Archive for Oktober 2016

Teken Kiai Hasyim Asyari

Sumber: http://www.muslimoderat.com

Sudah hampir satu dekade aku tak bercanda ria dengannya, teman satu kamarku di pondok pesantren Rhaudatut Thulab Paciran Lamongan. Memang secara dzhohiriyah aku dengannya tak ada yang spesial, karena memang temanku sekamar tak hanya dia, tetapi secara batiniyah dan mungkin juga hanya batin kita berdua saja yang tau kalau aku dan dia memiliki hubungan sangat dekat. 

Namanya Aisyah, gadis asal Desa Tejoasri yang berparas pas. Memang pas menurutku, tanpa dia dandan kita bisa mengatakannya cukup cantik dan tak jelek-jelek banget. Tetapi memiliki kecerdasan yang diakui seangkatan kami, kecerdasannya diatas rata-rata. 

Sejatinya bukan karena dia menawan atau pintar kita berdua sangat dekat, bahkan selama aku bertemu dan berkawan baik dengannya dulu, tak pernah sekalipun aku menyanjung karena kualitas ilmu dan parasnya. Namun karena ada sesuatu hal yang tak dapat disampaikan dengan bahasa manusia, semacam dorongan magis yang ujuk-ujuk membuat aku dekat dengannya. Semacam aku sudah dituntun untuk berkawan dengannya. Dorongan yang meminta aku berkawan agar sedapat mungkin membantu aku belajar dan mengontrol emosi darinya. Karena memang aku akui sendiri sebelum berkenalan dengannya, aku sangat mudah marah dan sensitif. 

Aku terakhir bertemu dengannya dua tahun yang lalu saat dia baru melahirkan anak pertama. Saat itu aku bermain ke rumahnya tak cukup lama, karena aku bersama ibuku yang kebetulan juga akrab dengannya. Dan saat ini, momen yang mengembirakan, Aku ingin membuat kejutan untuknya dengan bermain kesana tanpa bilang-bilang. Dulu dia selalu mengatakan “main saja ke rumah, aku pasti sangat senang. Tak usah repot bawa oleh-oleh. Aku punya sedikit kebun yang cukup untuk menjamumu, bahkan saat kau ingin bermain kesana beberapa malam aku tak keberatan. Di dekat rumahku ada mushola dan kebetulan ada madrasah diniah untuk anak-anak sekolah dasar, kamu pasti suka bermain dengan anak-anak itu bukan”. Tapi baru kali ini aku dapat merealisasikan permintaanya untuk bermain kesana. 

Sungguh momen yang menyenangkan, bukan hanya karena tiga hari yang lalu anaknnya berulang tahun, tetapi karena ini tanggal 21 Oktober. Dan esok tanggal 22 Oktober adalah hari santri. Baru dimulai tahun kemarin diadakan peringatan hari santri dan ditetapkan secara nasional oleh bapak Presiden Joko Widodo.

Aisyah memang benar-benar fenomenal, dengan kepandaiian seperti itu, dia tak pernah sekalipun mengebu-ngebu ingin menjadi ini-itu, menjadi wanita karir dan apalah yang dilakukan banyak wanita urban mainstream. Setelah dia lulus S1, Dia malah langsung menikah, aku lihat di timeline sosial mediannya, banyak teman-teman kuliah malah menyayagkan dia menikah cepat, karena karirnya terlalu pendek jika selepas S1 langsung menikah. Tapi biarlah itu menjadi rahasia sang fenomenal.

Dulu saat di pondok dan sebelum ada peringatan hari santri, tanggal 22 sebenarnya sudah menjadi tanggal yang cukup spesial untuk Aisyah, entah apa yang dia baca sebelum masuk pondok, dia selalu mengetahui hal-hal yang sebenarnya tidak cukup menarik untuk diketahui anak usia belasan tahun. Dulu saat tanggal 22 Oktober, Aisyah selalu bercerita bahwa dulu ada pertemuan para kiai se-Jawa dan Madura, pertemuan itu menjadi dasar resolusi jihad para santri untuk ikut berjuang mengusir penjajah yang nakal ingin kembali masuk Indonesia. Aisyah selalu saja membuat kami penasaran dengan ceritanya, bukan hanya karena ceritanya yang unik dan tak banyak orang yang tau, penyampaiannya juga selalu menyenangkan, bagi orang-orang yang mendengarkan saat Ia bercerita pasti tak akan menoleh agar tak ada suara yang terdengar samar, dia sunguh memikat. Dan juga yang paling aku suka, dia selalu mengeluarkan fakta-fakta yang menohok. Untuk cerita tanggal 22 ini, dia pernah bilang bahwa keberadaan kiai dan santri dalam berjuang dan mempertahankan kemerdekaan saat ini mencoba dihapus, sehingga kita tak terlalu mengenal kiai-kiai yang menjadi pahlawan, tetapi kita tak perlu risau, karena kiai itu berjuang ikhlas, tak untuk dikenang berlebihan karena membuat berkurangnya ihlas. Aku ingat sekali saat itu ceritanya ditutup dengan kita bersama-sama kirim doa untuk para kiai dan santri yang gugur saat perang melawan penjajah. Mengagumkan!.

Tak terasa bercerita sosok Aisyah dari pertama pertemuan sampai kisah-kisah unik dengannya membuat lupa waktu, dan sudah sampailah aku di depan rumahnya. 

Seruku dari luar “Assaamualaikum”
“Waalaikum salam” ada suara yang menyahut dari dalam.
“Aisyahnya ada dek?”
“Oh mbak Aisyah, ada kok Mbak, di dalam, Mbak siapa ya?”
“saya, emm.. bilang saja ada temen kamar saat mondok di Rhaudotut Thulab”
“oh temen mondok, silahkan masuk dulu Mbak, saya pangilkan mbak Aisyah, silahkan duduk Mbak”
“iya dek, terimakasih”

Hanya semenit aku duduk, keluarlah sosok ibu-ibu paling bahagia sedang membopong anak berusia dua tahun keluar menghampiriku.

Dengan suara agak keras dia berseru kaget “ya ampin, ada tamu agung. kok gak bilang mau main kesini, ini sunguh kejutan”
“halah tetap saja kau ini Aisyah, tamu agung apanya, aku yang bertamu ke orang agung. Aku memang sengaja tek memberitahumu terlebih dulu. Tak enak juga aku jarang kesini, sementara kau rutin ke rumahku saat dulu masih mondok, ibuk kangen tau sama kamu Aisyah”
“la gimana? Ibuk sehat?”
“Alhamdulillah sehat, ibuk sekarang kecanduan ganget Aisyah. Sebulan yang lalu baru aku belikan hape android dan sekarang semua-semua disingkat dihape barunya. Malah ibuk sekarang lebih gaul dari aku Aisyah. Aku di kantor saja sampai di videocall, beliau cumak bilang ngetes teknologi. O iya ibuk pesen pengen foto muka dua tahun anakmu”
“wah ibukmu sunguh menyenagkan ya, mau belajar apa saja, persis seperti kamu”
“Ah kamu bisa saja, kan aku semangat belajar juga karena ajakanmu”
“nah ini gendong jabir, biar aku fotokan kau dengan jabir”

Setelah itu Aisyah pamit masuk kedalam dan jabir masih di pangkuanku
Dan tak berapa lama Ia kembali keluar, menenteng nampan dengan segelas teh di atasnya.

“Ini di minum dulu” disuguhkannya segelas teh yang dibawa Aisyah.
“terimakasih Aiyah. O iya, bapak ibukmu sehat ta?”
“sehat Alhamdulillah, tadi kamu tak lihat ta bapak ibuk di mushola”
“owalah beliau di sana to, aku tadi lewat timur Aisyah. Memang ada apa di mushola?”
“nanti malam diniyah mau ngadain nariyahan, ikut beramai-ramai sholawatan. Ya meskipun tak dijatah berapa nariyah yang harus dibaca seperti pondok-pondok besar macam lerboyo atau ponpes sunan drajat, ikut mensemarakkan lah hari santri esok”
“wah luar biasa ya, benar-benar kalian ini keluarga fenomenal”
“selalu saja seperti itu kamu ini, yang fenomenal ini mah kamu, nulis kesana kesini, bikin syair, pendampingan ibu-ibu fatayat muslimat, organisasi gender dari fundamental sampai tematik tau semua”
“Ah kamu ini Aisyah, pengetahuanku mah yang umum-umum aja. Eh kamu tau tak, mas yasin puisinya dimuat di koran lo, diregram juga sama @nahdlatululama di instagram?”
“mas yasin yang kakak tingkat kita itu?”
“iya, tau kan?”
“tau-tau. Wah luar biasa ya mas yasin itu. Memang puisinya tema apa?”
“tema hari santri, unik gitu puisinya Aisyah. Masak di baitnya ada faala faala gitu, udah kayak belajar sorof”
“kamu menyimpan puisinya mas Yasin?”
“endak si, tapi kan dilihat di instagram ada Aisyah”
“kamu baca ya nanti malam, sebelum acara nariyahan. Habis ini aku bilang ke bapak”
“lo kami ini apa-apaan Aisyah, yang seniman kan mas yasin, aku tau apa soal puisi, kok ini malah di suruh baca”
“sudah gak papa, kamu itu temen aku yang paling bisa mengerti puisinya orang. dibaca saja dengan tulus”
“ya udah deh, tapi aku tak izin dulu ke mas Yasin”
“nah gitu dong, pasti nanti santri-santri di sini seneng, pasti pengen belajar juga buat puisi”
“ah kamu ini Aisyah, hobimu untuk mendorong orang lain tak hilang ya. Terimakasih lo sudah di ajak senam jantung”
“la kamu berbakat, masak didiemin”
“iya iya. Eh jabir sekarang suka main apa sekarang?, terakhir kamu cerita itu dia suka bola ya”
“iya, tapi sekarang dia ganti kesukaan, tiap hari liatin YouTube terus, dia lagi suka sama transportasi umum. Aku sampai heran, bisa seharian dia liat kereta, bus, mobil, pesawat. Kok gak bosen ya”
“ya namanya juga anak-anak Aisyah. Kamu ingat ndak apa yang di sampaikan kiai Husain dulu, tentang sifat-sifat bayi yang perlu kita tiru. Beliau kan pernah menjelaskan, kalau bayi itu tak berdosa dan banyak orang suka karena punya sifat-sifat tidak sombong, jujur, nriman dan gak punya dendam. Bayi bisa suka lihat sesuatu ya suka saja, tak ada tendensi untuk ini lah untuk itu lah”
“wah iya ya, kayaknya dulu santri berjuang melawan penjajah juga ikut sifat-sifat bayi ini. Sekarang kita malah terbalik ya, kita malah yang dewasa kalah. Ibadah sujud biar pinter, katanya darah mengalir ke otak, wirid ini pengen itu, wirid itu pengen ini. Kayaknya kualitas ibadah kita jauh dari rasa ihlas”
“iya Aisyah, malah ya kalo kamu tau, sekarang itu di toko-toko buku, bagian agama Islam sudah kayak bagian kesehatan dan ekonomi. Isi bukunya itu seputar ibadah ini agar sehat, ibadah itu biar kaya, wirid ini biar sehat, wirid itu biar kaya”
“barokah sekali ya Islam itu”
“barokah gimana Aisyah? Itu mah mengkapitalisasi Islam, Islam kok di jual!”
“nah itu, Islam bikin orang dapet rizki, bisa jual buku resep sehat sama kaya”
“wah kamu ini ada-ada saja Aisyah”
“o iya, kesibukan kamu selama ini apa saja?”
“ya masih seperti biasa Aisyah, parenting, pelatihan ini itu. Jarang-jarang masih nulis di blog sendiri –sejujurnya aku takut setelah ini dia akan tanya kapan aku menikah, tapi dari semua temanku, hanya dia yang bersih dari catatan merah tukang tanya kapan nikah-”
“wah bagus itu, bisa bermanfaat buat masyarakat luas. O iya gimana puisinya, sudah izin mas Yasin?”
“iya sudah Aisyah, boleh katanya”
“wih cepet bener jawabnya, kalian sering komunikasi ya?”
“ya adalah beberapa saat, hehe”
“sebentar lagi mas yasin juga cepet tuh bakal lamar kamu”
“Ah Kamu ini ada-ada saja Aisyah”
“Cie-cie. Mas yasin juga sepertinya suka kamu gitu kok, udah tenang aja, sambil terus berdoa, insaallah jodoh kamu sudah dekat”
“tapi nanti pas aku baca puisi fotoin ya, biar aku kirim ke mas yasin”
“nah tuh kanketahuan, wah wah. Hari raya depan ada yang bukak tenda nih”

Di saat asyik ngobrol dengan Aisyah, bapak dan ibunya Aisyah masuk rumah

Dengan senyum tulus bapaknya Aisyah menyapa “wah nduk, ada tamu agung kok bapak sama ibuk gak dipangil tadi”
“hehe, ngapunten bapak, lagi asik kangen-kangenan. Ada yang mau menikah nih pak”
“wah yang bener, dapet siapa?”
“sama-sama sastrawan dong pak”
“duh Aisyah, apaan sih kamu ini” Aku menyela tersipu malu
“wah, syukur deh, lanjutin saja ngobrolnya. Bapak sama ibuk masuk dulu. Mandi dulu, siap-siap solat magrib”
“eh pak, nanti malam sastrawan satu ini baca puisi ya sebelum nariyahan?”
“silahkan, tapi inget”
“inget apa pak?”
“bacanya harus dari sini” bapaknya Aisyah sambil menunjuk dadanya “puisi itu tulus, jadi bacanya juga harus tulus. Kalau boleh tau, puisinya siapa yang bakal dibaca?”
“puisinya mas yasin pak” jawabku
“yasin arief anak Ansor itu? Wah bagus itu, bapak sudah baca di koran”
“ehem ehem, ya itu calonnya pak”
“walah walah, ya cocok itu, bapak ikut seneng”
“ah bapak, bisa-bisanya si Aisyah aja itu pak” Aku tersipu malu

Mukaku semakin merah melihat keluarga yang guyup ini puas meledekku, tapi diam-diam aku mengamini si, hehe

“harusnya PBNU tau Aisyah”
“tau apa?”
“di pedalaman seperti desamu ini masih ada madrasah yang tulus dan selalu mendukung dan ikut menjaga NU serta Indonesia. diisi orang-orang hebat yang ihlas. Madrasah diniah ini bak tekennya kiai Hasyim Asyari. Ikut menjaga, melestarikan serta meneruskan estafet perjuangan kiai Hasyim Asyari”

Kita sama-sama terdiam. Dan percakapan itu menutup sore kami. Kami sholat berjamaah di mushola.
Acara nariyahan di lakukan di halaman mushola di mulai setelah solat isya. Acara itu aku buka dengan membaca puisi katangan mas yasin arif yang berjudul “Pesantren Kita”

Masih ingatkah saudaraku?
Di hari pertama kau injak tanah pesantren kita dulu.
Pada segala yang tak terlupakan.
Guratan wajah kiai yang meneduhkan.
Kesabaran guru-guru penuh keikhlasan.
Mesjid tempat kita sujud bersama.
Ladung air mata yang kau sembunyikan tatkala merasa tak kerasan.
Lusuh karpet tipis tempat kita tidur, belajar dan bersenda gurau.
Almari kita yang lapuk dimakan asai, reyot, miring, kakinya hilang satu.
Kitab-kitab yang berserakan.
Pakaian kotor yang berhamburanRiuh suara hafalan dari kamar-kamar.
Amuk suara keamaanan yang menggelegar.
Gedoran pintu yang mencekam saat subuh menjelang.
Kepul asap sebatang rokok yang kita cumbui bersama.
Secangkir kopi di belakang kamar dan sepotong senja yang menentramkan.
Cita-cita yang kita gantung pada jaring laba-laba di langit-langit kamarDongeng-dongeng sebelum tidur yang tak kunjung usai.
Tingkah polah kelakar tak pernah habis penuh dengan banyolan.
Kamar mandi kita padat lalat, anyir dan pesing.
Sabun pipih dan odol kita yang tepos.
Uang kiriman yang genting.
Rantang plastik tempat makanan kita yang polos.
Lauk tahu tempe dan ikan pindang adalah puncak kenikmatan
......................................
Masih ingatkah saudaraku?Pada runcing mata pena.
Pada keunikan aksara pegon.
Pada kemurnian kitab kuning.
Pada parau suara kita saat tartil Qur'an.
Pada segala yang tak terlupakanPada 'Fa'ala Yaf'ulu' dalam sorof; bahwa hidup niscaya melakukan perbuatan.
Pada 'Zayd' dalam Nahwu; bahwa hidup harus menambah kebaikan.
Pada 'Alif-Lam-Mim' dalam Jalalain; bahwa hidup adalah misteri Tuhan yang harus dilaksanakan
....................................
Ada rona kebahagiaan saat menjelang liburan.
Ada sesak kerinduan tatakala kita sudah pulang.
Dan kita adalah saudara yang menyatu dalam pelukan Tuhan.
Minggu, 23 Oktober 2016
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Bukti Kalau Kita Sudah Lupa Jati Diri

Sumber: 2.bp.blogspot.com

Lamongan, Enambelas Oktober 2016

Dari data yang di himpun oleh malesbanget.com terkait pekerjaan yang dianggap keren oleh orang tua, ada 9 hal yang diinginkan orang tua untuk disandang anak-anaknya kelak, antara lain; dokter, insinyur, polisi, pilot, tentara, bankir, arsitek, PNS dan pengacara. Dari kesembilan pekerjaan yang nampaknya hanya postulat dan tidak dari hasil riset ilmiah ini kita gunakan saja data yang disajikan malesbanget.com. Toh nyatanya memang penulis tak pernah menemukan ada orang tua yang kecewa pada anaknya yang bepekerjaan sebagai dokter dan/atau polisi.

Dari kesembilan pekerjaan itu penulis menaruh rasa aneh pada pekerjaan polisi, tentara dan PNS. Kenapa demikian? Kok sampainya orang tua itu pada anak-anaknya dibiarkan melarat. Kalau kita tenggok data dari Peraturan Pemerintah nomor 32 Tahun 2015 gaji paling rendah polisi setingkat Bhayangkara dua hanya Rp. 1.565.200 per bulan dan yang paling tinggi setingkat Jendral Polisi sebesar Rp. 4.986.700 per bulan. Untuk tentara Sesuai Peraturan Pemerintah nomor 31 Tahun 2015 gaji paling rendah tentara tingkat persan dua hanya Rp. 2.003.300 per bulan dan yang paling tinggi untuk Jendral Laksamana Marsekal sebesar Rp. 5.646.100 per bulan. Sementara untuk PNS sesuai Peraturan Pemerintah nomor 30 tahun 2015 yang terendah Golongan 1a hanya sebesar Rp. 1.486.500 per pulan dan yang paling tinggi untuk golongan 4e sebesar Rp. 5.620.300 per bulan. Ini tentu nilai yang kecil apalagi untuk mereka yang berdomisili di kota-kota besar dan dengan gaya hidup yang jauh dari kata sederhana. Belum lagi kebutuhan keluarga yang mendesak untuk dipenuhi. Sehingga kita jadi tak heran orang-orang dengan pekerjaan polisi, tentara dan PNS banyak berimprovisasi, gesek sana gesek sini, ceperan sana ceperan sini, karena memang gaji pokok mereka ada yang masih di bawah UMR.

Dari data itu penulis mengira-ngira sebenarnya yang di butuhkan manusia bukan hanya uang, tetapi juga pengakuan ego dari orang lain. Orang rela hidupnya melarat asalkan disanjung dan dihargai orang lain. Kebutuhan “dianggap ada” oleh orang lain adalah sesuatu yang sangat penting. Tetapi kenapa pekerjaan yang di pilih adalah polisi, tentara dan PNS. Kenapa data yang disajikan itu tidak juga mencatut guru?

Karena menurut penulis, profesi sebagai guru dan polisi? –kita ambil saja 1 contoh dari polisi, tentara dan PNS- sama-sama harus didasari dengan jiwa pengabdian, dan kalau dihitung dari hasil gaji perbulan, kedua pekerjaan ini juga hanya menghasilkan sedikit pemasukan.

---

Mari kita menengok terlebih dulu strata sosial yang diterapkan kerajaan majapahit yang di paparkan oleh Budayawan KH. Agus Sunyoto. Pada zaman majapahit ada 7 tingkatan masyatakat. Tingkatan yang paling tinggi sampai yang paling rendah adalah Brahmana (Kaum Rohaniawan), Ksatria (pengurus pemerintahan), Waisya (Petani), Sudra (Saudagar), Candala (Algojo, Pemburu), Mleccha (Orang Asing) dan Tuccha (Perampok, Penjahat).

Dari strata sosial itu, polisi berada di level kedua yakni Ksatria, sementara Guru berada di level puncak yakni Brahmana. Harusnya secara ideal orang yang paling disegani adalah mereka yang menjadi rohaniawan, pembimbing dan pendidik generasi muda. Dan tentu pekerjaan yang paling membanggakan orang tua adalah saat anak-anaknya menjadi guru. Kenapa kejadian saat ini memutar itu 180 derajat, mereka yang menjadi guru mesti di anggap orang yang melarat dan dicibir, bahkan sudah banyak orang tua yang malu saat anaknya menjadi guru dan sekolah di fakultas pendidikan.

Sebenarnya dari mana asal mula pengagungan berlebih pada level kedua masyarakat itu, dan sejak kapan level paling puncak di strata masyarakat ini menjadi bahan cibiran? Apakah kita sudah melupakan akar budaya kita?

---

Kalau kita tengok strata masyarakat pada era majapahit, memang seakan-akan ada kelas dan menimbulkan banyak kesenjangan di masyarakat. Namun sebenarnya strata itu sangatlah ideal dan telah berhasil menjadikan majapahit sebagai kerajaan yang berjaya dan maju dalam banyak hal.

Mereka yang berhak berbicara adalah mereka yang berpangkat Brahmana, yang berhak mentafsir kitab dan memberikan petunjuk adalah mereka yang sudah tak terpaut lagi dengan urusan dunia. Kebiasaan para brahmana adalah menyepi dari hingar-bingar dunia. Sementara yang berpangkat Ksatria juga tak boleh terpaut dengan dengan hal-hal yang berbau duniawiah, bahkan untuk ksatria yang menyimpan kekayaan pribadi harus di kucilkan dari masyarakat. Selanjutnya Waisya di taruh dilevel ke tiga karena mereka memikirkan dunia, mereka memikirkan tanah garapan dan hasil bumi, tetapi merekalah yang memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, sehingga level sosialnya masih ditaruh di bawah kesatria. Selanjutnya Sudra atau saudagar adalah orang yang pekerjaanya menumpuk harta, hatinya sudah banyak terpaut oleh kebutuhan duniawi. Kemudian yang lebih bawah lagi Candala atau jagal ditaruh dilevel setelah saudagar karena kebiasaannya memangsa mahluk lain, dalam memenuhi kebutuhan pribadi saja masih mengorbankan mahluk lain. Sementara Mleccha atau orang asing dianggap orang yang tidak berguna, mereka harus menjadi pelayan pribumi, bekerja untuk pribumi. Saat itu pribumi tidak diperbolehkan bekerja pada masyarakat Mleccha. Dan yang paling rendah adalah Tuccha atau begal, kategori paling buruk karena untuk hidup saja perlu merusak hidup orang. Andaikan saat itu ada koruptor, mereka juga masuh dalam kategori Tuccha.

Dari sini mari melihat bersama-sama, bagaimana pola pikir kita yang sudah rancu dan jauh dari akar budaya. Maksud penulis memberikan contoh pekerjaan polisi vs guru hanya satu dari berbagai kerancuan pandang kita. Bagaimana kita lebih memuliakan orang asing dari pribumi, membiarkan koruptor masih berkeliaran, tak begitu memperhatikan kesejahteraan para petani, kebiasaan siapa saja bisa mentafsir kitab suci dan masih banyak yang lain.

Dari sana mari kita memposisikan pandangan kita dengan lebih bijaksana. Kalau selama ini pandangan kita yang begitu mengagungkan jajaran birokrasi, polisi, tentara dan PNS masih mendominasi, harusnya para brahmana saat ini seperti kiai dan guru kita berikan porsi yang lebih.

Wallahu A’lam


Kembali berpijak pada kaidah ”mengunakan yang baik dari masa lalu dan menerima yang baik dari masa depan” saat pola pikir serta pandang era majapahit masih sangat relevan dan dapat diterapkan, kenapa kita harus ikut-ikut budaya orang lain yang belum tentu cocok dengan kebiasaan dan budaya kita. 
Minggu, 16 Oktober 2016
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Popular Post

Tengok Sahabat

Diberdayakan oleh Blogger.

Top Stories

About

- Copyright © Tigabelas! -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -