- Back to Home »
- Embun »
- Tak siap hidup berbeda (bully sudah jadi kebiasaan masyarakat Indonesia!)
Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id
Rabu, 17 Februari 2016
Malang, Enam belas Februari 2016
Selamat malam Indonesia, langit tak berbintang masih menemani
Februari ini, setelah seharian di temani dengan gerimis ringan cukup membuat
manusia bumi berpikir lebih dingin dan tenang. Apalagi akhir-akhir ini sering
kali terdengar isu yang cukup menyita perhatian netizen dari sosial budaya
sampai kemanusiaan.
Lesbian, gay, biseksual dan transgender atau lebih akrab di
sebut LGBT adalah salah satu isu yang paling di perhatikan khalayak, banyak pro
kontra dari kejadian ini. Ada yang sangat mengecam dan ada pula yang membela
dan sepakat, dan dilihat dari berbagai sudut pandang. Bahkan banyak di antara
televisi swasta yang sengaja membuat diskusi publik untuk membahas isu ini.
Kali ini penulis tidak ingin ikut-ikutan memberikan pandangan
pro kontra terkait isu ini, namun lebih pada kenapa LGBT menjadi begitu hangat
untuk di bicarakan.
---
Kita telah mengenal adagium luar biasa:
Bercerminlah pada 2 cermin: 1.
Kebaikan Orang lain dan 2. Keburukan diri sendiri
bahkan mungkin ada yang mengenal sudah sejak lama. Adagium
ini digunakan dalam kajian-kajian keagamaan sampai kemanusiaan. Adagium ini
jelas ingin mengajak kita untuk redah hati dan selalu berusaha lebih baik. Kita
di perkenankan untuk mengingat kebaikan orang lain agar kita bisa berterima kasih.
Serta melihat keburukan kita agar kita terus berusaha memperbaiki diri.
Namun, apakah kita sudah mempraktikkan adagium tersebut?
Ataukah selama ini kita malah membaliknya?
Isu LGBT yang sedang panas ini menurut penulis akibat
manifestasi kebiasaan kita membalik adagium di atas. Sering kali kita hanya
mengingat-ingat kebaikan kita bahkan menganggap diri kita sempurna. Serta melihat
orang lain hanya pada kesalahannya, dan pasti orang lain lah yang berdosa atas
segala kecelakaan didup.
Kita sering kali menganggap bahwa apa pun yang berbeda atau
sedikit berbeda dari kita di sebut ”aneh”. Dan ketika kita bertemu orang aneh,
kita mengolok-olok keanehan tersebut, dan beranggapan kita yang paling baik.
Apabila pada umumnya yang di sebut normal adalah laki-laki
yang suka dengan perempuan dan berwatak serta berperilaku seperti laki-laki
pada umumnya. Tatkala kita dipertemukan dengan seorang laki-laki yang memiliki
kebiasaan dan gerak gerik seperti perempuan, kita akan dengan mudah menggunjing
mereka dengan sebutan “banci!”. Belum sampai pada dia suka pada sesama
laki-laki, baru sampai pada perilaku yang mirip saja, bullyan kita telah banyak
keluar pada mereka yang di sebut “aneh”. Dan saat itu pun kita masih merasa
benar dan bangga bahwa kita yang suka lawan jenis inilah yang normal dan
sempurna.
Kebiasaan bullying bangsa ini bukanlah serta merta ada dan
muncul, karena di negeri ini banyak televisi yang mengajarkan masyarakat untuk
melakukan praktik bulying. Acara komedi yang sering kali mendoktrin kita untuk
melakukan praktik bullying. Saat ini komedi bukanlah sesuatu yang hanya membuat
kita tertawa, tetapi membuat kita selalu merasa benar. Dalam praktik membuat
komedi menurut penulis secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 jenis. Yang
pertama adalah komedi yang dapat menertawakan diri sendiri, kota sendiri atau
bangsa sendiri. Dan ada yang membuat komedi dengan menertawakan orang lain,
kota lain atau bangsa lain. Klasifikasi ini penulis buat dari sudut pandang
objek komedi. Dan banyak di televisi yang mempraktikkan komedi dengan objek
orang lain, sehingga jatuhnya tak tauh dari praktik bullying.
Praktik bullying mengakibatkan kita selalu merasa benar,
akibat kita yang hobi membalik adagium di atas kita akan sulit menjadi pribadi
yang lebih dewasa, bangsa kita juga akan lama untuk bisa dewasa dalam menyikapi
sesuatu. Dan dampaknya kita akan terus-terusan menjadi bangsa yang berlebel
“rumput kering”, terkena api sedikit kebakaran selahan.
Sedari sekarang kita harus sama-sama mengubah cermin kita
yang salah kaprah, tak sepatutnya kita hanya melihat kebaikan kita dan melihat
keburukan orang. Ini bukan hanya masalah agama yang telah menfatwakan itu,
tetapi ini masalah kemanusiaan. Adagium itu dapat membimbing kita bersosial
dengan lebih bijaksana dan terus berusaha memperbaiki perilaku kita pada
sesama.
---
Penulis melihat bahwa komedi adalah sesuatu yang urgen ada
dalam kehidupan kita untuk melakukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena
dengan komedi kita bisa sedikit melegakan otot-otot yang tegang akibat tertawa
lepas dengan komedi. Namun komedi juga seperti sebuah mata pisau, kita bisa
saja membuat komedi yang segar dan dapat tertawa bersama, ada pula yang membuat
sebagian orang lain tersakiti hatinya. Ini pun hasil dari kita menyikapi
adagium di atas, kita lebih memilih siapa yang menjadi objek komedi kita.
Penulis sadari betul, banyak tokoh-tokoh besar dan menjadi
panutan bangsa ini memiliki rasa komedi yang besar, bahkan sekelas pemuka agama
kebanyakan memang menggunakan komedi sebagai media dakwah. Sehingga memang
terlihat bahwa komedi adalah salah satu bagian dari bangsa kita. Penulis beranggapan,
hal ini telah di sadari betul oleh KH. Abdurahman wahid.
Pengantar buku mati ketawa cara Rusia yang di tulis oleh KH.
Abdurrahman wahid menjelaskan bahwa bangsa yang memiliki ketahanan sosial
adalah kuat adalah yang memiliki humor yang tinggi. Dalam pengantar buku
tersebut, gus dur juga menjelaskan bahwa kedewasaan suatu bangsa dapat dilihat
dari seberapa cerdik pembuat komedi menyadari kesalahan pribadi dan
menertawakan kesalahan sendiri.
Rasa humor dari sebuah masyarakat mencerminkan daya tahan
yang tinggi di hadapan semua kepahitan dan kesengsaraan. Kemampuan untuk
menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan
kebutuhan dan rasa hati di satu pilak dan kesadaran akan keterbatasan dari
pihak lain. Kepahitan akibat kesengsaraan, diimbangi oleh pengetahuan nyata
akan kehausan menerima kesengsaraan tanpa patahnya semangat untuk hidup. Degan
demikian, humor adalah sublimasi dari kearifan sebuah masyarakat. (Gus Dur
dalam pengantar mati ketawa cara Rusia)
.
Ketika kita melihat komedinya orang yang mengerti cara
berkomedi, pasti akan memperhatikan efek yang ditimbulkan dari komedinya.
Sehingga aspek-aspek perasaan orang juga menjadi perhatian para pembuat komedi.
Yang di perhatikan bukan hanya komersilnya acara dan sebagian orang tertawa,
tetapi juga memperhatikan sisi batin setiap orang dan berusaha semaksimal
mungkin untuk menjaga perasaan semua orang.
Ketika kita dapat berkomedi dengan bijaksana, penulis rasa
praktik bullying akan terdegradasi. Sehingga kita bisa lebih manusiawi melihat
orang lain. Lebih mending LGBT yang berani mengungkapkan cinta, dari pada
penulis yang sudah setua ini tak junjung juga menemui belahan jiwa. Bermaksud
membuat komedi sih, dengan menertawakan ke jomblo an diri sendiri, tapi ya maaf
kalau tidak lucu.. hehe
Semoga komedi tetap menjadi kearifan lokal bangsa kita,
bangsa yang guyup rukun dan adem ayem dengan komedi-komedi yang
segar. Dan meminimalisir praktik bullying dalam membuat komedi.
Wallahu A’lam
Semoga kita semua terlindungi dari sifat suka mengunjing, dan
semoga bangsa kita segera terlepas dari jeratan label rumput kering.