Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id Kamis, 30 Mei 2019

[Sumber: Merdeka.com]

Selasa kemarin GUSDURian Jogja tidak mengadakan ngaji Gus Dur karena banyak jamaah yang sudah pulang kampung atau mudik. Minggu-minggu terakhir bulan ramadan seperti ini, saya kira juga akan semakin banyak orang yang mudik.

Ada yang mengatakan bahwa mudik adalah sebuah kegiatan yang hanya dilakukan di daerah Nusantara. Tidak ditemukan momen jalan menjadi ramai saat mendekati hari besar dan desa dipenuhi orang yang balik dari perantauan  di negara lain.

Hal ini bisa jadi karena untuk masyarakat daerah Nusantara, menyambung silaturahmi dengan keluarga adalah suatu hal yang penting. Malahan kalau sudah menikah, mudikna bisa menuju ke dua lokasi. Sehingga memang selalu ada rasa yang diuntai dalam jalinan perjalanan pulang.

Saya rasa tradisi mudik ini akan selalu ada, meskipun nantinya teknologi sudah sangat maju di Indonesia. Orang-orang akan tetap sadar bahwa teknologi semaju apapun tidak akan dapat menggantikan rasa. Rasa itu hanya akan hadir ketika ada perjumpaan secara langsung.

Dalam falsafah Nusantara pun sudah banyak diceritakan, bahwa sejauh apapun seseorang itu merantau, entah tujuannya untuk berdagang atau menuntut ilmu, dia akan kembali ke daerah asal, hal ini karena keterkaitan dengan daerah asal yang sangat kuat.

Apalagi kita sebagai orang yang percaya doa, tentu momen mudik bisa jadi salah satu momen melanggengkan doa keselamatan. Bagaimana tidak, untuk seorang muslim, keridhoan orang tua adalah hal yang sangat penting, sehingga pulangnya seorang anak bisa menjadikan ridhonya orang tua tetap nyambung. Tidak hanya itu, momen mudik juga menjadi sebuah ajang untuk tetap menjaga kearifan desa.

***

Namun, tantangan pun ada dalam kegiatan mudik ini.

Tantangan yang buatku menarik untuk dibicarakan adalah soal pengaruh dan mempengaruhi.

Orang desa yang merantau, ketika memiliki kualitas mental yang silau pada dunia gemerlap, mereka yang menganggap dunia kota/luar negeri pasti lebih baik dari daerah asal, mereka akan mudah sekali tercerabut dari akar kedesaannya. Banyak di antara mereka yang dengan mutlak menganggap segala sesuatu yang hadir di kota adalah sesuatu yang terbaik, sehingga saat mereka kembali, mereka akan memaksakan sesuatu yang ada di kota untuk ditiru secara serampangan di desa.

Dari cara berpakaian, berdandan, memperlakukan orang sampai berinteraksi. Tentu ini cukup wagu ketika dilihat dari daerah. Padahal tentu tidak semua yang ada di kota perantauan pasti lebih baik dari yang semua sudah ada di desa. Tidak semua yang ada di kota akan cocok ketika diterapkan di desa

Sehingga, menurutku tetap menjaga kualitas mental dengan seimbang dan tidak mudah silau pada hal dan cerita baru menjadi baik.

Biar tidak terlalu inlander lah mental kita itu.

Yang ujungnya, ketika kita bisa seimbang, kita akan melahirkan suasana mudik yang penuh dengan rasa sayang serta tetap merawat tradisi kedaerahan.

Selamat mudik teman-teman, semoga seluruh keluarga sehat. Salam :)

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

Tengok Sahabat

Diberdayakan oleh Blogger.

Top Stories

About

- Copyright © Tigabelas! -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -