Archive for Februari 2016
Kau Pikir Negeriku
Aku masih berpegang teguh kalau berpikir
adalah proses mensyukuri nikmat Tuhan
Sehingga aku persilahkan engkau berpikir
dan menilai banyak hal tentang negeriku
Kau baca dan kau simpulkan
negeriku sesuka paradigmamu
Tapi kok nampaknya ada hal yang
berbeda dengan paradigma versiku
Kau pikir negeriku negeri
pemalas. Tapi tadi dini hari aku melihat para pedagang sudah berduyun-duyun ke
pasar jam tiga pagi
Kau pikir negeriku negeri lemah. Tapi
sore ini aku melihat abang penjual makanan mendorong gerobaknya lebih dari
sepuluh kilo meter
Kau pikir negeriku negeri tak
modern. Tapi saudaraku suku Asmad bisa membuat anti malaria sendiri tanpa
bantuan alat-alat canggih.
Kau pikir negeriku negeri
ketinggalan zaman. Tapi nenek moyangku sudah mengekspor meriam buatannya ke
Eropa sejak era Wali Songgo
Kau pikir negeriku negeri tolol. Tapi
setiap tahun selalu saja adik-adikku menjadi juara lomba internasional.
Dan kau pikir negeriku kurang
ini, kurang itu, lemah ini, lemah itu, tok ini, tok itu
Tapi kau benar juga, nampaknya memang
negeriku negeri pemalas, negeri lemah, negeri tak modern, negeri ketinggalan
zaman dan negeri tolol
Karena memang seperti itulah yang
diperlihatkan dilayar kaca.
Lamongan, 28 Februari
2016
Kang Ahmad
Sudah 3 tahun, sejak kang Ahmad pulang dari perantauan. Kata
ibuku, kang Ahmad selama ini menuntut ilmu di pondok. Kata ibuku juga, kang
Ahmad tergolong orang yang baik dan pintar. Kukenal juga di teman-teman
sebayanya, kang Ahmad terkenal berpengetahuan luas, sehingga maklum sekali kalau
saat ini kang Ahmad menjadi Imamuddin, atau biasa disebut Mudin, itu sebutan
untuk pemimpin agama di desa.
Pekerjaan kang Ahmad sebagai mudin, sama dengan mudin-mudin
yang lain. Di antaranya memimpin doa dan tahlil saat ada acara selametan
orang meninggal, tukang memberikan doa saat ada kondangan dan tukang mensalati
orang yang meninggal. Selain sebagai mudin, kang Ahmad setiap harinya
berprofesi sebagai petani dan istrinya berjualan di rumah untuk membantu
ekonomi keluarga. Kang Ahmad saat ini telah dikaruniai satu orang anak.
---
Sore ini langit menjadi gelap dan turun air dari langit. Terdengar
suara pengumuman dari masjid, ku dengar “Innalillahi wainna ilaihi rojiun,
telah meninggal bapak Munir, mari ta’ziah ke rumah duka”. Dalam hati aku
berbisik “Inalillah, ternyata yang meninggal pamanku”. Aku bergegas memberi
tahu ibu dan berangkat ta’ziah ke rumah paklik Munir. Paklik Munir memang sudah
sakit beberapa tahun ini, beliau mengidap penyakit jantung lemah.
Setelah ibu kuberitahu, kita berdua bergegas berangkat ke
rumah paklik Munir, dan kali ini aku mendapat pengalaman yang baru. Aku di
izinkan ibu ikut merawat jenazah dari mensalati sampai menguburkan jenazah,
mungkin ini karena aku yang sudah akil balik secara usia. Kesempatan ini aku
manfaatkan sebaik-baiknya, karena selama ini aku hanya praktik salat jenazah di
madrasah, kali ini aku melakukan salat jenazah sunguh-sunguh kepada paklik ku Munir.
Aku di mintak oleh Ibukku untuk ikut dengan cak Sobari memanggil kang Ahmad, mudin baru didesa kami. Sesampai
di rumah kang Ahmad, terlihat kang Ahmad memang sedang bersiap-siap mengenakan
sarung. Mungkin kang Ahmad juga mendengar pengumuman dari masjid, meskipun
jarak rumah kang Ahmad dari masjid desa kami cukup jauh, masjid kami berada di
selatan desa, sementara rumah kang Ahmad berada di utara desa.
Kemudian kami bersama kang Ahmad menuju ke rumah paklik Munir.
Sesampai di rumah duka, kang Ahmad mendatangi keluarga yang ditinggal. Beliau menanyakan
beberapa hal sebelum merawat jenazah.
“Bu Nur, apakah pak Munir memiliki harta yang diwariskan?” tanya
kang Ahmad pada bulek Nur
“ada kang, suami saya ada harta untuk diwariskan” bulek Nur
menjawab sigap
“lalu, apakah pak Munir memiliki hutang bu?” kang Ahmad kembali
bertanya menyambung pembicaraan.
“tidak punya kang” saut bulek Nur.
“kalau begitu mari mulai merawat jenazahnya pak Munir” kang Ahmad
mengambil kesimpulan, dan mengajak untuk memulai merawat jenazah.
Kang Ahmad memimpin para peziarah untuk merawat jenazah pak Munir,
dari memandikan, mengkafani, mensalati dan menguburkan. Aku hanya ikut mensalati
dan mengantar jenazah ke kuburan. Pada saat salat aku berada di barisan nomor
lima, dan sedikit mendengar apa yang diucap sebelum salat dan doa yang di
bacakan oleh kang Ahmad. Tapi tak apalah, ini cukup memberikan pengalaman
buatku untuk merawat jenazah.
Namun aku masih menyimpan pertanyaan, kenapa kang Ahmad perlu
bertanya kepada keluarga yang di tinggal soal hutang dan harta warisan.
---
Berjarak 5 minggu dari kematian paklik Munir, terdengar lagi
kabar kematian. Kali ini yang meninggal adalah tetanggaku sendiri, rumahnya
berjarak 4 rumah ke arah timur dari rumahku. Yang meninggal adalah pak Ibnu,
aku mengenal pak Ibnu adalah tetanggaku yang suka berniaga, dia sering
bergonta-ganti usaha. Ku dengar juga bahwa sudah sejak aku bayi beliau sering kali
menyumbang ke masjid setiap tahun.
Karena yang meninggal adalah tetanggaku sendiri, aku di minta
ibuku untuk ikut takziah ke rumah duka. Dan aku pun bergegas menuju rumah duka.
saat itu aku tidak ikut menjemput kang Ahmad, aku duduk-duduk di depan rumah
pak Ibnu saat kang Ahmad di jemput oleh keluarga duka. Saat kang Ahmad datang
aku bersalaman dengan beliau, dan ketika kang Ahmad masuk ke rumah duka,
terdengar kang Ahmad menanyakan hal yang sama kepada bu Ulfa, istri pak Ibnu. Pertanyaan
yang diberikan sama dengan apa yang ditanyakannya pada bulek Nur saat paklik Munir
meninggal. Sontak karena aku masih menyimpan pertanyaan dari yang ditanyakan kang
Ahmad itu, aku mendekat ke pintu rumah pak Ibnu, dan berusaha mendengar apa
yang di tanyakan kang Ahmad dan apa pula jawaban dari bu Ulfa.
“bu Ulfa, mohon maaf, apakah pak ibnu memiliki hutang?” kang Ahmad
bertanya pada bu Ulfa.
“ada kang, suami saya masih memiliki hutang ke temanya di
desa sana” bu Ulfa menjawab dengan lirih dan masih menangisi kepergian
suaminya.
“emm, begitu.. lalu apakah pak Ibnu memiliki harta yang
diwariskan Bu?” tanya lagi kang Ahmad dengan suara yang lebih halus pada bu Ulfa.
“Insaallah ada kang, suami saya punya simpanan uang
yang dapat diwariskan” bu Ulfa menjawab.
Kang Ahmad terlihat mengambil nafas panjang dan tersenyum,
nampaknya ingin menghibur bu Ulfa dan seraya berkata “ngeh pun bu, mari kita
mulai merawat jenazah pak Ibnu”
“enggeh kang” saut bu Ulfa.
Kemudian aku dan seluruh peziarah merawat jenazah pak ibnu. Namun
masih sama, aku hanya ikut mensalati dan mengantar jenazah ke kuburan.
Setelah pulang, aku pun masih belum mendapat jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan kang Ahmad. Saat paklikku tak punya hutang, beliau
mensalati, saat pak ibnu memiliki hutang, kang Ahmad juga mensalati, sebenarnya
apa maksudnya, kok kayaknya sama saja, dan memang sudah sewajarnya setiap mudin
bertugas memandikan sampai menguburkan setiap ada orang yang meninggal.
---
Sudah 2 bulan setelah kabar duka di kematian pak Ibnu, desaku
tak ada orang meninggal lagi, malah kabar yang terdengar adalah kabar-kabar
gembira. Kalau tidak salah ada 3 bayi yang baru lahir selama 2 bulan ini. Saat ini
pun sudah memasuki musim kemarau, sudah tak ada hujan setiap hari, seperti yang
terjadi saat kematian paklik Munir dan pak Ibnu, yang kematiannya di selimuti
langit hitam.
Saat ini setiap hari selalu di selimuti terik matahari yang
hangat, dan terlihat para petani juga banyak yang bercocok tanam pada buah
semangka. Buah semangka desaku saat kemarau seperti ini memang terkenal manis. banyak
petani yang mengubah ladangnya menjadi ladang semangka begitu juga kang Ahmad,
saat ini kang Ahmad tengah menggarap ladangnya yang beralih menjadi kebun semangka.
Saat aku pulang sekolah, siang ini cukup terik. Dan sesampai
di rumah aku mendengar pengumuman dari masjid. “Innalillahi wainna ilaihi
rojiun, telah meninggal dunia pak Burhan, mari ta’ziah ke rumah duka”. dalam
hati aku berkata “Innalilah, baru di omongkan tak ada orang meninggal, ini
langsung ada yang meninggal”. Namun saat ini aku sedang sendiri di rumah,
ibuku sedang ke rumah sakit menjenguk temanya yang sakit. Rumah orang yang
meninggal ini tak jauh dari rumahku, tetapi tidak tetangga-an denganku, rumahku
dengan rumah pak Burhan berjarak 2 gang, tetapi masih dalam satu RW.
Aku berniat ikut ta’ziah, karena memang sedang menganggur tak
ada kerjaan dan tugas, di rumah juga tak ada orang, dari pada waktu terbuang
sia-sia, aku ikut saja ta’ziah, kalau kata orang pondok ngalap barokah. Aku
segera mandi dan berangkat ke rumah pak burhan.
Sesampainya di rumah pak burhan sudah berkumpul tetangganya,
tetapi tak begitu banyak seperti saat kematian pak Ibnu, dalam pikirku “ini
kan siang, pantas kalau sedikit, banyak orang sedang bekerja”. Dan seperti
biasa, aku mencari tempat duduk di depan rumah duka saat keluarga menjemput
kang Ahmad, kali ini kang Ahmad cukup lama datangnya. Terdengar dari yang
menjemput, ternyata kang Ahmad awalnya sedang ada di ladang, sehingga lama
sampai rumah duka. tapi syukurlah kang Ahmad telah tiba dan masuk rumah. Dan seperti
biasa, sebelum masuk rumah duka, aku bersalam dengan kang Ahmad.
Dan seperti yang kuduga, kang Ahmad akan menanyakan hal yang
sama seperti yang ditanyakan pada bulek Nur dan bu Ulfa. Segera aku mendekat ke
pintu dan menguping pembicaraan kang Ahmad dengan keluarga yang di tinggal.
“mohon maaf bu Dian, apakah pak burhan memiliki harta
warisan?” kang Ahmad bertanya pada istri pak Burhan.
Sambil menangis bu Dian menjawab “tidak ada pak Ustad”
Kang Ahmad diam sejenak, lalu menanyakan pertanyaan yang
kedua “enggeh Bu, lalu saya mau tanyak lagi Bu, mohon maaf, apakah pak Burhan
memiliki hutang?”
Dalam sendu bu Dian menjawab dan terdengar suaranya semakin
lirih “punya Ustad, suami saya punya hutang untuk biaya merantau 2 tahun lalu”
Baru-baru ini terdengar kabar, ternyata pak burhan memang
baru pulang merantau, tetapi tertipu dengan usaha-usaha yang membuat kaya
secara instan.
Aku lanjut mendengarkan, dan aku melihat pak Ahmad nampak berpikir.
Lalu satu kata muncul dari mulut kang Ahmad “saya belum bisa mensalati pak Burhan
bu, maaf”
Bu Dian nampak kaget mendengar jawaban kang Ahmad, aku pun
sendiri tak percaya mendengar. Seorang kang Ahmad yang terkenal baik menolak
untuk mensalati jenazah hanya karena si jenazah memiliki hutang. Aku mulai
berprasangka buruk pada kang Ahmad, nampaknya dia tak sebaik yang kupikirkan
selama ini.
Namun saat prasangka burukku menguasai tubuh, aku melihat
kang Ahmad berdiri dari duduknya. Dan dia berkata dengan lembut “aku belum bisa
mensalati jenazahnya pak burhan sebelum hutangnya terbayar bu Dian, aku akan
melunasi hutangnya pak Burhan dulu, sebelum mensalatkan jenazah pak burhan”.
Dari jawaban kang Ahmad, sontak seisi ruangan tersebut
menangis menderu-deru. Dan bu Dian berterima kasih pada kang Ahmad.
Akupun hampir menetaskan air mata karena kebesaran hati kang Ahmad,
ternyata beliau bukan hanya orang baik, nampaknya dia adalah contoh orang yang
tak risau soal dunia yang hidup saat ini. Aku semakin mengagumi kang Ahmad atas
jawabannya ini.
Kang Ahmad keluar dan membayarkan hutang pak Burhan terlebih
dahulu, lalu kang Ahmad kembali dan memimpin peziarah merawat jenazah pak
burhan. Aku pun ikut mensalati dan
mengantar jenazah pak Burhan ke tempat istirahat untuk selamanya. Selepas itu
aku pulang dan masih menyimpan rasa kagumku pada sosok satu ini.
Terdengar kabar memang keluarga pak Burhan sedang tidak
memiliki tabungan sama sekali, sehingga saat kang Ahmad bilang tidak bisa mensalati
jenazah pak Burhan, pasti sangat menyakitkan untuk di dengar.
Aku semakin mengagumi mudin satu ini, karena kebesaran
hatinya, dan nampaknya kang Ahmad juga tak tipikal orang yang hanya beropini,
tetapi langsung memberi solusi dengan kerja aktif. Tak hanya memberikan jawaban
bisa mensalati atau tidak, tetapi langsung bertindak di garda depan apabila ada
suatu masalah, dan nampaknya beliau juga tak terlalu risau dengan harta, karena
kudengar ternyata hutang pak Burhan mencapai 2 juta. Itu nominal yang besar
menurutku, apalagi untuk kang Ahmad yang hanya mudin dan petani biasa.
Semoga kesehatan selalu dilimpahkan Tuhan pada kang Ahmad,
dan semoga kita semua dapat belajar dari beliau, menjadi insan yang tak hanya
pandai beropini dan menghukumi sesuatu, tetapi juga mencari solusi dan berperan
aktif pada suatu hal.
Tak siap hidup berbeda (bully sudah jadi kebiasaan masyarakat Indonesia!)
Malang, Enam belas Februari 2016
Selamat malam Indonesia, langit tak berbintang masih menemani
Februari ini, setelah seharian di temani dengan gerimis ringan cukup membuat
manusia bumi berpikir lebih dingin dan tenang. Apalagi akhir-akhir ini sering
kali terdengar isu yang cukup menyita perhatian netizen dari sosial budaya
sampai kemanusiaan.
Lesbian, gay, biseksual dan transgender atau lebih akrab di
sebut LGBT adalah salah satu isu yang paling di perhatikan khalayak, banyak pro
kontra dari kejadian ini. Ada yang sangat mengecam dan ada pula yang membela
dan sepakat, dan dilihat dari berbagai sudut pandang. Bahkan banyak di antara
televisi swasta yang sengaja membuat diskusi publik untuk membahas isu ini.
Kali ini penulis tidak ingin ikut-ikutan memberikan pandangan
pro kontra terkait isu ini, namun lebih pada kenapa LGBT menjadi begitu hangat
untuk di bicarakan.
---
Kita telah mengenal adagium luar biasa:
Bercerminlah pada 2 cermin: 1.
Kebaikan Orang lain dan 2. Keburukan diri sendiri
bahkan mungkin ada yang mengenal sudah sejak lama. Adagium
ini digunakan dalam kajian-kajian keagamaan sampai kemanusiaan. Adagium ini
jelas ingin mengajak kita untuk redah hati dan selalu berusaha lebih baik. Kita
di perkenankan untuk mengingat kebaikan orang lain agar kita bisa berterima kasih.
Serta melihat keburukan kita agar kita terus berusaha memperbaiki diri.
Namun, apakah kita sudah mempraktikkan adagium tersebut?
Ataukah selama ini kita malah membaliknya?
Isu LGBT yang sedang panas ini menurut penulis akibat
manifestasi kebiasaan kita membalik adagium di atas. Sering kali kita hanya
mengingat-ingat kebaikan kita bahkan menganggap diri kita sempurna. Serta melihat
orang lain hanya pada kesalahannya, dan pasti orang lain lah yang berdosa atas
segala kecelakaan didup.
Kita sering kali menganggap bahwa apa pun yang berbeda atau
sedikit berbeda dari kita di sebut ”aneh”. Dan ketika kita bertemu orang aneh,
kita mengolok-olok keanehan tersebut, dan beranggapan kita yang paling baik.
Apabila pada umumnya yang di sebut normal adalah laki-laki
yang suka dengan perempuan dan berwatak serta berperilaku seperti laki-laki
pada umumnya. Tatkala kita dipertemukan dengan seorang laki-laki yang memiliki
kebiasaan dan gerak gerik seperti perempuan, kita akan dengan mudah menggunjing
mereka dengan sebutan “banci!”. Belum sampai pada dia suka pada sesama
laki-laki, baru sampai pada perilaku yang mirip saja, bullyan kita telah banyak
keluar pada mereka yang di sebut “aneh”. Dan saat itu pun kita masih merasa
benar dan bangga bahwa kita yang suka lawan jenis inilah yang normal dan
sempurna.
Kebiasaan bullying bangsa ini bukanlah serta merta ada dan
muncul, karena di negeri ini banyak televisi yang mengajarkan masyarakat untuk
melakukan praktik bulying. Acara komedi yang sering kali mendoktrin kita untuk
melakukan praktik bullying. Saat ini komedi bukanlah sesuatu yang hanya membuat
kita tertawa, tetapi membuat kita selalu merasa benar. Dalam praktik membuat
komedi menurut penulis secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 jenis. Yang
pertama adalah komedi yang dapat menertawakan diri sendiri, kota sendiri atau
bangsa sendiri. Dan ada yang membuat komedi dengan menertawakan orang lain,
kota lain atau bangsa lain. Klasifikasi ini penulis buat dari sudut pandang
objek komedi. Dan banyak di televisi yang mempraktikkan komedi dengan objek
orang lain, sehingga jatuhnya tak tauh dari praktik bullying.
Praktik bullying mengakibatkan kita selalu merasa benar,
akibat kita yang hobi membalik adagium di atas kita akan sulit menjadi pribadi
yang lebih dewasa, bangsa kita juga akan lama untuk bisa dewasa dalam menyikapi
sesuatu. Dan dampaknya kita akan terus-terusan menjadi bangsa yang berlebel
“rumput kering”, terkena api sedikit kebakaran selahan.
Sedari sekarang kita harus sama-sama mengubah cermin kita
yang salah kaprah, tak sepatutnya kita hanya melihat kebaikan kita dan melihat
keburukan orang. Ini bukan hanya masalah agama yang telah menfatwakan itu,
tetapi ini masalah kemanusiaan. Adagium itu dapat membimbing kita bersosial
dengan lebih bijaksana dan terus berusaha memperbaiki perilaku kita pada
sesama.
---
Penulis melihat bahwa komedi adalah sesuatu yang urgen ada
dalam kehidupan kita untuk melakukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena
dengan komedi kita bisa sedikit melegakan otot-otot yang tegang akibat tertawa
lepas dengan komedi. Namun komedi juga seperti sebuah mata pisau, kita bisa
saja membuat komedi yang segar dan dapat tertawa bersama, ada pula yang membuat
sebagian orang lain tersakiti hatinya. Ini pun hasil dari kita menyikapi
adagium di atas, kita lebih memilih siapa yang menjadi objek komedi kita.
Penulis sadari betul, banyak tokoh-tokoh besar dan menjadi
panutan bangsa ini memiliki rasa komedi yang besar, bahkan sekelas pemuka agama
kebanyakan memang menggunakan komedi sebagai media dakwah. Sehingga memang
terlihat bahwa komedi adalah salah satu bagian dari bangsa kita. Penulis beranggapan,
hal ini telah di sadari betul oleh KH. Abdurahman wahid.
Pengantar buku mati ketawa cara Rusia yang di tulis oleh KH.
Abdurrahman wahid menjelaskan bahwa bangsa yang memiliki ketahanan sosial
adalah kuat adalah yang memiliki humor yang tinggi. Dalam pengantar buku
tersebut, gus dur juga menjelaskan bahwa kedewasaan suatu bangsa dapat dilihat
dari seberapa cerdik pembuat komedi menyadari kesalahan pribadi dan
menertawakan kesalahan sendiri.
Rasa humor dari sebuah masyarakat mencerminkan daya tahan
yang tinggi di hadapan semua kepahitan dan kesengsaraan. Kemampuan untuk
menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan
kebutuhan dan rasa hati di satu pilak dan kesadaran akan keterbatasan dari
pihak lain. Kepahitan akibat kesengsaraan, diimbangi oleh pengetahuan nyata
akan kehausan menerima kesengsaraan tanpa patahnya semangat untuk hidup. Degan
demikian, humor adalah sublimasi dari kearifan sebuah masyarakat. (Gus Dur
dalam pengantar mati ketawa cara Rusia)
.
Ketika kita melihat komedinya orang yang mengerti cara
berkomedi, pasti akan memperhatikan efek yang ditimbulkan dari komedinya.
Sehingga aspek-aspek perasaan orang juga menjadi perhatian para pembuat komedi.
Yang di perhatikan bukan hanya komersilnya acara dan sebagian orang tertawa,
tetapi juga memperhatikan sisi batin setiap orang dan berusaha semaksimal
mungkin untuk menjaga perasaan semua orang.
Ketika kita dapat berkomedi dengan bijaksana, penulis rasa
praktik bullying akan terdegradasi. Sehingga kita bisa lebih manusiawi melihat
orang lain. Lebih mending LGBT yang berani mengungkapkan cinta, dari pada
penulis yang sudah setua ini tak junjung juga menemui belahan jiwa. Bermaksud
membuat komedi sih, dengan menertawakan ke jomblo an diri sendiri, tapi ya maaf
kalau tidak lucu.. hehe
Semoga komedi tetap menjadi kearifan lokal bangsa kita,
bangsa yang guyup rukun dan adem ayem dengan komedi-komedi yang
segar. Dan meminimalisir praktik bullying dalam membuat komedi.
Wallahu A’lam
Semoga kita semua terlindungi dari sifat suka mengunjing, dan
semoga bangsa kita segera terlepas dari jeratan label rumput kering.
Kapan kita bisa adil 2? (Sak Madyo dan Istiqomah)
Malang, sebelas Februari 2016
Selamat petang Indonesia, hujan masih saja turun dari langit
dengan intensitas lebih ringan dari tadi sore, membuat udara kota Malang lebih
sejuk. Kali ini penulis ingin men-shering-kan hasil pencarian penulis
terhadap sebuah pertanyaan yang pernah membelenggu pikiran penulis.
Beberapa waktu lalu penulis sempat berdiskusi dengan teman,
berdiskusi panjang lebar dan dalam hal apa saja. Memang diskusi malam itu, yang
kebetulan hanya kami lakukan berdua. Apa pun yang bisa di bahas kami bahas dan
apa pun yang bisa di bicarakan kami bicarakan, namun bukan berbicara perihal
tindak-tanduk orang, lebih pada mencari sebuah gagasan dalam hidup.
Diskusi itu dilakukan oleh dua orang yang sedang belajar,
kalau di bilang kompeten juga tidak, hanya sedikit ilmu yang di mengerti,
sehingga kita shering tahu saling tahu saja. Kita membicarakan yang kita
tahu dan meraba-raba sesuatu yang belum diketahui.
Sehingga dari sana di dapatkan sebuah hasil diskusi yang
tuntas membahas suatu hal, dan ada pula yang belum tuntas membahas suatu hal,
sehingga ada beberapa PR yang mesti dipecahkan. Dan tulisan ini adalah jawaban
dari salah satu PR yang ada buat kita berdua.
Kami berdua sering kali membaca dan menelaah banyak quotes
dari orang-orang besar, dan saat itu kami berdua tertarik pada sebuah quotes
dari novelis besar Indonesia, yang dimaksud adalah Pramodya Ananta Toer. Dalam
salah satu novelnya, Pram sempat menulis bahwa “kita harus adil sejak dari pikiran”
Kita berdua memang mengamini quotes ini, namun yang menjadi
pertanyaan, bagaimana kita bisa adil, bahkan sejak dari pikiran?
---
Dalam quotes tersebut disebutkan bahwa adilnya sejak dari pikiran,
sehingga adil yang di maksud di sini adalah sebuah kebiasaan yang dilakukan
dalam alam bawah sadar. Bisa juga diartikan bahwa adil di sini dimulai dari
hal-hal yang kecil dan sederhana, bahkan pikiran kita harus adil, apalagi
perilaku kita.
Beberapa hari lalu penulis sempat mendengarkan rekaman
ceramah dari KH. Ahmad Mustofa Bisri. Dalam ceramah yang disampaikan Gus Mus,
beliau menjelaskan bahwa kita harus hidup dengan Sak Madyo (kata dalam
bahasa Jawa yang bermakna secukupnya) dan Istiqomah. Dan menurut penulis sampai
saat ini, inilah jawaban agar kita bisa adil, bahkan sejak dari pikiran.
Lantas, kenapa kita harus membiasakan Sak Madyo dan
Istiqomah agak kita bisa adil?
Dalam sejarah umat manusia, ada sekelompok orang yang
membabtis pemimpinya sebagai wali, ada pula yang membabtisnya sebagai nabi,
bahkan ada yang membabtisnya sebagai Tuhan. Kalu di pikir, kenapa ini bisa
terjadi? Salah satu dugaan jawabanya adalah karena kurangnya rasa Sak Madyo,
banyak orang yang keterlaluan mencintai seseorang, dan membenarkan seluruh
ucapan orang. Dianggap sangat benar dia bisa disebut wali, nabi bahkan Tuhan.
Ketika rasa sak madyo masih belum ada dalam diri
manusia, kita akan terjebak dalam bayang-bayang fanatisme, sehingga jelaslah
ketika kita masih belum bisa sak madyo, saat itulah kita akan tetap tidak
bisa adil. Kita akan terbelenggu oleh sekte-sekte dan tak bisa berpikir terbuka
pada sekte yang lain.
---
Selain rasa sak madyo yang harus ada dalam kehidupan
kita, hal itu harus dilakukan berbarengan dengan Istiqomah. Al-Ghozali pernah
berkata “tidak ada kebaikan untuk baik yang tidak terus, malah lebih baik
kejahatan yang tidak terus dari pada kebaikan yang tidak terus”.
Sak madyo adalah perilaku yang mudah dilakukan apabila cumak dilakukan
sekali, namun sak madyo harus bersandingan dengan istiqomah (terus
menerus). Sak madyo harus kita lakukan dalam semua elemen kehidupan
kita.
Sak madyo pada orang pintar, sak madyo pada kekayaan, sak madyo pada
cinta, bahkan sak madyo untuk ibadah. Bahkan Allah lebih menyukai
sesauatu yang dilakukan secara istiqomah.
Dalam kasus adil tidak adil, contoh yang paling sering di kambing
hitamkan karena dia tidak adil adalah seorang hakim. Lantaran putusan tidak
sesuai dengan apa yang digugat, sering kali hakim dinilai tidak adil. Baik
memang benar-benar tidak adil atau prasangka tidak terima putusan hakim. Saat
ini memang banyak kita temui hakim yang memang tidak adil, dan memang
ditengarai ini terjadi karena sang hakim belum istiqomah. Seorang hakim adil
itu adalah kewajiban. Sehingga apabila dia bisa sak madyo, dia akan
memutuskan sebuah perkara dengan takaran yang tepat, dan ketika dia istiqomah
adil, baik di rumah, di jalan bahkan dalam meja hijau, dia akan tetap istiqmah
adil. Selain memiliki sikap adil, anggaplah si hakim ini taqwa kepada Tuhan.
Ketika taqwanya si hakim ini hanya saat dia salat di masjid, akankan hasil
putusannya akan adil pula? Ketika di masjid taqwa pada Tuhan namun saat di meja
hijau taqwa kepada uang, tentu dapat dibayangkan hasil putusanya. Sehingga sak
madyo dan istiqomah memang sepatutnya ada di setiap sendi kehidupan kita.
Apabila perilaku adil dan sak madyo ini dapat
diamalkan. Akan menjadi sebuah kewajaran apabila seseorang bisa adil bahkan di
alam bawah sadar, karena telah melakukan sak madyo dan istiqomah terus
menerus.
---
Dan yang paling penting adalah teman yang dapat mengingatkan.
Kita diciptakan sebagai manusia dengan kodrat sering salah dan lupa, sehingga
sangat wajar kita sering hilaf dalam hidup kita, sehingga kita memerlukan teman
yang selalu bisa mengingatkan kita saat kita hilaf.
Dalam setiap salat, kita selalu berdoa dan dilafalkan saat
tahiyat akhir, yang berbunyi “ya muqolibal qulub, sabits qolbi ala diniq”.
Artinya : wahai dzat yang membolak balik hati manusia, letakkan hati kami
diatas agamamu. Dari doa tersebut kita mengakui bahwa kita memang makhluk yang
sangat mudah di bolak balik hatinya, sehingga kita dianjurkan untuk selalu
berdoa untuk dilindungi Tuhan agar di jaga hatinya di atas agamanya, dan karena
itu perlulah kita mencari teman yang dapat mengingatkan tentang hal itu.
Wallahu A’lam
Semoga usaha kita berbarokah dan di ridhoi Tuhan. Harapan
kita bersama, semoga setiap langkah kita selalu berada dalam koridor Tuhan yang
maha Esa.
Metamorfosis tagar anti-anti
Malang, sebelas Februari 2016
Selamat sore Indonesia, seperti biasa hujan selalu setia
menemani bumi Indonesia dan permai ini dengan hujan di setiap sorenya. Seakan-akan
hujan tahu bahwa dia memang bertugas untuk mendinginkan manusia permukaan bumi
yang sering kali bertikai.
Udara nan sejuk ini mengantarkan penulis pada sebuah ingatan
kemarin, saat penulis menemukan sebuah tagar unik sekali di dunia sosial media,
tagar kampanye anti-anti. Tagar yang penulis maksud adalah
#IndonesiaTanpaPacaran dan #Tolak ValentineDay . terbilang tagar ini bukanlah
tagar yang ecek-ecek karena angka netizen yang menggunakan tagar ini sampai 14.000
untuk Indonesia tanpa pacaran dan 1.500 untuk Tolak valentine day. Itu baru
tagar di sosial media Instagram, belum yang lain. Namun tak begitu booming
juga, karena penulis menemukan tagar ini juga bukan karena sebuah ke tidak kesengajaan.
Terdengar kabar bahwa kelompok orang yang mengkampanyekan
tagar ini akan road show kampanye ke 10 titik kota di Indonesia. Mungkin
setelah road show itu terjadi akan mulai terdengar gaung-gaung kecil di
telinga.
Sebenarnya kampanye anti-anti seperti ini bukanlah hal yang
baru ada di Indonesia. Sudah sejak lama ada sebagian orang yang memang sering
melarang tindak tanduk orang, yang mungkin menurut kacamata mereka (orang yang
anti-anti) kurang tepat dengan kaidah mereka dalam berkehidupan dan tak sesuai
dengan ilmu yang mereka miliki.
Namun yang membedakan adalah gerakan anti-anti semacam ini
seperti bermetamorfosis dan menghasilkan sebuah gerakan yang lebih masif dan
dimotori oleh kaum muda dan ustad muda yang tahu-tahu muncul dan mengetahui
segala seluk beluk kehidupan. Ustad-ustad muda ini lah yang menjadi ujung
tombak gerakan mereka. Ustad-ustad ini yang sering kali mengeluarkan fatwa-fatwa
terbarukan yang seakan-akan sangat kekinian dan cocok dengan era saat ini, dan
tak jarang pula ada unsur anti-anti semacam ini.
---
Teringat pada sebuah dialog yang dilakukan oleh gus mus dan
beberapa sahabatnya dalam sebuah acara bedah buku Atlas Wali Songo beberapa
waktu yang lalu. Ada yang mengatakan bahwa “mereka yang sering mencampuri Islamnya
orang lain, merekalah yang belum tuntas ber-Islam”. Analoginya seperti ini. Semisal
dalam sebuah ujian terdapat dua orang yang di soroti, tokoh yang pertama memang
pintar dan cakap, dia mengerjakan semua soal dengan cekatan dan selesai tepat
waktu, dan ada satu tokoh lagi yang memang dia terkenal badung, kurang belajar
dan suka iri dengan kemampuan orang lain. Tokoh kedua ini tidak begitu menguasai
materi ujian, sehingga banyak soal yang belum terjawab, dan karena dia memiliki
sifat dasar suka iri-an, sehingga saat waktu selesai, dia kebingungan dan mengganggu
temanya (si-A) untuk mendapatkan contekan. Mungkin semacam ini, ketika ada
seseorang yang memang dia sudah cakap dalam ber-Islam, dia akan tenag dalam Islamnya
yang diyakininya dan menghormati Islam yang lain, berbeda dengan yang belum
cakap, dia akan mengoyak-oyak cara beribadah orang yang kebetulan berbeda
denganya.
Teringat pula pada sebuah buku karya Abdurrahman Wahid (Gus
Dur), dalam buku kumpulan esai Islamku, Islam Anda dan Islam kita. Terdapat sebuah
esai yang berjudul sama dengan buku,
yang mana dalam esai itu Gus Dur mencoba menularkan sebuah gagasan yang
menarik pada kita semua, cara kita ber-Islam yang cocok untuk dikerjakan di Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut penulis, gus dur sadar betul bahwa Islam di Indonesia
adalah beragam dan harus diakui keberagaman itu. Sehingga ketika kita memiliki
Islamku (Islam yang kita yakini sebagai kebenaran kita masing-masing) bisa
bersanding dengan Islam Anda (Islam yang Anda yakini dan kita yakini
bareng-bareng kebenarannya). Antara Islamku dan Islam Anda dapat bersandingan
dan hidup bersama meneropong kebenaran ke depan yang beliau namakan Islam kita.
Ketika Islamku tidak dapat menerima Islamku milik Anda, tentu kita tak dapat
lanjut pada Islam Anda. Ketika ego Islamku dan Islam Anda sudah dapat berbagi
tempat dan bersama-sama meneropong Islam ke depan, saat itulah Islam kita akan
mulai terlahir. Dan Islam dengan karakteristik “Islam kita” inilah yang dapat
hidup tentram di bumi Indonesia yang memang sudah terkenal beragam.
Terakhir penulis juga teringat pada sebuah adagium yang di
celetukkan gus mus yang berbunyi “kalau Anda boleh meyakini kebenaran Anda,
kenapa orang lain tidak boleh”. Ketika kita gabungkan dengan tagar di atas
menjadi seperti ini, “kalau Anda boleh meyakini #IndonesiaTanpaPacaran dan
#TolakValentineDay sebagai kebenaran Anda, kenapa orang lain tidak boleh”
Mungkinkah ini yang di maksud dengan mental bangsa Indonesia masih
berkarakter kolonialis. Ada susah sekali seperti orang yang sedang terjajah, ada
yang sangat berkuasa dan suka mengatur-atur seperti para penjajah dulu. Kalau semua
dipaksa untuk tidak pacaran dan menolak valentine, apa bedanya Anda dengan mbah
yang tenar masa tahun 60-an sampai 90-an itu, yang suka mengatur-atur kehidupan
masyarakat Indonesia. Bahkan sampai pagar rumah di atur oleh mbah harus ber-cat
kuning.
Kalau memang jawabannya “iya”, ingin mengatur-atur kehidupan
orang, ngeh monggo mugi-mugi gusti Allah njogo panjenengan.
Menurut penulis, dari pada membuat kampanye anti pacaran dan
tolak valentine, buat apa? Buat apa mengurusi orang pacaran, kalau memang
pacaran itu berbahaya, ya biar yang suka pacaran itu yang menerima bahayanya
(kalau memang bahaya). Dari pada ngurusi hak priogratif orang dalam
memilih ingin pacaran atau tidak, lebih baik kampanye untuk kepentingan banyak
orang seperti korupsi. Karena memang korupsi jelas merugikan banyak orang.
Celetuk sebuah teman, kalau semua dilarang pacaran, ya
kasihan Abah Anton (Walikota Malang) yang telah
berhasil menyulap seluruh sudut kota malang menjadi taman dan disediakan
kursi berpasang-pasangan di setiap taman untuk pacaran. Kalau semua dilarang,
bakal cepat usang kursi-kursi pacaran yang sudah disediakan itu, hehe
Wallahu A’lam
Penulis sangat sadar bahwa apa yang penulis tulis sangat
banyak berkemungkinan salah, namun satu yang penulis yakini, hukum sebelah mana
yang melegalkan orang-orang itu untuk mengatur hak preogratif masing-masing
personal dalam memilih hidup berpacaran atau ingin merayakan valentine. Semoga kita
semua tetap dalam koridor. Amin.
KAU KIRA AKU...
Kalian memang baik, selalu menduga
aku yang baik-baik
Kau kira aku Islam, padahal aku hanya
ingin disebut saleh salehah dan pembawa tentram
Kau kira aku baik, padahal aku hanya
ingin disanjung dan dipuji bak para salik
Kau kira aku cinta, padahal aku hanya
umbar nafsu belaka
Kau kira aku terpelajar, padahal aku
hanya ingin bodohi kalian dan supaya tenar
Kau kira aku dermawan, padahal aku
hanya ingin disebut loman
Kau kira aku guru, padahal aku hanya
melatihmu takut nilai tanpa tanam nilai kejujuran
Kau kira aku murid, padahal aku tak
ta’dzim pada guruku
Banyak sekali kedokku
Ya kedok...
Hanya kedok agar kalian menginginkan
derajat sosialku
Karena aku hanya daging yang rakus
pujian
Karena aku bukan roh yang tulus.
Malang, tiga Februari 2016
Duga-duga (refleksi nonton bola)
Malang, Tiga Februari 2016
Selamat pagi Indonesia. Masih saja terdengar rintik gerimis
sampai pagi ini sisa hujan kemarin sore. Hujan penuh rahmat yang mendinginkan
kepala dan hati manusia bumi yang setelah seharian kepanasan. Tulisan kali ini
cukup spesial untuk penulis, bukan hanya karena waktu penulisan yang tak
seperti biasanya, tetapi juga karena study kasus yang ingin di angkat. Beberapa
kali penulis ingin menulis dengan latar belakang hobi penulis yang sering
menonton pertandingan sepak bola, terutama tim favorit penulis, dan puji syukur
pagi ini kesampaian juga keinginan penulis untuk membuat sebuah refleksi hasil
menonton bola. Serius, tulisan ini adalah hasil penulis menonton bola.
Pada saat menonton bola, ada banyak sekali ragam penonton. Ada
penonton yang berteriak-teriak seraya bernyanyi mendukung tim favoritnya, ada
pula yang hanya diam sembari melihat gaya permainan yang di mainkan, dan ada
pula yang menjadi komentator dadakan yang mengomentari semua gerak pemain.
Namun untuk kategori yang terakhir ini, tak jarang bahkan sangat sering yang ditemui adalah
seorang kritikus subyektif. Bukan menjadi komentator yang objektif melihat
langkah permainan, tetapi hanya menyoroti pemain-pemain yang bermain buruk. Mungkin
hal ini dapat digunakan sebagai bahan bulian yang sangat empuk, apalagi yang
bermain buruk adalah tim yang memiliki nama besar dan sejarah tim yang bagus.
Pengalaman yang pertama terjadi beberapa minggu yang lalu. Saat
itu tim dukungan penulis memang bermain sangat buruk dan terlihat sangat
membosankan. Bagaimana tidak, para pemain hanya berputar-putar di tengah lapangan
dan membuat sedikit peluang. Skor bertahan imbang kaca mata sampai di menit 80.
Terlihat betapa membosankannya permainan itu.
Dalam pertandingan itu, ada saja orang-orang yang masuk dalam
3 kategori penonton bola yang sudah di sebutkan di atas. Dan tentu yang paling
terdengar suaranya adalah yang nomor1 dan 3. Kelompok yang pertama tak begitu
mengganggu ini terjadi karena kelompok penonton yang pertama adalah bagian
suporter loyal, entah bermain baik atau buruk tetap didukung, sehingga tak
begitu mengganggu pendengaran sekitar. Dan tentu yang paling terdengar gaungnya
adalah kelompok nomor 3. Yang mengomentari semua gerak gerik pemain.
Saat berlangsung pertandingan itu, ada satu pemain baru di
tim yang memang kiprahnya kurang baik, terlihat banyak akselerasinya yang gagal
dan tertahan di barisan pertahanan lawan, sehingga golongan suporter ke 3 ini
sangat gemar mencaci pemain ini. Sepanjang pertandingan pemain ini dihujat
karena di anggap tidak memberikan andil apapun untuk tim. Dan dhilalah
di akhir pertandingan. Seakan-akan Tuhan ingin mengingatkan kita semua.
Pemain yang selama pertandingan di hina melakukan akselerasi
lagi, akselerasinya sampai masuk kotak penalti dan akhirnya gagal kembali. Dia terjatuh.
Tetapi apa yang terjadi, tim ini mendapatkan penalti. yap, mendapatkan penalti
di ujung pertandingan, dan itu di sebabkan pemain yang kerap di hina sepanjang
pertandingan. Pemain baru ini terus berakselerasi dan dapat membantu tim untuk
mencetak gol lewat titik penalti. Memang yang menendang bukan pemain yang di
hina ini, tetapi yang mengambil tembakan penalti adalah kapten. Pertandingan selesai
dan akhirnya tim yang bermain sangat buruk ini tidak jadi kalah. Ya, tidak jadi
kalah karena orang yang selama pertandingan di hina.
Kejadian ini seakan-akan Tuhan ingin mengingatkan kita untuk
menjaga ucapan kita. Kata bijak berkata “berucap baiklah, kalau tidak lebih
baik diam”. Tuhan mengharapkan kita untuk tidak menjadi tukang bicara saja dan
tukang komentar, apalagi hanya komentar keburukan orang. Seandainya saja pemain
tadi tidak bermain, tentu tim tadi tak akan dapat penalti dan tak akan mendapat
kemenangan. Sehingga pemain yang di hina inilah pahlawan tim yang sebenarnya,
bukan si penendang penalti, ya meskipun tak dapat di katakan si penendang tak
berperan.
Apabila kita tarik garis untuk kehidupan sehari-hari, sungguh
tak patut kita terlalu menjelekkan dan membaguskan orang lain. Kita di anjurkan
untuk tetap moderat dan berperilaku adil serta sewajarnya pada sesama. Karena kita
tidak tahu, orang yang selama ini kita anggap baik nanti sebelum ajal menjemput
dia berbelok arah, dan orang yang saat ini kita anggap buruk nanti saat ajal
akan lurus di jalan Tuhan.
Sebaiknya kita wajar dan menjadi orang santun dari pada
terus-menerus menjadi tukang komentar apalagi hanya membicarakan keburukan
orang.
---
Kejadian yang kedua baru terjadi malam ini, ya masih dengan
tim yang sama. Tim favorit penulis sedang bermain. Tim ini memang dalam trand
buruk dan sering kali bermain angin-anginan. Kembali dengan penonton yang masuk
dalam kategori ketiga namun beda orang.
Pada pertandingan ini tim favorit penulis bermain cukup
efektif ya meskipun beberapa kali masih belum bisa menyelesaikan peluang. Namun
malam hari ini tim favorit penulis menang cukup telak.
Kali ini yang penulis temui adalah orang yang paling suka
menduga. Jangankan tim yang bermain, bahkan sampai teman-teman yang ikut
menonton pertandingan terkena dugaannya.
Terhitung semua dugaan yang terjadi malam ini mencapai kurang
lebih 8 dugaan, baik dugaan untuk tim yang sedang bermain dan untuk teman yang
sedang menonton. Dan penulis hitung dari 8 dugaan itu hanya ada 1 yang benar. 1
dugaan yang benar ini pun penulis sebenarnya sudah tahu, sehingga tanpa di
ucapkan sudah banyak orang yang tahu. Kenapa yang satu ini banyak orang yang
sudah tahu, ini dikarenakan kejadian terjadi saat Mr. duga-duga ini masih
tertidur, sementara kita yang lain tahu semua karena tidak ada yang tertidur.
Dari pengalaman ini pula kita kembali di ingatkan Tuhan,
bahwa ngomongin orang memang sebuah perilaku yang tidak baik, apalagi
sampai menduga-duga.
Banyak dari ucapan kita yang tanpa dasar dapat melukai hati
yang lain. Sehingga lebih baik menjaga hati orang lain dari pada menjadi Mr.
duga-duga.
Dan satu lagi, penulis teringat kata bijak “jangan tidur
pagi, nanti rizkinya dipatok ayam”. Nampaknya yang dimaksud kata itu bertitik
berat pada kata tidur, kita di anjurkan tidur secukupnya, agar kita mendapat
berkah rizki. Rizki di sini pun tak hanya berupa harta benda, namun informasi,
pengetahuan dan ilmu juga termasuk rizki. Dapat di bayangkan apabila
teman-teman bertemu dengan orang yang tak mengerti apa yang di omongkan (tak
dapat rizki pengetahuan) namun dia sangat suka menduga-duga, tentu akan menjadi
bumerang untuk dirinya sendiri kan.
Semoga kita dijaga dan tetap dalam koridor Tuhan.
Wallahu A’lam
Semoga kita diselamatkan Tuhan dan wafat dalam khusnul khotimah.
Mari kita semua belajar menjaga lisan kita masing-masing.