- Back to Home »
- Embun »
- Refleksi Ramadan #8
Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id
Senin, 13 Mei 2019
[Sumber: halodoc.com] |
Pendapat ini aku pakai dari logika pertama, semisal solat tadi, kenapa aku berkeyakinan bahwa muaranya hanya menguatnya interaksi mahluk dan Tuhan, hal ini dikarenakan salat adalah kumpulan sebuah doa yang paripurna, salat juga bentuk syukur pada pada Tuhan atas segala nikmat yang sudah diberikan. Interaksi yang dibangun antara mahluk dan Kholik. Sangat berbeda dengan zakat, meskipun zakat ini ada niat karena Allah taala juga, tetapi bentuk ibadahnya adalah memberikan sebagian harta yang kita punya kepada manusia yang membutuhkan. Interaksinya sangat manusia dengan manusia yang lain. Lalu bagaimana dengan puasa?
Dahulu puasa aku
maknai interaksi antara mahluk dengan kholik. Logika yang dipakai adalah kita
puasa atau tidak, tetangga manusia kita tidak tahu, sehingga ibadah ini sangat
tersembunyi sebenarnya. Bahkan orang serumah pun tidak akan tahu seseorang itu
puasa atau tidak, karena kita mencuri minum segelas air di siang hari, tidak
akan mudah ketahuan. Sehingga yang mengetahui semua itu hanya Allah.
Namun ternyata
lambat-lambat hal itu mulai goyah juga, karena ada sesuatu pendekatan lain yang
lebih menarik. Bahwa implementasi ibadah tidak selalu parsial, tetapi holistik. Bahkan seperti
bersyahadat pun, yang seolah-olah kalau dilihat mengunakan penglihatan mata
indrawi sangat tidak muncul manfaatnya untuk manusia, lawong sahadat ini ikrar mahluk kepada Tuhan, mana ada implementasi untuk manusia, yato?
Ternyata semakin
ke sini, ibadah itu tidak begitu juga konsepnya. Ada ibadah yang seolah-olah
interaksinya hanya dengan Tuhan, tetapi implementasinya sampai juga ke manusia.
Pun demikian dengan puasa yang sedari awal aku anggap hanya untuk interaksi
manusia dengan Tuhan.
***
Puasa meskipun
terlihat hanya untuk mengabdi pada Allah, ternyata memiliki ilmplementasi juga
pada segala hal.
Kejadian ini
terjadi mungkin sekitar 4 tahun yang lalu, saat aku masih cukup sering puasa,
tentu ini yang sunah ya, bukan yang wajib. Hehe
Saat itu ada
sebuah diskusi yang cukup mengubah pola pikirku tentang memahami puasa ini,
ketika awalnya aku hanya memahami puasa sebagai interaksi vertikal, berubah
total menjadi vertikal dan horizontal. Ketika dulu aku hanya memahami puasa
hanya untuk Allah, tetapi implementasinya tidak hanya itu.
Puasa memang
hanya untuk Allah, itu benar dan riwayat ini sering kali diulang-ulang
diberbagai ceramah. Tetapi tidak berarti puasa itu selesai di urusan manusia dan
Allah.
Ketika kita
mengunakan makna bahwa puasa adalah menahan hawa nafsu, tentu sudah terlihat
bukan, bahwa puasa bukan hanya persoalan vertikal, tetapi horizontal juga
banyak sekali ikut andil di sana.
Kalau puasa kita
maknai sebagai menahan nawa nafsu, minimal kalau puasa kita adalah level
syariat yakni menahan makan, minum dan seks, kita sudah temukan interaksi horizontal di sana, yakni kita bisa baikan dengan tubuh kita
sendiri. Kita jadi ngontrol asupan makanan dan minuman ke dalam tubuh serta
menahan nawa nafsu seks.
Semisal kita
maknai puasa sampai ke level menahan hawa nafsu yang lain, semisal menjaga
telinga, mulut dan hati yang susahnya luar biasa itu, bukankah kita telah
berlaku baik pada seluruh alam semesta.
Biasanya kalau
kita marahan dengan pasangan di jalan itu bawaannya kepancing emosi, tetapi pas
sedang puasa, kita jadi punya keinginan menahan amarah. Sudah benar ndak ini
marah di jalan, sudah benar ndak si pasangan patut dimarahi, jangan-jangan
salah paham saja, dan sudah benar ndak takaran marah yang diperlukan. Kita jadi
berpikir-pikir ulang untuk meluapkan amarah. Yang semula kita bisa marah
seenaknya, dengan puasa yang terinternalisasi di pengontrolan emosi membuat pasangan
kita tidak dimarahi secara brutal.
Misal yang lain,
saat sore, biasanya perut kita menemui masa kritis, mau makan tapi mepet
jam makan malam, gak makan tapi udah lapar. Di hari-hari biasa kita jadi
meluapkan nafsu makan kita pada cemilan, ala-ala menganjal perut. Entah apa
yang dimakan, barang kali cemilan itu yang mungkin malah membuat tubuh kita
kurang sehat, barang kali ya. Tetapi karena kita sedang puasa, di masa genting
setelah asar itu, karena gak mungkin juga kita makan, akhirnya kita mengalihkan
kegiatan ke hal-hal yang bisa melupakan keinginan makan, semisal baca buku dan
berkumpul ngobrol dengan teman, akhirnya hubungan pertemanan meningkat
kualitasnya.
Dan tentu masih
banyak sekali hal-hal lain yang menjadi manfaat saat kita bisa menahan nafsu
sahwat, nafsu makan dan minum, amarah, suka mengunjing, adu domba dan
lain-lain.
Jadi, puasa ini
sebenarnya sangat melatih kita untuk memperlakukan tubuh kita dengan lebih baik
dan memperlakukan manusia di sekeliling kita sebagai manusia seutuhnya. Menarik
bukan puasa ini.
Selamat berpuasa,
Salam :)