- Back to Home »
- Embun »
- Refleksi Ramadan #7
Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id
Minggu, 12 Mei 2019
[Sumber: kaskus.co.id] |
Saat itu perjalananku ke jogja dimodali jaringan, mungkin aku lebih beruntung dari beberapa teman perantau lain, yang mana saat itu perjalanannya ke jogja benar-benar bermodal berangkat, tidak memiliki teman atau saudara di sini. Tetapi ada atau tidak ada jaringan di sini, kita semua akan tetap butuh yang namanya diterima sebagai manusia.
Saat itu sasaran
rumah yang akan aku datangi sesampainya di jogja adalah seknas gusdurian,
segara aktifitas yang aku lakukan di jogja kala itu akan bersimpul di seknas
itu. aku kenal dua nama di sana, yang bisa aku repoti dan hubungi kalau ada
apa-apa.
Dan ternyata
sesampainya di seknas, di sana benar-benar rumah. Merasa diterima sebagai
manusia yang memiliki hasrat dan kehendak, itu adalah pengalaman yang
menyenangkan sebagai seorang tamu.
Tidak diterima
hanya dengan basa-basi.
Aku rasa
basa-basi itu sebuah pembicaraan yang bertujuan membunuh waktu saja, aku tidak
yakin ada orang yang benar-benar mengali informasi dari sebuah basa-basi. Semisal
saat kondisi di bus, lalu kalian duduk dengan seorang bapak terus bapak itu
menyapa “mau ke mana dek?” kalian jawab “mau ke surabaya pak, bapak?”, bapak
itu menimpali “mau ke ngawi” lalu terjadi keheningan. Kecuali memang
pembicaraan itu berdasar pada prinsip menerimanya sebagai manusia, barulah ada obrolan lanjutan dan mungkin bermuara pada saling tukar nomer hape dan berteman.
Satu contoh lagi,
semisal kalian datang ke sebuah tempat makan, kalian berlalu ke tempat
pemesanan dan pembayaran. Si kasir bertanya “mau pesan apa kak?”, “saya mau
pesan nasi goreng sama es kopi susu ya mbak”, “ada tambahan lagi kak?”, “sudah
mbak”, beberapa detik si kasir memasukan data ke mesin pemesanan dan munculan
struk pembayaran, “totalnya jadi 17 ribu kak, atas nama siapa?”, dengan
mengulurkan uang 20 ribu kalian menjawab datar“Edi”, “duduk di sebelah mana
kak? ”, “mepet tembok barat mbak” sambil mengulurkan uang 3 ribu sebagai kembalian dia mengakhiri pembicaraan dengan "ditunggu ya kak".
Percakapan seperti
ini saya kira juga sudah jadi template, sudah SOP, sudah ya gitu aja. Ke siapapun
pengunjungnya ya hanya kata-kata itu yang diucapkan. Coba bedakan dengan
serunya emak-emak di pasar saat mau membeli lombok, pembicaraan akan sangat
random bahkan yang menyebalkan ada yang disambung dengan rasan-rasan. Tapi ya
itu lah manusia. Diterima sebagai manusia berarti diterima sebagai mahluk yang
punya rasa.
Pembicaraan yang
hanya menggugurkan kewajiban tentu berbeda dengan pembicaraan yang menimbulkan
rasa.
Nah, saat ini tentu adalah saat yang pas untuk kita
benar-benar mengawasi gerak-gerik diri kita sendiri. apakah selama ini sudah
menganggap orang yang ada di sekitar kita sebagai manusia yang perlu
diparesiasi atau sebatas pembicaraan yang menggugurkan kewajiban.
O iya, apresiasi
itu ndak harus bagus ya.
Aku merasa bahwa
pembicaraan dengan menganggap lawan bicara sebagai manusia memang penting
dilakukan, suri tauladan kita, nabi agung Muhammad saw. pun melakukan hal ini,
semisal dalam riwayat beliau tidak pernah berpaling hanya muka saat dipanggil,
tetapi seluruh badan menghadap ke orang yang memanggil. Ini adalah bentuk
apresiasi yang luar biasa yang kadang kita juga luput.
Selamat berpuasa
:)