Archive for 2016

Ternyata Jujur Memang Susah

Sumber: Liputan6.com

Malang, 25 Desember 2016

Selamat sore pemirsa, kembali lagi dengan saya “si tukang curhat di blog” yang ingin meng-istiqomah-kan diri kembali untuk memenuhi beranda, bacaan sampai dunia pikir dan wacana pemirsa semuannya.

Iklim akademis yang masih penulis rasakan sedikit banyak telah membentuk pola pikir serta kebiasaan dalam hidup saya. jadi selama satu semester ini, penulis yang sudah lepas dari jabatan mahasiswa tidak serta merta membuat penulis jauh dari dunia akademis kampus. Karena penulis beberapa kali masih ditanya perihal materi kuliah, penelitian sampai latihan soal.

Untuk teman-teman yang berafiliasi dengan fakultas sains dan teknologi dan/atau MIPA pasti tak asing dengan yang namanya praktikum. Ya anggap saja praktikum adalah mini riset yang dilakukan setiap mahasiswa tiap semester. Kenapa saya namakan mini riset? Tentu karena itu perbuatan ilmiah dan menguji sesuatu hal yang bisa di lakukan berulang-ulang, serta dalam sekala mini atau simpel atau receh atau temeh-temeh atau apalah, yang pasti riset yang rata-rata satu sore sudah selesai.

Ngobrol-ngobrol soal praktikum, penurut penulis adalah hal yang asik, unik dan asoy, karena selain pernah dicurhati, penulis juga pernah curhat soal itu. Tiga setengah tahun penulis bergelut dengan mata kuliah praktikum blablabla sehingga seru sampai sendu soal praktikum Insaallah tau. Dan saat ini saya ingin bercerita tentang kegaduhan praktikum itu.

---

Seperti yang telah penulis kemukakan di muka, bahwa praktikum adalah mini riset, sehingga kaidah antara praktikum dan penelitian adalah sama. Dalam kaidah riset secara universal kita akan mengenal kaidah tidak apa-apa salah tapi harus jujur. Ini berlaku di praktikum, tidak apa-apa salah tapi mesti dan kudu jujur. Tetapi yang unik adalah soal bagaimana dosen-dosen, laboran sampai asisten itu bertindak dan memperlakukan praktikan. Setidaknya kalau ini tidak terjadi disetiap kampus, ini terjadi di jurusan penulis yang tercinta.

Dalam kejadiannya setiap praktikum, semuanya dilakukan dalam sekala sempurna, dan yang dikategorikan sempurna adalah kesesuaiian dengan hipotesa. Menurut penulis ini aneh sekaligus geli. Mungkin ada yang beropini balik “ini kan praktikum, sudah hal yang lumrah, hasilnya adalah kebenaran yang universal dan semua saintis tau, beda lah sama penelitian sunguhan yang sifatnya mencari hal-hal baru”.

Oke lah ya, praktikum adalah sesuatu yang sangat lumrah dan hasilnya sudah menjadi kebenaran universal. Tapi bukankah saat kita mematok hasil sempurna dalam sekala kesesuaian dengan hipotesa akan berakibat pada matinya kejelian nalar dan analisis seseorang. Selain itu, saat seseorang dikejar untuk benar tentu akan timbul efek menurunnya rasa jujur.

dalam proses kreatif penelitian, sebenarnya penulis sedikit banyak melihat pada penelitian lapangan sosial science. Yang mana kebenaran tentu akan sangat sulit dicari. Dalam sebuah quisioner penelitian, tentu setiap responden punya pilihan untuk menjawab asal bahkan ngawur, tetapi saat dihadapkan dengan hal seperti itu, apakah penelitian serta merta gagal? kan tentu tidak, yang diperlukan adalah sikap jujur peneliti, bukan hanya keseuaian dengan hipotesa.

Bukan berarti hipotesa itu tak penting, tetapi menurut penulis jujur adalah lebih penting. Karena salah bisa diperbaiki, tetapi dengan hasil sesuai hipotesa tapi melalui jalan tak jujur, apakah ini bisa dipertanggung jawabkan?

Jadi saudara-saudaraku yang budiman, yang sudah, akan dan sedang penelitian. Apapun penelitian kita dan sekalanya sebesar apa, yang perlu diperhatikan adalah semangat jujur dalam mengatakan hasil penelitian kalian. Memang kadang kala pembimbing kalian ada yang hanya mengejar kesesuaian dengan hipotesa dan saat hasil kalian tidak sesuai hipotesa kalian akan ditanya “gimana kamu ini ngelabnya? Bisa apa ndak ngoprasiin alatnya? Kok gak teliti ngelabnya?” maka dari itu BERSABARLAH, hehehe

Tidak tidak, tentu masih ada banyak cara. Selain terus merusaha memperbaiki proses di dalam laboratorium, menjelikan analisis dan memperkaya literatur itu sangat penting.

---

Dan untuk yang terakhir mari kita tutup ini semua dengan bersama-sama bernyanyi we wish you a merry chirstmas. Selamat natal untuk kalian yang merayakannya.


Wallahu A’lam
Minggu, 25 Desember 2016
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Sosial Media: "Obat Yang Ampuh untuk Lupa Daratan"

Sumber: @buka.pikiran

Malang, duapuluh enam November 2016

Dunia sosial media memang sering membuat orang lupa apa saja. Tak hanya soal waktu, bahkan lupa pada dirinya sendiri. 

Baru beberapa hari yang lalu kejadian yang unik dan menampar siapa saja terjadi, tepatnya di rumah Jack Dorsey pemilik sosial media Twitter. Aktornya tak lain tak bukan akun @gusmusgusmu. 

Kisah bermula saat akun Kiai yang penulis hormati itu berkicau menanggapi isu rencana solat Jumat di jalan raya. 

Tak lebih hanya ada 7 kultwit dan beberapa twit pelengkap saja yang di kicaukan @gusmusgusmu. Namun sudah membuat gempar nyaris panik pemeluk ajaran panikisme. 

Nah, tamparan pertama jelas. Kita sebagai penguna sosial media masih saja bertingkah sebagai member yang reaksioner. Padahal sudah jelas dari kultwit yang dikicaukan @gusmusgusmu bahwa yang dikomentari adalah perihal sojum alias solat Jumat di jalan raya. 

Kalau dicermati dari pemegang ajaran panikisme, mereka mengira Gus Mus berujar soal demo, sojum dan solat id di lapangan, manufer politik serta tunggang-menunggang kepentingan di demo membela Al Qur'an. padahal jelas yang dikritisi adalah sojum di jalan raya.  

Yang menjadi semakin geli adalah mereka yang beraliran panikisme biasanya berafiliasi dengan ajaran sheriyah. Mereka hobi sekali mengapresiasi sebuah gagasan yang disampaikan lewat esai sederhana, mereka murah berbagi dan saling menyebar informasi, biasanya akan kita temui juga kata-kata seperti "yang setuju shere, untuk saudara muslim kita". Nah pertanyaan lanjutannya adalah, kalau twit yang karakternya hanya maskimal 140 kata mereka salah tangkap, bagaimana dengan esai-esai yang mereka shere, esai itu sampai 1000 kata? 

Oke, kita lanjut ke tamparan kedua. Tamparan ini akan asik saat disampaikan dengan arogan dan dalam bahasa Jawa seperti ini "makane, cocotmu iku dijogo!". Kurang lebih seperti itu.

Cocot yang menjadi titik tekan memiliki arti dalam bahasa Indonesia adalah mulut. dengan kejadian ini, kita harus benar-benar mawas diri dan berhati-hati menjaga mulut. 

Kalau kita dapat merespon kegelisahan para calon pelaku sojum di jalan, dan menangkap reaksi-reaksi yang mereka tunjukan -yang paling fenomenal adalah munculnya perkataan "bit'ah ndasmu!" dari akun @panduwijaya_- dan para santri @gusmusgusmu geram karena perkataan yang kasar dari @panduwijaya_. harusnya kita juga memikirkan nasib para pendukung ulama' pembela Al-Quran dan gerakan sojum di jalan. memangnya mereka para calon pelaku sojum di jalan dan pembela Al Qur'an tak marah saat ada orang yang mencaci ulama' panutannya? Jadi lebih baik menjaga mulut saja. Berbeda pendapat itu Sunnah, terpecah belah yang jangan, karena inilah konsekuensi dari hidup sebagai manusia. 

Tuhan membuat kita berperan menjadi manusia di bumi ini karena dirasa kita bisa hidup saling menghargai dengan mereka yang berbeda. Kalau kita tak bisa hidup berdampingan dengan yang berbeda, kita akan di buat Tuhan menjadi sapi, anjing atau burung camar yang selalu seirama. Jadi optimislah, kita pasti bisa menghargai dan berdampingan dengan yang berbeda. Mari berusaha.

Yuk lanjut ke tamparan yang ketiga. Kemarin tanggal 25 diperingati sebagai hari guru Nasional. Kalau kita berbincang guru, kita bisa kembali pada adagium klasik Jawa yakni "Guru iku digugu lan ditiru" artinya guru adalah orang yang dapat dipercaya dan diikuti ucapannya. 

Tepat pada tanggal 25 itu juga @panduwijaya_ bertandang ke Lateh Rembang untuk meminta maaf langsung pada Gus Mus karena jompolnya kepleset sampai terketik kata-kata "bit'ah ndasmu!". Dan respon yang diberikan Gus Mus kurang lebih seperti ini "tak ada yang perlu dimaafkan, kesalahannya hanyalah mengunakan kata khusus di tempat umum" sangat meneduhkan. 

Perihal maaf memaafkan memang perkara yang mudah di teori tapi sulit dilakukan apalagi oleh mereka yang mudah baper. Saat tak ada masalah mereka ingin negeri khilafah, saat ada masalah mereka berujar "ini negara hukum, maaf saja tak cukup", rumit bukan soal maaf memaafkan? Sampai merubah ideologi lo.

Yaudah lah ya, terserah anda mau pilih guru yang mana. Semoga refleksi hari guru kemarin menempatkan kita dipilihan guru yang tak hanya pintar tapi juga meneduhkan.

Sebenarnya masih ada tamparan lagi, cumak penulis keburu lupa, semoga masih ada umur untuk melanjutkan diskusi ini. Dan penulis juga tak minta dipercaya apa-apa yang sudah ditulis di esai ini, karena ini hanya esai mendekati curhatan. Ini bukanlah fatwa, tak patut diikuti, diamalkan apalagi sampai dibela. Hahaha

Wallahu a'lam 



Sabtu, 26 November 2016
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Pendidikan, Tersisih dan Menjadi Tamu di Rumah Sendiri

Sumber: smpn1tasikmalaya.blogspot.com

Malang, Delapanbelas Nopember 2016

Menerawang pendidikan negeri ini lama kelamaan saya silau juga dengan bentuk yang ada. Selain karena isu yang sudah banyak membanjiri dunia pendidikan dari mahalnya biaya, minimnya infrastruktur sampai kualitas pendidikan yang kadang kala tak pernah sampai pada ranah perbaikan moral.

Isu-isu yang beredar belum juga di selesaikan, isu yang lain pun akan terus bermunculan dan semakin membuat pening kepala para pemerhati pendidikan.

Isu mainstrem terkait kebobrokan moral pelajar sudah menjadi hal yang sangat biasa. Berbahaya bukan?

Padahal perbuatan tak senonok seorang pelajar harusnya menjadi masalah yang serius dan menjadi perhatian, tetapi karena terlalu sering bahkan sangat dekat dengan kita menjadikan hal ini isu mainstream.

Terlepas dari berbagai isu yang sudah beredar, kali ini penulis ingin berkontribusi pada pendidikan Indonesia dengan menambah dua lagi masalah yang acap kali membuat kita semakin pening melihat pendidikan di negeri sendiri.

---

Kita ketahui bahwa pendidikan yang sekarang diterapkan di Indonesia dan disebut masyarakat sebagai pendidikan formal adalah buah karya kaum kolonial yang sempat berkuasa atas negeri ini beberaa tahun yang lalu.

Lalu, apakah sebelum kolonial masuk ke Indonesia pribumi tak punya sistem pendidikan? Dengan lantang kita bisa katakan “tidak”. Sebelum kolonial masuk, kita sudah punya sistem pendidikan, semisal padepokan silat dan pondok pesantren.

Lalu, apakah sistem pendidikan karya kolonial yang sekarang kita terapkan salah?

Silahkan berpendapat, kadang kala bisa benar kadang kala bisa salah, tetapi kalau versinya bapak pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantoro, sistem pendidikan kita saat ini hanya mencetak generasi kuli.

Kok kuli? Bukankah kuli hanya titel yang disandang mereka yang kurang beruntung tak mendapatkan pendidikan formal atau mereka yang hanya bisa sekolah sampai setingkat SD.

Kita perlu mengakui bahwa Ki Hajar Dewantro itu bukan orang bodoh, segala tutur pasti dipikir dan ada maksud, lalu kenapa beliau menyebut pendidikan sekarang hanya mencetak kuli?

Kalau versi penulis, ini semua dikarenakan fokus pendidikan saat ini hanya untuk mendapat ijazah. Ijazah menjadi benda yang maha sakti saat ini. Karena dengan ijazah dapat mengantarkan kita berkarir di segala perusahaan. Semakin tinggi pendidikan kita, perusaan yang bersedia menerima kita pun akan semakin besar dan iming-iming jabatan yang sangat tinggi. Ujung dari ijazah adalah kita kerja dan bahagia dengan ukuran banyak uang alias kaya.

Tepat sekali, karena dengan ijazah kita bisa melamar kerja, karena itulah, selama kita ikut di perusaan orang lain, setinggi apapun jabatan kita, kita tetap menjadi kuli.

Pendidikan saat ini yang hanya berorientasi ijazah, selain mencetak generasi kuli, juga menjadi miskin muatan moral. Sistem target materi membuat penyampaiyan materi kering akan nilai-nilai moral. Karena yang menjadi beban guru bukanlah kualitas moral yang semakin membaik, tetapi terselesaikannya kurikulum tiap hari meskipun harus menangalkan khasanah nilai-niali moral.

Karena itu pula pendidikan kita saat ini menjadi sangat jauh dari nuansa keagamaan, bahkan agama adalah sesuatu yang berbeda dari pendidikan. Tak usah melakukan penelitian terkait hal ini, anda tak percaya pun tak masalah. Nyatanya untuk kalian yang bersekolah di SMA dan Universitas asuhan kemenristek ada mata pelajaran atau mata kuliah khusus agama, dan teman-teman kalian yang besekolah di Aliyah atau Universitas Islam kalian anggap lebih religius.

Pertanyaanya? Untuk apa harus ada mata pelajaran atau mata kuliah agama? Karena pendidikan dan agama sudah menjadi hal yang berbeda.

Satu sinis penulis pada pendidikan khas kolonial adalah menjauhkan pendidikan dari nuansa keagamaan yang menyejukkan dan membuat penyampaian materi kering dari nilai moral.

Selanjutnya pendidikan karya kolonial juga tak berpihak pada mereka yang tak pintar.

Lo kok bisa? Bukannya pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa.

Kalau tak percaya, silahkan tenggok gejolak dunia pendidikan di bulan-bulan juni sampai agustus, di sana akan kalian temui segerombolan orang yang berhasrat sekolah dan berbondong-bondong mendaftar ke sekolah idaman. Tapi ada di antara mereka yang bernasip buruk. Mereka di tolak bersekolah di sekolah idaman.

Benar sekali, di tolak bersekolah karena gagal tes.

Untuk kalian yang ingin bersekolah di SMA atau universitas favorit, kalian sudah harus pintar terlebih dahulu. Tak bisa kalian melengang dengan santai dan bersekolah disana hanya bermodal hasrat.

Sehingga pendidikan kita saat ini tak ramah pada mereka yang ingin bisa, karena sekolah-sekolah saat ini hanya mau menerima mereka yang sudah pintar, bukan untuk menerima kalian yang ingin pintar.

Selanjutnya, mereka yang sudah ditolak sekolah-sekolah favorit akan menghampiri sekolah-sekolah non ungulan yang mau menerima buangan calon siswa sekolah favorit. Seperti itu saja dan akan sama-sama berorientasi ijazah dan menciptakan generasi kuli.

Bedakan dengan pendidikan yang sudah ada di nusantara sebelum kolonial masuk, pondok pesantren dan padepokan silat. Pernah mendengar cerita ada orang di tolak mondok dan bergabung di padepokan karena mereka tak bisa membaca tulisan pegon atau merek belom bisa kuda-kuda?

Sekarang kalau sudah seperti ini, pendidikan siapa yang lebih mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara kita?

Kita akan sulit keluar dari jeratan sistem semacam ini, tapi bukan berarti tak bisa. Karena itu mari kita semua sebagai anak bangsa yang lahir dari rahim rakyat mensejahterakan rakyat.

Semoga Ki Hajar Dewantoro tentram di alam sana dan semua pengasuh pondok pesantern, padepokan silat serta semua yang merawat pendidikan khas nusantara tetap lestari di tanahnya sendiri.

Wallahu A’lam
Jumat, 18 November 2016
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Teken Kiai Hasyim Asyari

Sumber: http://www.muslimoderat.com

Sudah hampir satu dekade aku tak bercanda ria dengannya, teman satu kamarku di pondok pesantren Rhaudatut Thulab Paciran Lamongan. Memang secara dzhohiriyah aku dengannya tak ada yang spesial, karena memang temanku sekamar tak hanya dia, tetapi secara batiniyah dan mungkin juga hanya batin kita berdua saja yang tau kalau aku dan dia memiliki hubungan sangat dekat. 

Namanya Aisyah, gadis asal Desa Tejoasri yang berparas pas. Memang pas menurutku, tanpa dia dandan kita bisa mengatakannya cukup cantik dan tak jelek-jelek banget. Tetapi memiliki kecerdasan yang diakui seangkatan kami, kecerdasannya diatas rata-rata. 

Sejatinya bukan karena dia menawan atau pintar kita berdua sangat dekat, bahkan selama aku bertemu dan berkawan baik dengannya dulu, tak pernah sekalipun aku menyanjung karena kualitas ilmu dan parasnya. Namun karena ada sesuatu hal yang tak dapat disampaikan dengan bahasa manusia, semacam dorongan magis yang ujuk-ujuk membuat aku dekat dengannya. Semacam aku sudah dituntun untuk berkawan dengannya. Dorongan yang meminta aku berkawan agar sedapat mungkin membantu aku belajar dan mengontrol emosi darinya. Karena memang aku akui sendiri sebelum berkenalan dengannya, aku sangat mudah marah dan sensitif. 

Aku terakhir bertemu dengannya dua tahun yang lalu saat dia baru melahirkan anak pertama. Saat itu aku bermain ke rumahnya tak cukup lama, karena aku bersama ibuku yang kebetulan juga akrab dengannya. Dan saat ini, momen yang mengembirakan, Aku ingin membuat kejutan untuknya dengan bermain kesana tanpa bilang-bilang. Dulu dia selalu mengatakan “main saja ke rumah, aku pasti sangat senang. Tak usah repot bawa oleh-oleh. Aku punya sedikit kebun yang cukup untuk menjamumu, bahkan saat kau ingin bermain kesana beberapa malam aku tak keberatan. Di dekat rumahku ada mushola dan kebetulan ada madrasah diniah untuk anak-anak sekolah dasar, kamu pasti suka bermain dengan anak-anak itu bukan”. Tapi baru kali ini aku dapat merealisasikan permintaanya untuk bermain kesana. 

Sungguh momen yang menyenangkan, bukan hanya karena tiga hari yang lalu anaknnya berulang tahun, tetapi karena ini tanggal 21 Oktober. Dan esok tanggal 22 Oktober adalah hari santri. Baru dimulai tahun kemarin diadakan peringatan hari santri dan ditetapkan secara nasional oleh bapak Presiden Joko Widodo.

Aisyah memang benar-benar fenomenal, dengan kepandaiian seperti itu, dia tak pernah sekalipun mengebu-ngebu ingin menjadi ini-itu, menjadi wanita karir dan apalah yang dilakukan banyak wanita urban mainstream. Setelah dia lulus S1, Dia malah langsung menikah, aku lihat di timeline sosial mediannya, banyak teman-teman kuliah malah menyayagkan dia menikah cepat, karena karirnya terlalu pendek jika selepas S1 langsung menikah. Tapi biarlah itu menjadi rahasia sang fenomenal.

Dulu saat di pondok dan sebelum ada peringatan hari santri, tanggal 22 sebenarnya sudah menjadi tanggal yang cukup spesial untuk Aisyah, entah apa yang dia baca sebelum masuk pondok, dia selalu mengetahui hal-hal yang sebenarnya tidak cukup menarik untuk diketahui anak usia belasan tahun. Dulu saat tanggal 22 Oktober, Aisyah selalu bercerita bahwa dulu ada pertemuan para kiai se-Jawa dan Madura, pertemuan itu menjadi dasar resolusi jihad para santri untuk ikut berjuang mengusir penjajah yang nakal ingin kembali masuk Indonesia. Aisyah selalu saja membuat kami penasaran dengan ceritanya, bukan hanya karena ceritanya yang unik dan tak banyak orang yang tau, penyampaiannya juga selalu menyenangkan, bagi orang-orang yang mendengarkan saat Ia bercerita pasti tak akan menoleh agar tak ada suara yang terdengar samar, dia sunguh memikat. Dan juga yang paling aku suka, dia selalu mengeluarkan fakta-fakta yang menohok. Untuk cerita tanggal 22 ini, dia pernah bilang bahwa keberadaan kiai dan santri dalam berjuang dan mempertahankan kemerdekaan saat ini mencoba dihapus, sehingga kita tak terlalu mengenal kiai-kiai yang menjadi pahlawan, tetapi kita tak perlu risau, karena kiai itu berjuang ikhlas, tak untuk dikenang berlebihan karena membuat berkurangnya ihlas. Aku ingat sekali saat itu ceritanya ditutup dengan kita bersama-sama kirim doa untuk para kiai dan santri yang gugur saat perang melawan penjajah. Mengagumkan!.

Tak terasa bercerita sosok Aisyah dari pertama pertemuan sampai kisah-kisah unik dengannya membuat lupa waktu, dan sudah sampailah aku di depan rumahnya. 

Seruku dari luar “Assaamualaikum”
“Waalaikum salam” ada suara yang menyahut dari dalam.
“Aisyahnya ada dek?”
“Oh mbak Aisyah, ada kok Mbak, di dalam, Mbak siapa ya?”
“saya, emm.. bilang saja ada temen kamar saat mondok di Rhaudotut Thulab”
“oh temen mondok, silahkan masuk dulu Mbak, saya pangilkan mbak Aisyah, silahkan duduk Mbak”
“iya dek, terimakasih”

Hanya semenit aku duduk, keluarlah sosok ibu-ibu paling bahagia sedang membopong anak berusia dua tahun keluar menghampiriku.

Dengan suara agak keras dia berseru kaget “ya ampin, ada tamu agung. kok gak bilang mau main kesini, ini sunguh kejutan”
“halah tetap saja kau ini Aisyah, tamu agung apanya, aku yang bertamu ke orang agung. Aku memang sengaja tek memberitahumu terlebih dulu. Tak enak juga aku jarang kesini, sementara kau rutin ke rumahku saat dulu masih mondok, ibuk kangen tau sama kamu Aisyah”
“la gimana? Ibuk sehat?”
“Alhamdulillah sehat, ibuk sekarang kecanduan ganget Aisyah. Sebulan yang lalu baru aku belikan hape android dan sekarang semua-semua disingkat dihape barunya. Malah ibuk sekarang lebih gaul dari aku Aisyah. Aku di kantor saja sampai di videocall, beliau cumak bilang ngetes teknologi. O iya ibuk pesen pengen foto muka dua tahun anakmu”
“wah ibukmu sunguh menyenagkan ya, mau belajar apa saja, persis seperti kamu”
“Ah kamu bisa saja, kan aku semangat belajar juga karena ajakanmu”
“nah ini gendong jabir, biar aku fotokan kau dengan jabir”

Setelah itu Aisyah pamit masuk kedalam dan jabir masih di pangkuanku
Dan tak berapa lama Ia kembali keluar, menenteng nampan dengan segelas teh di atasnya.

“Ini di minum dulu” disuguhkannya segelas teh yang dibawa Aisyah.
“terimakasih Aiyah. O iya, bapak ibukmu sehat ta?”
“sehat Alhamdulillah, tadi kamu tak lihat ta bapak ibuk di mushola”
“owalah beliau di sana to, aku tadi lewat timur Aisyah. Memang ada apa di mushola?”
“nanti malam diniyah mau ngadain nariyahan, ikut beramai-ramai sholawatan. Ya meskipun tak dijatah berapa nariyah yang harus dibaca seperti pondok-pondok besar macam lerboyo atau ponpes sunan drajat, ikut mensemarakkan lah hari santri esok”
“wah luar biasa ya, benar-benar kalian ini keluarga fenomenal”
“selalu saja seperti itu kamu ini, yang fenomenal ini mah kamu, nulis kesana kesini, bikin syair, pendampingan ibu-ibu fatayat muslimat, organisasi gender dari fundamental sampai tematik tau semua”
“Ah kamu ini Aisyah, pengetahuanku mah yang umum-umum aja. Eh kamu tau tak, mas yasin puisinya dimuat di koran lo, diregram juga sama @nahdlatululama di instagram?”
“mas yasin yang kakak tingkat kita itu?”
“iya, tau kan?”
“tau-tau. Wah luar biasa ya mas yasin itu. Memang puisinya tema apa?”
“tema hari santri, unik gitu puisinya Aisyah. Masak di baitnya ada faala faala gitu, udah kayak belajar sorof”
“kamu menyimpan puisinya mas Yasin?”
“endak si, tapi kan dilihat di instagram ada Aisyah”
“kamu baca ya nanti malam, sebelum acara nariyahan. Habis ini aku bilang ke bapak”
“lo kami ini apa-apaan Aisyah, yang seniman kan mas yasin, aku tau apa soal puisi, kok ini malah di suruh baca”
“sudah gak papa, kamu itu temen aku yang paling bisa mengerti puisinya orang. dibaca saja dengan tulus”
“ya udah deh, tapi aku tak izin dulu ke mas Yasin”
“nah gitu dong, pasti nanti santri-santri di sini seneng, pasti pengen belajar juga buat puisi”
“ah kamu ini Aisyah, hobimu untuk mendorong orang lain tak hilang ya. Terimakasih lo sudah di ajak senam jantung”
“la kamu berbakat, masak didiemin”
“iya iya. Eh jabir sekarang suka main apa sekarang?, terakhir kamu cerita itu dia suka bola ya”
“iya, tapi sekarang dia ganti kesukaan, tiap hari liatin YouTube terus, dia lagi suka sama transportasi umum. Aku sampai heran, bisa seharian dia liat kereta, bus, mobil, pesawat. Kok gak bosen ya”
“ya namanya juga anak-anak Aisyah. Kamu ingat ndak apa yang di sampaikan kiai Husain dulu, tentang sifat-sifat bayi yang perlu kita tiru. Beliau kan pernah menjelaskan, kalau bayi itu tak berdosa dan banyak orang suka karena punya sifat-sifat tidak sombong, jujur, nriman dan gak punya dendam. Bayi bisa suka lihat sesuatu ya suka saja, tak ada tendensi untuk ini lah untuk itu lah”
“wah iya ya, kayaknya dulu santri berjuang melawan penjajah juga ikut sifat-sifat bayi ini. Sekarang kita malah terbalik ya, kita malah yang dewasa kalah. Ibadah sujud biar pinter, katanya darah mengalir ke otak, wirid ini pengen itu, wirid itu pengen ini. Kayaknya kualitas ibadah kita jauh dari rasa ihlas”
“iya Aisyah, malah ya kalo kamu tau, sekarang itu di toko-toko buku, bagian agama Islam sudah kayak bagian kesehatan dan ekonomi. Isi bukunya itu seputar ibadah ini agar sehat, ibadah itu biar kaya, wirid ini biar sehat, wirid itu biar kaya”
“barokah sekali ya Islam itu”
“barokah gimana Aisyah? Itu mah mengkapitalisasi Islam, Islam kok di jual!”
“nah itu, Islam bikin orang dapet rizki, bisa jual buku resep sehat sama kaya”
“wah kamu ini ada-ada saja Aisyah”
“o iya, kesibukan kamu selama ini apa saja?”
“ya masih seperti biasa Aisyah, parenting, pelatihan ini itu. Jarang-jarang masih nulis di blog sendiri –sejujurnya aku takut setelah ini dia akan tanya kapan aku menikah, tapi dari semua temanku, hanya dia yang bersih dari catatan merah tukang tanya kapan nikah-”
“wah bagus itu, bisa bermanfaat buat masyarakat luas. O iya gimana puisinya, sudah izin mas Yasin?”
“iya sudah Aisyah, boleh katanya”
“wih cepet bener jawabnya, kalian sering komunikasi ya?”
“ya adalah beberapa saat, hehe”
“sebentar lagi mas yasin juga cepet tuh bakal lamar kamu”
“Ah Kamu ini ada-ada saja Aisyah”
“Cie-cie. Mas yasin juga sepertinya suka kamu gitu kok, udah tenang aja, sambil terus berdoa, insaallah jodoh kamu sudah dekat”
“tapi nanti pas aku baca puisi fotoin ya, biar aku kirim ke mas yasin”
“nah tuh kanketahuan, wah wah. Hari raya depan ada yang bukak tenda nih”

Di saat asyik ngobrol dengan Aisyah, bapak dan ibunya Aisyah masuk rumah

Dengan senyum tulus bapaknya Aisyah menyapa “wah nduk, ada tamu agung kok bapak sama ibuk gak dipangil tadi”
“hehe, ngapunten bapak, lagi asik kangen-kangenan. Ada yang mau menikah nih pak”
“wah yang bener, dapet siapa?”
“sama-sama sastrawan dong pak”
“duh Aisyah, apaan sih kamu ini” Aku menyela tersipu malu
“wah, syukur deh, lanjutin saja ngobrolnya. Bapak sama ibuk masuk dulu. Mandi dulu, siap-siap solat magrib”
“eh pak, nanti malam sastrawan satu ini baca puisi ya sebelum nariyahan?”
“silahkan, tapi inget”
“inget apa pak?”
“bacanya harus dari sini” bapaknya Aisyah sambil menunjuk dadanya “puisi itu tulus, jadi bacanya juga harus tulus. Kalau boleh tau, puisinya siapa yang bakal dibaca?”
“puisinya mas yasin pak” jawabku
“yasin arief anak Ansor itu? Wah bagus itu, bapak sudah baca di koran”
“ehem ehem, ya itu calonnya pak”
“walah walah, ya cocok itu, bapak ikut seneng”
“ah bapak, bisa-bisanya si Aisyah aja itu pak” Aku tersipu malu

Mukaku semakin merah melihat keluarga yang guyup ini puas meledekku, tapi diam-diam aku mengamini si, hehe

“harusnya PBNU tau Aisyah”
“tau apa?”
“di pedalaman seperti desamu ini masih ada madrasah yang tulus dan selalu mendukung dan ikut menjaga NU serta Indonesia. diisi orang-orang hebat yang ihlas. Madrasah diniah ini bak tekennya kiai Hasyim Asyari. Ikut menjaga, melestarikan serta meneruskan estafet perjuangan kiai Hasyim Asyari”

Kita sama-sama terdiam. Dan percakapan itu menutup sore kami. Kami sholat berjamaah di mushola.
Acara nariyahan di lakukan di halaman mushola di mulai setelah solat isya. Acara itu aku buka dengan membaca puisi katangan mas yasin arif yang berjudul “Pesantren Kita”

Masih ingatkah saudaraku?
Di hari pertama kau injak tanah pesantren kita dulu.
Pada segala yang tak terlupakan.
Guratan wajah kiai yang meneduhkan.
Kesabaran guru-guru penuh keikhlasan.
Mesjid tempat kita sujud bersama.
Ladung air mata yang kau sembunyikan tatkala merasa tak kerasan.
Lusuh karpet tipis tempat kita tidur, belajar dan bersenda gurau.
Almari kita yang lapuk dimakan asai, reyot, miring, kakinya hilang satu.
Kitab-kitab yang berserakan.
Pakaian kotor yang berhamburanRiuh suara hafalan dari kamar-kamar.
Amuk suara keamaanan yang menggelegar.
Gedoran pintu yang mencekam saat subuh menjelang.
Kepul asap sebatang rokok yang kita cumbui bersama.
Secangkir kopi di belakang kamar dan sepotong senja yang menentramkan.
Cita-cita yang kita gantung pada jaring laba-laba di langit-langit kamarDongeng-dongeng sebelum tidur yang tak kunjung usai.
Tingkah polah kelakar tak pernah habis penuh dengan banyolan.
Kamar mandi kita padat lalat, anyir dan pesing.
Sabun pipih dan odol kita yang tepos.
Uang kiriman yang genting.
Rantang plastik tempat makanan kita yang polos.
Lauk tahu tempe dan ikan pindang adalah puncak kenikmatan
......................................
Masih ingatkah saudaraku?Pada runcing mata pena.
Pada keunikan aksara pegon.
Pada kemurnian kitab kuning.
Pada parau suara kita saat tartil Qur'an.
Pada segala yang tak terlupakanPada 'Fa'ala Yaf'ulu' dalam sorof; bahwa hidup niscaya melakukan perbuatan.
Pada 'Zayd' dalam Nahwu; bahwa hidup harus menambah kebaikan.
Pada 'Alif-Lam-Mim' dalam Jalalain; bahwa hidup adalah misteri Tuhan yang harus dilaksanakan
....................................
Ada rona kebahagiaan saat menjelang liburan.
Ada sesak kerinduan tatakala kita sudah pulang.
Dan kita adalah saudara yang menyatu dalam pelukan Tuhan.
Minggu, 23 Oktober 2016
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Bukti Kalau Kita Sudah Lupa Jati Diri

Sumber: 2.bp.blogspot.com

Lamongan, Enambelas Oktober 2016

Dari data yang di himpun oleh malesbanget.com terkait pekerjaan yang dianggap keren oleh orang tua, ada 9 hal yang diinginkan orang tua untuk disandang anak-anaknya kelak, antara lain; dokter, insinyur, polisi, pilot, tentara, bankir, arsitek, PNS dan pengacara. Dari kesembilan pekerjaan yang nampaknya hanya postulat dan tidak dari hasil riset ilmiah ini kita gunakan saja data yang disajikan malesbanget.com. Toh nyatanya memang penulis tak pernah menemukan ada orang tua yang kecewa pada anaknya yang bepekerjaan sebagai dokter dan/atau polisi.

Dari kesembilan pekerjaan itu penulis menaruh rasa aneh pada pekerjaan polisi, tentara dan PNS. Kenapa demikian? Kok sampainya orang tua itu pada anak-anaknya dibiarkan melarat. Kalau kita tenggok data dari Peraturan Pemerintah nomor 32 Tahun 2015 gaji paling rendah polisi setingkat Bhayangkara dua hanya Rp. 1.565.200 per bulan dan yang paling tinggi setingkat Jendral Polisi sebesar Rp. 4.986.700 per bulan. Untuk tentara Sesuai Peraturan Pemerintah nomor 31 Tahun 2015 gaji paling rendah tentara tingkat persan dua hanya Rp. 2.003.300 per bulan dan yang paling tinggi untuk Jendral Laksamana Marsekal sebesar Rp. 5.646.100 per bulan. Sementara untuk PNS sesuai Peraturan Pemerintah nomor 30 tahun 2015 yang terendah Golongan 1a hanya sebesar Rp. 1.486.500 per pulan dan yang paling tinggi untuk golongan 4e sebesar Rp. 5.620.300 per bulan. Ini tentu nilai yang kecil apalagi untuk mereka yang berdomisili di kota-kota besar dan dengan gaya hidup yang jauh dari kata sederhana. Belum lagi kebutuhan keluarga yang mendesak untuk dipenuhi. Sehingga kita jadi tak heran orang-orang dengan pekerjaan polisi, tentara dan PNS banyak berimprovisasi, gesek sana gesek sini, ceperan sana ceperan sini, karena memang gaji pokok mereka ada yang masih di bawah UMR.

Dari data itu penulis mengira-ngira sebenarnya yang di butuhkan manusia bukan hanya uang, tetapi juga pengakuan ego dari orang lain. Orang rela hidupnya melarat asalkan disanjung dan dihargai orang lain. Kebutuhan “dianggap ada” oleh orang lain adalah sesuatu yang sangat penting. Tetapi kenapa pekerjaan yang di pilih adalah polisi, tentara dan PNS. Kenapa data yang disajikan itu tidak juga mencatut guru?

Karena menurut penulis, profesi sebagai guru dan polisi? –kita ambil saja 1 contoh dari polisi, tentara dan PNS- sama-sama harus didasari dengan jiwa pengabdian, dan kalau dihitung dari hasil gaji perbulan, kedua pekerjaan ini juga hanya menghasilkan sedikit pemasukan.

---

Mari kita menengok terlebih dulu strata sosial yang diterapkan kerajaan majapahit yang di paparkan oleh Budayawan KH. Agus Sunyoto. Pada zaman majapahit ada 7 tingkatan masyatakat. Tingkatan yang paling tinggi sampai yang paling rendah adalah Brahmana (Kaum Rohaniawan), Ksatria (pengurus pemerintahan), Waisya (Petani), Sudra (Saudagar), Candala (Algojo, Pemburu), Mleccha (Orang Asing) dan Tuccha (Perampok, Penjahat).

Dari strata sosial itu, polisi berada di level kedua yakni Ksatria, sementara Guru berada di level puncak yakni Brahmana. Harusnya secara ideal orang yang paling disegani adalah mereka yang menjadi rohaniawan, pembimbing dan pendidik generasi muda. Dan tentu pekerjaan yang paling membanggakan orang tua adalah saat anak-anaknya menjadi guru. Kenapa kejadian saat ini memutar itu 180 derajat, mereka yang menjadi guru mesti di anggap orang yang melarat dan dicibir, bahkan sudah banyak orang tua yang malu saat anaknya menjadi guru dan sekolah di fakultas pendidikan.

Sebenarnya dari mana asal mula pengagungan berlebih pada level kedua masyarakat itu, dan sejak kapan level paling puncak di strata masyarakat ini menjadi bahan cibiran? Apakah kita sudah melupakan akar budaya kita?

---

Kalau kita tengok strata masyarakat pada era majapahit, memang seakan-akan ada kelas dan menimbulkan banyak kesenjangan di masyarakat. Namun sebenarnya strata itu sangatlah ideal dan telah berhasil menjadikan majapahit sebagai kerajaan yang berjaya dan maju dalam banyak hal.

Mereka yang berhak berbicara adalah mereka yang berpangkat Brahmana, yang berhak mentafsir kitab dan memberikan petunjuk adalah mereka yang sudah tak terpaut lagi dengan urusan dunia. Kebiasaan para brahmana adalah menyepi dari hingar-bingar dunia. Sementara yang berpangkat Ksatria juga tak boleh terpaut dengan dengan hal-hal yang berbau duniawiah, bahkan untuk ksatria yang menyimpan kekayaan pribadi harus di kucilkan dari masyarakat. Selanjutnya Waisya di taruh dilevel ke tiga karena mereka memikirkan dunia, mereka memikirkan tanah garapan dan hasil bumi, tetapi merekalah yang memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, sehingga level sosialnya masih ditaruh di bawah kesatria. Selanjutnya Sudra atau saudagar adalah orang yang pekerjaanya menumpuk harta, hatinya sudah banyak terpaut oleh kebutuhan duniawi. Kemudian yang lebih bawah lagi Candala atau jagal ditaruh dilevel setelah saudagar karena kebiasaannya memangsa mahluk lain, dalam memenuhi kebutuhan pribadi saja masih mengorbankan mahluk lain. Sementara Mleccha atau orang asing dianggap orang yang tidak berguna, mereka harus menjadi pelayan pribumi, bekerja untuk pribumi. Saat itu pribumi tidak diperbolehkan bekerja pada masyarakat Mleccha. Dan yang paling rendah adalah Tuccha atau begal, kategori paling buruk karena untuk hidup saja perlu merusak hidup orang. Andaikan saat itu ada koruptor, mereka juga masuh dalam kategori Tuccha.

Dari sini mari melihat bersama-sama, bagaimana pola pikir kita yang sudah rancu dan jauh dari akar budaya. Maksud penulis memberikan contoh pekerjaan polisi vs guru hanya satu dari berbagai kerancuan pandang kita. Bagaimana kita lebih memuliakan orang asing dari pribumi, membiarkan koruptor masih berkeliaran, tak begitu memperhatikan kesejahteraan para petani, kebiasaan siapa saja bisa mentafsir kitab suci dan masih banyak yang lain.

Dari sana mari kita memposisikan pandangan kita dengan lebih bijaksana. Kalau selama ini pandangan kita yang begitu mengagungkan jajaran birokrasi, polisi, tentara dan PNS masih mendominasi, harusnya para brahmana saat ini seperti kiai dan guru kita berikan porsi yang lebih.

Wallahu A’lam


Kembali berpijak pada kaidah ”mengunakan yang baik dari masa lalu dan menerima yang baik dari masa depan” saat pola pikir serta pandang era majapahit masih sangat relevan dan dapat diterapkan, kenapa kita harus ikut-ikut budaya orang lain yang belum tentu cocok dengan kebiasaan dan budaya kita. 
Minggu, 16 Oktober 2016
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Masak Perjaka Mau di Luar Saja, Nanti "Itu" nya Kedinginan

Sumber: http://www.bijaks.net/

Lamongan, Duapuluh Sembilan September 2016

Dalam perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia ada beberapa kali usaha kudeta pemerintah yang dilakukan, diantaranya ada yang sukses menjatuhkan rezim dan ada pula yang gagal. Dari sekian banyak hal tersebut tentu kita akan teringat pada dua kejadian besar sejarah republik ini. Yang pertama adalah saat September '65 dan kedua saat Mei '98. Namun selain dua kejadian ini, ada pula usaha kudeta atau pemberontakan pada pemerintah yang sempat terjadi.

Pada periode tahun antara 1958 sampai 1961 terjadi sebuah upaya pemberontakan yang dihimpun oleh Achmad Husain cs. dan Sjafruddin Prewiranegara cs. yang ingin menjatuhkan rezim Soekarno dengan upaya membentuk republik tandingan. Republik tandingan tersebut diberinya nama Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Pada pidato Soekarno dalam rapat Pancasila di Bandung 16 Maret 1958, beliau menyebutkan bahwa cara yang digunakan oleh Achmad Husain cs. dan Sjafruddin Prewiranegara cs. tidaklah baik, dikarenakan dilakukan disuatu negara demokrasi. Perbuatan yang dilakukannya adalah suatu bentuk penghianatan luar biasa pada Proklamasi 1945 dan Pancasila. Kemudian beliau menambahkan bahwa apabila ada yang tidak suka dengan proses berjalannya pemerintahan, silakan saja bergabung dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan membuat mosi tidak percaya pada pemerintah, itu lebih etis dilakukan di negara demokrasi semacam Indonesia.

Belajar dari kisah di atas dapat kita tarik sebuah makna bahwa dalam melakukan sebuah upaya pembenaran sistem harus dilakukan secara holistik. Dalam membuat perubahan yang masif tak dapat dilakukan secara parsial. Perjuangan yang dilakukan harus luar dalam. Menghimpun kekuatan yang luar biasa di luar dan merangsek menusuk sistem dengan masuk ke dalam jajaran agar memiliki peran dalam menentukan kebijakan.

Dalam sebuah perjuangan yang hanya dilakukan lewat luar yang terjadi bisa-bisa hanya berbuah kerusuhan. Dan saat perjuangan yang dilakukan hanya lewat dalam tentu akan tumpul tanpa dukungan masyarakat luas.

Namun penulis sedikit ngeri melihat keadaan Indonesia saat ini, apakah keutuhan negeri ini bisa bertahan?

Ini terjadi karena telah banyak sekali organisasi di negeri ini yang melakukan aksi membentuk pemimpin tandingan atas pemimpin resmi. Sebut saja contoh yang paling mudah adalah partai. Sudah berapa kali kita semua di suguhi perpecahan partai sampai ada dualisme kepemimpinan.

Yang membuat ngeri adalah karena ucapan Soekarno yang menyebutkan bahwa kalau tidak suka dengan pemerintah silakan masuk di Dewan Perwakilan Rakyat. Lalu apakah tidak mungkin virus dualisme kepemimpinan yang dilakukan partai akan dicoba untuk diterapkan dalam suatu pemerintahan Pusat Republik Indonesia, toh mereka yang terpecah belah di partai juga menjadi bagian pemerintahan Indonesia?.

Semisal saat pemilu presiden ada pihak yang menang dan ada pihak yang kalah. Dan karena proses pemilu kita saat ini yang begitu njelimet dan banyak sekali manuver serta manipulasi, pihak yang dinyatakan kalah oleh KPU namun di nyatakan menang oleh quickqount mencoba melakukan sebuah usaha membuat pemerintah tandingan.

Apalagi saat ada partai yang memiliki dualisme kepemimpinan dan sama-sama memiliki calon yang ditandingkan saat pemilu, tentu keadaan akan semakin genting.

Dan ujung-ujungnya kedaulatan NKRI akan terancam karena tidak memiliki satu dari tiga syarat negara berdiri yakni pemerintahan pusat.

Tidak ada kapal yang berjalan stabil dan baik saat ada dua nahkoda.

---

Lantas saat ini kita sebagai generasi muda yang sadar dan berharap Indonesia selalu utuh apakah masih saja mau berada di sisi luar pemerintah dengan terus saja berdoa agar sistem berubah tetapi tidak ada usaha dari dalam untuk mengubah sistem?

Kalau di negeri ini di kuasai oleh orang-orang yang suka menjual negerinya sendiri sementara kita yang beranggotakan banyak orang tetapi belum berani berbicara mau sampai kita akan terus bungkam?

Saat ada teriakan pun itu hanya dari luar pagar!

Kenapa tidak kita mencoba masuk dan mengalahkan mereka semua yang ingin memecah belak dan memakan kekayaan negeri ini sendiri dengan menyampaikan suara mayoritas yang diam selama ini di gedung pemerintahan? Mau sampai kapan kita akan terus pobia masuk jajaran perumus sistem?

Atau kita akan terus memilih santai di rumah dengan selalu berucap Alhamdulillah masih bisa ngudut ngopi, tapi di hati berucap Innalillah karena tikus berdasi berlarian kesana-kemari.

Wallahu A’lam

Tulisan ini akan penulis tutup dengan sebuah pengingat dari Paulo Coelho dalam novel The AlChemist “Setiap orang di dunia ini, apa pun pekerjaannya, memainkan peran penting dalam sejarah dunia. Dan biasanya orang itu sendiri tidak menyadarinya”. Jalan hidup yang kita pilih baik menghimpun kekuatan luar biasa besar dari luar atau merangsek masuk menusuk sistem akan memberikan hasil saat kita mau bersama-sama berjuang dan mau berdiri di atas kakinya sendiri.
Kamis, 29 September 2016
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Pening


Sumber: http://health.liputan6.com/read/616973/ragam-cara-orang-sembuhkan-patah-hati

---
05.39
Haloo
05.45
Halo halo
05.48
Tadi malam ninggal tidur lagi ya :D
06.02
Mas itu yang ketiduran dulu
06.12
Lo iyo ta? Bukane adek seng tidur dulu
06.14
Endak yo, tadi malem mas yang tidur dulu
06.16
Hehe,, iya iya maaf
---

Selagi menunggu jawaban pesan dari adek (-adekan). Aku menyempatkan membuat personal massage yang tak ada maknanya, sungguh-sungguh hanya membuat. “+62 - proletariat” di aplikasi chating BBM.

Beberapa menit setelah itu, dan adek masih belum membalas pesan, ada pesan baru dari adek (-adikan) yang lain.

---
06.36
Apa itu proletariat mas?
06. 42
Itu semacam lapisan sosial yang paling rendah, cari saja di KBBI lak ada dek.
06.50
Owalah iya mas, kalau ketemu kata-kata aneh begitu, bawaannya jadi kepo, hehe
Bagi-bagi ilmu dong mas
06.55
Ya kalau ada yang bisa di bagi, pasti saya bagi dek.
---

Di saat chating dengan adek yang kedua berlangsung, adek pertama membalas.

---
07.06
Mas gak ngerasa ada yang aneh gitu? Cuek terus
07.10
Lo siapa yang cuek dek? Adek yang cuek atau aku yang cuek?
---

“Mungkin ini lantaran kemarin aku sibuk dengan bukuku yang sedang kubaca dan tadi malam ketiduran” Gumamku
Hening beberapa saat, lalu terdengar suara teriakan jauh dari belakang rumah
“Gerard... Gerard...” dari belakang rumah Ayah memanggil. Sambil berjalan menghampiriku di kursi  ruang tengah rumah
Enggeh pak” sahutku sambil menenteng hape dan sesekali melihatnya
“hari ini jadi service sepeda kan?”
“iya pak, sepeda motore mulai gak enak di kendarai” jawabku sambil meletakkan hape di meja. “Belum jatuh tempo buat service aslinya pak, tapi sepedae terlalu sering digunakan perjalanan jauh. Kemarin saja sudah 3 kali keluar kota, jadi bener-bener gak enak”
“walah begitu, yasudah nanti nang di service” sahut bapak. “la mau berangkat jam berapa?”
“nanti jam setengah 9 saja pak”
“iya, jangan siang-siang. Entar kalau kesiangan antre panjang dan panas”
“iya pak”

Bapak pergi ke belakang lagi dan aku masih duduk di kursi tengah rumah sambil mengambil hape kambali. Kulihati lagi hapeku, memastikan apakah sudah ada pesan dari adek lagi atau tidak. Saat seperti ini aku mulai kacau. Memang sulit ketika menjalin hubungan dengan orang. Yang sulit adalah menjaga hatinya, meskipun bukan tak mungkin kita bisa sukses menjaga hati orang.

Yang memberikan tantangan adalah aku tak tahu dan hanya menerka kesalahanku apa untuk saat ini. Aku tidak mengetahui letak salahku di mana, sehingga sering-sering minta maaf (termasuk untuk kesalahan yang tak kita sadari) dan ngalah kadang kala menjadi solusi agar tetap bisa menjaga hati pasangan.

Kuletakan hape di meja, kujejerkan dengan cangkir kopi yang sudah paripurna aku minum dan aku melangkah ke belakang rumah untuk sarapan dan mandi.

***

“jod jodi, ayo ikut service!” seruku dari kejauhan pada adek kandungku yang masih malas-malasan di kamar
“endak wes mas, mesti lama nunggu-e, lagi gak ada paketan juga, nanti bosen di sana” jawab adekku enteng
“walah yawes kalo begitu”.
Karena Jodi tak mau di ajak, aku putuskan membawa bukuku yang kemarin aku baca untuk teman saat menunggu motor di service.

Kunyalakan motor dan berangkat ke bengkel. Waktu perjalanan dari rumah sampai bengkel menempuh waktu kurang lebih 15 menit.

Setelah sampai di bengkel, segera kuhampiri mbak-mbak penjaga dan pencatat keluhan-keluhan motor saat akan di service. Setelah itu aku duduk di kursi ruang tunggu.

Ruang tunggu ini berhadapan langsung dengan ruangan montir-montir menservice sepeda, sehingga dengan jelas kita bisa melihat apa yang mereka kerjakan. Hanya sekat kaca bening, mungkin, agar tidak terlalu bising kalau kita di ruangan ini. ruangan ini hanya berisi 3 kursi panjang, semi-semi mirip kursi di warung kopi, tetapi di lapisi spon. Majalah-majalah otomotif dan air minum. Tak ada teve atau kipas.

Kursi di ruang tunggu ini ada 3 buah, berjajar menghadap ruang montir bekerja, seperti memang di setting untuk siapa saja yang duduk di sini agar melihati montir-montir itu bekerja. Dan saat ini di ruangan hanya ada 3 orang termasuk aku, dan kami menempati satu kursi masing-masing orang.
Kuambil hape dan terdapat satu pesan dari adek (-adekan) yang pertama

---
09.02
Aku kuliah dulu mas
---

Hanya itu jawaban yang Ia berikan. Sepertinya Ia cukup marah dengan kecuekanku, yang aku sendiri tak tahu sisi cuekku di mana.

Aku segera mengambil buku yang aku bawa, kubaca kurang lebih sejam, sampai tak terasa motorku sudah akan selesai di garap montir-montir handal bengkel ini.

Di saat akan kumasukkan buku ke tas, datang bapak-bapak yang usianya mungkin 40 mendekati 50 tahun duduk persis di sampingku.
“dari desa mana dek?” sapanya memulai pembicaraan
“dari desa Sumber Rejo Timur pak” spontan aku menjawab
Baru sampai di percakapan itu, aku di panggil mbak-mbak pencatat keluhan motor
“mas Gerard, silahkan motornya sudah”
“iya mbak” jawabku sembari aku melangkah mendekati mbak-mbak pencatat keluhan motor. “habis berapa mbak?”
“90 ribu mas”
Selesai kubayar ongkos servis, aku menghampiri bapak tadi untuk pamit.
“pak aku pulang dulu ya”
“iya dek”. “tadi dari desa Sumber rejo Timur ya?” bapak tadi bertanya kembali memastikan
“iya pak” sergapku
“kenal bapak Subehan?”
“beliau satu gang dengan saya pak”
“kalau begitu salam ya, dari Agus desa Degilan”
“Iya pak” spontan aku menjawab, dan aku beranjak pergi

***

Di atas motor aku memukul-mukul kepala sendiri
“Bodoh-bodoh, kenapa aku iyakan. Sama bapak Subehan saja aku sudah lupa kapan terakhir aku bertemu -ini karena aku ngekost, jadi jarang di rumah-, bapaknya sedang sibuk apa aku tak tahu, apakah dia masih mengajar di SD harum namanya atau sudah pindah aku juga tak tahu. Bodoh-bodoh” gumamku dan aku mulai kacau (lagi). “ini sudah kadung jadi amanah, dan bagaimana kalau tidak aku sampaikan salam ini? nanti sore sudah harus kembali ke kost, apakah aku pasrah saja besok di akhirat digebuki malaikat lantaran tak menyampaikan amanah dari pak Agus dan tinggal bilang saja ke malaikat “maaf malaikat saya keceplosan””

Dengan kepala semakin pening aku tetap melaju ke rumah.
Rabu, 28 September 2016
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Popular Post

Tengok Sahabat

Diberdayakan oleh Blogger.

Top Stories

About

- Copyright © Tigabelas! -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -