Archive for 2018

Komedi memang nakal, tapi mereka bisa bertanggung jawab, Harusnya

[IG: @ebspict]

Perihal obrolan dan praktik komedi yang beberapa waktu lalu sempat gonjang-ganjing karena kontroversi –menurut orang-orang itu- yang dilakukan pasangan komedian Coki dan Muslim membuat obrolan kita menjadi ngeri-ngeri sedap. Bagaimana tidak, saat ini dapat banyak kita temui orang-orang yang terlalu mempermasalahkan sebuah opini yang disampaikan lewat cara komedi, membuat orang-orang sensitif lalu serta merta melaporkan hal-hal yang tidak disetujui yang seharusnya dapat dibicarakan dengan baik-baik. Namun, setelah datang ke acara stand up hutan akhir pekan lalu, membuatku berpikir ulang terkait mendudukan komedi sebagai jalan yang sah dalam menyampaikan opini atau komedi yang dibuat hanya untuk mengolok-olok seseorang dan menurutku itu tidak keren.

Setidaknya aku sudah dua kali hadir di acara open mic stand up comedy di Jogja ini. Satu, saat parade budaya dalam rangka pembukaan temu nasional GUSDURian. Dan yang kedua, saat acara stand up hutan yang diadakan stand up indo di hutan mangunan Bantul. Kedua acara itu memiliki aturan yang sama, yakni penonton dilarang merekam pertunjukan dalam bentuk apapun, bahkan berupa stori IG yang berdurasi 15 detik. Hal itu tak lain dan tak bukan adalah tindakan preventif dalam meminimalisir reaksi diluar tertawa (baca: berlebihan/persekusi) yang akan membahayakan komika saat komedi-komedi itu keluar ke pasar bebas.

Tentu saat komedi dari para komika keluar ke pasar umum bisa menjadi sebuah kontroversi baru dan menghambat karir para komika. Apalagi memang terang-terang ada beberapa pihak yang tidak suka akan hadirnya stand up comedy, terlebih saat materi yang dibawa cukup sensitif semisal agama. Sehingga para komika memang memiliki materi-materi khusus saat open mic di acara yang eksklusif seperti ini, materi yang dibawakan terkadang sangat sensitif dan berani. Materi-materi semacam ini tak mungkin digunakan dan sebarkan di pasar bebas semacam teve atau yutup. Tapi apa jadinya saat kita sudah datang ke acara eksklusif seperti itu, tapi tidak mendapatkan komedi kelas tinggi yang dapat membuat penonton berpikir ulang tentang komedi yang disampaikan, tapi hanya sebatar candaan olok-olok yang lazim ditemui di pertemanan anak SD. Perlukan ada aturan tidak boleh merekam saat pertunjukan, kalau yang ditampilkan hanya parade olok-olok?

Pembahasan akan saya mulai dari pertanyaan yang paling sering muncul setelah pembahasan komedi ini mulai naik daun.

Pertama-tama “bolehkah komedi membuat agama sebagai bahan bercandaan?”. Secara pribadi aku mengatakan boleh, sangat boleh. Menurut hematku, komedi hanyalah salah satu cara seseorang dalam mengekspresikan pendapat. Kalau kita melihat sebuah pengajian dari Kiai Anwar Zahid asal Bojonegoro, kita bisa dibuat tertawa terpingkal-pingkal dari awal pengajian sampai selesai. Apakah ceramah dari Kiai Anwar Zahid hanya terdefinisi sebagai pengajian atau bisa digolongkan juga sebuah komedi? Tentu bisa juga dikategorikan sebagai komedi, apalagi kalau melihat definisi komedi yang merupakan sebuah sandiwara (baca: premis) yang bermuara pada rasa bahagia (baca: tertawa). Komedi adalah cara yang digunakan Kiai Anwar Zahid dalam berceramah, ini terlepas dari komedi yang dibuat disengaja atau tidak oleh Kiai Anwar Zahid.

Di penceramah yang lain, ada yang mengunakan cara-cara santun dan membuat respon jamaah hanya mantuk-mantuk. Tarik contoh semisal ceramah Kiai Quraish Shihab, saat beliau berceramah, jarang sekali ada celetukan komedi, dan jamaah yang hadir dan sepakat dengan Beliau ya hanya mantuk-mantuk saja, tak ada yang memberikan respon tertawa seperti gaya komedi.

Kembali pada poin bahwa komedi adalah salah satu cara menyampaikan pendapat, kita bisa mulai dengan kembali meneguhkan bahwa opini bisa dikeluarkan oleh siapapun, apalagi kita berpijak di negara yang demoktaris, beropini di negeri ini malah terfasilitasi dengan baik, meskipun tentu ada batas-batas yang tak bisa diterjang begitu saja karena seperti itu lah ciri negara demoktatis, punya aturan main. Oke, dari sini kita bisa bersepakat bahwa segala opini, ide, gagasan, pemikidan dan apalah itu, bisa dibicakakan di negara ini asal tidak menerjang batas aturan yang berlaku.

Selanjutnya adalah soal cara menyampaikan ide-ide tersebut. Dalam hal ini ada banyak sekali cara yang dapat dilakukan, mungkin secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 yakni secara langsung dan tak langsung. Menyampaikan ide secara langsung semisal dengan ceramah atau membicarakan point utama tanpa aling-aling semisal “ayo kita solat”, ada pula cara langsung semisal dengan media poster dengan kata yang jelas, bisa juga dengan marah-marah, saya kita saat ada orang tua memarahi anak, ada pesan yang ingin disampaikan dan memang pesannya baik, tidak asal marah, semisal “anak kok susah banget dibilangin, ayo solat!!!”.  Untuk cara tak langsung ragamnya juga banyak, bisa berupa sindiran, gambar anekdot atau komedi. Tinggal kita bisa menempatkan setiap metode penyampaian opini dengan tepat secara ruang dan waktunya.

Apakah Kiai Anwar Zahid dan Kiai Quraish Shibah ada konten yang ingin disampaikan dalam setiap ceramahnya? Ya tentu ada, tapi disampaikan dengan cara yang berbeda. Itu yang perlu dicatat. Jadi, komedi mau memakai premis soal agama, suku, ras, budaya, dan apapun yang lain, itu sah-sah saja, asal memang ada pesan yang ingin disampaikan. Ya meskipun kadang-kadang komedi tak melulu soal menyampaikan opini. Komedi juga bisa menjadi sangat sederhana, yakni asal bisa tertawa.

Yang selanjutnya, ini adalah soal hasil pertemuan dan menyaksikan para komika open mic di acara stand up hutan akhir pekan lalu. Saya sudah sepakat dengan diri saya sendiri, bahwa komedi adalah cara orang menyampaikan gagasan, terlebih stand up cemody, sehingga di acara itu saya memang siap untuk tertawa dengan opini-opini dari yang komika utarakan, memang cukup tinggi ekspektasiku. Dan benar saja, materi-materi mereka sangat beragam, ada yang mengangkat kisah asmara, dunia setelah menikah, toleransi, politik, ketimpangan sosial, agama sampai soal selangkangan dan wanita.

Pada pertunjukan itu, aku sangat apresiatif pada komika yang berani mengulik soal agama, politik, ras dan ketimpangan sosial. Ada pesan yang ingin disampaikan dan memang perlu perenungan kembali setelah pulang dari acara itu. Namun sayangnya, frekwensi komika mengomongkan selangkangan juga tak kalah banyak, bahkan  kata-kata “kentu”, “ngewe”, “coli” dan kata-kata lain banyak dan sering kali terucap. Menjadi tidak apa-apa kalau memang ada pesan yang ingin disampaikan seputar dunia perempuan dan kesetaraan gender, soal argumen setuju tak setuju pada LGBT juga oke saja, tapi saat kata-kata itu diguanakan hanya untuk mengais tawa dan tak ada pesan yang ingin disampaikan, lalu apa bedanya dengan obrolan ngawur yang tak ada jeluntrungannya.


Pun demikian soal agama, bisa dong kita bercanda soal agama, tapi harusnya ada ilmu yang sip dulu yang menjadi latar belakang dari setiap premis dari gugatan-gugatan yang diajukan. Soal demokrasi, perempuan, ras, dan lain-lain pun sama. Komedi stand up menurutku harusnya tidak seperti komedi saat kita berseloroh ngawur di tongkrongan ,“woo gendut”, “woo kulit ireng”, “woo kriting”, dan kemudian teman-teman tertawa bersama karena merasa lebih superior dibandingkan yang dibully. Karena aku masih yakin bahwa kulaitas dari stand up comedy memang lebih baik dari sekedar dagelan basi yang mencari tawa dari kesusahan orang lain. Karena stand up comedy dipikirkan dengan kejernihan hati dan diledakkan dengan tertawa atas ironi yang dialami. Sayangnya banyak komika di stand up hutan yang mengais tawa dengan cara mengolok-olok tanpa ada opini yang dibawa, sangat berbeda ketika acara stand up di malam pembukaan temu nasional GUSDURian yang semua komika menampilkan opini tentang keberagaman.

Sehingga, perbedaan yang paling jelas antara dua open mic itu adalah pada pesan yang dibawa, sehingga saat ada peringatan tidak boleh merekam, sangat tidak worth it dilakukan pada acara stand up hutan. Karena kembali terbentur pada bentuk tanggung jawab.

Sekali lagi, himbauan untuk tidak merekam adalah sekedar tindakan preventif dari fenomena “membuat kontroversi”, yang artinya semisal materi-materi komedi eksklusif tadi bocor ke pasar bebas, tetap bisa dipertanggung jawabkan dengan berbagai argumen yang kuat dan matang. Bukan malah sebagai sistem imun dalam membicarakan hal yang tak bisa dipertanggung jawabkan.

Wallahu A'lam
Selasa, 27 November 2018
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Sebuah Usaha Mengawetkan Ilmu Di Dalam Otak

[Sumber: kompasiana.com/marganda/]
Saya kira, saat ini tidak semua dari kita masih ingat tentang apa saja materi yang didapat saat belajar di SD dulu. Bisa jadi banyak diantara materi-materi itu telah dilupakan, baik dengan sengaja atau tidak sengaja. Bukan karena kita bergerak semakin bodoh, tapi saya kira lebih pada faktor karena ilmu itu tidak kita amalkan terus-menerus dan tidak menjadi topik perbincangan yang selalu didiskusikan setiap hari.

Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa apa yang kita lakukan setiap hari, ya itulah yang kita kuasai. Aku percaya ini dan telah mengalaminya. Dahulu, saat aku diterima kuliah di jurusan kimia secara cuma-cuma, aku cukup was-was tidak bisa mengikuti materi kimia yang saat itu aku pelajari, tidak berlebihan karena memang aku membawa nol modal dari SMA tentang ilmu kimia ini. Tapi, salah satu seniorku pernah berujar yang bersumber dari pengalaman pribadinya, bahwa tidak perlu takut tidak bisa mengikuti dan memahami kuliah di kimia, karena saat kimia sudah menjadi kebiasaan dan kita baca setiap hari, hal itu akan serta merta bisa kita pahami, cukup nikmati saja prosesnya. Dan ya, meskipun aku tidak pintar-pintar amat soal kimia, bahkan jauh dari kata mengerti, tapi setidake aku sudah tidak gugup saat membincangkan kimia dengan orang-orang yang memang ketahuan dia pintar kimia.

Lalu, yang selain kimia apa kabar? Bahasa arab, PPKn, Geografi, Sejarah, Ekonomi, Fiqih, Akidah Akhlak dan mata pelajaran lain yang dulu juga aku pelajari. Masih ingatkah tentang hal-hal itu saat ini?

Saya kira sudah banyak berkurang, meskipun tidak sepenuhnya lupa. Dan kalau tak rasa-rasa, yang aku ingat sampai saat ini ya hal-hal yang masih aku lakukan, semisal tata cara solat dan wudhu, yang kalau tidak salah itu diajarkan saat masih sekolah di tingkat dasar.

Sistem sekolah kita mewajibkan siswa-siswinya untuk memahami segala hal, baru di penghujung SMA kita diarahkan kepada hal yang kita minati, ya itupun masih amat luas sebenarnya. Sehingga potensi lupa pada materi-materi yang telah lama semakin sulit dihindari.

Karena semakin banyaknya hal yang harus kita pelajari itu, tentu semakin sulit juga kita dapat mengingat semuanya, dan merawat ilmu-ilmu tersebut.

Lantas, apakah kita memang tak bisa hidup dengan segala ilmu-ilmu tadi?

Saya kira bisa, tapi tentu dengan sebuah usaha yang tidak mudah juga, yakni dengan terus menerus dipelajari, alias selalu ada pembacaan ulang terkait materi-materi yang telah dipelajari dulu-dulu.

Karena setiap hari, kita selalu menerima informasi yang baru, bisa berupa penglihatan atau pendengaran, sehingga sistem dalam tubuh kita pun hanya menyimpan sesuatu yang paling menarik atau paling kita butuhkan. Selebihnya mungkin akan disimpan di memori jauh kita (long term memory), atau bisa jadi sudah benar-benar kita lupakan. Contoh mudahnya, bisakah teman-teman menarasikan apa saja yang terjadi kemarin dengan detail dari bangun sampai tidur lagi? Lalu kemarin lusa dan kemarin lusanya lagi? Tentu sangat sulit kan, karena memang tidak semua dapat kita ingat, kecuali yang sengaja diingat atau menarik untuk diingat.

Lalu bagaimana agar kita bisa mengingat suatu hal dengan jangka ingat yang lama?

Bisa dengan terus dipelajari, didiskusikan, bisa juga dengan diposisikan menjadi hal yang penting dalam hidup dan yang paling mujarab menurutku adalah dengan selalu dilakukan dalam hidup.

Lah, ente belajar kimia, gimana bisa diterapkan dalam hidup, kan kimia serta ilmu-ilmu teori seperti fisika dan matematika gak tergolong ilmu praktis seperti tata cara berbuat baik kepada orang tua yang jelas-jelas bisa langsung kita lakukan?

Itu memang sekaan-akan benar, tapi kalau mau dicermati, kimia itu malahan sesuatu yang tidak mungkin bisa lepas dari kehidupan kita, sehingga mempelajari kimia bisa juga menjadi ilmu memahami hidup. Saat kita menyeduh kopi, bernafas, tidur, olahraga, dan lain-lain, semuanya ada proses kimia yang terlibat, kalau kita menyadari itu, ya tentu mengetahui kimia secara lebih, bisa menjadi modal yang sangat baik dalam proses memanusiakan manusia.

Setelah ini mari kita bahas tentang dekatnya kimia dalam hidup di tulisan khusus.

Sehingga, dalam proses selalu mengulang-ulang hal yang dipelajari, membuat aku mengamini bahwa guru itu pintar bukan hanya karena beliau-beliau itu mengerti tentang apa yang beliau ucapkan, tapi beliau selalu mempelajari hal itu secara berulang-ulang. Setiap hari, setiap minggu, bulan, semester dan tahun.

Lalu, bisakah ilmu itu terlupakan, hilang atau menguap? Ya bisa saja, kalau ilmu itu tidak dibaca ulang, didiskusikan kembali, tidak dipraktekkan dan dirawat dengan baik.

Sehingga, terus belajar adalah sebuah jalan yang dapat kita lakukan dalam mencintai dan
merawat ilmu. Wallahu A’lam


Kamis, 11 Oktober 2018
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id

Kalau GUSDURian tidak berpolitik praktis, apakah itu artinya GUSDURian mengajak kadernya golput?

[karya Miftahu Ainin Jariah, termuat di miftahuaj.tumblr.com/]

“Ini berasal dari spektrum gerakan Gus Dur yang sangat luas. Gus Dur itu kan membela petani di pegunungan kendeng dari industri yang ingin menghancurkan kehidupan mereka tapi juga mendampingi TKI yang sedang mengalami tuntutan hukuman mati, jadi banyak. Karena itu, kemudian ketika Gus Dur wafat, kita kebingungan bagaimana caranya merawat pemikiran Gus Dur, akhirnya kita pisahkan antara Gus Dur sebagai politisi dan Gus Dur sebagai pejuang demokrasi dan rakyat. Nah, Gus Dur sebagai pejuang rakyat dijaga oleh Jaringan GUSDURian oleh para GUSDURian, Gus Dur sebagai politisi ini diikuti oleh para kader politik Gus Dur. Yang hari ini membuat pernyataan adalah konsorsium kader politik Gus Dur yang ada di berbagai kelompok. Sementara Jaringan GUSDURian tetap pada jalur politik kebangsaan, tidak akan masuk pada isu-isu politik praktis/politik elektoral, tapi fokus pada nilai-nilai” kurang lebih seperti itu kalimat yang diucapkan Ibu Alissa Wahid saat diwawancarai oleh Metro TV dalam merespon deklarasi dukungan Barisan Kader Gus Dur (Barikade Gus Dur) dalam menghadapi pemilihan presiden 2019 sekaligus menjelaskan posisi GUSDURian di kancah perpolitikan Indonesia saat ini.

Dari apa yang disampaikan Ibu Alissa tadi, saya semakin mafhum bahwa manusia tidaklah materi satu dimensi, yang mana tidak mungkin ada orang yang hanya berperan di satu posisi dalam hidupnya. Tidak hanya Gus Dur, tapi kita semua. Berlaku bagi mereka yang menyebut dirinya sebagai seseorang yang memiliki peran khusus -misal, Mendaulat dirinya sebagai penulis, seniman, pejuang kemanusiaan, dll- atau yang tidak mendefinisikan jalan hidupnya.

Taruh contoh, dosen saya di kimia yang secara tidak kebetulan juga sebagai pengurus Muhammadiyah DIY, tentu kita bisa sebut beliau selain sebagai ilmuwan, beliau juga sebagai organisatoris bahkan bisa jadi sebagai kiai. Ada juga dosen saya yang lain, yang kebetulan punya CV. yang mengelola konversi minyak, selain sebagai ilmuwan tentu bisa disebut juga sebagai pengusaha. Dan ada juga ibu dosen saya yang sebelum berangkat ngajar masih sempat buatin sarapan untuk anaknya, selain sebagai ilmuwan beliau juga bisa disebut ibu rumah tangga juga kan.

Nah, keniscayaan inilah yang perlu kita sadari, bahwa kita memang hidup dan proses di banyak posisi dan peran.

Seperti yang sempat diobrolkan banyak orang kemarin, saat Ibu Yenny Wahid bersama Barikade Gus Dur -sekali lagi Barikade Gus Dur, bukan GUSDURian- mendeklarasikan dukungan untuk paslon nomor 1 di pilpres tahun depan, lalu orang mulai bingung. “Katanya gusdurian tak berpolitik praktis?”, “ini pasti bisa-bisanya keluarga Gus Dur memobilisasi masa untuk salah satu paslon”, “kok jarang-jarang, ini keluarga Gus Dur dengan terang-terang mendukung salah satu calon, dulu-dulu kok gak pernah”, dan lain-lain.

Dalam merespon hal-hal itu, kita bisa kembali kepada pemahaman bahwa manusia memang memiliki banyak dimensi. Yang kita perlukan adalah sadar tentang siapa yang mendeklarasikan itu dan sedang berperan sebagai apa?. Kemudian, tentu dapat membedakan antara GUSDURian dan Barikade Gus Dur, dan saya kira sudah banyak sekali tulisan yang menjelaskan tentang ini.

Contoh yang ekstrem, kan ya boleh-boleh saja Ibu Alissa Wahid selaku penjahit Jaringan GUSDURian menunjukkan siapa pilihan beliau di pilpres mendatang, itu hak beliau sebagai warga negara, bisa memilih dan dipilih. Tapi, saya sangat yakin, kalau hal itu terjadi, Ibu Alissa tidak dalam posisi sebagai penjahit Jaringan GUSDURian, tetapi beliau sebagai warga negara yang punya hak memilih.

Sehingga, untuk orang yang proses di GUSDURian, apakah bisa berpolitik praktis?

Ya tentu bisa, kan berpolitik itu hak setiap warga negara. Siapapun boleh untuk ikut nimbrung di politik elektoral macam itu, yang tidak boleh adalah mengaku-ngaku berpolitik mewakili GUSDURian apalagi menggunakan GUSDURian sebagai alat pendulang suara seperti “pilihlah saya, saya orang GUSDURian”, “saya mewakili GUSDURian”, “GUSDURian bersepakat mengusung saya dan mendukung paslon nomor sekian” dan-lain-lain. Karena jelas di kode etik GUSDURian, bahwa GUSDURian tidak ikut berpolitik praktis.

Jadi tentu silahkan saja semua kader GUSDURian berpolitik, itu malah hal yang bagus. Ikut berpartisipasi menentukan siapa pemimpin yang dikehendaki. Ikut menyimak apa saja yang ditawarkan para calon pemimpin, menentukan pilihan kemudian mengawasi siapapun yang terpilih. Saya kira kader Jaringan GUSDURian akan sangat baik memangku peran-peran semacam itu, karena mereka semua mengamalkan nilai-nilai yang ditelurkan Gus Dur, semisal pembebasan. Dalam nilai pembabasan ini, kader GUSDURian tentu bisa menilai para calon pemimpin ini pernah punya track record yang seperti apa, kemudian ditimbang-timbang mana calon yang lebih baik dalam hal tidak membatasi akses seseorang, kemudian saat terpilih diawasi dengan mencermati setiap gagasan dan gerakan yang dilakukan dalam memimpin, sesuai atau tidak dengan janji dan nilai-nilai kemanusiaan.

Dan apakah GUSDURian mengajak untuk golput? Kan tidak berpolitik praktis?

Ya tentu tidak. Karena yang tidak berpolitik itu GUSDURian-nya, para kader GUSDURian kan tak hanya hidup sebagai GUSDURian, mereka semua punya peran sebagai warga negara juga. Memiliki hak untuk memilih, dipilih atau -mungkin- tidak perlu memilih.

Jadi, tak ada kepastian bahwa saat seseorang menyetujui suatu gagasan seseorang, akan otomatis menyetujui gagasannya seseorang yang sama di bidang yang lain. Bahkan kader Jaringan GUSDURian sendiri pun bisa saja tidak setuju dengan gagasan dan cara hidup Gus Dur, semisal dalam hal ngopi, Gus Dur suka minum kopi, tapi beliau tidak merokok, tapi banyak sekali ditemui penggerak Jaringan GUSDURian malah sebagai ahli hisab yang ulung dan juga penikmat kopi yang dahsyat.
Salam.


Sabtu, 29 September 2018
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id

Mencari Alasan untuk Bisa Berteman dengan Robot Tukang Repost Konten Dakwah

[Sumbe: pinterest.ca]
Ketika beberapa akun teman sudah berubah fokus tentang apa yang diunggah, menjadi penuh tausiah sampai bendera negara lain, sudah seperti akun buzzer politik. Saat itu aku bingung mencari alasan untuk apa aku ikuti teman-temanku itu di Instagram. Padahal awalnya ingin saling silaturahmi dan mengetahui kabar.

Awalnya memang hanya sebatas unggahan-unggahan sederhana. Tapi semakin kesini, intensitas, jumlah dan konten yang dimuat semakin memuakkan. Bahkan ada beberapa akun temanku yang nihil foto dirinya saat aku lihat feed instagram miliknya. Bukan karena gak pernah mengunggah fotonya, tetapi foto-foto yang dahulu ada kini telah pergi entah kemana. Semuanya telah berubah menjadi video dan gambar kampanye, ceramah dan kroni-kroninya. Telah hilang semua kenangan bersamanya, saat di mana kita sama-sama saling bercanda memberikan komentar pada unggahannya di sebuah foto kala itu.

Sejujurnya, kenapa aku mengikuti banyak akun teman di Instagram dari pada akun admin macam @sabdaperubahan, @NUOnline_id atau @Mokokdotco, memiliki alasan yang sederhana saja, Aku ingin tetap mengetahui kabar temanku. Dia sedang apa, di mana, melakukan apa dan meastikan tak ada yang kurang dari kebahagiaannya meskipun tidak sedang chat secara langsung.

Lalu saat semua konten akun instagram miliknya berubah menjadi penuh pengajian, lalu kabar apa yang bisa aku dapatkan? Kontennya pun tak jauh berbeda dengan akun admin yang banyak aku temui di jendela jelajah (exsplorer) instagram. Konten-konten yang ada bukan mereka sendiri yang membuat tapi hanya sekedar unggah ulang (repost). Dari situasi semacam ini membuat aku cukup berpikir untuk tetap memiliki alasan kenapa aku masih mengikutinya di instagram.

Kalau tiba-tiba aku berhenti mengikuti temanku itu, nanti dikira aku ingin memutus tali silaturahmi. Saat aku tak setuju dengan konten yang mereka unggah dan aku melaporkan ke pihak instagram, misal soal politik adu domba berbumbu SARA, nanti dikira lupa saudara. Cukup menjadi pelik persoalan remeh-temeh ini.

Sebenarnya tidak hanya konten berupa kampanye dan pengajian yang cukup membuat pusing. Tapi juga akun teman yang tiba-tiba berubah menjadi akun toko online yang kadang kala produknya sama sekali tak aku butuhkan.

Pernah kejadian, aku memiliki 2 atau 3 teman yang semula akun instagram miliknya berjalan biasa saja. Dia mengunggah foto dirinya, kadang bersama teman, dan ada juga yang bersamaku. Lalu tiba-tiba semua fotonya lenyap dan berubah menjadi kerudung, baju perempuan dan perabot plastik untuk rumah tangga.

Lalu apakah saat aku diam-diam berhenti mengikuti temanku ini karena aku merasa tidak memelukan produk yang dijualnya, membuatku masuk ke kategori orang yang ingin memutus tali silaturahmi?
Karena tidak hanya unggahan di instagram, bahkan cerita instagramnya pun berisi konten jualan dan membuatku benar-benar tak mendapat info apa-apa soal kabarnya.

Tinggal menghitung waktu, aku juga akan lupa dengan wajahnya, karena foto profilnya pun sudah berubah. Dari foto diri menjadi brand yang ia jual, ada juga yang berubang menjadi fotonya yang berlatar gambar bendera negara lain.

Sejujurnya aku masih buntu tentang alasan alternatif kenapa aku masih perlu mengikuti teman-temanku yang mengubah akunnya menjadi mini buzzer itu. Tapi aku punya beberapa solusi pada teman-temanku, antara lain:

Buka akun baru. Kenapa tidak membuka akun baru saja kalau ingin berjualan atau mengkampanyekan sebuah pandangan? Toh membuka akun baru juga tanpa biaya. Sehingga memberikan kita kesempatan memilih akun mana yang ingin diikuti, akun orangnya atau akun produknya.

beri keterangan di bio seperti “memang ini akun pribadiku tapi aku gunakan untuk berdakwah”, jadi kalau ada yang tidak sepakat dengan jalan pikirnya, kita jadi punya pilihan dan alasan untuk minimal membisukan akun teman itu.

Yang terakhir, ini solusi yang paling aku suka secara subjektif. Silahkan tetap mengunggah apapun itu, baik video dakwah, ajakan berjihad sampai jualan, tapi buat konten sendiri, tidak asal repost. Karena memang banyak di instagram itu konten kreator. Semisal dia yang pelukis, dia tak pernah memposting foto dirinya, dia hanya mengunggah hasil karyanya. Atau musisi yang selalu mengunggah saat dia memainkan alat musik, itu lebih bermutu. Jadi kalau punya pandangan, ya buat konten sendiri, buat argumen dan sudut pandang sendiri lalu buat meme secara mandiri. Itu lebih original dan tetap membuatku punya teman yang bisa berpendapat dan berargumen, tidak sekedar menjadi robot pengunggah ulang konten milik akun lain.

---
Aku cukup sadar diri dan ingin mengamalkan apa yang diajarkan Gus Dur soal “kita jangan suka membatas-batasi orang lain, kita sendiri yang harus tau batas”

Tak ada hak untuk aku mengatur-atur apalagi melarang pada mereka soal konten yang mereka unggah. Mereka bebas mengunggah apa pun yang mereka mau. Bahkan mengubah akun pribadi miliknya menjadi total sebagai akun buzzer pun tak masalah.

Tapi harus dengan cara apa agar kita tetap bisa komunikasi dan tukar kabar saat beberapa akun temanku sudah merubah isi feed IG dan konten cerita IG mereka? Apakah aku harus sering-sering chat ke masing-masing teman dan menanyakan kabarnya satu per satu?

Aku mengerti akan resiko kalau aku mulai chat satu per satu ke setiap teman. Untuk teman cowok, jawabannya ya garing saja, ala kadarnya dan kalau bisa segera selesai, sudah jadi stereotype cowok itu gak suka basa-basi. Kalau yang aku chat itu cewek nanti kenak label PDKT, terus risih kalau dichat terlalu sering. Dan yang pasti akan berjamaah ngomong “dasar kepo!”

Apakah pertemanan ini cukup sampai di sini, apakah aku yang sekedar ingin tau kabarmu dan memastikanmu tetap tersenyum sudah menerobos batas standart kepo dunia.

Atau aku yang harus belajar lagi tentang apa tujuan seseorang mengunggah sesuatu di instagram secara khusus dan sosial media secara umum?

Nampaknya memang iya, aku sendiri yang harus belajar membaca ulang alasan masing-masing orang mengunakan instagram. Karena beberapa bulan yang lalu, aku pun sempat salah paham pada para pemain game mobile lagend, saat itu aku berpikiran “kenapa sebuah permainan yang tujuannya untuk memberikan hiburan untuk diri dari kepenatan malah membutuhkan calo untuk memainkannya”. Yang semula aku mengira orang bermain game untuk hiburan seluruhnya, ehh ternyata ada juga yang sudah masuk ke gaya hidup dan membuat aku mengerti kenapa ada orang sampai menyewa jasa calo dalam bermain game mobile legend.

Kau ini bagaimana, atau aku yang harus bagaimana~
Yaudah deh, iya, aku aja yang harus bagaimana, aku belajar lagi aja. Kalau mau lanjut jadi robot pengunggah ulang konten buzzer ya monggo.

Wallahu A’lam
Rabu, 15 Agustus 2018
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id

Mengoceh Tentang Berislamnya Kita

[Sumber: alkhilafahmuslim.wordpress.com]
Jadi gini lo cah, Islam itu ya, mau dibilang satu bisa, mau dibilang beragam yo bisa. Gimana gak satu, yang disembah Tuhannya sama, ya sama-sama solat, puasa, haji dan sebagainya. Bisa juga gak satu, contohnya? mudah sekali, bentar lagi juga terlihat, bukannya tiap tahun selalu terjadi kalau mulai dan berhenti puasa ramadan di negeri ini emang gak selalu bareng-bareng. Belum lagi solat, ada yang kunut ada yang gak usah, ada yang baca bismillahnya kedengeran ada yang gak. Tarawih juga, ada yang pakek 8 rekaat ada yang 20 rekaat. Kalo Islam emang satu, kenapa dari segi cara beribadah saja berbeda?

Nah iya to, kalo udah jelas berbeda kan haruse saling menghargai, toh masing-masing cara itu ada dasarnya. Jadi ra usah lah isi ceramah itu nyacati yang laine, bilang-bilang siapa yang ngajarin wirid selepas solat iku kudu berjamaah?, rambut, celana, cara berpakaian jangan menyerupai kafir, gak ada dalilnya melakukan maulid nabi. La saiki gini lo, tiap orang kan punya cara masing-masing. Misal, ada yang pakek metode ijtihad dalam menentukan sebuah hukum, jadi mau tanya-tanya dulu sama yang mujtahid. Ada juga yang mau langsung tafsir Qur'an dan Hadis sendiri. Terus emang ada jaminan kalau yang ijtihad pasti bener? Gak ada!. La kalo yang langsung tafsir sendiri ke Qur'an dan Hadis, apa ya mesti bener? Ya sama aja!.

La kalo ada yang ngaku bener, ente fatihah emang ngelewatin baca ihdinassirotolmustaqim?. La itu udah jelas-jelas  ngaku tunjukkan aku jalan yang lurus. La kalo mintak tunjukkan, kan berarti gak ada yang punya kepastian bener to. La kalo udah pasti bener, kenapa masih minta tunjukin jalan yang lurus?. Jadi menurutku kita sama-sama mencari jalan terbaik. Kayak menyikapi soal rame-rame bom barusan. Ada yang berpendapat pengalihan isu, teroris gak islam, islam kambing hitam, ISIS menyerang, radikal islam beraksi dan sebagainya

Yang menurutku menarik, habis dibuat geger gara-gara bom, sekarang ada yang bilang teroris bukan islam. La yang melakukan bom bunuh diri juga baru selesai solat subuh. Emang solat subuh itu gak islam? Secara syariat kan udah fix dia islam, wong solat, tiang agama lo itu. La sekarang misal kalo ditanya ke teroris itu agamanya apa, terus jawabannya islam, la terus piye jal? Dibilang bukan islam, tapi mereka ngaku islam. Apa ya gak sebaiknya disebut sesat aja para teroris itu. Bukankah udah biasa juga bilang aliran ini-itu sesat. Syiah dan Ahmadiah masih inget lah ya kasusnya.

Atau, O mungkin maksudnya islam esensi? Gak hanya sariat-sariat aja? Gak hanya bisa solat tapi menebar rahmat untuk seluruh alam? Kalau iya, besok natal jangan lupa ucapin selamat ke sodara yang merayakan ya. Kalau berpendapat gini, harusnya udah lupa lah ya soal toghut, kafir dan demokrasi hukum buatan setan. Esensi kan, rahmad untuk alam kan maksudnya. Biar rukun gitu lo, sama-sama warga Indonesia kan.

Soal tindakan teroris bukan akhlak islam, bukane dari dulu kiai-kiai udah bilang gitu? Sejauh yang tak amati, Gus Mus juga sering menyerukan untuk menjaga negara. La resolusi jihad tiap tahun diperingati bukanya untuk mengenang jasa santri melawan kompeni di perang surabaya. La itu semua tujuannya untuk apa? Kan ya untuk menjaga indonesia dan menegakkan rahmatallilalamin.

Aku sejak dulu yo gak setuju kalau tindakan terorisme itu dibilang islami, aku yo percaya kalo islam itu agama yang mengajarkan cinta kasih, rahmattallilalamin. Tapi ya kalau mau jujuran, yang jadi penyebar teror ini ya banyaknya memakai wajah islam. La kayak tadi, si pelaku bom bunuh diri ini subuhnya juga jamaah di masjid, ya pakek jilbab. Lalu kenapa kedok yang paling sering digunakan adalah agama, aku si mengirae karena agama menawarkan sebuah kebenaran yang absolut.

Sekarang gini lo, mau ideologi sekeren apapun, mau partai apapun, ormas apapun, tetep aja itu semua buatan manusia. Jadi kebenarannya gak absoliut. Tapi kalau agama yang dipakek kan manteb banget, menawarkan kebenaran jelas, mengaku benar malahan, dan agama bukan buatan manusia, tapi asli dari tuhan, luar biasa keren lah. Itu kan yang diajarkan dan dipahami.

Jadi, apa yang terjadi di Surabaya harusnya dapat membuat kita ingat pada salah satu nilai hidup, yakni kemanusiaandan gak usah nyacati yang lain. Mari beragama dengan santun.
Waallahu Alam
Selasa, 15 Mei 2018
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id

Kisah Anak Baru Jogja Yang Sedang Merancang Kuliahnya Agar Lulus Khusnul Khotimah

[Sumber: http://gambarkatalucu.info]

Pada suatu masa di mana saya baru datang ke Jogja, dan tentu saya tidak mengetahui apa pun. Jangankan jajanan enak di Jogja, jalan terobosan saja tak tahu, sehingga dalam bayangan saya, jogja hanya berisi gudeg dan angkringan, heuheu, dan jalan yang diketahui ya sebatas jalan kaliurang, malioboro dan solo. Tapi itu tak penting, karena hari itu bukan saatnya jalan-jalan atau wisata kuliner, tetapi hari itu adalah masa menyusun rencana kuliah semester satu. Singkat cerita, di semester pertama ini ada beberapa mata kuliah yang sudah mencapai kuota, dan saat saya tanyakan pada kakak yang sudah kuliah di sini, itu dikarenakan banyaknya mahasiswa semester tiga yang mengambil ulang kuliah, kuliah tersebut sebenarnya diperuntukkan untuk anak-anak semester satu. Sejadilah saya panik karena tidak kebagian kursi kelas, la pripun, baru semester 1 je, kok bisa gak kebagian kelas karena terserobot kakak tingkat yang mengulang kuliah karena ingin memperbaiki nilai. Dari kepanikan itu saya putuskan jalan-jalan ke kampus untuk memastikan dan mencari jalan keluarnya. Singkat cerita akhirnya bisa kuliah juga, karena kuota kelas memang ditambah oleh admin prodi.

Setelah selesai ngurusi rencana studi, saya sempatkan duduk-duduk di lorong gedung jurusan, sekaligus menyapa teman-teman baru yang kebetulan sepanik dengan saya juga, dan berkenalan dengan kakak-kakak tingkat yang berseliweran gagah sekali, mungkin mereka sudah tahu kalau saya mahasiswa baru, ehehe.

Saat ngobrol dengan salah satu kakak tingkat yang seperti punya penerawangan jauh kedepan, la piye, seakan-akan dia tahu kalau saya sedang bingung menyusun mata kuliah dan menginginkan nilai yang tinggi saat lulus. Tiba-tiba saja dia bertanya pada saya “ambil kuliah ini dengan dosen siapa? Kalau kuliah itu dengan dosen siapa?”. Kujawab “gak tau, belum hafal nama dosennya”. Kakak itu menyambung “jangan pilih dosen ini, ini juga jangan, mending yang itu, kalau kuliah ini yang itu aja, beliau ngasih nilainya enak”. “Oooo” jawabku.

Ngeri juga ya, kuliah ternyata tidak hanya mempersiapkan  materi, waktu dan pengetahuan dasar. Tetapi juga harus merancang dengan siapa kita harus kuliah agar nilai yang keluar nantinya bisa baik dan mengangkat kita secara status sosial dalam dunia mahasiswa, uhuk, biar nanti aku lulus dengan status cum laude, hehe, bisa bikin orang tua bangga nih. Kan dari dulu kita juga sudah diajari untuk menjadi juara kelas, bukan untuk menelateni apa yang kita suka. La kalo sukamu cuma bisa bikin puisi, mau jadi apa? Dilan? Rendra? Chairil anwar? Hahaha, lak mending jadi pegawai kantoran atau PNS, kan jadwal gajiannya jelas.

Hoaakkkk, dasar calon baut-baut kapitalissss
Sssttttt. Jangan berisik anak dan istri butuh makan, orang tua juga butuh kepastian kita kerja apa, di mana dan berapa gaji kita. Itu bisa menaikkan strata orang tua kita saat arisan lo, itung-itung berbakti pada orang tua.

Selain tips memilih dosen, ternyata ada lagi tips untuk bisa menyandang gelar cum laude. Yakni tau pola jawaban yang diinginkan dosen. Yes!

Selain harus fotocopy materi dari teman yang gemar mencatat, ehemm. Maksudnya menulis ulang slide dosen. Kita juga perlu tahu karakter dosen. Dosen si ini menginginkan jawaban yang cas cis cus, sedikit saja, asal ada kata kuncinya. Kalau dosen yang itu pengennya jawaban yang panjaaannnggg, gak penting nulis apa, lirik lagu virgoun juga gak papa, asal panjang. Kan katanya sebelum memulai perang kita harus tahu medan perang. Oke siap!.

O iya ada lagi, gunakan otak dengan baik. Jangan terlalu banyak menyimpan sesuatu yang tidak perlu. Pikirkan dan hafalkan saja apa yang akan keluar di ujian. Ndak usah banyak tanya dan menghafal pada sesuatu yang aneh-aneh, apalagi mengali pengetahuan yang jelas-jelas tak masuk pada daftar pertanyaan saat ujian. Apalagi memahami, wes gak penting, cukup menghafal jawaban kisi-kisi ujian. Wes pokok jangan aneh-aneh, ingat, gunakan otak dengan efektif.

Hemm, aroma cum laude sudah tercium. Jadi untuk yang ingin aneh-aneh, berargumen lucu sampai nyeleneh, ya jangan berharap dapat nilai A. katanya ya yang dapat nilai A ya yang isi kepalanya disesuaikan dengan isi kepala dosen, kalau dosen mintak kotak ya jangan lingkaran. Kalau dosen segitiga ya jangan coba-coba segi lima. Akibatnya nanti nilai akan jadi pas-pasan, inget orang tua lo ya, apalagi untuk teman-teman yang menerima beasiswa. J a n g a n   c o b a  c o b a, i t u   b e r b a h a y a!.

La hasilnya gimana? Ha yo mbuh, aku juga belum lulus, ini lagi praktekkin tips-tips tadi. Tapi tips tadi dikeluarkan oleh orang yang tak sembarangan lo, kabarnya emang punya nilai yang tinggi, jadi kebenarannya hampir dapat dipastikan, heuheu, Nanti kalau sudah lulus dan tips ini bener-bener terbukti berhasil, tak tulis laporannya. Heuheu

Selamat belajar, selamat hardiknas.
Wes pokok selamat lah. Kita kan emang suka yang seremonial kek gitu.
Merdeka!
Rabu, 02 Mei 2018
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Cadar Di Fakultas MIPA

[Sumber: islamidia.com] 
“Saat ini sedang banyak kegaduhan, kalian merasakan ndak?” pertanyaan itu tiba-tiba memecahkan hening kelas yang belum dimulai. Kami semua diam, lalu pengajar itu melanjutkan berbicara “dunia maya, tapi tidak gaduh soal sepak bola”. Salah satu diantara kami ada yang nyeletuk “cadar”, kemudian pengajar ini menimpali “iya, cadar. Bagaimana menurut kalian?” lalu kelas ini mulai ramai dan ada beberapa mahasiswa unjuk argumen. Suasana yang menurutku cukup aneh, apalagi ini adalah kelas di fakultas MIPA. Apakah sampai sebegitu gemparnya info pelarangan cadar ini, sampai-sampai salah satu kelas di fakultas MIPA harus menyisipkan diskusi tantang cadar diantara materi kelas yang membicarakan energi, panjang gelombang dan interaksinya dengan molekul?

Terlihat pengajar ini begitu antusias membahas masalah cadar, bahkan sedikit tendensius ke salah satu sisi antara yang menerima dan menolak. Beberapa mahasiswa juga mulai berargumen dari persepektif syariat sampai hak asasi manusia. Kata mereka cadar itu lebih disepakati para ulama memiliki hukum sunnah sampai tentang dilanggarnya hak asasi manusia untuk berpakaian. Percakapan ini terjadi beberapa hari setelah surat larangan cadar di UIN Jogja mengudara, dan meskipun tertanggal 10 kemarin surat tersebut telah dicabut, nampaknya masih menarik juga soal cadar ini ditulis.

Tentang cadar ini saya teringat pada salah satu isi ceramah Kiai Ahmad mustofa Bisri, beliau pernah menyampaikan “Rasul itu berjenggot, Abu Jahal dan Abu Lahab juga berjenggot, yang membedakan keduanya adalah budinya, Rasul itu wajahnya bassam, bassam itu wajahnya tersenyum, tidak hanya bibir yang tersenyum, tapi wajah, kalau Abu Laham dan Abu Jahal mukanya sangar, jadi terserah mau berjenggot atau tidak, yang penting wajahnya mau tersenyum atau sangar”.

Dari sana saya mendapatkan bahwa jenggot itu bukan urusan orang Islam, karena Abu jahal dan Abu Lahab juga demikian, tapi itu urusan orang Arab. Sehingga kita bisa membedakan mana yang ciri orang Islam dan ciri orang Arab.

Saya kira selain soal tampilan, kita memang harus benar-benar introspeksi diri, bagaimana tidak, wong ada orang yang sebal pada lainnya dengan omelan “mbok ya ojok kearab-araban, dikit-dikit barokallah fi umrik, jazakumullah, safakillah” tapi dirinya berucap HBD, Thanks dan GWS.

Ada juga orang yang ngomel-ngomel ke orang lain “berpakaian kok celana ketat kayak orang barat, rambut dipotong tipis bawah, gak punya jenggot malah pelihara kumis, gitu ngaku Islam, Nabi yang mana tuh yang ditiru” tapi dia sendiri berpakaian gamis kayak orang arab padahal lahirnya di Jawa.

Saya rasa kita harus benar-benar perlu membedakan mana yang urusan agama dan mana yang produk budaya. Karena setahuku saat melihat pertandingan bola dengan streamming via stasium Arab Saudi seperti channel yalasoot, mereka juga berteriak “allah ya allah, messi, gol gol gol” dan sebelum pertandingan juga berucap assalamualaikum. Apakah ini juga tanda bahwa ucapan assalamualaikum adalah urusan bahasa bukan agama yang artinya sama dengan selamat sore, serta saat komentator berucap “ya allah, messi, gol gol gol” itu semakna dengan “ya tuhan, egi messi kelok sembilan, gol gol gol”?. Toh tak ada hubungannya juga antara sepak bola dengan islam, kenapa ada ucapan assalamualaikum dan Allah di sana?

Mas Dandhy Dwi Laksono melalui cuwitannya juga memberikan argumen yang sangat bagus, bahwa  “cadar tidak sama dengan terorisne atau intoleransi. Sebab kita menolak sama bodohnya dengan mereka yang menganggap palu arit adalah simbol kejahatan”. Sehingga tak serta merta bercadar pasti teroris dan yang palu arit pasti jahat. Diskusi tentang itu sangat panjang, tak selesai hanya dengan sumber jarene ustad itu jarene tuan itu salah ini itu.

Ini akan sama dengan permisalan bahwa aku memilih berkaos dan hanya berlindung jaket untuk bisa masuk fakultas. Boleh orang tak suka dan bilang “apa sih kuliah gak sopan gitu, kaosan oblong”, tapi tak boleh orang memaksaku untuk selalu memakai kemeja, toh berjaket juga tak melanggar aturan fakultas.

Dan yang terakhir, kenapa urusan cadar ini sebegitu hebohnya? Kalau urusan hukum kita terima bahwa cadar itu sunnah, tapi apa tidak lebih penting memperhatikan urusan orang yang dibacok saat melakukan ritual agama di suatu gereja di sleman? Membacok menurutku jelas-jelas dilarang, itu diharamkan. Apakah persoalan haram sekarang jadi kalah menarik dari pada sunnah?. Kalau soal hak asasi berpakaian yang dirampas, percobaan membunuh orang saat beribadah apa kurang tegas untuk contoh perampasan hak hidup dan beragama? Kenapa persoalan penyerangan gereja di sleman pada minggu pagi beberapa minggu yang lalu kalah antusias dibicarakan dari pada urusan cadar?

Untuk orang yang belajar di fakultas MIPA dan tak begitu paham tentang  komunikasi dan media, saya hanya bisa mbatin demikian. Kenapa diskusi sampai sosial media kita seperti ini.

Wallahu A’lam
Rabu, 21 Maret 2018
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Golongan Mahasiswa Menukil Imam Ghazali

 

Dalam kesempatan solat jumat yang tak sekalipun merasakan ngantuk saat khotib berkhutbah adalah hal pertama yang harus disyukuri. Hari ini, jumat 2 februari 2018, saya berkesempatan solat jumat di masjid kampus UGM. Dalam kesempatan ini, saya mendengar dengan cukup detail apa yang disampaikan khotib, meskipun ada beberapa kata berbahasa arab yang terlupakan.

Hal yang perlu disyukuri untuk yang ke dua adalah isi dari khutbah yang saya kira berhubungan sekali dengan kondisi akademik kampus minggu ini. Untuk mahasiswa UGM, minggu ini adalah minggu yang diisi dengan penantian nilai hasil belajar semester sebelumnya dan mengisi rencana kuliah semester mendatang.

Dalam khutbah, khotib menjelaskan derajat manusia tentang kualitas hubungan kehidupan dunia dan akhirat yang menukil klasifikasi dari Imam Ghazali. Imam Ghazali membagi kualitas manusia menjadi 3 golongan. Diurutkan dari yang paling rendah adalah mereka yang rugi, disusul dengan yang beruntung dan yang terakhir atau yang paling tinggi adalah manusia yang telaten.

Manusia yang rugi adalah manusia yang terbujuk oleh dunia sampai melupakan hidup setalah mati. Lalu manusia dengan kategori beruntung adalah manusia yang tak terbujuk dunia tapi bekal juga tak terlalu cukup, tapi mereka masuk dalam keselamatan, karena keberuntungan, keberuntungan itu bisa hadir dari sesuatu yang tidak disadari. Dan yang terakhir adalah kategori manusia yang telaten, manusia telaten adalah golongan manusia yang mempersiapkan bekal dengan cukup, sehingga dapat hidup baik setelah mati. Mereka fokus mempersiapkan akhirat, tapi tak lupa dengan dunia yang juga perlu biaya.

Mungkin banyak dari kita yang akan memilih menjadi manusia dalam kategori telaten. Bisa karena ingin di posisi derajat paling tinggi atau juga karena memang ingin mempersiapkan hidup di dunia dan di akhirat tanpa terpikirkan menjadi yang terbaik. Terminologi ini saat kita tarik dalam situasi belajar kita, mungkin kira-kira hasilnya akan seperti ini: rugi adalah manusia yang tak belajar dan tak mengerti, beruntung adalah belajar tapi tak begitu paham tapi hasil belajar kadang-kadang masih ada yang bagus, dan telaten adalah mereka yang giat belajar dan mengerti apa yang telah dipelajari. Sementara hidup enak di akhirat bisa diartikan dengan nilai hasil belajar.

Orang yang rugi tentu akan mendapat nilai kecil dan orang yang telaten akan mendapat nilai besar. Sementara untuk yang beruntung masih tak dapat dipastikan hasil belajarnya. Dengan usaha-usaha yang dibuat, tentu hasil akan sesuai dengan apa yang kita usahakan. Kalau kita seadanya dalam belajar, ya akan mendapat hasil yang seadanya. Kalau kita giat belajar, ya akan mendapatkan sesuatu yang banyak. Lalu mari kita ingat-ingat lafadl doa kita, adakah diantara jajaran doa kita yang memohon hasil jujur dan sesuai kualitas usaha kita dan disesuaikan dengan pemahaman kita?

Kalau belajar kita masih dalam kategori seadanya, apakah kita akan berdoa “Ya Tuhan, berikan hamba nilai yang sesuai dengan usaha hamba” ataukah kita selama ini memohon-mohon mendapat nilai yang baik bahkan sempurna dengan usaha yang sangat seada-adanya?

Kalau selama ini kita masih seperti ini, bukankah kita malah bersedia menjadi golongan yang beruntung saja dan tidak menginginkan masuk dalam golongan telaten?


Wallahu A’lam
Menolak berhenti membaca!
Rabu, 07 Februari 2018
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Popular Post

Tengok Sahabat

Diberdayakan oleh Blogger.

Top Stories

About

- Copyright © Tigabelas! -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -