Archive for September 2015

Kurban Perasaan Saja Lah...



Lamongan, duapuluh lima September 2015

Selamat pagi Indonesia. Senang sekali pagi ini bisa mengawali tulisan dari rumah kelahiran penulis dengan menikmati panorama pedesaan yang belum hilang. Dan semoga tidak akan hilang tergerus oleh modernitas yang kadang kala sering mengancam budaya kita. 

Pertama-tama penulis ucapkan selamat hari raya idul adha untuk kaum muslim diseluruh dunia, yang kemarin hari dan dua hari kemarin baru saja merayakan. 

Kali ini penulis akan membahas tidak jauh dari apa yang baru saja kita alami. Yap, masalah idul adha, sejarah, esensi dan penerapanya pada era kali ini.

Tahun-tahun ini banyak sekali meme yang beredar disekitar kita, dan sering kali mengambarkan isi hati beberapa netizen. Meme ini keluar periodik sesuai peristiwa apa yang sedang terjadi. Momen idul adha ini pun tak luput dari meme tersebut, dan meme yang cukup tenar kali ini berisi pertanyaan pada netizen, “tahun ini mau kurban apa? Kambing, sapi, domba apa perasaan”. Korban perasaan? Yap, cukup mengelikan kedengaranya, dan mungkin sampai menyayat hati kaum jomblo. Hehe. Namun kita korban perasaan-pun tak masalah, malah bisa lebih baik, kok bisa? Bukan berarti karena penulis juga jumbo, terus ikut-ikutan membela kaum jomblo, hehe. Mari kita ikuti sedikit rangkaian tulisan sederhana dan sama-sama introspeksi diri.

Sebelumnya mari kita ingat sejarah peristiwa yang terjadi pada tanggal 10 dzulhijah, sehingga harus kita peringati dengan berkurban. 

Pada hari itu, tuhan menurunkan perintah melalui mimpi pada nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya ismail. Pada awalnya nabi Ibrahim pun ragu, itu benar-benar perintah dari tuhan atau godaan syetan saja, dan pada akhirnya dengan ihlas nabi Ibrahim merelakan ismail anak kesayanganya disembelih dan ismail pun dengan ridho kepada tuhan bersedia disembelih. Dan kemudian ketika akan disembelih sang anak, tuhan mengantinya dengan seekor domba. Dan karena itulah kita diperintahkan untuk meneruskan kurban nabi Ibrahim tiap tanggal 10 dzulhijjah.

Dibalik peristiwa tersebut, tuhan tentu memiliki maksut. Dan kiranya maksut tuhan adalah ingin mengajari umatnya agar tidak kedonyan (cinta dunia berlebihan). Kita diperintahkan mengkurbankan harta kita yang dapat diserupakan domba, kambing, unta atau sapi. Dan pada akhirnya daging kurban tersebut akan dibagikan untuk semua kaum muslim terutama yang kekurangan.

Dengan cara berkurban kita diajari tuhan untuk masuk menyelami dunia zuhud. Dunia dimana sudah tidak terikat lagi jiwa dan raga kita pada kerisuan dunia. Karena kita telah mengetahui bahwa dunia ini hanya fasilitas dari tuhan untuk mencapai sesuatu yang lebih abadi (nirwana). Kita diajari tuhan agar tidak menaruh fokus pada sesuatu yang sementara (harta dunia), namun menaruh fokus pada sesuatu yang lebih abadi.

Arti kata kedonyan sendiri akan menjadi sangat sempit apabila hanya diartikan kita cinta pada emas, rumah, uang dan semua yang berbau harta kekayaan, karena isi dari dunia ini tidak hanya sesempit itu. 

Cinta kasih dan perasaan sayang pada istri, bakal istri dan keluarga; titel atau gelar; teman; anak; istri; bakal istri; kemampuan; rumah; handphone; uang; sekolah; motor; dan masih banyak yang lain adalah semua tentang dunia. Kita jangan mengira, apabila kita sudan dengan sangat ihlas berkurban satu ekor sapi seharga 100 juta namun hati kita sakit (galau) karena baru saja putus dengan bakal istri sudah selesai pelajaran zuhud kita. Karena isi dari dunia ini tidak hanya sapi yang berharga 100 juta saja, tetapi berisi bakal calon istri kita juga, sehingga korban persaan penting bukan?

Kita harus merelakan semua yang menjadi embel-embel dunia ini. Karena segala yang kita lakukan didunia ini sudah diatur dengan sangat indah oleh tuhan. 

Dari sana mari sama-sama kita belajar bahwa tak ada gunanya lagi masih memegang cinta berlebihan, kita harus ingat pada kata nabi “cintai sewajarnya dan benci seperlunya”. Karena apabila ketika kita sudah sangat cinta, akan sangat berat pula korban persaan kita, padahal itu hanya hal yang semu dan tak pasti adanya. 

Kita cinta mati dan tak mau melepas perasaan pada seorang calon istri yang takdirnya memang bukan istri kita sama halnya dengan mengharapkan kita memakali smart phone di tahun 1990 M. “tidak ada gunanya harapan itu”. Sehingga mari kita belajar kurban, kurban kambing, kurban domba, kurban sapi, kurban unta dan juga kurban perasaan.

Waallahu A’lam

Semoga kita lebih baik dan tergolong orang-orang yang baik menurut tuhan. Amin.

Terahir penulis ucapkan banyak terimakasih pada orang-orang yang sudah menginspirasi pada tulisan ini dan tulisan-tulisan sebelumya terutama ayah dan ibu penulis. 
Jumat, 25 September 2015
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Macet



Malang, Duapuluh satu September 2015

Selamat malam Indonesia, akhirnya kembali mengelana di dunia curhat lewat artikel didunia blog, setelah beberapa hari tak menyentuh dunia tulis karena ada kegiatan dan sedang terkena candu hoby baru. Ya semoga semuanya membawa manfaat.

Pada malam hari ini mari kita kembali belajar bersama dalam menyelami kebiasaan bangsa kita, ya meskipun masih saja mambahas hal-hal yang harusnya bisa kita rubah untuk lebih baik, dan jarang membahas kearifan lokal kita, setidaknya semoga ini bisa menjadi refleksi untuk kita semua, dan kita bisa belajar dari budaya-budaya kita sendiri.

Pada kali ini kita akan membahas tentang macet. Nah mungkin ada yang bertanya, kenapa kok macet, apakah macet adalah tradisi negeri kita atau hoby, sehingga hal ini bisa kita lakukan di banyak tempat di negeri tercinta kita? Sampai harus dibahas.

Penulis disini tak begitu ingin menggeneralisasi apakah macet sudah menjadi budaya atau hanya fenomena lalu lintas saja. Tapi penulis disini ingin mengajak berfikir dan memperbaiki diri, bersama-sama mencari penyebab dan reflek masyarakat kita dalam menanggapi macet.

Penulis bukanlah orang yang mempuni dan kompeten dalam dunia lalu lintas dan manipulasinya, karena memang tidak ada background sama sekali didunia itu, sehingga alangkah lebih bijaknya, kali ini akan kita bahas sesuai dengan kemampuan kita saja. Yah, dalam tulisan ini akan kita kemukakan penyebab macet dari latar belakang watak masyarakat kita.

Sebelum kita menelisik apa sebenarnya penyebab macet sesuai watak masyarakat kita, pasti sering kali kita dengan pendapat di berbagai media baik cetak maupun elektronik. Ada yang mengatakan macet disebabkan karena volume kendaraan di jalan sangat besar, ada pula yang mengatakan jalan kita kurang lebar, sehingga terdapat penumpukan kendaraan dan tak dapat menampung jumlah kendaraan di jalan-jalan.

Ya alasan diatas memang tak dapat kita benarkan dan tak dapat kita salahkan, karena memang demikian adanya. Namun menurut penulis, ada hal yang lebih urgen dibanding kita harus mendukung program memperbesar jalan agar tidak terjadi penumpukan kendaraan dijalan sehingga menyebabkan macet. Penulis mengusulkan adanya revolusi mental di setiap masing-masing individu kita.

Penulis berpendapat bahwa negara kita memiliki hoby macet bukan karena jalan kita kurang lebar, tetapi karena kita punya sifat tak tertib dan tak sabar.

Beberapa dari pembaca mungkin dan bahkan sering sekali melihat fenomena dijalan. Ada banyak sekali pengguna jalan kita yang melanggar aturan lalu lintas, dari menerobos lampu merah, memakan bahu jalan, sampai berkendara di trotoar yang sebenarnya diperuntuhkan untuk pejalan kaki.

Hal-hal yang tak tertib seperti inilah yang membuat negara kita memiliki hoby macet, karena apabila ada banyak pengendara yang melanggar aturan jalan, keseimbangan jalan juga akan semakin minim.

Kita telah diciptakan dalam keadaan teratur, kita didalam kandungan selama 9 bulan, dan kita selanjutnya melalui proses merangkak sampai bisa jalan. Namun apabila kita sudah bisa berkehendak dan kehendak kita melanggar aturan, disanalah kehidupan kita mulai tak seimbang.

Yang seharusnya kita minum 8 gelas sehari untuk ideal, kita langgar dengan hanya 2 gelas dan menyebabkan kita mudah dehidrasi. Idealnya kita tidur 5 sampai 8 jam, karena tak teratur, malam tak tidur, membuat kerjaan kita terbengkalai. Hal yang sama juga akan terjadi dijalan, aturan untuk tertib rambu-rambu kita langgar sehingga akan membuat tak seimbang kondisi jalan .

Diatas penulis mengatakan, tak dapat kita salahkan pendapat penyebab kemacetan adalah volume kendaraan dijalan sangat besar, dan jalan tak dapat menampung jumlah kendaraan. Memang ada kalanya ini terjadi, dan dari kejadian ini, kita akan dapati sifat masyarakat kita. Masyarakat kita selain punya sifat tak dapat tertib, juga memiliki sifat tak sabar.

Teman-teman pembaca pasti pernah menemui pada saat macet ada beberapa pengendara yang membunyikan klakson ditengah kemacetan. Hal yang sangat lumrah memang. Penulis sering kali nyelatuk di fikiran “apa ada efeknya membunyikan klakson? Toh dibunyikan sebanyak apapun, kemacetan itu gak akan seketika hilang kan, gak mungkin kan ketika kita membunyikan klakson, seketika kita bisa lolos dari kemacetan?”. Sebenarnya yang perlu dilakukan kan hanya kita bersabar berjalan merambat dan tetap tertib ditengah kemacetan.

Pasti pernah ditemui juga kan, ketika sedang dalam kemacetan, selain membunyikan klakson, beberapa pengendara kendaraan roda empat ada yang makan bahu dan trotoar jalan, ya niatnya memang biar bisa nyelip dan sesegera mungkin bisa lolos dari kemacetan. Namun agaknya itu hanya ekspektasi, karena pada realitanya hal itu akan semakin membuat kemacetan lebih parah, karena macet tidak hanya di jalan, bahkan sampai bahu dan trotoar jalan ikut-ikutan macet karena banyak kendaraan yang masuk kesana.

Kejadian macet ini memang hanya sedikit dari sekmen kehidupan kita di negeri ini. Kondisi ini adalah contoh untuk kita, memang kita memiliki sifat tak sabaran dan tak mau teratur. Sebenarnya bukan hanya dijalan. Dimanapun kita berada sifat-sifat tak tertib dan tak sabar banyak kita temui.
Pertanyaan selanjutnya, apakah ketika kita hidup tertib dan sabar akan membuat kita hidup statis dan kaku? Penulis rasa tak demikian juga, malah apabila kita bisa hidup sabar dan teratur akan lebih dinamis dan lues.

Waallahu A’lam


Semoga kita bisa memperbaiki diri dan negeri kita. Semoga negeri madani yang kita damba-dambakan dapat terealisasi, semoga atlantis yang hialng itu akan segera ditemukan dan terletak di zamrud katulistiwa ini. Amin.

Editor : M Iqbal Fahmi
Selasa, 22 September 2015
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Aku lupa mau nulis apa



Malang, tujubelas September 2015

Selamat siang Indonesia. Pas saat ini di tenggah siang hari memang sudah wajar kalau negara tropis seperti ini akan terasa panas, tapi tak ingin ikut-ikutan curhat seperti teman-teman yang mungkin sedang lupa kalua bersyukur itu perlu, mari bersyukur saja kita diberi panas ini, hehe.. dari pada diberi angin sampai buat crane roboh. Nah Lohh.. hehe

Namun, pada tulisan kali ini penulis juga kebetulan akan mengangkat tema tentang “lupa”. Kata yang memang sudah jadi Sunnah nya manusia kalua memiliki sifat lupa. Sudah maklum manusia itu lupa, tapi kalua lupanya sering, dibuat-buat bahkan sampai menyusahkan orang nah itu yang akan kita bahas saat ini.

Banyak disekitar kita kalua saat ini kita lupa, kalau kita sedang lupa.

Lupa untuk menciptakan kedamaian di bumi ini, lupa kalua kita perlu untuk saling menghormati, lupa kalua kita harus menjaga keberagaman, lupa kalua kita sama rata dihadapan hukum, lupa kalua kita harus memenuhi hak dan kewajiban kita, lupa kalua kita punya tanggung jawab dengan pekerjaan kita, lupa kalua kita tak sendiri di bumi ini, dan lupa-lupa yang lain.

Penulis sedikit menduga-duga kalua adanya orang ekstrimis, fanatik, sombong, intoleran diawali dari seseorang yang lupa dengan tanggung jawab esensinya.

Banyak disekitar kita, Saat ini guru lupa kalua dia adalah tenaga pencerdas generasi bangsa.
Banyak disekitar kita, Saat ini pemerintah lupa dia adalah seorang yang bertugas memimpin rakyat dengan adil.
Banyak disekitar kita, Saat ini pelajar lupa kalua dia harus menuntut ilmu setinggi-tingginya dan calon penerus pemimpin bangsa.
Banyak disekitar kita, Saat ini petani lupa kalua dia harus bekerja dan mengurusi tanaman di kebunya.
Banyak disekitar kita, Saat ini panitia acara lupa kalua dia harus bertanggung jawab dan melaksanakan segala job descriptionya.
Banyak disekitar kita, Saat ini orang tua lupa kalua harus merawat dan memberi kasih sayang serta perhatian pada anaknya.
Banyak disekitar kita, Saat ini anak-anak lupa kalua harus menghormati orang tuanya.

Bagaimana penulis tidak menduga-duga, orang lupa yang membuat dunia ini terasa intoleran. Ketika kita ingat pada tanggung jawab kita, itu akan menuntun kita pada keadaan ideal dan professional pada apa yang harus kita kerjakan.

Seorang guru apabila dia ingat kalua tugasnya untuk mencerdaskan generasi muda, tak akan ada guru yang akan subjektif memberikan nilai. Beberapa kali penulis temui, guru saat ini bukan lagi sebagai pencerdas generasi bangsa, tetapi juga berperan sebagai dewa pengatur nilai hasil belajar. Yang lucunya lagi, apabila sampai terjadi pemberian nilai tergantung pada perasaan guru pada murid. Apabila guru ingat kalua dia seorang guru, seyogyanya dia akan mengajarkan akhlak pada muridnya dan menuntunnya untuk mencari ilmu setinggi-tingginya. Sehingga dari sana akan meminilisir kegiatan intoleran antara murid dan guru.

Akan sangat mungkin terjadi pada murid yang kebetulan tidak terlalu dekat pada guru tersebut, dia akan melakukan hal-hal intoleran pada gurunya dan/atau diluar sekolahnya, karena dia sudah diperlakukan secara tidak adil oleh gurunya tersebut.  Dari sana akan mucul orang yang fanatik membela guru tersebut karena diberi nilai tinggi dan fanatik benci pada guru itu karena diberi nilai dengan tidak adil!.

Ini hanya contoh kecil dari sekmen kehidupan kita, akan terjadi hal yang sama pula pada orang tua, anak, pemimpin, petani, kiai, panitia, peserta, pelajar dan semuanya yang ada dibumi ini. Akan muncul perilaku ekstrim pada diri dan sekitar kita apabila diawali dari kegiatan kita yang lupa pada tanggung jawab esensial kita.

Wallahu A’lam

semoga kita selalu dilindungi tuhan, dan diberi petunjuk. Dan semoga negeri kita lebih baik dan tak terus menerus menjadi negeri yang lupa. Dan kita ingat kalua selama ini kita sudah lupa. Dan ingat bahwa sering kali kita lupa diri dan malah mengingat-ingat kesalahan orang lain. Bukankah sudah ada kata bijak yang mengatakan untuk mengoreksi diri kita dulu sebelum mengoreksi orang lain. Artinya ayo ingat diri dulu sebelum ingat-ingat orang lain. Sering kali kita lupa, bahkan sampai penulis sendiri lupa apakah saat ini sudah memberi hak pada perut penulis apa belum, hehe. Maaf curhat, hehe


semoga bisa memberi manfaat, amin.
Jumat, 18 September 2015
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Muslim nusantara apakah bisa jadi kosep baru?



Malang, Sembilan September 2015

Selamat sore Indonesia, terimakasih masih mejadi teman yang paling setia menemani hidupku. Yang setiap hari mengajariku agar lebih baik. Dan terus kau bagi dengan senyum indah masyarakat disetiap denyut nadimu.

Negeri yang memiliki kemajemukan sangat besar seperti ini memang memaksa masyarakatnya untuk terus belajar masalah toleransi. Dalam proses hidup kita juga dituntut untuk menjadi masyarakat yang dinamis.

Sekitar satu bulan yang lalu kita diberi suguhan yang mengajari kita betapa masyarakat di negeri ini memiliki ciri yang sangat dinamis. Yap, muktamar NU ke 33 di jombang yang berlangsung sangat ramai dan menimbulkan banyak wacana media terkait apa yang sebenarnya terjadi disana, kenapa disana sampai seriuh itu diskusinya dan kenapa sampai di bumbuhi praktik-praktik diskusi yang sangat panas.

Agaknya penulis sependapat pada argument yang mengatakan bahwa, tak masalah diskusinya berjalan dengan panas, itu artinya diskusinya dinamis dan semua elemen berusaha menyuarakan isi hati dan semua analisanya dalam memperbaiki NU kedepan. Tidak terjadi diskusi yang statis, yang mana semua diam dan takut menyuarakan pendapat dan terlihat bahwa diskusi itu berjalan sangat lancar. Agaknya dalam memperbaiki negeri kita lebih membutuhkan diskusi yang dinamis dan penuh perdebatan, karena dalam mengkodi al-qur’an pun para sahabat juga berdebat panjang. Semoga NU lebih baik, dan bermanfaat untuk umat.

Tak inigin mengulang apa yang penulis dapatkan dari muktamar kemarin, karena tema ini sudah sempat penulis tulis dalam blog ini juga, namun ada sesuatu yang sangat mengugah penulis kenapa ingin menulis dengan tema ini lagi.

Tepatnya kemarin pagi ketika penulis membuka laman sosial media milik penulis dan disana penulis menemukan artikel salah seorang guru besar kampus penulis menempuh S1 dan isi artikel juga membahas terkait ini. Dalam artikel tersebut ditulis dan diberi judul islam nusantara atau muslim nusantara.

Dalam artikel tersebut setelah penulis baca, memiliki tujuan bahwa sang guru besar tadi ingin menawarkan konsep muslim nusantara untuk mengantikan islam nusantara yang sudah di diskusikan NU pada muktamar kemarin agar perdebatan dan perselisihan tidak terlalu panjang.

Dalam artikel tersebut sang guru besar mengawali pembicaraan dengan menyebutkan makna dari islam nusantara menurut beberapa ahli, dan pendapat yang ditulis dalam artikel tersebut adalah milik PBNU saat ini yakni KH. Said aqil siraj yang mengatakan bahwa islam nusantara bukanlah cabang baru, firqoh baru atau aliran baru. Tetapi islam nusantara adalah sebuah ciri islam lokal Indonesia yang ramah, sejuk, berbudaya dan menerima semua suku dan ras di Indonesia.

Kemudian dalam artikel guru besar tadi kembali mengutip terkait analogi dalam membawa konsep islam nusantara. Dikatakan bahwa islam adalah semacam buah, meskipun sama-sama buahnya ketika ditanam ditanah yang berbeda, akan menghasilkan karakter buah yang berbeda. Buah manga probolinggo akan memiliki rasa dan kenikmatan yang berbeda dengan manga malang, buah durian jember akan berbeda rasa dan kenikmatan dengan buah durian sidoarjo dan seterusnya. Penganalogian agama (ajaran) dengan buah.

Menurut guru besar dalam artikelnya, kita tidak bisa menganalogikan suatu ajaran dengan buah. Karena buah bisa berbeda masing-masing daerah. Tetapi ajaran (islam) dimanapun akan sama, karena sama-sama berlandas Al-Qur’an dan Hadits Karena itu sang guru besar tadi mencoba menawarnakan adanya konsep yakni muslim nusantara, yang berkarakter bukan ajaranya, tetapi yang melakukan ajaran tersebut, jadi muslim nusantara, karena orang muslim di tiap-tiap daerah pun akan memiliki cara yang berbeda-beda dalam mengamalkan ajaran islam.

Selanjutnya, munurut penulis. Sebenarnya konsep muslim nusantara bisa saja menjadi suatu konsep yang mubadzir. Jika kita teruskan analogi tadi diawali dari buah adalah ajaran sehingga tempat asal tumbuh buah tadi adalah tuhan, sehingga bumi ini adalah tuhan dengan disertai panduan yakni Al-Qur’an dan Hadits. Sehingga dimanapun pohonya memiliki dasar yang sama. Kemudian menumbuhkan pohon di berbagai daerah di bumi ini, dan tentu masing-masing daerah akan memiliki karakter yang berbeda.

Dari mana bisa dikatakan mubadzir?

Karena yang dihukumi berbeda adalah muslimnya. Sudah jadi Sunnah manusia bahwa mahluk ini memiliki sifat sang berbeda masing-masing individu, jangankan setiap daerah, masing-masing desa, masing-masing pondok, bahkan masing-masing pribadi seseorang akan memiliki cara yang berbeda dalam memakan buah tadi dan memberikan penilaian pada buah tadi.

Sehingga baik buah manga probolinggo yang terkenal lezat itu akan tetap dihukumi biasa saja oleh org yang kurang bersyukur dan enak untuk orang yang bersyukur.

Penulis sampai saat ini masih lebih menikmati pelebelan islam nusantara, karena itu bisa menjadi ciri kita. Seorang muslim yang sama-sama hidup ditanah Indonesia (nusantara), manusia yang memiliki sejarah yang sama dan memiliki karakter yang berbeda dari daerah lain. Selain itu, islam nusantara dapat kita gunakan sebagai racun perdamaian antar umat islam di negeri ini dan menyebarkan virus-virus ramah, santun, tenang dan seterusnya.

Biarlah proses ini berjalan dengan dibumbuhi diskusi yang panjang, toh itu menandakan terjadinya komunikasi yang dinamis antar sesame kita.

Kita pun tak bisa lantas semata-mata menyebut muslim nusantara kurang tepat, karena apabila sudut pandang yang kita gunakan adalah untuk belajar menghormati kemajemukan, konsep ini bisa dikatakan tepat.

Waallahu a’lam

Semoga kita dan negeri kita lebih baik
Minggu, 13 September 2015
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Aku itu fanatik dan ekstrimis



Malang, duabelas september 2015

Selamat pagi Indonesia, week end yang cerah sudah kau tampakan sejak tadi. Seakan ingin menyapa kami dengan kehangatan dan seraya mengatakan nikmatilah week end mu.

Pagi ini di jurusan penulis sedang ada pengkaderan formal pertama untuk mahasiswa baru, dan pagi ini yang akan teman-teman mahasiswa baru konsumsi adalah mendengarkan materi tentang ikahimki.

Tak lama ketika penulis sampai di kampus, baru menghela nafas sebentar. Langsung ada berita yang kembali membuat hati ini cukup prihatin pada keadaan teman-teman panitia. Ya masalah seperti biasa, adanya kurang komunikasi,  minimnya rasa saling percaya satu dengan yang lain dan bahkan sampai saling tendang dalam jajaran panitia.

Karena beberapa curhatan tadi, penulis kembali teringat twit yang pernah dibuat. Twit itu berbunyi "cintai seperlunya, benci sewajarnya. Agaknya itu yang harus kita amalkan. Karena banyak ekstrimis di sekitar kita"

Yap, penulis sependapat bahwa kita harus seimbang antara cinta dan benci. Agaknya cinta dan benci disini hanya sebuah istilah dari dua yang sangat berlawanan, dan kita di ajari untuk moderat menyikapi keduanya dan tidak terlalu fanatik pada satu sisi (ekstrim)

Sering kali, tanpa kita sadari, bahwa kita sering menjudge bagian musuhlah yang fanatik, sementara kita tidak. Karena kita menganggap bagian musuhlah yang salah. Lantas, apabila kita tidak mau menengok mereka dan hanya memperhatikan bagian kita sendiri, itu tidak tergolong fanatik (ekstrimis)?

Karena itulah, kenapa di awal penulis bilang banyak orang ekstrimis di sekitar kita, bahkan mungkin kita sendiri yang ekstrimis, karena sangat membenci musuh dan tak mau menghiraukan mereka.

Saat ini pun kita masih sering menganggap posisi kita adalah posisi yang benar, sehingga bagian yang tidak kita suka di lebeli salah. Tak ingatkah bahwa kebenaran yang benar-benar benar adalah kebenaran tuhan -gus mus-

Selanjutnya, berbicara soal sisi kawan dan lawan. Kita sering kali memunculkan bagian-bagian di diri kita sendiri. Kita melebeli siapa kawan kita dan siapa lawan kita.

Seharusnya, apabila berawal dari ungkapan cintai seperlunya benci sewajarnya kita tak akan begitu merisaukan siapa kawan dan siapa lawan kita. Karena yang memunculkan kawan dan lawan seyogyanya muncul dari diri kita sendiri. Jadi saat ini tinggal kita arahkan pola fikir dan pandang bahwa didunia ini semuanya adalah teman kita dan semuanya wajib kita sayangi. Harapannya semoga kita hidup berdamai dan tak muncul pertikaian.

Mengutip dari kebiasaan gus dur, bahwa beliau selalu cuek pada orang yang memusuhinya sehingga melahirkan ungkapan "gitu aja kok repot" namun dia sangat sayang pada semua orang.

Waallahu a'lam

Semoga kita lebih baik, dan dalam proses hidup ini, kita bisa berdamai dan menyebarkan virus-virus perdamaian di lingkungan kita.
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Sekali-kali ingin disebut homo



Malang, tujuh September 2015

Selamat malam Indonesia, tak terasa akhir-akhir ini aku banyak belajar dari atmosfer masyarakatmu yang multi dimensi ini. Agaknya semua jenis manusia ada di negeri ini. Dari yang paling lurus sampai yang paling bengkong, dari yang paling lucu sampai yang paling kaku, dari yang paling bijaksana sampai yang paling biadap.

Namun menurutku sayang sekali, dari keberagaman ini kita belum bisa benar-benar mampu memaknai perbedaan. Kita masih belum bisa benar-benar menghargai keberagaman dunia orang lain. Pilihan dan kemauan orang lain.

Masih menjadi tugas untuk kita semua, bahwa keberagaman ini harus dimaknai dengan senyuman.
Jargon negeri ini sudah begitu mencerminkan bahwa perbedaan ini harus kita junjung dengan saling menghargai, karena perbedaan ini tidak untuk dimaknai dalam dimensi perpecahan. Tetapi pada dimensi “eka”.

Ada yang mengatakan bahwa untuk menjadi satu tak perlu juga harus sama dan bersatu. Toh kita lahir didunia ini juga karena perilaku dua manusia yang “berbeda” jenis kelamin untuk saling mencurahkan cinta.

Tanpa kita sadari dalam dunia sehari-hari, kita masih cangung dan mengangap tabu pada teman kita dalam melakukan hal yang aneh dari kebiasaan lingkungannya. Sebagian pembaca yang sempat mengamati juga mungkin merasakan, ketika tiba-tiba muncul ada orang yang sangat GeJe (gak jelas), perilaku absud dan gaya berpakaian nyentrik dan tak lazim mesti akan dikenai hukuman cacian dari sekitar.

Tak ayal perilaku tersebut apakah mengambarkan cita-cita besar bhinneka tunggal ika yang selama ini kita agung-agungkan?

Kebiasaan yang akhir-akhir ini muncul telah digambaran secara apik oleh sudjiwo tedjo, bahwa:
Lama kelamaan kita akan
males romantis, karena entar dibilang GALAU
Males peduli takut dibilang KEPO
Males mendetail karena takut dibilang REMPONG
Males mengubah-ubah point of view dalam debat, karena takut dibilang LABIL
Males berpendapat karena takut dibilang CURHAT.

Memang harus diakui kita sekarang hidup di era teknologi yang maju dan memungkinkan kita bias sangat dengan mudah menghubungi dan mengunjing yang lain.

Penulis disini memiliki tujuan utama dari tulisan ini, bahwa mari kita sama-sama belajar dalam berperilaku bijaksana.

Untuk teman-teman yang masih baru menyandang gelar mahasiswa, mungkin sebagian akan mengangap bahwa dunia organisasi di perguruan tinggi akan sangat mengganggu kuliah, namun janganlah kita hanya menghukumi sesuatu tanpa kita juga belum tau bagaimana kondisi yang sesunguhnya. Jadi mari kita hargai teman-teman kita yang dalam kuliahnya memilih fokus di dunia akademin saja atau di organisasi saja.

Untuk teman-teman yang suka komunikasi intens dimedia sosial juga pernah merasakan, apabila dalam kontaknya banyak chat dari teman-teman cewek pasti dibilang modus, tetapi ketika dia chat dengan teman cowoknya kenapa tidak di bilang homo? Sebenarnya dalam kasus ini siapa yang lebih aneh dan lucu.

Kenapa harus dihukumi berbeda? Ketika yang dihubungi lain jenis dibilang modus tapi ketika yang dihubungi sejenis tidak dibilang homo. Apakah karena tingkat toleran kita sangat rendah, bahkan sampai cara menghukumi sesuatu saja harus dibeda-beda kan.

Sedari sana, mari kita sama-sama belajar dalam menghargai perbedaan di sekitar kita, karena kita memang sudah ditakdirkan hidup di negeri multi gendre manusia.


Semoga kita dilindungi tuhan dan hati kita ditetapkan tuhan di atas agama yang diridhoinya.
Selasa, 08 September 2015
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Mahasiswa Kita-Kita Mahasiswa



Malang, duapuluh dua agustus 2015

Selamat pagi Indonesia, sejukmu cukup membuat aku dan kolega selalu mengenakan jaket pada pagi ini. Semoga sejuk yang kau titipkan pada kami barokah tuhan, bisa menyejukkan hati kami yang sering kali bertikai laten.

Pada kesempatan ini, kita akan membahas sedikit tentang mahasiswa. Dari makna, peranan dan harusnya mahasiswa ini seperti apa. Cukup menarik perhatianku tentunya, karena penulis benar-benar tergugah dengan keadaan sekitar penulis saat ini. Keadaan yang mana sudah sangat jauh mungkin dari keadaan ideal yang diharapkan jikalau kita masih memegang prinsip bahwa mahasiswa adalah Agen of Change, Sosial Control, Iron Stoke dan lain-lain.

Mungkin sebagian dari pembaca cukup risih mendengar kata-kata Agen oF Change, Sosial Control, Iron stoke dan lain-lain tersebut, karena mengangap kata-kata itu lekat pada seorang aktifis dan kita sudah muak dengan keadaan aktifis saat ini yang sudah pada tidak pejuang kemasyarakatan lagi tapi sudah memerankan peran korupto-koruptor kecil di kampus yang memalukan. Agaknya kalau jawabanya iya, kita memiliki keadaan yang sama.

Namun pada saat ini kita tidak akan membahas tentang para aktifis-aktifis tersebut, karena penulis yakin masih ada beberapa aktifis ikhlas yang memang dia masih berjuang untuk memperbaiki negeri kita ini. Cukup kita berprasangka baik saja pada mereka.

Mahasiswa, yah sebuah status yang cukup keren ketika kita sampaikan dimasyarakat awam, insan terdidik dengan sebegitu kompleksnya pendidikan yang harus dijalani dan tugas-tugas yang melelahkan.

Sebuah tahapan dalam kehidupan dimana pada saat ini orang tua dan orang-orang disekitar kita mengharapkan ada sebuah perubahan dihidup mereka pada diri seorang mahasiswa. Cukup wajar permintaan itu, apabila kita melakukan peran mahasiswa ini dengan benar-benar ideal. Namun kondisi saat ini, tak bisa kita begitu saja percaya, ya seperti lahirnya tulisan ini, yang memang sebuah manifestasi keresahan dari keadaan saat ini.

Penulis juga mahasiswa disalah satu perguruan tinggi di Malang, dan sedikit memahami proses mahasiswa di kampusnya.  Teringat sekali setahun yang lalu, pada bulan-bulan seperti ini, ada segerombol mahawiswa baru masuk kedunia kampus, harapan penulis tetaplah sama, semoga mereka semua sukses didunia mereka masing-masing dan dapat bersumbangsi banyak untuk kemajuan negeri ini, namun kok agaknya setahun ini harapan itu meleset, terutama apa yang terjadi dijurusan penulis. Banyak mahasiswa angkatan tahun kemarin yang tidak ingin berproses lebih didunia kemahasiswaan kampus dan malah memilih hanya fokus belajar di pendidikan formalnya masing-masing. Cukup disayangkan keadaan ini, dan sepertinya keadaan ini dilatar belakangi meluasnya isu waktu kuliah yang dipersingkat dari waktu semula. Mungkin banyak dari mereka masih berangapan bahwa tanpa gelar sarjana, hidup mereka tak akan baik dikemudian hari.

Mari kita ingat soekarno, tan malaka dan gus dur. Soekarno adalah bapak refolusioner kita dan beliau mengikuti sekolah rakyat buatan kaum imprialis, ya hanya sekolah rakyat, sekolah yang hanya dibuat sebagai kedok bahwa kaum imprialis tidak membiarkan asupan pendidikan pada daerah jajahanya kurang dan agar dipandang baik oleh dunia. Sekolah yang tidak ikhlas dan penuh dengan unsur riya’. Namun bisa melahirkan purta luar biasa seperti soekarno, harusnya jika keadaan kita saat ini lebih beruntung dari soekarno, kita harus lebih pandai dari beliau.

Selanjutnya adalah tan malaka, pemuda melayu yang dari usia remaja sudah ikut berjuan dan belajar dari kerasnya hidup dan beberapa kali harus diasingkan. Dan gus dur, bapak plularis Indonesia, dari mana ijazah pendidikan beliau? Nampaknya tidak ada yang begitu gemilang, bahkan istri beliau sendiri pernah berkata “kau boleh gagal soal pendidikanmu gus, tapi kau tak adak gagal urusan cintamu”. Dari ungkapan bu sinta tersebut jelas bahwa riwayat pendidikan gus dur tidak begitu mulus. Ketiga tokoh ini memiliki sejarah pendidikan masing-masing dan mereka sukses didunia mereka masing-masing. Soekarno yang sukses memproklamasikan negara ini, tan malaka yang pemikiranta sampai saat ini masih dikaji dan gus dur yang sampai saat ini masih begitu disegani dan dihirmati karena ilmunya. Harusnya kita berkaca pada beliau, bahwa kita harusnya memiliki gaya pendidikan kita masing-masing dan kita harus sukses didunia kita dengan cara kita sendiri.

Tidak menjadi mahasiswa yang penakut dan kaku seperti ini. Yang mau dibodohi dan mudah sekali dihasut, yang apabila dibilang jangan ikut organisasi ini itu, bisa menghambat kuliah dan seraya berkata iya tanpa fikir panjang, menjadi mahasiswa yang hanya membangakan kotak jurusanya masing-masing dan tak ingin belajar hal-hal baru diluar kotaknya masing-masing.

Tulisan diatas dilihat dari sudut pandang historis, sedikit mari kita lihat kondisi diatas dengan sudut pandang filsafat. Mengutip sedikit dari buku filsafat dunia sophie, yang mana diibaratkan manusia adalah sebuah kutu yang berada didalam tubuh seekor kelinci, dan para filosof adalah kumpulan kutu yang memanjat bulu-bulu kelinci tersebut untuk melihat dunia lain selain tubuh kelinci tersebut. Para pelajar (mahasiswa) harusnya bisa meneruskan perjuangan kutu-kutu yang naik keatas bulu-bulu tersebut, namun agaknya keadaan kita yang saat ini memaksa kita mengatakan bahwa pelajar saat ini tidak lebih baik dari kitu-kutu yang hanya terdiam di dasar tubuh kelinci dan bahkan secara hakikat lebih buruk keadaan dari kutu-kutu tersebut.


Dari sana marilah kita berubah menajadi lebih baik, dan mau belajar untuk kemajua negeri ini, kita harus melanjutkan semangat pada faunding father negara kita ini, dan jangan sampai membiarkan negara ini kejurang kehancuran oleh bangsanya sendiri yang sidah berkarakter seperti kutu-kutu busuk yang hanya hidup didasar bulu-bulu kelinci.
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Selamat jalan guru



Malang, enam September 2015

Selamat malam Indonesia, cukup hangat malam ini. Terus beriring suasana ini sejak siang tadi. Bahkan sempat sangat terik kemudian mendung. Tak jelasnya keadaan tadi siang juga ikut mengiringi suasana batin yang sempat diombang-ambing  oleh kecemasan melanjutkan cita-cita madani negeri ini.

Duka sedang menyelimuti negeri ini, tepat dini hari tadi salah seorang putra terbaik bangsa, salah seorang kelompok pelahir khittoh NU dan murid hadratussyaih hasim as’ari meningal. KH. Muchid Muzadi telah meningalkan kita semua. Sebelum melanjutkan tulisan ini, mari kita doakan beliau semoga semua amal beliau diterima dan dosanya di ampuni tuhan, al fatihah …

Kembali negeri ini ditinggalkan oleh seorang alimnya. Sedih ketika harus ditinggal beliau, sementara kita yang masih hidup merasa masih bodoh seperti ini, sering kali pertanyaan terlintas difikiran, bisakah kita mengantikan beliau? Kita terlalu bodoh untuk memimpin negeri ini? Kita masih butuh bimbingan beliau? 

Namun ini sudah garis tuhan, kita harus mengihlaskan ini, tuhan telah menuliskan bahwa mbah muchit sudah saatnya selesai berjuang dan mengajari kita. Sudah saatnya kita yang berperan selepas ini.

Hal yang paling mendasar dalam hal seperti ini adalah soal kaderisasi. Karena tak mungkin satu generasi tak diganti dengan generasi penerusnya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa salah satu ciri generasi yang sehat adalah yang sukses kaderisasinya. Ada pula yang mengatakan bahwa pemimpin yang baik adalah bukan yang melahirkan banyak pengikut, tetapi yang banyak melahirkan pemimpin yang lain, dan agaknya itu memang tepat.

Kita tak mungkin lama-lama menangisi kepergian beliau, kita harus siap untuk melanjutkan perjuangan beliau. Membangun negeri ini dan membuatnya menjadi rumah yang nyaman untuk semua orang.

Terasa sama ketika penulis melihat nafas organisasi dikampus penulis. Penulis yang saat ini sudah menginjak semester akhir juga akan digantikan oleh generasi penerusnya. Rasa sedih juga menyelimuti ketika harus mengingat-ingat hal ini, namun dengan versi sedih yang cukup berbeda dengan rasa ketika ditinggal mbak muchid.

Penulis merasa bersalah pada generasi penerus penulis. Bagaimana tidak, ketika dulu penulis diajarkan berbagai kearifan organisasi oleh senior, tetapi saat ini masih belum sepenuhnya menyalurkan estafet ilmu-ilmu itu pada adik-adik penulis.

Saat ini yang terjadi dilapangan. Sistem kaderisasi yang kita laksanakan penuh dengan intrik dan tak-tik. Sistem kaderisasi yang apa adanya dan dipenuhi dengan bumbu-bumbu macam riya' dan tak idialis lagi.

Perlu kita mengaca pada mendiang mbah muchith dan generasinya. Bagaimana beliau mengajari kita soal keihlasan dan berbudi baik. Kita perlu malu pada beliau, ketika cara mengkader kita hanya seperti ini dan menginginkan hasil yang baik.

Namun penulis yakin masih banyak orang baik dinegeri ini. Semoga kearifan ini dijaga tuhan, dan kita tetap bisa mengabdi pada bangsa ini dengan cara kita masing-masing. 

Minggu, 06 September 2015
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Stop Nyelatu


Malang, dua september 2015

Selamat siang Indonesia. Cukup terik siangmu hari ini, mungkin membuat sebagian orang enggan keluar dan membuat status-status bernada tak suka dengan keadaanmu seperti “Panas Sekali tuhan”, “malang enggak kayak dulu lagi”, dll.

Pembahasan kita saat ini juga akan membicarakan respon yang kita keluarkan saat menerima, merasakan atau melihat sesuatu yang ada disekitar kita.

Nyelatu. Ya kata itu agaknya kurang lebih cocok pada keadaan kita saat ini. Untuk yang belum tau arti kata nyelatu. Nyelatu adalah kegiatan merespon segala sesuatu dengan nada tidak syukur dan lebih berkonotasi menghina dan tidak ada rasa menghargai keadaan dan perbedaan.

Agaknya saat ini kita semua pernah merasakan dicelatu orang lain. Kita yang terlihat berbeda akan dibicarakan atau mungkin sekaligus dicibir karena berbedanya kita. Seperti contoh orang yang jarang mandi atau jarang ganti baju, mesti akan dibicarakan “ihh baune lo”, “mukamu lo kusam, mandi sana lo”, dll. Untuk orang yang berpenampilan berbeda pun tak akan lepas dari Celatuan orang lain. 

Apakah tidak kita sadari, ketika kita melakukan hal seperti itu, kita memaksa untuk mensamaratakan setiap keadaan, karena setiap perbedaan dianggap tabu.

Agaknya kondisi saat ini juga semakin diperparah, karena orang yang memiliki hoby seperti ini tidak hanya memberikan respon pada setiap keadaan manusia, bahkan semua nikmat tuhan pun di Celatu. Tuhan memberikan panas dikomen “Panas tuhan”, tuhan memberikan dingin dikomen “dingin tuhan”. Orang semacam ini penulis yakin juga pasti mengerti konsep syukur cumak sepertinya jiwanya belum sepenuhnya dilatih untuk memulai bersyukur pada setiap keadaan yang diberikan tuhan.

Buat temen-temen yang masih suka nyelatu. Yok sama-sama berubah, penulis disinipun tak dewa yang bisa terbebas dari kebiasaan ini. Mari memperbaiki diri bareng-bareng dan menerima perbedaan dengan senyuman. Ketahuilah bahwa di Celatu juga tak enak, tak semua insan akan bisa tersenyum dengan Celatuan tersebut, bahkan ada yang memendamnya dalam hati dan malah akan membuat konflik laten diantara kita.

Demikian tulisan singkat kali ini, semoga kita bisa mengambil hikmah dan menjadi insan yang lebih menghargai perbedaan. Mari memaknai keragaman dengan senyuman.

Editor : M Iqbal Fahmi

Rabu, 02 September 2015
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Popular Post

Tengok Sahabat

Diberdayakan oleh Blogger.

Top Stories

About

- Copyright © Tigabelas! -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -