- Back to Home »
- Embun »
- Refleksi Ramadan #26
Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id
Jumat, 31 Mei 2019
[Sumber: travel.kompas.com] |
Puasa di rumah tentu memberikan sebuah sensasi yang berbeda dengan saat di daerah rantau, dari hidup yang lebih teratur
Berkesan dalam
arti banyak sekali rasa yang dapat hadir di rumah, dari suka sampai duka. Ya itu
lah rumah.
Rumah memang
memberikan banyak kenangan, kadang yang menyenangkan, kadang yang menyebalkan. Rumah
adalah hidup. Tidak mungkin hidup hanya berisi kebahagiaan. Hidup itu kompleks
dari bahagia bukan main sampai sedih luar biasa.
Dulu aku sempat
protes kenapa ada sesuatu yang masam hadir di rumah? Kayaknya hal itu datang
ketika aku kecanduan motivasi yang katanya kontruktif, ya meskipun rasa yang
nyata hadir ada juga yang membuat hidup tambah destruktif. Motivator bilang “rumah
adalah surga”, kok buatku saat ini, kata-kata itu semacam racun yang
pelan-pelan bisa membunuh, karena kita akan tetap merasakan kecutnya hidup di
rumah.
Dari sana aku sering
protes karena kehidupan di rumah ndak selalu manis kayak di surga, pikiranku
saat itu rumah harus berisi sesuatu yang manis saja, tidak boleh ada yang asam.
Dan saat asamnya kehidupan itu datang, brontak datang menjadi-jadi.
Saat ini mulai
aku meyadari bahwa picik juga kalau mengharap rumah hanya berisi yang manis,
sementara rumah adalah hidup itu sendiri. karena hidup, sehingga isinya harus
beragam. Tinggal kita yang cerdik atau tidak dalam mengelola setiap rasa yang
datang. Atau kita hanya mau pasrah dan mengharap kebahagiaan tanpa mau mengolah
diri dan perspektif yang nantinya akan membuat mata kita memaknai hidup lebih
berbeda.
Ya itulah rumah,
tempat paling tempat untuk kita memahami hidup.
Ada diantara kita
yang bahagianya bukan main kalau sedang di rumah bersama keluarga dan ada juga
yang sebaliknya. Rumah benar-benar menjadi salah satu contoh paling tepat
tentang kompleksnya kehidupan yang penuh dengan spektrum situasi hidup.
Menjadi contoh
yang sangat tepat juga untuk kita dalam melatih hawa nafsu saat puasa, karena
yang kita hadapi adalah bagian dari diri kita sendiri.
Mungkin kita bisa
sabar dengan ulah ngawur orang di jalan yang tidak kita kenal, tetapi kalau
kejadian menyebalkan itu terjadi di rumah, apakah kita tetap bisa mengendalikan
emosi? Tentu menjadi sangat sulit apalagi kita merasa punya hak untuk meredam
situasi yang tidak kita suka. Salah pendekatan dan berakibat pada semakin
kacaunya situasi, kondisi pun tambah gak enak, karena kejadiannya ya tetap di rumah.
Rumah adalah
tempat keintiman kita dengan jati diri.
Jika rumah buat
sebagian teman-teman adalah tempat yang menyebalkan, coba ubah persepektif,
jangan terlalu banyak berharap pada hal yang tidak bisa kita ubah. Yang bisa
kita kendalikan adalah diri kita sendiri. ubah cara kita memandang rumah dan
menjadi manusia proaktif.
Untuk teman-teman
yang tidak bisa pulang kampung, jangan sampai berkecil hati, karena yang tidak
bisa ditemui saat lebaran ini hanya rumah sebagai benda, bukan rumah sebagai
sifat.
Sebenarnya, di
manapun kita dan sejauh apapun kita pergi, kita tetap berada di rumah dengan
segala gejolak kehidupan yang hadir di dalamnya.
Semoga ramadan
yang nyaris akan segera berkahir ini dapat membuat kita menjadi manusia yang
lebih efektif. Salam :)