Archive for Mei 2019

Refleksi Ramadan #26

[Sumber: travel.kompas.com]
Akhirnya untuk mengawali puasa yang ke 26 ini, saya bisa sahur di rumah bersama seluruh keluarga. Setelah menempuh jarak ratusan kilo dengan waktu tempuh nyaris satu sesi puasa, alias dari sahur sampai buka, akhirnya sampai juga di rumah.

Puasa di rumah tentu memberikan sebuah sensasi yang berbeda dengan saat di daerah rantau, dari hidup yang lebih teratur tidak bisa tidur dari pagi sampai sore, segala macam kebutuhan dari yang materil sampai spirituil ada di rumah sampai ramainya suasana sahur dan berbuka bersama. Apalagi untuk saya yang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah karena malasnya main-main ke luar apalagi saat malam, rumah menjadi sebuah tempat paling berkesan ketika pulang kampung.

Berkesan dalam arti banyak sekali rasa yang dapat hadir di rumah, dari suka sampai duka. Ya itu lah rumah.

Rumah memang memberikan banyak kenangan, kadang yang menyenangkan, kadang yang menyebalkan. Rumah adalah hidup. Tidak mungkin hidup hanya berisi kebahagiaan. Hidup itu kompleks dari bahagia bukan main sampai sedih luar biasa.

Dulu aku sempat protes kenapa ada sesuatu yang masam hadir di rumah? Kayaknya hal itu datang ketika aku kecanduan motivasi yang katanya kontruktif, ya meskipun rasa yang nyata hadir ada juga yang membuat hidup tambah destruktif. Motivator bilang “rumah adalah surga”, kok buatku saat ini, kata-kata itu semacam racun yang pelan-pelan bisa membunuh, karena kita akan tetap merasakan kecutnya hidup di rumah.

Dari sana aku sering protes karena kehidupan di rumah ndak selalu manis kayak di surga, pikiranku saat itu rumah harus berisi sesuatu yang manis saja, tidak boleh ada yang asam. Dan saat asamnya kehidupan itu datang, brontak datang menjadi-jadi.

Saat ini mulai aku meyadari bahwa picik juga kalau mengharap rumah hanya berisi yang manis, sementara rumah adalah hidup itu sendiri. karena hidup, sehingga isinya harus beragam. Tinggal kita yang cerdik atau tidak dalam mengelola setiap rasa yang datang. Atau kita hanya mau pasrah dan mengharap kebahagiaan tanpa mau mengolah diri dan perspektif yang nantinya akan membuat mata kita memaknai hidup lebih berbeda.

Ya itulah rumah, tempat paling tempat untuk kita memahami hidup.

Ada diantara kita yang bahagianya bukan main kalau sedang di rumah bersama keluarga dan ada juga yang sebaliknya. Rumah benar-benar menjadi salah satu contoh paling tepat tentang kompleksnya kehidupan yang penuh dengan spektrum situasi hidup.

Menjadi contoh yang sangat tepat juga untuk kita dalam melatih hawa nafsu saat puasa, karena yang kita hadapi adalah bagian dari diri kita sendiri.

Mungkin kita bisa sabar dengan ulah ngawur orang di jalan yang tidak kita kenal, tetapi kalau kejadian menyebalkan itu terjadi di rumah, apakah kita tetap bisa mengendalikan emosi? Tentu menjadi sangat sulit apalagi kita merasa punya hak untuk meredam situasi yang tidak kita suka. Salah pendekatan dan berakibat pada semakin kacaunya situasi, kondisi pun tambah gak enak, karena kejadiannya ya tetap di rumah.

Rumah adalah tempat keintiman kita dengan jati diri.

Jika rumah buat sebagian teman-teman adalah tempat yang menyebalkan, coba ubah persepektif, jangan terlalu banyak berharap pada hal yang tidak bisa kita ubah. Yang bisa kita kendalikan adalah diri kita sendiri. ubah cara kita memandang rumah dan menjadi manusia proaktif.

Untuk teman-teman yang tidak bisa pulang kampung, jangan sampai berkecil hati, karena yang tidak bisa ditemui saat lebaran ini hanya rumah sebagai benda, bukan rumah sebagai sifat.

Sebenarnya, di manapun kita dan sejauh apapun kita pergi, kita tetap berada di rumah dengan segala gejolak kehidupan yang hadir di dalamnya.

Semoga ramadan yang nyaris akan segera berkahir ini dapat membuat kita menjadi manusia yang lebih efektif. Salam :)
Jumat, 31 Mei 2019
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Refleksi Ramadan #25

[Sumber: Merdeka.com]

Selasa kemarin GUSDURian Jogja tidak mengadakan ngaji Gus Dur karena banyak jamaah yang sudah pulang kampung atau mudik. Minggu-minggu terakhir bulan ramadan seperti ini, saya kira juga akan semakin banyak orang yang mudik.

Ada yang mengatakan bahwa mudik adalah sebuah kegiatan yang hanya dilakukan di daerah Nusantara. Tidak ditemukan momen jalan menjadi ramai saat mendekati hari besar dan desa dipenuhi orang yang balik dari perantauan  di negara lain.

Hal ini bisa jadi karena untuk masyarakat daerah Nusantara, menyambung silaturahmi dengan keluarga adalah suatu hal yang penting. Malahan kalau sudah menikah, mudikna bisa menuju ke dua lokasi. Sehingga memang selalu ada rasa yang diuntai dalam jalinan perjalanan pulang.

Saya rasa tradisi mudik ini akan selalu ada, meskipun nantinya teknologi sudah sangat maju di Indonesia. Orang-orang akan tetap sadar bahwa teknologi semaju apapun tidak akan dapat menggantikan rasa. Rasa itu hanya akan hadir ketika ada perjumpaan secara langsung.

Dalam falsafah Nusantara pun sudah banyak diceritakan, bahwa sejauh apapun seseorang itu merantau, entah tujuannya untuk berdagang atau menuntut ilmu, dia akan kembali ke daerah asal, hal ini karena keterkaitan dengan daerah asal yang sangat kuat.

Apalagi kita sebagai orang yang percaya doa, tentu momen mudik bisa jadi salah satu momen melanggengkan doa keselamatan. Bagaimana tidak, untuk seorang muslim, keridhoan orang tua adalah hal yang sangat penting, sehingga pulangnya seorang anak bisa menjadikan ridhonya orang tua tetap nyambung. Tidak hanya itu, momen mudik juga menjadi sebuah ajang untuk tetap menjaga kearifan desa.

***

Namun, tantangan pun ada dalam kegiatan mudik ini.

Tantangan yang buatku menarik untuk dibicarakan adalah soal pengaruh dan mempengaruhi.

Orang desa yang merantau, ketika memiliki kualitas mental yang silau pada dunia gemerlap, mereka yang menganggap dunia kota/luar negeri pasti lebih baik dari daerah asal, mereka akan mudah sekali tercerabut dari akar kedesaannya. Banyak di antara mereka yang dengan mutlak menganggap segala sesuatu yang hadir di kota adalah sesuatu yang terbaik, sehingga saat mereka kembali, mereka akan memaksakan sesuatu yang ada di kota untuk ditiru secara serampangan di desa.

Dari cara berpakaian, berdandan, memperlakukan orang sampai berinteraksi. Tentu ini cukup wagu ketika dilihat dari daerah. Padahal tentu tidak semua yang ada di kota perantauan pasti lebih baik dari yang semua sudah ada di desa. Tidak semua yang ada di kota akan cocok ketika diterapkan di desa

Sehingga, menurutku tetap menjaga kualitas mental dengan seimbang dan tidak mudah silau pada hal dan cerita baru menjadi baik.

Biar tidak terlalu inlander lah mental kita itu.

Yang ujungnya, ketika kita bisa seimbang, kita akan melahirkan suasana mudik yang penuh dengan rasa sayang serta tetap merawat tradisi kedaerahan.

Selamat mudik teman-teman, semoga seluruh keluarga sehat. Salam :)
Kamis, 30 Mei 2019
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Refleksi Ramadan #24

[IG: @gantengpolnotok]
Perkara buka puasa saat ini sudah lebih mirip sebuah fertival, kegiatan yang dirayakan banyak kalangan. Buka puasa sudah tidak menjadi momentum selesainya puasa saja, tetapi lebih dari itu, kadang puasa dijadikan ajang reoni, rapat-rapat terbatas sampai janjian manuver politik.

Ini bisa dideteksi dari peserta buka puasa yang memang tidak hanya terdiri dari orang yang membutuhkan buka saja, tetapi mereka yang sedang libur puasa bahkan sampai orang yang tidak berpuasa juga hadir dalam berbagai kesempatan buka bersama.

Sehingga kalau mau lebih disesuaikan antara istilah dan isi kegiatan, sebenarnya buka bisa dinamai “momen kumpul berbayar”. Tetap bertahan dengan nama buka karena dilakukan saat bulan ramadan dan memulai makan saat adzan magrib sudah berkumandang.

Hal ini tentu menjadi menarik karena momen buka puasa bisa membongkar batas-batas penyekat antara dua kelompok masyarakat yang selama ini jarang berinteraksi.

Mereka yang selama ini hidup dalam kungkungan asumsi menjadi punya kesempatan bertemu bahkan mungkin sampai bercakap-cakap. Untuk teman-teman yang tidak melakukan puasa juga akhirnya mengerti bagaimana orang yang berpuasa menyelesaikan ibadahnya.

Tentu buka pausa bersama yang saya maksud di sini adalah buka puasa yang dilakukan sekelompok masyarakat di tempat makan atau di kediaman tokoh publik semisal pemerintah kota, bukan buka yang diadakan masjid atau majelis pengajian yang memang pesertanya adalah semua orang yang membutuhkan buka.

Gejolak tradisi buka puasa ini entah kenapa memang selalu menjadi perbincangan dalam setiap ramadan. Sudah sempat aku ceritakan di refleksi sebelumnya, bahwa aku pun sampai menemui ada orang yang sudah merencanakan momentum buka puasa saat sebelum bulan ramadan itu datang. Ini kan menandakan bahwa semangat untuk berkumpul masyarakat kita ini sangat besar. Entah hal ini karena puasanya atau karena momen makannya yang membuat berkumpul saat waktu berbuka ini masif dilakukan oleh berbagai kalangan.

Malahan, misal suatu kelompok masyarakat belum melakukan buka bersama, rasa-rasanya kurang lengkap saja rangkaian fersival ramadan ini.

Sehingga ketika ditilik dari semangat yang sangat membara serta komposisi peserta yang heterogen ini, akan ada banyak sekali potensi positif yang bisa disemai dari serangkaian buka yang semarak ini.

Ya seperti yang aku sebutkan di muka, momen buka puasa ini malahan kadang bisa mempertemukan dan menyatukan dua orang yang selama ini hidup dalam kunkungan asumsi. Sehingga semangat untuk memulai dialog dan bermuara pada toleransi dan memahami harusnya bisa benar-benar tumbuh dari momen yang baik ini.

Selama apa yang dilakukan dan dibicarakan baik, saya kira berkumpul seperti ini tetap baik.

Sehingga harapanya bahwa momen ramadan yang penuh buka bersama ini bisa menjadi sebuah pintu gerbang untuk kita semua mau membuka ruang dialog yang luas, terutama pada hal-hal yang selama ini dipisahkan benteng prasangka.

Meskipun kadang-kadang kita juga perlu menyisipkan bumbu individualis di antara begitu semangatnya kita berkumpul. Agar kita tetap bisa seimbang menjadi manusia.
Selamat berpuasa dengan bahagia. Salam :)

Rabu, 29 Mei 2019
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Refleksi Ramadan #23

[Sumber: bantennews.co.id]
Tadi malam, persis ketika saya selesai ngopi, jantung rasanya berdebar ra karuan. Yang pasti hal ini disebabkan oleh kopi si, karena selain kopi, hal-hal yang aku konsumsi masih makanan yang tidak menimbulkan efek secara instan, paling kolesterol karena keseringan makan daging. Cuma semalam rasanya ini bener-bener ndak enak, ngelu sekali sirahe dulur.

Meskipun kejadian seperti ini ndak sekali ini, karena emang pernah beberapa kali aku ngopi dan mendapati hasil kurang nyaman di jatung, tapi yo tetep ae ra nyaman dan gelisah keringat dingin pas jantung berdebar. 

Analisa paling awal ku menyimpulkan tragedi jantung berdebar amat kencang semalem bukan karena dosis si kopi, tetapi karena mengkonsumsi kopinya yang kelewat cepat. la piye, semalem aku minum kopi tak campur es krim, alhasil ngombene njuk nyeruput buwanter. La gurih, manis, adem campur jadi satu.

Memang seperti itu, untuk orang yang tidak benar-benar kebal dengan kopi, kadang kopi itu membahayakan karena kemampuannya meningkatkan asam lambung yang cepat dan tentu efek detak jantung yang berdebar karena terpapar kafein. Selain tentang jumlah, kecepatan mengkonsumsi kafein juga kadang berpengaruh. Efek yang ditimbulkan bisa beragam, kadang hanya membuat tangan tremor, tidak bisa tidur, sampai jantung yang amat kencang berdetak kayak aku semalam. Rasane semalem kayak-kayak meh pingsan, serius.

Dan dari kejadian semalam, hikmah paling cepat yang bisa diambil adalah alhamdulilah selama ini diberi jantung yang aman. Karena saat ndak normal, asli untuk melakukan apa-apa itu ndak enaknya bukan main.

Seperti semalam ketika jantung berdetak kencang, mau solat juga ndak enak apalagi kepikiran maksiat, wes blas ilang.

Sehingga untuk saat ini, yang sampai detik ini masih bisa merasakan enaknya bernafas dengan normal dan jantungnya berdetak dengan normal, mari sejenak bersyukur atas nikmat yang sudah diberikan Tuhan.

***

Bukankah bersyukur adalah salah satu hikmah yang bisa kita ambil ketika sukses berpuasa?

Dulu, ketika aku masih kecil, salah satu petuah yang paling menarik tentang hikmah melakukan puasa adalah latihan agar kita bisa bersyukur. Bahwa saat kita lapar seharian, kita sedang merasakan apa yang dirasakan teman-teman kita yang kekurangan makanan.

Ya meskipun kadang pengetahuan itu sering bergejolak karena kenyataannya tidak demikian juga. Protes paling awalku tentang hikmah puasa bab menahan lapar seperti orang kurang makan langsung carut marut ketika sampai waktu buka, kita kembali ke kebiasaan lama yang suka makan, bahkan lebih rakus. Jadi hikmah macam apa kalau puasa tetap membuat kita menjadi manusia yang rakus.

Tetapi, mari kita potong sampai waktu berbuka, karena urusan rakus setelah berbuka adalah urusan pribadi. Setidaknya, puasa memang banyak membuat orang merasa lapar dan hal itu juga menjadi tantangan adalah sebuah fakta, kalau lapar itu ndak tantangan, ra bakal rame-rame orang ngerebek warung yang buka saat puasa, eh. Apalagi yang puasanya tetap berkatifitas, tidak tura turu tura turu alasan ibadah kui.

Pas siang bolong yang puasane sampek membuat banyak orang menghardik panas "Anjing, panas banget". Haus adalah keniscayaan, lapar sudah pasti. Jadi, di kondisi seperti itu kita bisa bersyukur tentang gimana nikmatnya diberi kesempatan minum dengan bebas.

Meskipun ini level beragama yang mungkin rendah, karena meletakkan ibadah sebagai sebuah cobaan, tetapi dalam latihan syukur, kenapa tidak.

Karena asli, kalau kita pernah sakit, saat itu kita bisa bersyukur pernah diberi sehat.

***

Orang i kadang menghardik rasa lapar, lapar ki ra enak, membuat apa-apa jadi ndak oke. Beraktivitas rasane ada yang kurang, semacam ada sisi kehidupan yang perlu diwelasi.

Tapi, seaslinya, lapar kui nikmat juga. Serius, lapar kui nikmat.

Pernah gak sih merasa tidak pernah lapar dan juga tidak bisa eek? Meskipun tidak memberikan efek yang sampai membuat lemas seperti lapar, tetapi kondisi tidak bisa lapar itu ya aneh juga, perut kembung dan begah, mau makan juga ndak enak, ndak bergairah, ketemu bakwan panas juga ndak ada sahwatnya sama sekali. Apalagi dicampur ndak bisa eek. 

Bisa dibayangkan bagaimana kondisi dalam perut kita, gak ada yang pengen dimasukin ke perut dan ndak ada yang mau keluar. Busuk-busuk lah itu makanan di dalam, atau jangan-jangan ndak membusuk karena ndak diproses perut. Waladohhh

Sehingga rasa lapar itu sunguh nikmat syaudarakuu.

Rasa lapar menunjukan bahwa proses dalam tubuh kita masih terus berjalan.

Katanya pengalaman adalah guru yang terbaik, kalau mau menigkat rasa syukur dari pengalaman sendiri, silahkan berdoa untuk segera sakit, tidak merasa lapar, jantung berdebar ra karuan sampai mudahnya pingsan. Wkwkwkw.

Tapi kalau ndak mau, ya udah cukup percaya saja, ini adalah doktrin. Bahwa baik kamu sedang kenyang, lapar, jantung normal, berdebar, ngantuk, terjaga, dan kondisi-kondisi lain, terselip syukur itu sungguh hal yang penting.

Jangan dikira tidak lapar saat puasa itu enak yaaa. Ngawor. Mau buka kamu masih kenyang, lalu apa enaknya minum es blewah dan gorengan tempe. Tentu lebih nikmat kita makan gorengan dan es blewah pas buka saat lapar dan haus tak tertahankan kan, ya kan, ya kan.

Selamat bersyukur, salam :)

Selasa, 28 Mei 2019
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Refleksi Ramadan #22

[Sumber: remajaislam.com]
Memasuki bulan ramadan kita diserang berbagai iklan produk makanan yang disesuaikan dengan keadaan orang berpuasa, bahkan sudah ada yang menyesuaikan dengan lebaran padahal puasa saja belum.

Produk minuman yang katanya bisa menghilangkan dahaga saat berbuka lah, makanan yang bisa membantu puasa karena kandungan gizi lebih banyak dan awet kanyang lah, multivitamin yang bisa menjaga daya tahan tubuh serta mencukupi zat yang hilang saat puasa lah, sampai segerombolan diskon yang katanya diperuntukan untuk menyambut hari raya. Hiya hiya hiya.

Kalau kita tenggok iklan yang bertebaran, selalu saja isinya mengambarkan kondisi puasa yang amat menyiksa. Seolah-olah kita tidak akan kuat dan pasti terganggu kondisi biologis serta metabolisme dalam tubuh saat berpuasa, sehingga kalau mau kuat dan tidak terganggu ya memakai produk yang dimaksud. Kita dicekoki bahwa puasa membuat dehidrasi, lemas dan tidak memiliki energi. Seolah puasa adalah ladang penyiksaan, sehingga membuat kita seolah-olah membutuhkan segala jenis produk yang akan membantu melewati penyiksaan karena puasa.

Belum lagi serangkaian diskon yang menarik daya beli semakin ra karu-karuan. Dengan terang-terangan disebutkan bahwa hari fitri adalah tampilan baru. Sehingga kita perlu baju baru, kerudung baru, celana baru, sendal baru. Kita sampai lupa bahwa hal baru yang benar-benar harus dihadirkan adalah hati yang baru.

Sampai saat ini, tidak hanya toko offline yang banjir mengiklankan diri dengan diskon tidak masuk akan yang membuat daya beli tidak masuk akal juga. Tetapi, toko online yang mana mereka sudah mulai mengambil pasar juga ikut ambil bagian dalam peran meningkatkan daya beli masyarakat dengan bagi-bagi voucer dan bonus. Yang tentu hasil buat mereka adalah bulan ini daya beli masyarakat harus meningkat, untung adalah kunci.

Belum lagi kebutuhan akan memoles isi rumah. Dari mengisi sediaan logistik untuk hari raya sampai mendandani ulang rumah dengan menganti warna cat, memoles ulang perabotan, membeli alat pembersih rumah sampai mencuci segala karpet dan horden yang harus bersih saat hari raya.
Sehingga kongkroit kita akan mengkonsumsi lebih banyak dan lebih beraneka ragam makanan, minuman, aneka multivitamin, perlengkapan rumah sampai baju. Semua itu diperuntukan untuk menyambut hari yang katanya fitri.

Sungguh ramadan sampai hari raya adalah rangkaian festival yang meriah. Festival yang sangat menguntungkan bagi pelaku pasar, iklan berbau ramadan dikit, tipis-tipis kasih bonus, insaallah peserta fersival ramadan akan ramai-ramai membeli produk yang ditawarkan.

Hemm,

Padahal, Orang yang akan berpuasa harusnya sadar betul bahwa dia sedang akan melakukan aksi menahan diri dari gerudukan nafsu. Sehingga implikasi paling rasional adalah hidup sederhana. Lakok ini malah dengan tanpa sadar menyediakan diri untuk hidup berlebihan.

Mari diakui saja, siapa diantara kita yang malah lebih berlebihan saat berpuasa dibanding hari-hari biasanya. Otak kita serasa auto-mengamini bahwa puasa adalah hal yang menyiksa sehingga kita membutuhkan berbagai produk yang dijajakan.

Sehingga yang selama ini tidak perlu multivitamin, jadi beli multivitamin. Biasanya makan cukup dengan nasi, sekarang sahurnya nasi dan roti. Biasanya cukup minum air putih, sekarang ada minuman isotonik, minuman dengan kandungan glukosa yang baik untuk buka katanya, sampai minum minuman yang bisa menjaga konsentrasi.

Lalu di mana sisa sederhana yang menjadi inti kandungan ibadah puasa? Bukankan puasa mengajari kita hidup sederhana dan penuh sabar.

Misal ditinjau dari kesehatan sedikit, kita lo sadar bahwa puasa itu emang lapar, tapi ndak sampek membunuh juga. Malah puasa itu sehat, lawong makane teratur. Ngerti kan kalau banyak penyakin itu muncul dari banyak makan, semisal diabetes, asam urat, kencing manis, kencing batu sampai maag. Kita memberikan waktu istirakat untuk perut dalam bekerja terus menerus adalah jalan yang tepat untuk bisa hidup lebih sehat. Tapi kenapa semua cita-cita puasa itu terasa hilang ketika berhadapan dengan gerudukan diskon.

Bukankah selama sebulan ini, selain kita diajarkan untuk sabar dan sederhana dengan melakukan puasa, kita juga diwajibkan untuk zakat, yang mana artinya kita malah harus mengeluarkan harta kita untuk orang lain, dan ditutup dengan hari raya yang mensucikan hati.

Kok malah kejadiannya jadi terbalik begini. Ramadan malah jadi ajang semakin konsumtif dan rakus padahal di waktu yang sama sedang puasa dan zakat. Hanya fokus memperbaiki tampilan padahal haruse yang lebih utama adalah memperbaiki hari, lawong melewati idul fitri jua.

Jadi sebenanrnya masih menyisakah semangat ramadan di hidup kita sampai hari ke 22 ini? Atau malah semakin parah hilang inti ramadan karena setelah ini diskon semakin besar dan semakin ugal-ugalan lagi.

Salam :)


Senin, 27 Mei 2019
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Refleksi Ramadan #21

[Sumber: ramadan.tempo.co]
Semalam adalah malam 21 ramadan, alias sudah masuk 10 terakhir dan pas di malam ganjil. Banyak sekali yang meriwayatkan bahwa kemungkinan besar lailatul qadr turun saat malam ganjil sepuluh terakhir, sehingga dari sana banyak sekali yang berusaha menambah ibadah agar malam-malam yang berkemungkinan lailatul qard tidak berlalu dengan sia-sia.

Sejak dulu, di musholah dan masjid desa selalu mengadakan khataman Alquran pada malam-malam ganjil sepulut terakhir, sehingga yang selama ini tadarus biasanya dilakukan sendiri-sendiri, pada malam-malam ini dilakukan bersama dan tentu akan menghabiskan Alquran lebih banyak.

Ada dua hal menarik yang bisa kita bicarakan dari kebiasaan orang-orang desa ini; 1. Berjamaan dan 2. Membaca Alquran.

***

Seperti yang aku sebutkan di awal, bahwa orang-orang desa tadi sudah tadarus sendiri-sendiri setiap malam ramadan, tetapi khusus pada malam ganjil 10 terakhir, warga melakukan baca quran jamaah. Ini sungguh kental sekali dengan nuansa komunal yang sangat khas dari masarakat pedesaan. Apalagi juga kita tahu bahwa banyak sekali kegiatan komunal warga desa yang tidak memakai surat undangan lagi, tetapi sudah mentradisi, dan sekali-kali hanya perlu diumumkan lewat TOA mushola.

Kegiatan komunal warga desa tidak hanya sesuatu yang bersifat materil/dhohiriyah semisal membangun rumah, menjenguk orang sakit, sampai membela desa di pertandingan sepak bola, tetapi sampai ke urusan non-materil/batiniyah. Solat berjamaah di desa malah menjadi sebuah gandengan dari solat wajib. Yang namanya wajib itu ya jamaah, kira-kira seperti itu. Malah kalau ada warga yang tidak datang jamaah, dia akan dicari sama temen-temen yang lain, dikira sedang bepergian atau sakit.

Apalagi untuk mushola dan masjid yang terafiliasi ke ormas NU, kegiatan ibadah berlanjut sampai ke wirid bersama dan diakhiri dengan doa. Adalagi pembacaan yasin, tahlil dan istighosah yang sudah pasti jamaah, malah kadang-kadang masih ada jamaah tahlil di luar jamaah musholah, jadi semisal pas malam jumat, orang-orang desa bisa baca yasin, tahlil dan istighosah 2 kali, satu di mushola/masjid, satu di jamaahnya sendiri-sendiri yang digilir ke rumah-rumah.

Sehingga masjid menjadi tempat yang sangat sentral di desa, karena masjid menjadi tempat berkumpul manusia selain yang dilakukan di luar ibadah. Bahkan di desa, masjid lebih besar peranannya dari pada balai desa, karena balai desa hanya menyediakan ruang formalistik belaka, semisal pendaftaran kepala desa, selebihnya dilakukan di masjid, lawong pengumuman mengairi sawah ya dilakukan di masjid.

Dan pada malam ganjil 10 terakhir ramadan, khataman Alquran dilakukan bergilir dari satu mushola ke mushola lain, diatur oleh remas masjid. Kegiatan khataman Alquran keliling ditutup di masjid besar, yang bertepatan pada malam 29 ramadan.

***

Hal lain yang bisa dibahas dalam memenuhi malam ganjil 10 terakhir versi orang-orang desa adalah membaca Alquran. Tentu menarik sekali, bahwa dari serangkaian ibadah yang bisa dilakukan, kenapa membaca Alquran adalah yang dipilih. Tentu ini akan berhubungan tentang malam nuzulul quran yang juga turun di bulan ramadan dan saat itu adalah malam lailatul qadr, sehingga hubungan antara Alquran dan lailatul qadr itu sangat erat.

Selain itu, biasanya dalam setiap tadarus Alquran, ada seorang imam mushola/masjid yang memberikan refleksi tentang Alquran pada jamaah, sehingga jamaah tidak hanya membaca Alquran saja, tetapi juga mendapat refleksi dari secuplik apa yang dibaca. Tentu hal ini dilakukan untuk menguatkan dan membangkitkan semangat berislam. Hal ini karena tipikal manusia desa berislam selalu memilih satu orang yang dapat menjadi rujukan dalam masalah keagamaan, bisasanya adalah imam masjid.

Tidak semua orang desa mengerti urusan makna dan meneladani Alquran, mereka menyerahkan pada satu otiritas yang terpercaya. Jadi atmosfer yang terbentuk pun ndak yang diluk-diluk minta dalil, karena islam yang mereka pahami sudah bergabung dalam laku keseharian, tidak kaku nan formalistik. Tidak ada orang kemaki yang merasa tahu segalanya karena membaca rangkuman Alquran dari internet. Yang dinilai bukanlah seberapa banyak kamu tahu, tapi sebenarap kebermanfaatanmu untuk masyarakat.

Kamu bisa hafal Alquran dan setiap ditanya dalil bisa menjawan, tetapi kalau hal itu tidak membuatmu punya akhlak yang baik, semisal ikut angkat-angat kayu saat ada yang pindahan rumah, Alquran yang dihapal tidak jadi berguna.

Sehingga beragama di desa lebih selow dan tidak formalistik ya karena nilai-nilai agama menyatu menjadi laku kehidupan. Tidak dihadirkan dalam pertanyaan-pertanyaan yang kaku.

Ya itulah kehidupan di desa.

Bisa dibayangkau kalau nilai Islam yang terkandung dalam Alquran dilakukan dengan berjamaah,  bagaimana sejuknya hidup di desa.

Salam, selamat menikmati ramadan :)
Minggu, 26 Mei 2019
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Refleksi Ramadan #20

[Sumber: portal-ilmu.com]
Sudah akan memasuki sepuluh terakhir ramadan, artinya waktu kita bermesra-mesraan pada intensitas dengan Tuhan dan mengistirahatkan nafsu dan sahwat karena dilatih dengan puasa pada bulan ramadan juga akan segera berakhir. Sempat merasa ndak nyaman juga karena ramadan kita sempat teralih fokus pada sesuatu yang menjemukan. Nah, aku kira kita perlu menata ulang lagi hati kita agar benar-benar  bisa memanfaatkan sisa ramadan dengan baik. Agar kita tidak meninggalkan ramadan sebelum ramadan meninggalkan.

Sejujure godaan untuk tidak fokus kontemplatif dan mengevaluasi diri pada ramadan ini buatku sendiri sangat masif dan lebih masif dari tahun-tahun yang lalu. Waktu yang tenang juga kadang sulit ditemui, terlalu banyak intrik duniawi yang sering kali membuat ibadah kehilangan fokus.

Kalau pada ramadan-ramadan sebelumnya, godaan paling masif untuk orang berpuasa adalah persoalan makan, makan dan makan. Siang memang puasa, tetapi habis asar kita sudah mikir akan buka dengan apa, agak malam kita mikir cemilan terbaik, saat sahur kita pun ingin menambah sedikit multivitamin agar puasa bisa kuat, katanya, eh~.

Tetapi saat ini, yang membuat kita ndak fokus-fokus amat sama puasa tidak hanya soal perut, tetapi soal sahwat politik juga. Padahal lo ya, yang punya kepentingan iki kan sebagian elit saja, tapi emosi masa ini bisa bener-bener dimobilisasi. Kan harusnya untuk ukuran orang puasa yang benar-benar ingin mengolah emosi dan nafsu, harusnya ndak usah ikut termobilisai emosinya untuk ikut nyinyiri kepentinagan elit politik itu. Tapi nyatanya, banyak diantara kita yang tergoda, alias puasa kita ya sebentulnya ndak bener-bener menjadi momen kita mengunci sahwat dan nafsu.

Dan kalau kita melirik pada apa saja yang diperlukan dalam beribadah, kan ya ndak cukup kalau hanya diwakili oleh tubuh. Dalam ibadah kehadiran fokus pikiran dan hati menjadi penting.

Ya mengkin selama ini kita tetap solat rutin, puasa juga jalan, tetapi apakah qolb kita yang selalu bersama Tuhan itu hadir, kok kayaknya ndak. Apalagi serbuan untuk ndak ingat Tuhan ini ya masif seperti yang barusan aku sebutkan.

Padahal, dalam beribadah kita tau bersama bahwa ibadah tidak bisa hanya diwakili oleh mulut, tetapi juga perlu kehadiran hati kita yang selalu mengingat Tuhan.

Mulut kita yang terbatas tidak bisa mewakili dalam memuji dan berkomunikasi dengan Tuhan. Mata kita yang terbatas tidak bisa mewakili untuk melihat Tuhan. Indra peraba kita yang terbatas pun tak dapat mewakili dalam merasakan kebersamaan kita dengan Tuhan. Karena Tuhan memang tidak terjebak dalam kordinat waktu dan ruang. Sementara semua alat indra kita terjebak kordinat waktu dan ruang.

Bagaimana mungkin bisa mensingkronkan 2 hal yang berbeda sifat, tentu kita benar-benar perlu menghadirkan qolb dalam setiap doa-doa kita. Agar doa kita tidak dalam dimensi mahluk saja. Agar kita tidak menganggap bahwa doa terbaik kita adalah doa yang dilafalkan pada waktu mustajab dan dikirim dari tempat yang dianggap mustajab, tok. Tetapi kita harus yakin, bahwa setiap doa kita pasti didengar Tuhan. Jangan sampai berkurang kepercayaan kita kepada Tuhan.

Selama 20 hari ini, apakah kita sudah benar-benar mengunakan qolb kita untuk berintraksi dengan Tuhan? Kalau tidak, kan ya berarti solat kita selama ini hanya gerakan dan rapalan doa saja. Doa tidak hadir dari hati/qolb yang bisa berkomunikasi dengan Tuhan, tetapi hanya dihadirkan dari mulut yang sangat terbatas.

Sedari itu, agaknya kita benar-benar harus memberikan jarak yang pas ketika akan beribadah dengan hal-hal yang bisa mengalihkan kita dari mengingat Tuhan dengan qolb.

Kita bisa mulai memahami bahwa saat kita wudhu adalah jalan kita aktif berkomunikasi dengan Tuhan. Saat kita wudhu kita berusaha menyingkirkan sahwat dan nafsu dunia dari diri kita, kita sadar bahwa wudhu kita tidak sekedar memberiskan muka dengan air. Kemudian langsung disusul dengan ibadah kita yang menghadirkan seluruh komposisi yang dibutuhkan dalam berkomunikasi dengan Tuhan. Tidak hanya sebatas urusan lahiriah yang terbatas ini.

Sehingga kita bisa melatih diri lebih baik dan menaikkan level hidup dan ibadah kita. Kita juga bisa lebih kenal siapa diri kita sebenarnya, karena kunci mengenal Tuhan adalah kenal dirinya sendiri terlebih dahulu. Sehingga kontemplasi dan evaluasi dalam tahapan ibadah kita menjadi penting. Tidak hanya simbol, gerakan serta rapalan yang menjadi acuan dan ukuran. Semoga kita bisa sampai di level itu.

Kayaknya ini saja dulu, semoga kita tidak terjebak pada ruang dan waktu terbaik dalam mencoba aktif berkomunikasi dengan Tuhan, karena Tuhan tidak terikat kordinat ruang dan waktu. Allah lebih besar dari sekedar kordinat itu. Ramadan kita juga bukan kita maksudkan sebagai waktu yang paling baik, kita harus percaya kapan pun itu baik. Agar kita tidak pesimis pada doa kita di luar ramadan dan fokus pada bonus-bonus ramadan.

Semoga kita tidak lupa bahwa sejatinya tuhuan kita adalah Allah swt.
Salam :)
Sabtu, 25 Mei 2019
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Refleksi Ramadan #19

[Sumber: hellosehat.com]
Apa saja yang kita lakukan di dunia ini tidak bisa di-judge begitu saja tanpa adanya analisis lanjut. Semisal solat, tidak mesti itu baik, kadang-kadang juga menjadi sesuatu yang buruk. Tidak percaya? Anda solat sunah, dan orang tua anda memanggil, lebih baik dan lebih utama anda menghampiri orang tua dari pada tidak menjawab pangilan orang tua karena solat sunah. Bahkan solat itu ada yang haram? Emm, masak iya? Iya dong, solat sunah setelah asar, kan, hehe

Selain sesuatu yang emang diperintah dan hal-hal yang dilarang, semua yang di dunia ini berhukum awal boleh. Dan darinya selalu terdapat 5 hukum yang bersandar atasnya. Tidak bisa suatu hal itu hanya bersandar pada satu hukum dengan absolut. Segala bisa berubah tergantung situasi dan kondisi. Dari sana muncullah fiqh.

Nah, fiqh ini kan sebuah rule atau aturan yang harusnya memudahkan kita dalam hidup. Namanya aturan ini untuk kebaikan, kalau aturan itu menyusahkan sebuah permainan, berarti peraturan sudah menikam permainan itu sendiri. Dan sudutnya bisa beragam, gak kaku hanya hitam putih. Kadang-kadang cuma peringatan, kadang-kadang kartu kuning.

Emang monokrom, cuma hitam putih, tidak ada warna yang lain. Udah cukup Tulus saja yang monokrom. krik

***

Aku langsung ingin pakai contoh perkara menikah saja dalam membincangkan fleksibelnya fiqh dalam mengatur kita. Lawong aku juga pengen menikah, jadi bisa relate, Hehe

Dengan sangat mudah kita bisa temui orang-orang seperti tanpa filter diluk-diluk tekok kapan menikah, kayak seolah-olah menikah iki selalu baik. Basa-basi keluarga selalu berputar-putar pada pertanyaan template soal menikah yang tidak kritis transformatif, apalagi sampai ke masif dan terstruktur kayak dem uuuoooooo, eh~~ . Wkwkwkw

Kalau orang berani dan mau jeli, kan tidak semua hal dalam menikah ini selalu baik. Dibilangnya menikah ini menyempurnakan iman lah, menggenapkan lah, sunnah lah, ealaahhhh. Kan perlu dilirik dulu situasi dan kondisi.

Kalau ada orang yang terkena hukum haram menikah, terus kamu mau gitu seenaknya tanya dan memotivasi ke dia “kapan menikah?”. Menikah endoke, kalau si dia yang terkena hukum haram menikah beneran menikah, kamu mau tanggung jawab? Karena sudah jadi oknum mendorong orang melakukan perbuatan dosa. Heh?

Aku mau menahan saja terkait kategorisasi dan kondisi ketika orang-orang itu hukumnya seterti apa dalam kaitannya dengan menikah, lawong aku ra layak. Tapi terkait eksistensi kategori itu emang ada, dan bisa dicari pada beliau yang memang kompeten untuk membicarakan soal fiqh. Tentu pada beliau-beliau yang menguasai fiqh, usul fiqh sampai kaidah fiqh. Bukan yang ulama’ web-web-an.
Bahwa menikah itu ada dari wajib, sunah, mubah, mekruh, sampai haram. Semua ada tinggal dicari.

Dorongan-dorongan segera berkeluarga ini juga kadang menjemukan. Tawaran selalu datang untuk pemuda agar segera membuat relasi suami istri dengan seseorang. Katanya kalau menikah itu apa-apa bisa jadi ibadah. Mencium istri ibadah, menafkahi ibadah, mencucikan baju suami ibadah, bahkan meniduri itu ibadah. La aku mulai resah ini, emang aku muncul dari batu? Kedua orang tua ku kan juga menikah. La emang kalau aku cium tangan kedua orang tua ku ndak ibadah. Apa ciumanku jadi ibadah dimulai saat nikah? Harusnya mereka yang ngajak menikah itu fair, bilangnya gini "yang siap menikah, yang wajib, ya menikah. kalau belum wajib, masih sunah apalagi mubah ya santai aja, lawong perkara ciuman dapat pahala itu ndak hanya dimonopoli orang yang sudah menikah, cium orang tuamu juga bernilai ibadah" enak to.

Seolah-olah menikah itu ndak sirkel, ndak siklus. Seolah-olah kita cium tangan baru ibadah itu dimulai pas menikah. Padahal ortu kita juga menikah dan ibadah kita ya hormat pada beliau berdua. Emang bener-bener lambe bakol.

Nah kehidupan kita yang hukumnya bisa berubah-ubah sesuai kondisi ini juga sebenarnya belum final. Ada unsur niat di sana, semua yang kita lakukan tergantung pada apa yang kita niatkan.

Sesuatu yang mulia macam menikah itu, kalau niatnya sudah kuorat-karet. Secara isi bisa jadi amburadul. Jadi kita pun ndak bisa mengatakan bahwa perokok itu pasti negatif. Kalau niat merokok ini membantu meditasi, merenung dan mengingat Tuhan, masak itu tetap negatif. Negatif mana dengan membela agama tapi niate ingin kudeta. eh

Tapi, dari serangkaian perihal fiqh ini, kita sebagai umat islam juga dibekali akhlak. Jadi selain hukum yang selalu berubah, niat yang menjadi semangat dan ukuran, akhlak adalah unsur yang penting.

Benar saudaramu itu sudah wajib menikah, tapi cara memotivasimu itu brutal dan mengusik hatinya, alias akhlakmu itu ndak ditata, ya apa jadinya ibadah yang udah kadong baik ritual dan niatnya.

Semoga dalam puasa ini kita bisa fokus dalam mengasah fiqh, niat dan akhlak. Salam :)

Jumat, 24 Mei 2019
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Refleksi Ramadan #18

[Sumber: merdeka.com]
Kalau hari ini, refleksi yang bisa dilakukan ya soal rusuh-rusuh di jakarta itu. La piye? Sekarang siapa yang tidak terdampak dari huru-hara itu. Banyak orang keluar memberikan komentar dan mengidentifikasi diri untuk masuk ke peran mendukung atau menolak. nampak menjadi emas ketika masih menemukan orang yang menahan diri atas aksi anarkis dini hari malam nuzulul quran itu. Entah dia itu siapa, kok ya berlindungnya di masjid.

Mbok kalau malam nuzulul quran di masjid kui ngaji karo mujahadah, ogak malah teriak-teriak dan main bom. Gitu pas ada anak main pecut-pecutan sarung saat teraweh dimarahin, la dapurane dewe ceto-ceto gak tadarus.  

Rasane wes emang kita gak bisa bener-bener percaya pada simbol identitas.

Gimana kalau kita bersepakat saja, ndak ada itu pakaian islami, musik islami, sampai makanan islami. Kalau udah kek gini, narasi mlintir makin mudah saja. Bermodal sorban lalu melakukan aksi anarkis, kok jek uwenake bilang rezim represi islam karena aksinya ditolak. La islam seperti saya yang masih mementingkan buka gratis dari pada demo-demo yang jelas bikin puasa syariat tidak kuat ini dianggap apa?

Lek sek diterus-teruskan lebel islami itu disandarkan pada sesuatu yang kulit, besok-besok kita juga akan liat orang yang buka puasa pakai kurma lebih islami dari yang pakai nasi padang. Yang denger mahir zain lebih islami dari yang denger coldplay. Yang mukulin orang pakek didahului takbir lebih islami dari tinju yang fairplay, gitu? Terus pas semua percaya ada sesuatu yang lebih islami dari yang lain, baru lah akal-akalan lebih suci dimainkan. Terus pas argumennya kalah main aksi playing victim lah anda. Gocik tenan.

Disaat seperti ini, hadirnya elit berpengaruh untuk tampil dengan sikap kesatria sangat diharapkan.

Kesatria tidak sekedar berani untuk gontok-gontokan, menang-menangan, berbicara keras. kesatria tidak selalu diterjemahkan menjadi orang yang tidak punya takut seperti superhero. Keberanian yang lebih diutamakan adalah soal keberanian mengelola hati dan memenagkannya dari kungkungan ego, nafsu, sahwat kekuasaan dan amarah.

Kok ya dilalah, elit yang harusnya berperan dalam meredam segala kericuhan ini malah jadi oknum minyak gas ketika ada kayu-kayu terbakar. Malah nuding-nuding ini antek ini antek, antek endoke.  

Yo ancen sih, egois itu enak. Enak betul jadi anak kecil. Enak betul jadi tidak bijaksana. ENAK BANGET DINGERTIIN.

Yang ra enak itu ya pas mau berbagi, pas sadar bahwa kita iki bareng-bareng, dan gak iso semua orang menuruti egonya kita.

Nuruti ego itu gak ada ujungnya, menahan sahwat dan amarah, itu yang lebih diutamakan. Pakai nurani dalam tindakan. Kalau salah ya minta maaf, kalau kalah ya ngaku kalah, kalau menang ya bersyukur, kalau pinter yang ojok keminter. Kabeh enek cocokane, ogak terus lek kalah gak trimo tapi lek  menang diterimo.  

Kalau salah minta maaf itu bukan konsep yang diperuntukan hanya untuk anak-anak pas hari raya, bukan diperuntukan untuk latihan membentuk karakter pada anak-anak, bukan juga diperuntukan untuk masyarakat akar rumut yang sudah bertikai horizontal karena elit awale cakar-cakaran. Yang lebih penting minta maaf i mereka yang punya kuasa, mereka yang elit, mereka yang egonya lebih besar.

Kayak misal di rumah, yang harusnya minta maaf ki ya orang tua, lawong mereka yang punya kehendak dan egonya lebih besar, bukan malah anak-anak.

Mengajari anak minta maaf kalau ada salah itu hal yang berbeda. Kita sedang membicarakan egonya siapa yang lebih berpengaruh dan menguasai ego yang lain.

Jadi di momen seperti ini, adanya kestaria hadir dengan penuh kekuatan yang bisa mengontrol amarah dan sahwat sangat diharapkan. Pemimpin yang berpikir untuk indonesia ke depan lebih baik untuk semua kalangan.

Jadi gimana, masih ingin merasakan ramadan lagi atau kita wes bener-bener pengen meninggalkan ramadan demi menuruti nafsu dan amarah?

Yo semoga ae si, pas gontok-gontokan dan nuruti sahwat gak bertepatan pas lailatul qodar, lek pas, lak modar iku. Dosa amarah 1000 bulan.

Semoga keselamatan tetap pada teman-teman semua :)

Kamis, 23 Mei 2019
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Refleksi Ramadan #17

[Sumber: artikelbuddhist.com]

Tidak ada refleksi yang lebih relevan pada malam 17 Ramadan selain merenungkan kembali Alquran, semua sudah tau kalau tanggal 17 Ramadan adalah Nuzulul Quran. Apakah kita yang selama ini percaya bahwa Alquran adalah petunjuk dalam menjalankan laku berislam hanya selesai di bacaan, kan tentu tidak. Kita pasti tetap punya keinginan untuk menuju ke lever percaya yang lebih kompleks dan tinggi.

Dalam beriman, kita tidak hanya percaya bahwa Alquran adalah kitap suci sumber berislam, tetapi terdapat makna yang lebih paripurna dan perlu usaha lebih untuk bisa mencapai level itu. Bahwa percaya tidak hanya berada di hati, tetapi juga harus dilisankan dan dilakukan.

Misalnya begini, kalau kita percaya bahwa Alquran dan segala isinya adalah semangat kita berislam, tentu kita akan merenunggi betul isi kandungan dari ayat-ayatnya. Tarik satu ayat yang paling sering kita lafalkan, yakni Alfatihah. Kalau kita percaya Alquran, kita tidak akan hanya selesai dengan mengunakan Alfatihah sebagai bacaan dalam salat. Tetapi mengikrarkannya, bahwa kita harus berlaku cinta kasih seperti apa yang diajarkan Alfatihah dan juga kita bertindak penuh dengan cinta kasih kepada seluruh mahluk yang ada di dunia.

Orang yang percaya pada Alfatihah tidak akan membiarkan dirinya terbiasa dengan perilaku menyakiti yang lain, memainkan egonya sendiri yang harus menang, dan membiarkan orang lain susah atas kehadiran kita. Tidak seperti itu bentuk cinta kasih.

Jadi iman/percaya ini ya mirip-mirip dengan cinta. Cinta itu ndak bisa cuma diucap, kalau ada yang ikrar cinta kucing, ya perilakunya pada kucing harus menceminkan kasih sayang pada kucing.

***

Gus Aan ansori pernah mensarikan beberapa esensi dari Alquran, beliau mengatakan Alquran itu setidaknya hanya berisi 5 prinsip universal; justice, human dignity, god-consciousness, love and compassion and equity. Itu yang aku pelajari dari Prof. Hashim Kamali

Sehingga, sebenarnya bisa juga kita teliti kehidupan kita selama ini, apakah kehidupan kita sudah mengamalkan prinsip-prinsip dalam Alquran.

Misalnya Alquran mengajarkan ketaqwaan. Apakah selama ini tindakan kita sudah menjalankan laku tanda ketaqwaan?

Taqwa tidak hanya tercermin dari rajin atau tidaknya hamba beribadah seperti solat, tetapi lebih juga pada bagaimana dia berinteraksi di luar itu. Kalau ada orang yang ngaku taqwa tapi korupsi, kan ya gak nyucuk. Saat dia dengan sadar melakukan aksi korupsi, Allah ditaruh di mana? Kan begitu. Masak kalau ngaku Allah ada di hati, saat korupsi gak terusik itu hatinya. Nurani pasti berontak ketika tubuh melakukan hal-hal yang melanggar aturan yang berlaku.

Soal taqwa juga bisa tercermin dari bagaimana kita memperlakukan manusia dan alam. Allah ini sayangnya pada seluruh manusia lo, tidak hanya yang berikrar bahwa Allah tuhannya. Semuanya dijatah rizki, semua dikasih keselamatan dan kesehatan. Allah tidak pandang bulu sayangnya. Semua diberikan Rahmannya.

La kalau ada orang yang ngaku taqwa tapi buang sampah sembarangan. La ini kan gak oke. Diminta kasih sayang pada semua yang ada di dunia ini, la kok malah memberikan beban pada alam sejagad. Kalau ada orang ngaku taqwa, ya kan lakune kudu bisa menjaga lingkungan.

***

Sungguh cocok Alquran diturunkan pas ketika ramadan, biar sekalian kita berbenah, kita mereformasi semangat dalam diri, kita merubah total apa yang sepatutnya kita tinggalkan, kita tingkatkan apa yang seharusnya selalu kita amalkan.

Semoga ibadah kita juga tidak hanya teringat-inget pada pahala, meskipun sah-sah saja. Tetapi lebih dari itu, tujuan kita harusnya adalah Allah itu sendiri, empunya Alquran, bukan malah teralih pada ciptaan-ciptaannya.

Sekali lagi, Alquran mengajari kita berlaku adil, mengajari kita memanusiakan manusia, mengajari kita kesetaraan, dan lain-lain. Kalau tindakan kita sudah qurani, tentu akan sangat menyenangkan hidup ini.

Membaca Alquran memang penting, tetapi mengamalkannya juga satu poin yang lebih diutamakan.

Kalau kehidupan kita gini-gini aja, jadi selama ini, kita membaca Alquran, atau baru mengejanya?

Rabu, 22 Mei 2019
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Refleksi Ramadan #16



[Sumber: islami.co]
Dengan sebenar-benarnya, asline hari ini aku pengen mengulas soal kebiasaan tidur saat puasa. Karena beberapa hari lalu baru dengar konsep tidur yang katanya ibadah itu, dengan perspektif sangat baru untuk hidupku yang diungkapkan gus Muwafiq.

Semula aku hanya memahami kalau tidurnya orang puasa itu ibadah, wes itu tok. Terus berkembang, katanya tidur dianggap ibadah itu kalau malamnya habis untuk ibadah, ini fair si, jadi ada keterangan dan sebab kenapa kegiatan yang uwenak itu bisa bernilai ibadah. Terus yang terakhir, kata gus muwafiq, ini unik sekali, malah menegasi tidur “tidurnya aja ibadah, apalagi kalau kamu melek. Bisa dzikir, bisa kerja, bisa ini itu”. Jadi tetap yang lebih baik dilakukan saat siang puasa adalah beraktivitas. Tidak malah puasa kita membuat siang jadi malas, dan ya nyambung juga dengan konsep doa yang beberapa hari lalu sempat aku jadikan refleksi ramadan. logis ya. Menarik-menarik.

Tapi, selepas tak pikir-pikir hal itu, tak anggan-anggan konsep tidur untuk orang puasa ini, kok sekarang dunia maya menjadi gaduh karena penetapan hasil pilpres. Hehe. Memang duniawi itu menyenangkan.

Kalau butuh bukti tentang nikmat sesaat lebih menarik dan banyak menipu orang dari pada nikmat abadi di hari pembalasan, hari ini adalah contoh yang bagus. Banyak orang yang lebih tertarik membicarakan agenda lima tahunan ini dari pada menahan diri.

Ya ini berlaku bagi yang menang dan yang kalah si, bagiku sama saja. Wes tercium emosi dan sumbu pendek tertanam di kedua kubu. Pun dengan tulisan ini. Lawong jelas-jelas aku pengen bicara soal ibadah tidur, kenapa sampai paragraf ini wes ngomongin pilpres. Sial sial. Semoga kita gak rugi-rugi amat hidup di dunia ini.

Yang bikin aku tergerak malah kepikiran pilpres dan menyampaikan sedikit informasi soal tidur adalah gara-gara barusan baca meme, bunyinya “jadi ini alasan penetapan pilpres malam-malam. Kalau siang, puasa bisa batal, gak boleh boong”

Meme itu udah pasti meme ocehan si, ya pokok pengen rame-rame aja. La gimana gak rame-rame, dia wes pakek narasi agama, puasa, eh anggap boong bikin batal puasa. Itu yang buat meme makan permen rasa apa si, kok bisa lucu banget. Boong bikin batal puasa, hemm.

Kalau boong itu bikin amal puasa kosong, mungkin iya. Lawong ukuran syariat, ndak ada tuh aturan gak oleh boong. La kalau boong bikin batal puasa, situ bilang curang gak mau membuktikan alias asal tuduh, itu bikin amal puasa dilipat gandakan gitu? Emm,, legit ya

Jadi sudah lah, aku juga gak ingin berlarut-larut membicarakan itu. Mari menahan diri. Tulisan ini juga mau aku tahan gak banyak-banyak, biar cuma secuil ini saja.

Yuk sama-sama jaga ketertiban. Kalau Kata Gus Dur; Main bola itu ya permainan, tapi mainlah yang serius, serius mainnya, gak kayak sepak bola gajah. Tapi ingat, sepak bola itu ya ada aturannya, jadi kita gak bisa seenak udel sikat kaki orang, selamat bermain sepak bola, selamat berdemokrasi, selamat berpuasa, selamat menahan diri. 

Kalau kondisinya bising kayak gini, pengennya marah-marah aja, ancen bener, tidur adalah sebaik-baiknya ibadah saat ini. wes wes turu kono, ngerameni twiter. hasishhhh~~~
Salam :)

Selasa, 21 Mei 2019
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Popular Post

Tengok Sahabat

Diberdayakan oleh Blogger.

Top Stories

About

- Copyright © Tigabelas! -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -