Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id Minggu, 12 Mei 2019

[Sumber: kaskus.co.id]
Salah satu momen ramadan yang masih aku ingat sampai hari ini adalah perihal memahami sikap “menerima sebagai manusia”. Kejadian ini terjadi pada ramadan 2017 lalu, persis ketika aku masih sibuk ngurusi tes ini-itu untuk daftar sekolah di padepokan gadjah mada.

Saat itu perjalananku ke jogja dimodali jaringan, mungkin aku lebih beruntung dari beberapa teman perantau lain, yang mana saat itu perjalanannya ke jogja benar-benar bermodal berangkat, tidak memiliki teman atau saudara di sini. Tetapi ada atau tidak ada jaringan di sini, kita semua akan tetap butuh yang namanya diterima sebagai manusia.

Saat itu sasaran rumah yang akan aku datangi sesampainya di jogja adalah seknas gusdurian, segara aktifitas yang aku lakukan di jogja kala itu akan bersimpul di seknas itu. aku kenal dua nama di sana, yang bisa aku repoti dan hubungi kalau ada apa-apa.

Dan ternyata sesampainya di seknas, di sana benar-benar rumah. Merasa diterima sebagai manusia yang memiliki hasrat dan kehendak, itu adalah pengalaman yang menyenangkan sebagai seorang tamu.
Tidak diterima hanya dengan basa-basi.

Aku rasa basa-basi itu sebuah pembicaraan yang bertujuan membunuh waktu saja, aku tidak yakin ada orang yang benar-benar mengali informasi dari sebuah basa-basi. Semisal saat kondisi di bus, lalu kalian duduk dengan seorang bapak terus bapak itu menyapa “mau ke mana dek?” kalian jawab “mau ke surabaya pak, bapak?”, bapak itu menimpali “mau ke ngawi” lalu terjadi keheningan. Kecuali memang pembicaraan itu berdasar pada prinsip menerimanya sebagai manusia, barulah ada obrolan lanjutan dan mungkin bermuara pada saling tukar nomer hape dan berteman.

Satu contoh lagi, semisal kalian datang ke sebuah tempat makan, kalian berlalu ke tempat pemesanan dan pembayaran. Si kasir bertanya “mau pesan apa kak?”, “saya mau pesan nasi goreng sama es kopi susu ya mbak”, “ada tambahan lagi kak?”, “sudah mbak”, beberapa detik si kasir memasukan data ke mesin pemesanan dan munculan struk pembayaran, “totalnya jadi 17 ribu kak, atas nama siapa?”, dengan mengulurkan uang 20 ribu kalian menjawab datar“Edi”, “duduk di sebelah mana kak? ”, “mepet tembok barat mbak” sambil mengulurkan uang 3 ribu sebagai kembalian dia mengakhiri pembicaraan dengan "ditunggu ya kak".

Percakapan seperti ini saya kira juga sudah jadi template, sudah SOP, sudah ya gitu aja. Ke siapapun pengunjungnya ya hanya kata-kata itu yang diucapkan. Coba bedakan dengan serunya emak-emak di pasar saat mau membeli lombok, pembicaraan akan sangat random bahkan yang menyebalkan ada yang disambung dengan rasan-rasan. Tapi ya itu lah manusia. Diterima sebagai manusia berarti diterima sebagai mahluk yang punya rasa.

Pembicaraan yang hanya menggugurkan kewajiban tentu berbeda dengan pembicaraan yang menimbulkan rasa.

Nah,  saat ini tentu adalah saat yang pas untuk kita benar-benar mengawasi gerak-gerik diri kita sendiri. apakah selama ini sudah menganggap orang yang ada di sekitar kita sebagai manusia yang perlu diparesiasi atau sebatas pembicaraan yang menggugurkan kewajiban.
O iya, apresiasi itu ndak harus bagus ya.

Aku merasa bahwa pembicaraan dengan menganggap lawan bicara sebagai manusia memang penting dilakukan, suri tauladan kita, nabi agung Muhammad saw. pun melakukan hal ini, semisal dalam riwayat beliau tidak pernah berpaling hanya muka saat dipanggil, tetapi seluruh badan menghadap ke orang yang memanggil. Ini adalah bentuk apresiasi yang luar biasa yang kadang kita juga luput.

Selamat berpuasa :)

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

Tengok Sahabat

Diberdayakan oleh Blogger.

Top Stories

About

- Copyright © Tigabelas! -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -