilang dari negeri ini bukan hal yang benar-benar baru untukku, tapi tambahan informasi serta refrash tentang hal-hal yang dihilangan dari denyut nadi negeri ini perlu dilakukan agar kita dapat terus ingat dan memanusiakan manusia.
[Halaman depan buku 'Yang Kelewat Di Buku Sejarah']
Proses unduh selesai dan mulailah memandangi sampul depan buku, secara cepat kita akan tahu bahwa buku ini sasaran utamanya adalah kalangan pelajar. Bagaimana tim penyusun dari Perkumpulan Pamflet Generasi Jakarta dengan sengaja membuat buku tentang sejarah yang selama ini terkesan membosankan menjadi sangat menarik dan penuh ilustrasi. Dan dengan ketebalan hanya sekitar 150 halaman semakin membuat jelas bahwa buku ini memang buku pembuka mata kita pada apa-apa yang ingin diketahui dari hal-hal yang sudah dihilangkan dari halaman-halaman buku sejarah kita.

Buku ini mengemas 6 pola yang dihilangkan dari buku sejarah kita, disebut pola karena pada kenyataanya akan ada banyak sekali contoh yang ada dilapangan tiap masing-masing pola, bahkan satu pola akan memiliki lebih dari 3 contoh dalam kejaian nyata di lapangan. Nama pola-pola juga diisyaratkan dengan kata-kata sarkastik yang lucu. Dan dari kesemua pola yang diungkap di buku ini adalah tindak kekerasan yang terjadi selama bertahun-tahun di negeri kita tercinta ini.

Pola yang disebutkan adalah pola kekerasan yang terjadi di negeri ini. Oleh siapa kekerasan itu dilakukan, kepada siapa dan karena apa? Pertanyaan awal ini akan segera muncul saat kita hendak membaca pola-pola kekerasan yang akan diceritakan.

Buku ini juga sangat dianjurkan dibaca oleh mereka yang sudah pernah membaca buku-buku seputar kekerasan yang pernah terjadi di negeri ini. Karena ada banyak fakta bahkan rekam kesaksian korban yang barangkali tidak kita temui dibuku-buku lain.

Enam pola yang ada dibuku “Yang Kelewat Di Buku Sejarah” antara lain; Diam-diam menghanyatkan, Orang bilang tanah kita tanah surga, Beda itu (tidak) biasa, Banyak yang cinta damai tapi perang semakin ramai, dipaksa berencana dan buntu. Keenam pola merekam kejadian dari tahun 65 sampai tahun-tahun dekat ini.

Pola pertama, Diam-diam menghanyutkan berkisah tentang kisah singkat dari apa yang terjadi pada rentan tahun 65-66 dan efek setelah kejadian yang terjadi di tahun-tahun itu. Pola kedua, orang bilang tanah kita tanah surga berkisah tentang kerakusan penguasa masa itu dengan kolega investornya dari luar negeri yang ingin mengeksploitasi alam Indonesia, yang mana kegiatan ini bukan hanya merusak alam tetapi juga merusak sendi kemanusiaan kita. Pola ketiga, beda itu (tidak) biasa berkisah tentang kekerasan yang terjadi saat resim Soeharto yang ingin menyeragamkan semua warga Indonesia, banyak tindak kekerasan yang menyertainya dan saat ada yang berbeda disebut makar pada rezim. Pola keempat, banyak yang cinta damai tapi perang semakin ramai berkisah tentang konflik horizontal yang terjadi di negeri ini, yang mana banyak diantara konflik itu disengaja adanya oleh rezim yang berkuasa. Pola kelima, dipaksa berencana mengisahkan program keluarga berencana (KB) yang dalam praktiknya banyak tindak kekerasan yang membarengi dan merugikan perempuan karena program-program yang tak jelas. Dan yang terakhir adalah buntu, pola yang terakhir ini mengisahkan tentang rezim yang dengan sewenang-wenang merubah hukum untuk melenggangkan kepentingan pemerintah saat itu.

Buku ini lebih dari baik karena selain menjelaskan pola-pola kekerasan dengan ringkas, padat dan jelas, banyak juga saran-saran bacaan, tontonan dan reverensi lain untuk memperluas pengetahuan kita tentang pola-pola yang sudah dijelaskan. Misalnya saja pada pola pertama yang menjelaskan tragedi genosida 65, buku itu memberi saran pada pembaca untuk membaca juga buku karangan John Roosa dan video jagal, yang menjadi asik adalah kita juga diberitahu bagaimana cara kita mendapatkan buku-buku rujukan dan cara menonton film-film yang dimaksud dengan jelas dan praktis.

Dari kelebihan buku yang seabrek ini, ada satu pertanyaan dari pribadiku pada penyusun buku ini, yakni “kenapa buku ini hanya mengulas dari tahun 65 sampai sekarang, apakah sejarah tentang sebelum 65 sudah jelas adanya untuk kita semua?” atau memang buku ini disengaja untuk menyerang dosa rezim Soeharto, sehingga yang diulas hanya kisah yang hilang dari tahun 65 sampai saat ini.

Tapi dari kelebihan dan kekurangan buku ini, saya yakin buku ini amat penting untuk dibaca. Beberapa fakta menarik dari buku ini banyak aku temui seperti fakta bahwa “Pada era Soekarno, anak muda dipangil dengan sebutan ‘pemuda’ dan dikenal sangat aktif dalam politik. Soeharto yang ingin anak muda tidak ikut campur dengan politik, menentang penggunaan istilah pemuda yang kental dengan nuansa politik. Untuk mendepolitisasi anak muda, maka ia mengunakan  istilah lain yang lebih netral, yaitu ‘remaja’”.

Demikian sedikit ulasanku tentang buku “Yang Kelewat Di Buku Sejarah” Mari berbenah dan memandang segala sesuatu dengan bijak!

Untu link baca atau unduh buku ini adalah berikut 'Yang Kelewat Di Buku Sejarah'


Wallahu A’lam
Rabu, 21 Juni 2017
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Kaki Mana Yang Terlebih Dahulu Melangkah

[Sumber: ridous.blogspot.co.id]
Lamongan, Enambelas Juni 2017

Beberapa saat lalu, tepatnya tanggal 1 Juni kita memperingati hari lahir pancasila. Pada hari itu laman sosial media menjadi senada temanya, (hampir) semua orang yang terikat batin denganku di sosial media mengenakan tema “saya Indonesia! Saya Pancasila!”. Tapi ada juga yang kontra peringatan hari lahir pancasila, ini bukan berarti tidak setuju pancasila, diantara yang kontra mengenakan jargon “Pancasila di hati”, “Pancasila bukan hanya 1 Juni”, “1 Juni hanya pencitraan cinta pancasila” dan lain sebagainya.

Ketika saya membaca komentar-komentar tentang pancasila yang berjajar di sosial media pada hari itu, sejujurnya saya tidak kaget dan ini hanya soal biasa saja. Saya kira semua hal di dunia ini memiliki caranya masing-masing dalam dipahami. Dari pancasila, kitab suci sampai menilai pasangan, kita pasti punya cara masing-masing dalam memahami hal-hal itu.

Taruhlah contoh cara kita dalam memahami perempuan yang kita cintai. Di dunia ini pasti ada yang memulai mengagumi karena parasnya, lakunya, bahkan sampai bodi-nya.

Dalam menyikapi hal ini, biasanya saya mengunakan dua istilah besar untuk memisahkan cara orang memahami sesuatu. Kalau bukan karena isi ya karena kulit, kalau bukan soal tekstual ya tentang kontekstual, kalau bukan soal essensi ya soal nge-pop. Secara garis besar, kita mudah sekali terperosok pada dua sisi ini, antara kanan dan kiri.

Kita kembali soal pancasila, saya rasa orang-orang yang setuju dengan jargon “Saya Indonesia! Saya Pancasila!” adalah mereka yang senang hatinya ketika hari ulang tahunnya diperingati alias orang yang nge-pop. Sementara untuk mereka yang mengatakan “Pancasila itu di hati, bukan hanya 1 Juni” adalah mereka yang tidak suka hari ulang tahunnya diperingati alias orang yang mengutamakan essensi.

Lalu apakah dua cara pandang ini salah dan ada yang lebih baik? Tentu tidak bukan.

Dalam berbagai kesempatan, dalam segala peringatan, dalam segala momen, pasti ada orang-orang yang suka seremonial atau suka peringatan meriah serta hingar bingar dan ada yang tidak suka ramai-ramai seremonial.

Dalam cipta karya oleh seniman pun demikian. Telah banyak contoh yang dapat kita pelajari. Coba teman-teman tengok karya efek rumah kaca yang berjudul di udara, bukankah ini karya nge-pop, karya yang di buat atas tragedi meninggalnya Munir, sang pejuang hak asasi manusia yang teracun arsen di pesawat saat perjalanan dari Indonesia ke Belanda. Dan coba teman-teman tengok karya Navicula yang berjudul mafia hukum, bukankah itu contoh karya essensial yang dengan jelas mengkritik para koruptor dan keserakahannya.

Apakah efek rumah kaca dan navicula tergolong band yang tidak memiliki idealisme? Tidak bukan. Apakah mereka yang ngomongnya selalu soal essensi akan terus lebih baik dari yang hanya ngomong soal nge-pop dan yang ngomong soal nge-pop selalu lebih up to date (baca: Aptudet) dari orang-orang yang suka essensial? Tentu tidak juga bukan.

Sejak dulu keserakahan di dunia ini sudah ada, praktik korupsi juga ada, orang merampas hak orang lain juga ada. Orang jahat masuk bui juga bukan hal baru, orang jahat sogok penegak hukum biar gak masuk bui, Apalagi!. Jadi terserah dong kita mau pakai pendekatan apa dalam menyikapi sesuatu.

Memang saat ini kita hidup di era banjir informasi. Informasi yang kita dapat datang dari segala sudut. Taruh saja dalam kasus Koh Ahok masuk bui beberapa saat yang lalu, info tersebut tidak hanya hadir dalam layar kaca dan media cetak saja. Tetapi dunia berita online yang kecepatan informasinya luar biasa itu sampai media sosial beruma meme merekam setiap update (Baca: Apdet) kejadian diseluruh pelosok dunia. Jadi saat kita masuk dalam berputaran bincang soal Ahok masuk bui bukan berarti kita melakukan hal yang memalukan, dan saat kita membahas penegak hukum yang tunduk pada kepentingan politik tanpa penunggu momen ada orang baik dicuranggi juga bukan hal yang mutlak benar kan?.

Perlu disadari, bahwa kita juga tak bisa menyalahkan banjir berita terbaru yang masuk di hidup kita, karena salah satu sarat berita adalah baru, sehingga pintar-pintar saja memilih apa yang ingin kita baca dan yang kita izinkan masuk dalam sanubari kita.

Mau dari mana kita memahami hidup ini? Itu terserah teman-teman bukan!.

Yang menjadi masalah adalah saat ujaran kebencian lahir dari perbedaan kita memahami sesuatu. Saat yang suka essensi menyalah-nyalahkan mereka yang nge-pop dan yang nge-pop mulai mencacati mereka yang suka essensi, ini baru tindakan yang tak dapat dibenarkan. Mari berbahagia dalam perbedaan pola pikir.


Wallahu A’lam
[Sumber: ruangislam.com]

Sabtu, 17 Juni 2017
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Popular Post

Tengok Sahabat

Diberdayakan oleh Blogger.

Top Stories

About

- Copyright © Tigabelas! -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -