Archive for Mei 2019
Refleksi Ramadan #26
[Sumber: travel.kompas.com] |
Puasa di rumah tentu memberikan sebuah sensasi yang berbeda dengan saat di daerah rantau, dari hidup yang lebih teratur
Berkesan dalam
arti banyak sekali rasa yang dapat hadir di rumah, dari suka sampai duka. Ya itu
lah rumah.
Rumah memang
memberikan banyak kenangan, kadang yang menyenangkan, kadang yang menyebalkan. Rumah
adalah hidup. Tidak mungkin hidup hanya berisi kebahagiaan. Hidup itu kompleks
dari bahagia bukan main sampai sedih luar biasa.
Dulu aku sempat
protes kenapa ada sesuatu yang masam hadir di rumah? Kayaknya hal itu datang
ketika aku kecanduan motivasi yang katanya kontruktif, ya meskipun rasa yang
nyata hadir ada juga yang membuat hidup tambah destruktif. Motivator bilang “rumah
adalah surga”, kok buatku saat ini, kata-kata itu semacam racun yang
pelan-pelan bisa membunuh, karena kita akan tetap merasakan kecutnya hidup di
rumah.
Dari sana aku sering
protes karena kehidupan di rumah ndak selalu manis kayak di surga, pikiranku
saat itu rumah harus berisi sesuatu yang manis saja, tidak boleh ada yang asam.
Dan saat asamnya kehidupan itu datang, brontak datang menjadi-jadi.
Saat ini mulai
aku meyadari bahwa picik juga kalau mengharap rumah hanya berisi yang manis,
sementara rumah adalah hidup itu sendiri. karena hidup, sehingga isinya harus
beragam. Tinggal kita yang cerdik atau tidak dalam mengelola setiap rasa yang
datang. Atau kita hanya mau pasrah dan mengharap kebahagiaan tanpa mau mengolah
diri dan perspektif yang nantinya akan membuat mata kita memaknai hidup lebih
berbeda.
Ya itulah rumah,
tempat paling tempat untuk kita memahami hidup.
Ada diantara kita
yang bahagianya bukan main kalau sedang di rumah bersama keluarga dan ada juga
yang sebaliknya. Rumah benar-benar menjadi salah satu contoh paling tepat
tentang kompleksnya kehidupan yang penuh dengan spektrum situasi hidup.
Menjadi contoh
yang sangat tepat juga untuk kita dalam melatih hawa nafsu saat puasa, karena
yang kita hadapi adalah bagian dari diri kita sendiri.
Mungkin kita bisa
sabar dengan ulah ngawur orang di jalan yang tidak kita kenal, tetapi kalau
kejadian menyebalkan itu terjadi di rumah, apakah kita tetap bisa mengendalikan
emosi? Tentu menjadi sangat sulit apalagi kita merasa punya hak untuk meredam
situasi yang tidak kita suka. Salah pendekatan dan berakibat pada semakin
kacaunya situasi, kondisi pun tambah gak enak, karena kejadiannya ya tetap di rumah.
Rumah adalah
tempat keintiman kita dengan jati diri.
Jika rumah buat
sebagian teman-teman adalah tempat yang menyebalkan, coba ubah persepektif,
jangan terlalu banyak berharap pada hal yang tidak bisa kita ubah. Yang bisa
kita kendalikan adalah diri kita sendiri. ubah cara kita memandang rumah dan
menjadi manusia proaktif.
Untuk teman-teman
yang tidak bisa pulang kampung, jangan sampai berkecil hati, karena yang tidak
bisa ditemui saat lebaran ini hanya rumah sebagai benda, bukan rumah sebagai
sifat.
Sebenarnya, di
manapun kita dan sejauh apapun kita pergi, kita tetap berada di rumah dengan
segala gejolak kehidupan yang hadir di dalamnya.
Semoga ramadan
yang nyaris akan segera berkahir ini dapat membuat kita menjadi manusia yang
lebih efektif. Salam :)
Refleksi Ramadan #25
[Sumber: Merdeka.com] |
Selasa kemarin
GUSDURian Jogja tidak mengadakan ngaji Gus Dur karena banyak jamaah yang sudah
pulang kampung atau mudik. Minggu-minggu terakhir bulan ramadan seperti ini,
saya kira juga akan semakin banyak orang yang mudik.
Ada yang mengatakan
bahwa mudik adalah sebuah kegiatan yang hanya dilakukan di daerah Nusantara.
Tidak ditemukan momen jalan menjadi ramai saat mendekati hari besar dan desa
dipenuhi orang yang balik dari perantauan di negara lain.
Hal ini bisa jadi
karena untuk masyarakat daerah Nusantara, menyambung silaturahmi dengan
keluarga adalah suatu hal yang penting. Malahan kalau sudah menikah, mudikna
bisa menuju ke dua lokasi. Sehingga memang selalu ada rasa yang diuntai dalam
jalinan perjalanan pulang.
Saya rasa tradisi
mudik ini akan selalu ada, meskipun nantinya teknologi sudah sangat maju di
Indonesia. Orang-orang akan tetap sadar bahwa teknologi semaju apapun tidak
akan dapat menggantikan rasa. Rasa itu hanya akan hadir ketika ada perjumpaan
secara langsung.
Dalam falsafah
Nusantara pun sudah banyak diceritakan, bahwa sejauh apapun seseorang itu
merantau, entah tujuannya untuk berdagang atau menuntut ilmu, dia akan kembali
ke daerah asal, hal ini karena keterkaitan dengan daerah asal yang sangat kuat.
Apalagi kita sebagai
orang yang percaya doa, tentu momen mudik bisa jadi salah satu momen
melanggengkan doa keselamatan. Bagaimana tidak, untuk seorang muslim, keridhoan
orang tua adalah hal yang sangat penting, sehingga pulangnya seorang anak bisa
menjadikan ridhonya orang tua tetap nyambung. Tidak hanya itu, momen mudik juga
menjadi sebuah ajang untuk tetap menjaga kearifan desa.
***
Namun, tantangan pun
ada dalam kegiatan mudik ini.
Tantangan yang buatku
menarik untuk dibicarakan adalah soal pengaruh dan mempengaruhi.
Orang desa yang
merantau, ketika memiliki kualitas mental yang silau pada dunia gemerlap,
mereka yang menganggap dunia kota/luar negeri pasti lebih baik dari daerah
asal, mereka akan mudah sekali tercerabut dari akar kedesaannya. Banyak di
antara mereka yang dengan mutlak menganggap segala sesuatu yang hadir di kota
adalah sesuatu yang terbaik, sehingga saat mereka kembali, mereka akan
memaksakan sesuatu yang ada di kota untuk ditiru secara serampangan di desa.
Dari cara berpakaian,
berdandan, memperlakukan orang sampai berinteraksi. Tentu ini cukup wagu ketika
dilihat dari daerah. Padahal tentu tidak semua yang ada di kota perantauan
pasti lebih baik dari yang semua sudah ada di desa. Tidak semua yang ada di
kota akan cocok ketika diterapkan di desa
Sehingga, menurutku
tetap menjaga kualitas mental dengan seimbang dan tidak mudah silau pada hal
dan cerita baru menjadi baik.
Biar tidak terlalu
inlander lah mental kita itu.
Yang ujungnya, ketika
kita bisa seimbang, kita akan melahirkan suasana mudik yang penuh dengan rasa
sayang serta tetap merawat tradisi kedaerahan.
Selamat mudik
teman-teman, semoga seluruh keluarga sehat. Salam :)
Refleksi Ramadan #24
[IG: @gantengpolnotok] |
Ini bisa dideteksi dari peserta buka puasa yang memang tidak hanya terdiri dari orang yang membutuhkan buka saja, tetapi mereka yang sedang libur puasa bahkan sampai orang yang tidak berpuasa juga hadir dalam berbagai kesempatan buka bersama.
Sehingga kalau
mau lebih disesuaikan antara istilah dan isi kegiatan, sebenarnya buka bisa
dinamai “momen kumpul berbayar”. Tetap bertahan dengan nama buka karena
dilakukan saat bulan ramadan dan memulai makan saat adzan magrib sudah
berkumandang.
Hal ini tentu
menjadi menarik karena momen buka puasa bisa membongkar batas-batas penyekat antara
dua kelompok masyarakat yang selama ini jarang berinteraksi.
Mereka yang
selama ini hidup dalam kungkungan asumsi menjadi punya kesempatan bertemu
bahkan mungkin sampai bercakap-cakap. Untuk teman-teman yang tidak melakukan
puasa juga akhirnya mengerti bagaimana orang yang berpuasa menyelesaikan
ibadahnya.
Tentu buka pausa
bersama yang saya maksud di sini adalah buka puasa yang dilakukan sekelompok
masyarakat di tempat makan atau di kediaman tokoh publik semisal pemerintah
kota, bukan buka yang diadakan masjid atau majelis pengajian yang memang
pesertanya adalah semua orang yang membutuhkan buka.
Gejolak tradisi
buka puasa ini entah kenapa memang selalu menjadi perbincangan dalam setiap
ramadan. Sudah sempat aku ceritakan di refleksi sebelumnya, bahwa aku pun
sampai menemui ada orang yang sudah merencanakan momentum buka puasa saat
sebelum bulan ramadan itu datang. Ini kan menandakan bahwa semangat untuk
berkumpul masyarakat kita ini sangat besar. Entah hal ini karena puasanya atau
karena momen makannya yang membuat berkumpul saat waktu berbuka ini masif
dilakukan oleh berbagai kalangan.
Malahan, misal
suatu kelompok masyarakat belum melakukan buka bersama, rasa-rasanya kurang
lengkap saja rangkaian fersival ramadan ini.
Sehingga ketika
ditilik dari semangat yang sangat membara serta komposisi peserta yang
heterogen ini, akan ada banyak sekali potensi positif yang bisa disemai dari
serangkaian buka yang semarak ini.
Ya seperti yang
aku sebutkan di muka, momen buka puasa ini malahan kadang bisa mempertemukan
dan menyatukan dua orang yang selama ini hidup dalam kunkungan asumsi. Sehingga
semangat untuk memulai dialog dan bermuara pada toleransi dan memahami harusnya
bisa benar-benar tumbuh dari momen yang baik ini.
Selama apa yang
dilakukan dan dibicarakan baik, saya kira berkumpul seperti ini tetap baik.
Sehingga harapanya
bahwa momen ramadan yang penuh buka bersama ini bisa menjadi sebuah pintu gerbang
untuk kita semua mau membuka ruang dialog yang luas, terutama pada hal-hal yang
selama ini dipisahkan benteng prasangka.
Meskipun kadang-kadang
kita juga perlu menyisipkan bumbu individualis di antara begitu semangatnya
kita berkumpul. Agar kita tetap bisa seimbang menjadi manusia.
Selamat berpuasa
dengan bahagia. Salam :)
Refleksi Ramadan #23
[Sumber: bantennews.co.id] |
Meskipun kejadian seperti ini ndak sekali ini, karena emang pernah beberapa kali aku ngopi dan mendapati hasil kurang nyaman di jatung, tapi yo tetep ae ra nyaman dan gelisah keringat dingin pas jantung berdebar.
Analisa paling awal ku menyimpulkan tragedi jantung berdebar amat kencang semalem bukan karena dosis si kopi,
tetapi karena mengkonsumsi kopinya yang kelewat cepat. la piye, semalem aku minum kopi tak campur es krim, alhasil ngombene njuk nyeruput buwanter. La gurih, manis, adem campur jadi satu.
Memang seperti
itu, untuk orang yang tidak benar-benar kebal dengan kopi, kadang kopi itu
membahayakan karena kemampuannya meningkatkan asam lambung yang cepat dan tentu
efek detak jantung yang berdebar karena terpapar kafein. Selain tentang jumlah,
kecepatan mengkonsumsi kafein juga kadang berpengaruh. Efek yang ditimbulkan
bisa beragam, kadang hanya membuat tangan tremor, tidak bisa tidur, sampai
jantung yang amat kencang berdetak kayak aku semalam. Rasane semalem kayak-kayak meh pingsan, serius.
Dan dari kejadian
semalam, hikmah paling cepat yang bisa diambil adalah alhamdulilah selama ini
diberi jantung yang aman. Karena saat ndak normal, asli untuk melakukan apa-apa
itu ndak enaknya bukan main.
Seperti semalam
ketika jantung berdetak kencang, mau solat juga ndak enak apalagi kepikiran maksiat, wes blas ilang.
Sehingga untuk
saat ini, yang sampai detik ini masih bisa merasakan enaknya bernafas dengan
normal dan jantungnya berdetak dengan normal, mari sejenak bersyukur atas nikmat yang sudah diberikan Tuhan.
***
Bukankah bersyukur
adalah salah satu hikmah yang bisa kita ambil ketika sukses berpuasa?
Dulu, ketika aku
masih kecil, salah satu petuah yang paling menarik tentang hikmah melakukan
puasa adalah latihan agar kita bisa bersyukur. Bahwa saat kita lapar seharian,
kita sedang merasakan apa yang dirasakan teman-teman kita yang kekurangan
makanan.
Ya meskipun
kadang pengetahuan itu sering bergejolak karena kenyataannya tidak demikian
juga. Protes paling awalku tentang hikmah puasa bab menahan lapar seperti
orang kurang makan langsung carut marut ketika sampai waktu buka, kita
kembali ke kebiasaan lama yang suka makan, bahkan lebih rakus. Jadi hikmah
macam apa kalau puasa tetap membuat kita menjadi manusia yang rakus.
Tetapi, mari kita
potong sampai waktu berbuka, karena urusan rakus setelah berbuka adalah urusan
pribadi. Setidaknya, puasa memang banyak membuat orang merasa lapar dan hal itu
juga menjadi tantangan adalah sebuah fakta, kalau lapar itu ndak tantangan, ra bakal rame-rame orang ngerebek warung yang buka saat puasa, eh. Apalagi yang puasanya tetap berkatifitas, tidak tura
turu tura turu alasan ibadah kui.
Pas siang bolong yang puasane sampek membuat banyak orang menghardik panas "Anjing, panas banget". Haus adalah keniscayaan, lapar sudah pasti. Jadi, di kondisi seperti itu kita bisa
bersyukur tentang gimana nikmatnya diberi kesempatan minum dengan bebas.
Meskipun ini
level beragama yang mungkin rendah, karena meletakkan ibadah sebagai sebuah
cobaan, tetapi dalam latihan syukur, kenapa tidak.
Karena asli,
kalau kita pernah sakit, saat itu kita bisa bersyukur pernah diberi sehat.
***
Orang i kadang
menghardik rasa lapar, lapar ki ra enak, membuat apa-apa jadi ndak oke. Beraktivitas
rasane ada yang kurang, semacam ada sisi kehidupan yang perlu diwelasi.
Tapi, seaslinya,
lapar kui nikmat juga. Serius, lapar kui nikmat.
Pernah gak sih
merasa tidak pernah lapar dan juga tidak bisa eek? Meskipun tidak memberikan efek
yang sampai membuat lemas seperti lapar, tetapi kondisi tidak bisa lapar itu ya
aneh juga, perut kembung dan begah, mau makan juga ndak enak, ndak bergairah, ketemu bakwan panas juga ndak ada sahwatnya sama sekali. Apalagi dicampur ndak bisa eek.
Bisa dibayangkan bagaimana kondisi
dalam perut kita, gak ada yang pengen dimasukin ke perut dan ndak ada yang mau
keluar. Busuk-busuk lah itu makanan di dalam, atau jangan-jangan ndak membusuk
karena ndak diproses perut. Waladohhh
Sehingga rasa
lapar itu sunguh nikmat syaudarakuu.
Rasa lapar
menunjukan bahwa proses dalam tubuh kita masih terus berjalan.
Katanya pengalaman
adalah guru yang terbaik, kalau mau menigkat rasa syukur dari pengalaman
sendiri, silahkan berdoa untuk segera sakit, tidak merasa lapar, jantung
berdebar ra karuan sampai mudahnya pingsan. Wkwkwkw.
Tapi kalau ndak
mau, ya udah cukup percaya saja, ini adalah doktrin. Bahwa baik kamu sedang kenyang, lapar, jantung
normal, berdebar, ngantuk, terjaga, dan kondisi-kondisi lain, terselip syukur
itu sungguh hal yang penting.
Jangan dikira
tidak lapar saat puasa itu enak yaaa. Ngawor. Mau buka kamu
masih kenyang, lalu apa enaknya minum es blewah dan gorengan tempe. Tentu lebih
nikmat kita makan gorengan dan es blewah pas buka saat lapar dan haus
tak tertahankan kan, ya kan, ya kan.
Selamat bersyukur,
salam :)
Refleksi Ramadan #22
[Sumber: remajaislam.com] |
Produk minuman yang katanya bisa menghilangkan dahaga saat berbuka lah, makanan yang bisa membantu puasa karena kandungan gizi lebih banyak dan awet kanyang lah, multivitamin yang bisa menjaga daya tahan tubuh serta mencukupi zat yang hilang saat puasa lah, sampai segerombolan diskon yang katanya diperuntukan untuk menyambut hari raya. Hiya hiya hiya.
Kalau kita
tenggok iklan yang bertebaran, selalu saja isinya mengambarkan kondisi puasa
yang amat menyiksa. Seolah-olah kita tidak akan kuat dan pasti terganggu
kondisi biologis serta metabolisme dalam tubuh saat berpuasa, sehingga kalau
mau kuat dan tidak terganggu ya memakai produk yang dimaksud. Kita dicekoki
bahwa puasa membuat dehidrasi, lemas dan tidak memiliki energi. Seolah puasa
adalah ladang penyiksaan, sehingga membuat kita seolah-olah membutuhkan segala
jenis produk yang akan membantu melewati penyiksaan karena puasa.
Belum lagi
serangkaian diskon yang menarik daya beli semakin ra karu-karuan. Dengan terang-terangan
disebutkan bahwa hari fitri adalah tampilan baru. Sehingga kita perlu baju
baru, kerudung baru, celana baru, sendal baru. Kita sampai lupa bahwa hal baru
yang benar-benar harus dihadirkan adalah hati yang baru.
Sampai saat ini,
tidak hanya toko offline yang banjir mengiklankan diri dengan diskon tidak
masuk akan yang membuat daya beli tidak masuk akal juga. Tetapi, toko online
yang mana mereka sudah mulai mengambil pasar juga ikut ambil bagian dalam peran
meningkatkan daya beli masyarakat dengan bagi-bagi voucer dan bonus. Yang tentu
hasil buat mereka adalah bulan ini daya beli masyarakat harus meningkat, untung
adalah kunci.
Belum lagi
kebutuhan akan memoles isi rumah. Dari mengisi sediaan logistik untuk hari
raya sampai mendandani ulang rumah dengan menganti warna cat, memoles ulang
perabotan, membeli alat pembersih rumah sampai mencuci segala karpet dan horden
yang harus bersih saat hari raya.
Sehingga kongkroit
kita akan mengkonsumsi lebih banyak dan lebih beraneka ragam makanan, minuman,
aneka multivitamin, perlengkapan rumah sampai baju. Semua itu diperuntukan
untuk menyambut hari yang katanya fitri.
Sungguh ramadan
sampai hari raya adalah rangkaian festival yang meriah. Festival yang sangat
menguntungkan bagi pelaku pasar, iklan berbau ramadan dikit, tipis-tipis kasih
bonus, insaallah peserta fersival ramadan akan ramai-ramai membeli produk yang
ditawarkan.
Hemm,
Padahal, Orang yang
akan berpuasa harusnya sadar betul bahwa dia sedang akan melakukan aksi menahan
diri dari gerudukan nafsu. Sehingga implikasi paling rasional adalah hidup
sederhana. Lakok ini malah dengan tanpa sadar menyediakan diri untuk hidup
berlebihan.
Mari diakui saja,
siapa diantara kita yang malah lebih berlebihan saat berpuasa dibanding
hari-hari biasanya. Otak kita serasa auto-mengamini bahwa puasa adalah hal yang
menyiksa sehingga kita membutuhkan berbagai produk yang dijajakan.
Sehingga yang
selama ini tidak perlu multivitamin, jadi beli multivitamin. Biasanya makan
cukup dengan nasi, sekarang sahurnya nasi dan roti. Biasanya cukup minum air
putih, sekarang ada minuman isotonik, minuman dengan kandungan glukosa yang
baik untuk buka katanya, sampai minum minuman yang bisa menjaga
konsentrasi.
Lalu di mana sisa
sederhana yang menjadi inti kandungan ibadah puasa? Bukankan puasa mengajari
kita hidup sederhana dan penuh sabar.
Misal ditinjau
dari kesehatan sedikit, kita lo sadar bahwa puasa itu emang lapar, tapi ndak
sampek membunuh juga. Malah puasa itu sehat, lawong makane teratur. Ngerti kan
kalau banyak penyakin itu muncul dari banyak makan, semisal diabetes, asam
urat, kencing manis, kencing batu sampai maag. Kita memberikan waktu istirakat
untuk perut dalam bekerja terus menerus adalah jalan yang tepat untuk bisa
hidup lebih sehat. Tapi kenapa semua cita-cita puasa itu terasa hilang ketika
berhadapan dengan gerudukan diskon.
Bukankah selama sebulan
ini, selain kita diajarkan untuk sabar dan sederhana dengan melakukan puasa,
kita juga diwajibkan untuk zakat, yang mana artinya kita malah harus
mengeluarkan harta kita untuk orang lain, dan ditutup dengan hari raya yang
mensucikan hati.
Kok malah
kejadiannya jadi terbalik begini. Ramadan malah jadi ajang semakin konsumtif
dan rakus padahal di waktu yang sama sedang puasa dan zakat. Hanya fokus memperbaiki tampilan padahal
haruse yang lebih utama adalah memperbaiki hari, lawong melewati idul fitri jua.
Jadi sebenanrnya
masih menyisakah semangat ramadan di hidup kita sampai hari ke 22 ini? Atau malah
semakin parah hilang inti ramadan karena setelah ini diskon semakin besar dan
semakin ugal-ugalan lagi.
Salam :)
Refleksi Ramadan #21
[Sumber: ramadan.tempo.co] |
Sejak dulu, di musholah dan masjid desa selalu mengadakan khataman Alquran pada malam-malam ganjil sepulut terakhir, sehingga yang selama ini tadarus biasanya dilakukan sendiri-sendiri, pada malam-malam ini dilakukan bersama dan tentu akan menghabiskan Alquran lebih banyak.
Ada dua hal
menarik yang bisa kita bicarakan dari kebiasaan orang-orang desa ini; 1. Berjamaan
dan 2. Membaca Alquran.
***
Seperti yang aku
sebutkan di awal, bahwa orang-orang desa tadi sudah tadarus sendiri-sendiri
setiap malam ramadan, tetapi khusus pada malam ganjil 10 terakhir, warga
melakukan baca quran jamaah. Ini sungguh kental sekali dengan nuansa komunal
yang sangat khas dari masarakat pedesaan. Apalagi juga kita tahu bahwa banyak
sekali kegiatan komunal warga desa yang tidak memakai surat undangan lagi,
tetapi sudah mentradisi, dan sekali-kali hanya perlu diumumkan lewat TOA
mushola.
Kegiatan komunal
warga desa tidak hanya sesuatu yang bersifat materil/dhohiriyah semisal
membangun rumah, menjenguk orang sakit, sampai membela desa di pertandingan
sepak bola, tetapi sampai ke urusan non-materil/batiniyah. Solat berjamaah di
desa malah menjadi sebuah gandengan dari solat wajib. Yang namanya wajib itu ya
jamaah, kira-kira seperti itu. Malah kalau ada warga yang tidak datang jamaah,
dia akan dicari sama temen-temen yang lain, dikira sedang bepergian atau sakit.
Apalagi untuk
mushola dan masjid yang terafiliasi ke ormas NU, kegiatan ibadah berlanjut
sampai ke wirid bersama dan diakhiri dengan doa. Adalagi pembacaan yasin,
tahlil dan istighosah yang sudah pasti jamaah, malah kadang-kadang masih ada
jamaah tahlil di luar jamaah musholah, jadi semisal pas malam jumat,
orang-orang desa bisa baca yasin, tahlil dan istighosah 2 kali, satu di
mushola/masjid, satu di jamaahnya sendiri-sendiri yang digilir ke rumah-rumah.
Sehingga masjid
menjadi tempat yang sangat sentral di desa, karena masjid menjadi tempat berkumpul manusia selain yang dilakukan di luar ibadah. Bahkan di desa, masjid
lebih besar peranannya dari pada balai desa, karena balai desa hanya menyediakan
ruang formalistik belaka, semisal pendaftaran kepala desa, selebihnya dilakukan
di masjid, lawong pengumuman mengairi sawah ya dilakukan di masjid.
Dan pada malam
ganjil 10 terakhir ramadan, khataman Alquran dilakukan bergilir dari satu
mushola ke mushola lain, diatur oleh remas masjid. Kegiatan khataman Alquran
keliling ditutup di masjid besar, yang bertepatan pada malam 29 ramadan.
***
Hal lain yang
bisa dibahas dalam memenuhi malam ganjil 10 terakhir versi orang-orang desa adalah
membaca Alquran. Tentu menarik sekali, bahwa dari serangkaian ibadah yang bisa
dilakukan, kenapa membaca Alquran adalah yang dipilih. Tentu ini akan
berhubungan tentang malam nuzulul quran yang juga turun di bulan ramadan dan
saat itu adalah malam lailatul qadr, sehingga hubungan antara Alquran dan
lailatul qadr itu sangat erat.
Selain itu,
biasanya dalam setiap tadarus Alquran, ada seorang imam mushola/masjid yang
memberikan refleksi tentang Alquran pada jamaah, sehingga jamaah tidak hanya
membaca Alquran saja, tetapi juga mendapat refleksi dari secuplik apa yang
dibaca. Tentu hal ini dilakukan untuk menguatkan dan membangkitkan semangat
berislam. Hal ini karena tipikal manusia desa berislam selalu memilih satu
orang yang dapat menjadi rujukan dalam masalah keagamaan, bisasanya adalah imam
masjid.
Tidak semua orang
desa mengerti urusan makna dan meneladani Alquran, mereka menyerahkan pada satu
otiritas yang terpercaya. Jadi atmosfer yang terbentuk pun ndak yang
diluk-diluk minta dalil, karena islam yang mereka pahami sudah bergabung dalam
laku keseharian, tidak kaku nan formalistik. Tidak ada orang kemaki yang merasa
tahu segalanya karena membaca rangkuman Alquran dari internet. Yang dinilai
bukanlah seberapa banyak kamu tahu, tapi sebenarap kebermanfaatanmu untuk
masyarakat.
Kamu bisa hafal
Alquran dan setiap ditanya dalil bisa menjawan, tetapi kalau hal itu tidak membuatmu
punya akhlak yang baik, semisal ikut angkat-angat kayu saat ada yang pindahan
rumah, Alquran yang dihapal tidak jadi berguna.
Sehingga beragama
di desa lebih selow dan tidak formalistik ya karena nilai-nilai agama menyatu
menjadi laku kehidupan. Tidak dihadirkan dalam pertanyaan-pertanyaan yang kaku.
Ya itulah kehidupan di desa.
Bisa dibayangkau kalau nilai
Islam yang terkandung dalam Alquran dilakukan dengan berjamaah, bagaimana sejuknya hidup di desa.
Salam, selamat
menikmati ramadan :)
Refleksi Ramadan #20
[Sumber: portal-ilmu.com] |
Sejujure godaan untuk tidak fokus kontemplatif dan mengevaluasi diri pada ramadan ini buatku sendiri sangat masif dan lebih masif dari tahun-tahun yang lalu. Waktu yang tenang juga kadang sulit ditemui, terlalu banyak intrik duniawi yang sering kali membuat ibadah kehilangan fokus.
Kalau pada ramadan-ramadan sebelumnya, godaan paling masif untuk orang berpuasa adalah persoalan makan, makan
dan makan. Siang memang puasa, tetapi habis asar kita sudah mikir akan buka
dengan apa, agak malam kita mikir cemilan terbaik, saat sahur kita pun ingin
menambah sedikit multivitamin agar puasa bisa kuat, katanya, eh~.
Tetapi saat ini,
yang membuat kita ndak fokus-fokus amat sama puasa tidak hanya soal perut,
tetapi soal sahwat politik juga. Padahal lo ya, yang punya kepentingan iki kan
sebagian elit saja, tapi emosi masa ini bisa bener-bener dimobilisasi. Kan harusnya
untuk ukuran orang puasa yang benar-benar ingin mengolah emosi dan nafsu,
harusnya ndak usah ikut termobilisai emosinya untuk ikut nyinyiri kepentinagan
elit politik itu. Tapi nyatanya, banyak diantara kita yang tergoda, alias puasa
kita ya sebentulnya ndak bener-bener menjadi momen kita mengunci sahwat dan
nafsu.
Dan kalau kita
melirik pada apa saja yang diperlukan dalam beribadah, kan ya ndak cukup kalau
hanya diwakili oleh tubuh. Dalam ibadah kehadiran fokus pikiran dan hati
menjadi penting.
Ya mengkin selama
ini kita tetap solat rutin, puasa juga jalan, tetapi apakah qolb kita yang
selalu bersama Tuhan itu hadir, kok kayaknya ndak. Apalagi serbuan untuk ndak
ingat Tuhan ini ya masif seperti yang barusan aku sebutkan.
Padahal, dalam
beribadah kita tau bersama bahwa ibadah tidak bisa hanya diwakili oleh mulut,
tetapi juga perlu kehadiran hati kita yang selalu mengingat Tuhan.
Mulut kita yang
terbatas tidak bisa mewakili dalam memuji dan berkomunikasi dengan Tuhan. Mata kita
yang terbatas tidak bisa mewakili untuk melihat Tuhan. Indra peraba kita yang
terbatas pun tak dapat mewakili dalam merasakan kebersamaan kita dengan Tuhan. Karena
Tuhan memang tidak terjebak dalam kordinat waktu dan ruang. Sementara semua
alat indra kita terjebak kordinat waktu dan ruang.
Bagaimana mungkin
bisa mensingkronkan 2 hal yang berbeda sifat, tentu kita benar-benar perlu
menghadirkan qolb dalam setiap doa-doa kita. Agar doa kita tidak dalam dimensi
mahluk saja. Agar kita tidak menganggap bahwa doa terbaik kita adalah doa yang
dilafalkan pada waktu mustajab dan dikirim dari tempat yang dianggap mustajab,
tok. Tetapi kita harus yakin, bahwa setiap doa kita pasti didengar Tuhan. Jangan
sampai berkurang kepercayaan kita kepada Tuhan.
Selama 20 hari
ini, apakah kita sudah benar-benar mengunakan qolb kita untuk berintraksi
dengan Tuhan? Kalau tidak, kan ya berarti solat kita selama ini hanya gerakan
dan rapalan doa saja. Doa tidak hadir dari hati/qolb yang bisa berkomunikasi
dengan Tuhan, tetapi hanya dihadirkan dari mulut yang sangat terbatas.
Sedari itu,
agaknya kita benar-benar harus memberikan jarak yang pas ketika akan beribadah
dengan hal-hal yang bisa mengalihkan kita dari mengingat Tuhan dengan qolb.
Kita bisa mulai
memahami bahwa saat kita wudhu adalah jalan kita aktif berkomunikasi dengan
Tuhan. Saat kita wudhu kita berusaha menyingkirkan sahwat dan nafsu dunia dari
diri kita, kita sadar bahwa wudhu kita tidak sekedar memberiskan muka dengan
air. Kemudian langsung disusul dengan ibadah kita yang menghadirkan seluruh
komposisi yang dibutuhkan dalam berkomunikasi dengan Tuhan. Tidak hanya sebatas
urusan lahiriah yang terbatas ini.
Sehingga kita
bisa melatih diri lebih baik dan menaikkan level hidup dan ibadah kita. Kita juga
bisa lebih kenal siapa diri kita sebenarnya, karena kunci mengenal Tuhan adalah
kenal dirinya sendiri terlebih dahulu. Sehingga kontemplasi dan evaluasi dalam
tahapan ibadah kita menjadi penting. Tidak hanya simbol, gerakan serta rapalan
yang menjadi acuan dan ukuran. Semoga kita bisa sampai di level itu.
Kayaknya ini saja
dulu, semoga kita tidak terjebak pada ruang dan waktu terbaik dalam mencoba
aktif berkomunikasi dengan Tuhan, karena Tuhan tidak terikat kordinat ruang dan
waktu. Allah lebih besar dari sekedar kordinat itu. Ramadan kita juga bukan
kita maksudkan sebagai waktu yang paling baik, kita harus percaya kapan pun itu
baik. Agar kita tidak pesimis pada doa kita di luar ramadan dan fokus pada
bonus-bonus ramadan.
Semoga kita tidak
lupa bahwa sejatinya tuhuan kita adalah Allah swt.
Salam :)
Refleksi Ramadan #19
[Sumber: hellosehat.com] |
Selain sesuatu yang emang diperintah dan hal-hal yang dilarang, semua yang di dunia ini berhukum awal boleh. Dan darinya selalu terdapat 5 hukum yang bersandar atasnya. Tidak bisa suatu hal itu hanya bersandar pada satu hukum dengan absolut. Segala bisa berubah tergantung situasi dan kondisi. Dari sana muncullah fiqh.
Nah, fiqh ini kan
sebuah rule atau aturan yang harusnya memudahkan kita dalam hidup. Namanya aturan
ini untuk kebaikan, kalau aturan itu menyusahkan sebuah permainan, berarti
peraturan sudah menikam permainan itu sendiri. Dan sudutnya bisa beragam, gak
kaku hanya hitam putih. Kadang-kadang cuma peringatan, kadang-kadang kartu
kuning.
Emang monokrom, cuma hitam putih, tidak ada warna yang lain. Udah cukup Tulus saja
yang monokrom. krik
***
Aku langsung
ingin pakai contoh perkara menikah saja dalam membincangkan fleksibelnya fiqh
dalam mengatur kita. Lawong aku juga pengen menikah, jadi bisa relate, Hehe
Dengan sangat
mudah kita bisa temui orang-orang seperti tanpa filter diluk-diluk tekok kapan
menikah, kayak seolah-olah menikah iki selalu baik. Basa-basi keluarga selalu
berputar-putar pada pertanyaan template soal menikah yang tidak kritis transformatif,
apalagi sampai ke masif dan terstruktur kayak dem uuuoooooo, eh~~ . Wkwkwkw
Kalau orang
berani dan mau jeli, kan tidak semua hal dalam menikah ini selalu baik. Dibilangnya
menikah ini menyempurnakan iman lah, menggenapkan lah, sunnah lah, ealaahhhh. Kan
perlu dilirik dulu situasi dan kondisi.
Kalau ada orang
yang terkena hukum haram menikah, terus kamu mau gitu seenaknya tanya dan
memotivasi ke dia “kapan menikah?”. Menikah endoke, kalau si dia yang terkena
hukum haram menikah beneran menikah, kamu mau tanggung jawab? Karena sudah jadi
oknum mendorong orang melakukan perbuatan dosa. Heh?
Aku mau menahan
saja terkait kategorisasi dan kondisi ketika orang-orang itu hukumnya seterti
apa dalam kaitannya dengan menikah, lawong aku ra layak. Tapi terkait
eksistensi kategori itu emang ada, dan bisa dicari pada beliau yang memang
kompeten untuk membicarakan soal fiqh. Tentu pada beliau-beliau yang menguasai
fiqh, usul fiqh sampai kaidah fiqh. Bukan yang ulama’ web-web-an.
Bahwa menikah itu
ada dari wajib, sunah, mubah, mekruh, sampai haram. Semua ada tinggal dicari.
Dorongan-dorongan
segera berkeluarga ini juga kadang menjemukan. Tawaran selalu datang untuk
pemuda agar segera membuat relasi suami istri dengan seseorang. Katanya kalau
menikah itu apa-apa bisa jadi ibadah. Mencium istri ibadah, menafkahi ibadah,
mencucikan baju suami ibadah, bahkan meniduri itu ibadah. La aku mulai resah ini,
emang aku muncul dari batu? Kedua orang tua ku kan juga menikah. La emang kalau
aku cium tangan kedua orang tua ku ndak ibadah. Apa ciumanku jadi ibadah
dimulai saat nikah? Harusnya mereka yang ngajak menikah itu fair, bilangnya gini "yang siap menikah, yang wajib, ya menikah. kalau belum wajib, masih sunah apalagi mubah ya santai aja, lawong perkara ciuman dapat pahala itu ndak hanya dimonopoli orang yang sudah menikah, cium orang tuamu juga bernilai ibadah" enak to.
Seolah-olah
menikah itu ndak sirkel, ndak siklus. Seolah-olah kita cium tangan baru ibadah
itu dimulai pas menikah. Padahal ortu kita juga menikah dan ibadah kita ya
hormat pada beliau berdua. Emang bener-bener lambe bakol.
Nah kehidupan
kita yang hukumnya bisa berubah-ubah sesuai kondisi ini juga sebenarnya belum
final. Ada unsur niat di sana, semua yang kita lakukan tergantung pada apa yang
kita niatkan.
Sesuatu yang
mulia macam menikah itu, kalau niatnya sudah kuorat-karet. Secara isi bisa jadi
amburadul. Jadi kita pun ndak bisa mengatakan bahwa perokok itu pasti negatif. Kalau
niat merokok ini membantu meditasi, merenung dan mengingat Tuhan, masak itu
tetap negatif. Negatif mana dengan membela agama tapi niate ingin kudeta. eh
Tapi, dari
serangkaian perihal fiqh ini, kita sebagai umat islam juga dibekali akhlak. Jadi
selain hukum yang selalu berubah, niat yang menjadi semangat dan ukuran, akhlak adalah
unsur yang penting.
Benar saudaramu
itu sudah wajib menikah, tapi cara memotivasimu itu brutal dan mengusik
hatinya, alias akhlakmu itu ndak ditata, ya apa jadinya ibadah yang udah kadong
baik ritual dan niatnya.
Semoga dalam
puasa ini kita bisa fokus dalam mengasah fiqh, niat dan akhlak. Salam :)
Refleksi Ramadan #18
[Sumber: merdeka.com] |
Mbok kalau malam nuzulul quran di masjid kui ngaji karo mujahadah, ogak malah teriak-teriak dan main bom. Gitu pas ada anak main pecut-pecutan sarung saat teraweh dimarahin, la dapurane dewe ceto-ceto gak tadarus.
Rasane wes emang
kita gak bisa bener-bener percaya pada simbol identitas.
Gimana kalau kita
bersepakat saja, ndak ada itu pakaian islami, musik islami, sampai makanan
islami. Kalau udah kek gini, narasi mlintir makin mudah saja. Bermodal sorban
lalu melakukan aksi anarkis, kok jek uwenake bilang rezim represi islam karena
aksinya ditolak. La islam seperti saya yang masih mementingkan buka gratis dari
pada demo-demo yang jelas bikin puasa syariat tidak kuat ini dianggap apa?
Lek sek
diterus-teruskan lebel islami itu disandarkan pada sesuatu yang kulit,
besok-besok kita juga akan liat orang yang buka puasa pakai kurma lebih islami
dari yang pakai nasi padang. Yang denger mahir zain lebih islami dari yang
denger coldplay. Yang mukulin orang pakek didahului takbir lebih islami dari
tinju yang fairplay, gitu? Terus pas semua percaya ada sesuatu yang lebih
islami dari yang lain, baru lah akal-akalan lebih suci dimainkan. Terus pas argumennya kalah main aksi playing victim
lah anda. Gocik tenan.
Disaat seperti
ini, hadirnya elit berpengaruh untuk tampil dengan sikap kesatria sangat
diharapkan.
Kesatria tidak
sekedar berani untuk gontok-gontokan, menang-menangan, berbicara keras. kesatria
tidak selalu diterjemahkan menjadi orang yang tidak punya takut seperti
superhero. Keberanian yang lebih diutamakan adalah soal keberanian mengelola
hati dan memenagkannya dari kungkungan ego, nafsu, sahwat kekuasaan dan
amarah.
Kok ya dilalah,
elit yang harusnya berperan dalam meredam segala kericuhan ini malah jadi oknum
minyak gas ketika ada kayu-kayu terbakar. Malah nuding-nuding ini antek ini
antek, antek endoke.
Yo ancen sih,
egois itu enak. Enak betul jadi anak kecil. Enak betul jadi tidak bijaksana.
ENAK BANGET DINGERTIIN.
Yang ra enak itu
ya pas mau berbagi, pas sadar bahwa kita iki bareng-bareng, dan gak iso semua
orang menuruti egonya kita.
Nuruti ego itu
gak ada ujungnya, menahan sahwat dan amarah, itu yang lebih diutamakan. Pakai nurani
dalam tindakan. Kalau salah ya minta maaf, kalau kalah ya ngaku kalah, kalau
menang ya bersyukur, kalau pinter yang ojok keminter. Kabeh enek cocokane, ogak
terus lek kalah gak trimo tapi lek menang diterimo.
Kalau salah minta
maaf itu bukan konsep yang diperuntukan hanya untuk anak-anak pas hari raya,
bukan diperuntukan untuk latihan membentuk karakter pada anak-anak, bukan juga
diperuntukan untuk masyarakat akar rumut yang sudah bertikai horizontal karena
elit awale cakar-cakaran. Yang lebih penting minta maaf i mereka yang punya
kuasa, mereka yang elit, mereka yang egonya lebih besar.
Kayak misal di
rumah, yang harusnya minta maaf ki ya orang tua, lawong mereka yang punya
kehendak dan egonya lebih besar, bukan malah anak-anak.
Mengajari anak
minta maaf kalau ada salah itu hal yang berbeda. Kita sedang membicarakan
egonya siapa yang lebih berpengaruh dan menguasai ego yang lain.
Jadi di momen
seperti ini, adanya kestaria hadir dengan penuh kekuatan yang bisa mengontrol
amarah dan sahwat sangat diharapkan. Pemimpin yang berpikir untuk indonesia ke
depan lebih baik untuk semua kalangan.
Jadi gimana,
masih ingin merasakan ramadan lagi atau kita wes bener-bener pengen
meninggalkan ramadan demi menuruti nafsu dan amarah?
Yo semoga ae si,
pas gontok-gontokan dan nuruti sahwat gak bertepatan pas lailatul qodar,
lek pas, lak modar iku. Dosa amarah 1000 bulan.
Semoga
keselamatan tetap pada teman-teman semua :)
Refleksi Ramadan #17
[Sumber: artikelbuddhist.com] |
Tidak ada refleksi yang lebih relevan pada malam 17
Ramadan selain merenungkan kembali Alquran, semua sudah tau kalau tanggal 17
Ramadan adalah Nuzulul Quran. Apakah
kita yang selama ini percaya
bahwa Alquran adalah petunjuk dalam menjalankan laku berislam
hanya selesai di bacaan, kan tentu tidak. Kita pasti tetap punya keinginan
untuk menuju ke lever percaya yang lebih kompleks dan tinggi.
Dalam beriman, kita tidak hanya percaya bahwa Alquran
adalah kitap suci sumber berislam, tetapi terdapat makna yang lebih paripurna
dan perlu usaha lebih untuk bisa mencapai level itu. Bahwa percaya tidak hanya
berada di hati, tetapi juga harus dilisankan dan dilakukan.
Misalnya begini, kalau kita percaya bahwa Alquran dan
segala isinya adalah semangat kita berislam, tentu kita akan merenunggi betul
isi kandungan dari ayat-ayatnya. Tarik satu ayat yang paling sering kita
lafalkan, yakni Alfatihah. Kalau kita percaya Alquran, kita tidak akan hanya
selesai dengan mengunakan Alfatihah sebagai bacaan dalam salat. Tetapi mengikrarkannya,
bahwa kita harus berlaku cinta kasih seperti apa yang diajarkan Alfatihah dan
juga kita bertindak penuh dengan cinta kasih kepada seluruh mahluk yang ada di
dunia.
Orang yang percaya pada Alfatihah tidak akan membiarkan
dirinya terbiasa dengan perilaku menyakiti yang lain, memainkan egonya sendiri
yang harus menang, dan membiarkan orang lain susah atas kehadiran kita. Tidak seperti
itu bentuk cinta kasih.
Jadi iman/percaya ini ya mirip-mirip dengan cinta. Cinta
itu ndak bisa cuma diucap, kalau ada yang ikrar cinta kucing, ya perilakunya pada
kucing harus menceminkan kasih sayang pada kucing.
***
Gus Aan ansori pernah mensarikan beberapa esensi dari
Alquran, beliau mengatakan “Alquran itu setidaknya hanya
berisi 5 prinsip universal; justice, human dignity, god-consciousness, love and
compassion and equity. Itu yang aku pelajari dari Prof. Hashim Kamali”
Sehingga, sebenarnya bisa juga kita teliti kehidupan kita
selama ini, apakah kehidupan kita sudah mengamalkan prinsip-prinsip dalam
Alquran.
Misalnya Alquran mengajarkan ketaqwaan. Apakah selama ini
tindakan kita sudah menjalankan laku tanda ketaqwaan?
Taqwa tidak hanya tercermin dari rajin atau tidaknya
hamba beribadah seperti solat, tetapi lebih juga pada bagaimana dia
berinteraksi di luar itu. Kalau ada orang yang ngaku taqwa tapi korupsi, kan ya
gak nyucuk. Saat dia dengan sadar melakukan aksi korupsi, Allah ditaruh di
mana? Kan begitu. Masak kalau ngaku Allah ada di hati, saat korupsi gak terusik
itu hatinya. Nurani pasti berontak ketika tubuh melakukan hal-hal yang
melanggar aturan yang berlaku.
Soal taqwa juga bisa tercermin dari bagaimana kita
memperlakukan manusia dan alam. Allah ini sayangnya pada seluruh manusia lo,
tidak hanya yang berikrar bahwa Allah tuhannya. Semuanya dijatah rizki, semua
dikasih keselamatan dan kesehatan. Allah tidak pandang bulu sayangnya. Semua diberikan
Rahmannya.
La kalau ada orang yang ngaku taqwa tapi buang sampah
sembarangan. La ini kan gak oke. Diminta kasih sayang pada semua yang ada di
dunia ini, la kok malah memberikan beban pada alam sejagad. Kalau ada orang
ngaku taqwa, ya kan lakune kudu bisa menjaga lingkungan.
***
Sungguh cocok Alquran diturunkan pas ketika ramadan, biar
sekalian kita berbenah, kita mereformasi semangat dalam diri, kita merubah
total apa yang sepatutnya kita tinggalkan, kita tingkatkan apa yang seharusnya
selalu kita amalkan.
Semoga ibadah kita juga tidak hanya teringat-inget pada
pahala, meskipun sah-sah saja. Tetapi lebih dari itu, tujuan kita harusnya adalah
Allah itu sendiri, empunya Alquran, bukan malah teralih pada
ciptaan-ciptaannya.
Sekali lagi, Alquran mengajari kita berlaku
adil, mengajari kita memanusiakan manusia, mengajari kita kesetaraan, dan
lain-lain. Kalau tindakan kita sudah qurani, tentu akan sangat menyenangkan
hidup ini.
Membaca Alquran memang penting, tetapi
mengamalkannya juga satu poin yang lebih diutamakan.
Kalau kehidupan kita gini-gini aja, jadi
selama ini, kita membaca Alquran, atau baru mengejanya?
Refleksi Ramadan #16
[Sumber: islami.co] |
Dengan sebenar-benarnya,
asline hari ini aku pengen mengulas soal kebiasaan tidur saat puasa. Karena
beberapa hari lalu baru dengar konsep tidur yang katanya ibadah itu, dengan
perspektif sangat baru untuk hidupku yang diungkapkan gus Muwafiq.
Semula
aku hanya memahami kalau tidurnya orang puasa itu ibadah, wes itu tok. Terus
berkembang, katanya tidur dianggap ibadah itu kalau malamnya habis untuk
ibadah, ini fair si, jadi ada keterangan dan sebab kenapa kegiatan yang
uwenak itu bisa bernilai ibadah. Terus yang terakhir, kata gus muwafiq, ini unik sekali, malah
menegasi tidur “tidurnya aja ibadah, apalagi kalau kamu melek. Bisa dzikir,
bisa kerja, bisa ini itu”. Jadi tetap yang lebih baik dilakukan saat
siang puasa adalah beraktivitas. Tidak malah puasa kita membuat siang jadi
malas, dan ya nyambung juga dengan konsep doa yang beberapa hari lalu sempat
aku jadikan refleksi ramadan. logis ya. Menarik-menarik.
Tapi, selepas tak
pikir-pikir hal itu, tak anggan-anggan konsep tidur untuk orang puasa ini, kok sekarang dunia maya
menjadi gaduh karena
penetapan hasil pilpres. Hehe. Memang duniawi itu menyenangkan.
Kalau butuh bukti tentang nikmat sesaat lebih menarik dan
banyak menipu orang dari pada nikmat abadi di hari pembalasan, hari ini adalah
contoh yang bagus. Banyak orang yang lebih tertarik membicarakan agenda lima
tahunan ini dari pada menahan diri.
Ya ini berlaku bagi yang menang dan yang kalah si, bagiku
sama saja. Wes tercium emosi dan sumbu pendek tertanam di kedua kubu. Pun
dengan tulisan ini. Lawong jelas-jelas aku pengen bicara soal ibadah tidur,
kenapa sampai paragraf ini wes ngomongin pilpres. Sial sial. Semoga kita gak
rugi-rugi amat hidup di dunia ini.
Yang bikin aku tergerak
malah kepikiran pilpres dan menyampaikan sedikit informasi soal tidur
adalah gara-gara
barusan baca meme, bunyinya “jadi ini alasan penetapan pilpres malam-malam.
Kalau siang, puasa bisa batal, gak boleh boong”
Meme itu udah pasti meme
ocehan si, ya pokok pengen rame-rame aja. La gimana gak rame-rame, dia
wes pakek narasi agama, puasa, eh anggap boong bikin batal puasa. Itu yang buat
meme makan permen rasa apa si, kok bisa lucu banget. Boong bikin batal puasa,
hemm.
Kalau boong itu bikin amal puasa kosong, mungkin iya. Lawong
ukuran syariat, ndak ada tuh aturan gak oleh boong. La kalau boong bikin batal
puasa, situ bilang curang gak mau membuktikan alias asal tuduh, itu bikin amal
puasa dilipat gandakan gitu? Emm,, legit ya
Jadi sudah lah, aku juga gak ingin berlarut-larut
membicarakan itu. Mari menahan diri. Tulisan ini juga mau aku tahan gak banyak-banyak, biar cuma secuil ini saja.
Yuk sama-sama jaga ketertiban. Kalau Kata Gus Dur; Main bola
itu ya permainan, tapi mainlah yang serius, serius mainnya, gak kayak sepak
bola gajah. Tapi ingat, sepak bola itu ya ada aturannya, jadi kita gak bisa
seenak udel sikat kaki orang, selamat bermain sepak bola, selamat berdemokrasi,
selamat berpuasa, selamat menahan diri.
Kalau kondisinya bising kayak gini, pengennya marah-marah aja, ancen bener, tidur adalah sebaik-baiknya ibadah saat ini. wes wes turu kono, ngerameni twiter. hasishhhh~~~
Salam :)
Kalau kondisinya bising kayak gini, pengennya marah-marah aja, ancen bener, tidur adalah sebaik-baiknya ibadah saat ini. wes wes turu kono, ngerameni twiter. hasishhhh~~~
Salam :)