Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id Jumat, 31 Mei 2019

[Sumber: travel.kompas.com]
Akhirnya untuk mengawali puasa yang ke 26 ini, saya bisa sahur di rumah bersama seluruh keluarga. Setelah menempuh jarak ratusan kilo dengan waktu tempuh nyaris satu sesi puasa, alias dari sahur sampai buka, akhirnya sampai juga di rumah.

Puasa di rumah tentu memberikan sebuah sensasi yang berbeda dengan saat di daerah rantau, dari hidup yang lebih teratur tidak bisa tidur dari pagi sampai sore, segala macam kebutuhan dari yang materil sampai spirituil ada di rumah sampai ramainya suasana sahur dan berbuka bersama. Apalagi untuk saya yang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah karena malasnya main-main ke luar apalagi saat malam, rumah menjadi sebuah tempat paling berkesan ketika pulang kampung.

Berkesan dalam arti banyak sekali rasa yang dapat hadir di rumah, dari suka sampai duka. Ya itu lah rumah.

Rumah memang memberikan banyak kenangan, kadang yang menyenangkan, kadang yang menyebalkan. Rumah adalah hidup. Tidak mungkin hidup hanya berisi kebahagiaan. Hidup itu kompleks dari bahagia bukan main sampai sedih luar biasa.

Dulu aku sempat protes kenapa ada sesuatu yang masam hadir di rumah? Kayaknya hal itu datang ketika aku kecanduan motivasi yang katanya kontruktif, ya meskipun rasa yang nyata hadir ada juga yang membuat hidup tambah destruktif. Motivator bilang “rumah adalah surga”, kok buatku saat ini, kata-kata itu semacam racun yang pelan-pelan bisa membunuh, karena kita akan tetap merasakan kecutnya hidup di rumah.

Dari sana aku sering protes karena kehidupan di rumah ndak selalu manis kayak di surga, pikiranku saat itu rumah harus berisi sesuatu yang manis saja, tidak boleh ada yang asam. Dan saat asamnya kehidupan itu datang, brontak datang menjadi-jadi.

Saat ini mulai aku meyadari bahwa picik juga kalau mengharap rumah hanya berisi yang manis, sementara rumah adalah hidup itu sendiri. karena hidup, sehingga isinya harus beragam. Tinggal kita yang cerdik atau tidak dalam mengelola setiap rasa yang datang. Atau kita hanya mau pasrah dan mengharap kebahagiaan tanpa mau mengolah diri dan perspektif yang nantinya akan membuat mata kita memaknai hidup lebih berbeda.

Ya itulah rumah, tempat paling tempat untuk kita memahami hidup.

Ada diantara kita yang bahagianya bukan main kalau sedang di rumah bersama keluarga dan ada juga yang sebaliknya. Rumah benar-benar menjadi salah satu contoh paling tepat tentang kompleksnya kehidupan yang penuh dengan spektrum situasi hidup.

Menjadi contoh yang sangat tepat juga untuk kita dalam melatih hawa nafsu saat puasa, karena yang kita hadapi adalah bagian dari diri kita sendiri.

Mungkin kita bisa sabar dengan ulah ngawur orang di jalan yang tidak kita kenal, tetapi kalau kejadian menyebalkan itu terjadi di rumah, apakah kita tetap bisa mengendalikan emosi? Tentu menjadi sangat sulit apalagi kita merasa punya hak untuk meredam situasi yang tidak kita suka. Salah pendekatan dan berakibat pada semakin kacaunya situasi, kondisi pun tambah gak enak, karena kejadiannya ya tetap di rumah.

Rumah adalah tempat keintiman kita dengan jati diri.

Jika rumah buat sebagian teman-teman adalah tempat yang menyebalkan, coba ubah persepektif, jangan terlalu banyak berharap pada hal yang tidak bisa kita ubah. Yang bisa kita kendalikan adalah diri kita sendiri. ubah cara kita memandang rumah dan menjadi manusia proaktif.

Untuk teman-teman yang tidak bisa pulang kampung, jangan sampai berkecil hati, karena yang tidak bisa ditemui saat lebaran ini hanya rumah sebagai benda, bukan rumah sebagai sifat.

Sebenarnya, di manapun kita dan sejauh apapun kita pergi, kita tetap berada di rumah dengan segala gejolak kehidupan yang hadir di dalamnya.

Semoga ramadan yang nyaris akan segera berkahir ini dapat membuat kita menjadi manusia yang lebih efektif. Salam :)

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

Tengok Sahabat

Diberdayakan oleh Blogger.

Top Stories

About

- Copyright © Tigabelas! -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -