- Back to Home »
- Embun »
- Cadar Di Fakultas MIPA
Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id
Rabu, 21 Maret 2018
[Sumber: islamidia.com] |
“Saat ini sedang
banyak kegaduhan, kalian merasakan ndak?” pertanyaan itu tiba-tiba
memecahkan hening kelas yang belum dimulai. Kami semua diam, lalu pengajar itu
melanjutkan berbicara “dunia maya, tapi tidak gaduh soal sepak bola”. Salah
satu diantara kami ada yang nyeletuk “cadar”, kemudian pengajar ini
menimpali “iya, cadar. Bagaimana menurut kalian?” lalu kelas ini mulai ramai
dan ada beberapa mahasiswa unjuk argumen. Suasana yang menurutku cukup aneh,
apalagi ini adalah kelas di fakultas MIPA. Apakah sampai sebegitu gemparnya
info pelarangan cadar ini, sampai-sampai salah satu kelas di fakultas MIPA
harus menyisipkan diskusi tantang cadar diantara materi kelas yang membicarakan
energi, panjang gelombang dan interaksinya dengan molekul?
Terlihat pengajar ini
begitu antusias membahas masalah cadar, bahkan sedikit tendensius ke salah satu
sisi antara yang menerima dan menolak. Beberapa mahasiswa juga mulai berargumen
dari persepektif syariat sampai hak asasi manusia. Kata mereka cadar itu lebih
disepakati para ulama memiliki hukum sunnah sampai tentang dilanggarnya hak
asasi manusia untuk berpakaian. Percakapan ini terjadi beberapa hari setelah
surat larangan cadar di UIN Jogja mengudara, dan meskipun tertanggal 10 kemarin
surat tersebut telah dicabut, nampaknya masih menarik juga soal cadar ini
ditulis.
Tentang cadar ini
saya teringat pada salah satu isi ceramah Kiai Ahmad mustofa Bisri, beliau
pernah menyampaikan “Rasul itu berjenggot, Abu Jahal dan Abu Lahab juga
berjenggot, yang membedakan keduanya adalah budinya, Rasul itu wajahnya bassam,
bassam itu wajahnya tersenyum, tidak hanya bibir yang tersenyum, tapi
wajah, kalau Abu Laham dan Abu Jahal mukanya sangar, jadi terserah mau
berjenggot atau tidak, yang penting wajahnya mau tersenyum atau sangar”.
Dari sana saya
mendapatkan bahwa jenggot itu bukan urusan orang Islam, karena Abu jahal dan
Abu Lahab juga demikian, tapi itu urusan orang Arab. Sehingga kita bisa
membedakan mana yang ciri orang Islam dan ciri orang Arab.
Saya kira selain soal
tampilan, kita memang harus benar-benar introspeksi diri, bagaimana tidak, wong
ada orang yang sebal pada lainnya dengan omelan “mbok ya ojok
kearab-araban, dikit-dikit barokallah fi umrik, jazakumullah, safakillah” tapi
dirinya berucap HBD, Thanks dan GWS.
Ada juga orang yang
ngomel-ngomel ke orang lain “berpakaian kok celana ketat kayak orang barat,
rambut dipotong tipis bawah, gak punya jenggot malah pelihara kumis, gitu
ngaku Islam, Nabi yang mana tuh yang ditiru” tapi dia sendiri berpakaian gamis
kayak orang arab padahal lahirnya di Jawa.
Saya rasa kita harus
benar-benar perlu membedakan mana yang urusan agama dan mana yang produk
budaya. Karena setahuku saat melihat pertandingan bola dengan streamming
via stasium Arab Saudi seperti channel yalasoot, mereka juga berteriak “allah
ya allah, messi, gol gol gol” dan sebelum pertandingan juga berucap
assalamualaikum. Apakah ini juga tanda bahwa ucapan assalamualaikum adalah
urusan bahasa bukan agama yang artinya sama dengan selamat sore, serta saat
komentator berucap “ya allah, messi, gol gol gol” itu semakna dengan “ya tuhan,
egi messi kelok sembilan, gol gol gol”?. Toh tak ada hubungannya juga antara
sepak bola dengan islam, kenapa ada ucapan assalamualaikum dan Allah di sana?
Mas Dandhy Dwi
Laksono melalui cuwitannya juga memberikan argumen yang sangat bagus, bahwa
“cadar tidak sama dengan terorisne atau intoleransi. Sebab kita menolak
sama bodohnya dengan mereka yang menganggap palu arit adalah simbol kejahatan”.
Sehingga tak serta merta bercadar pasti teroris dan yang palu arit pasti jahat.
Diskusi tentang itu sangat panjang, tak selesai hanya dengan sumber jarene
ustad itu jarene tuan itu salah ini itu.
Ini akan sama dengan
permisalan bahwa aku memilih berkaos dan hanya berlindung jaket untuk bisa
masuk fakultas. Boleh orang tak suka dan bilang “apa sih kuliah gak sopan gitu,
kaosan oblong”, tapi tak boleh orang memaksaku untuk selalu memakai kemeja, toh
berjaket juga tak melanggar aturan fakultas.
Dan yang terakhir,
kenapa urusan cadar ini sebegitu hebohnya? Kalau urusan hukum kita terima bahwa
cadar itu sunnah, tapi apa tidak lebih penting memperhatikan urusan orang yang
dibacok saat melakukan ritual agama di suatu gereja di sleman? Membacok
menurutku jelas-jelas dilarang, itu diharamkan. Apakah persoalan haram sekarang
jadi kalah menarik dari pada sunnah?. Kalau soal hak asasi berpakaian yang
dirampas, percobaan membunuh orang saat beribadah apa kurang tegas untuk contoh
perampasan hak hidup dan beragama? Kenapa persoalan penyerangan gereja di
sleman pada minggu pagi beberapa minggu yang lalu kalah antusias dibicarakan
dari pada urusan cadar?
Untuk orang yang
belajar di fakultas MIPA dan tak begitu paham tentang komunikasi dan
media, saya hanya bisa mbatin demikian. Kenapa diskusi sampai sosial
media kita seperti ini.