- Back to Home »
- Embun »
- Refleksi Ramadan #3
Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id
Rabu, 08 Mei 2019
[Sumber: nasional.tempo.co] |
Suara itu keras sekali, karena memang seknas persis disebelah mesjid. Ternyata
suara itu adalah semacam aba-aba pada santri agar segera merapat ke masjid
untuk ikut kegiatan, karena sekitar jam 4.19 suara dari masjid sudah berhenti.
Saat setelah suara dari masjid itu berhenti, aku berbicara dalam hati
sendiri, sunguh enaknya jadi muslim di indonesia terutama jawa, kita bisa
dengan sangat suka cita dan bebas mengekspresikan ritual keagamaan kita, banyak
diantara teman muslim yang tidak mendapatkan kesempatan semacam ini.
Padahal, sebenarnya daerah sekitar seknas bukanlah daerah yang homogen,
tetapi bisa dibilang sangat heterogen. Sekitar 500 meter dari masjid sebelah
seknas malah ada sebuah Pura. Dan warung-warung yang beredar di sekitar sana
tidak hanya soto lamongan atau pecel lele lamongan, daerah itu tidak hanya
didominasi makanan khas lamongan yang terkenal sangat nikmat itu, tetapi ada
warung khas bali juga. Malahan terhitung ada 3 warung makan dengan menu babi di
sekitar sana. Sangat heterogen kan tetapi para umat islam di sana tetap bisa mengekpresikan cara berislam dengan bebas.
Nikmat sekali kan menjadi muslim di sana, bisa sangat demontratif dalam
menjalankan ritual keagamaan. Dan semuanya sudah menjadi maklum, bahwa kegiatan
masjid ya memang seperti itu.
***
Sekarang coba kita bayangkan di sebuah desa dengan penduduk 1000 orang,
desa itu terdiri dari 250 orang katolik, 250 orang islam, 250 orang hindu dan
250 budha. Lalu bayangkan saat puasa seperti ini, apakah masjid itu akan dengan
sangat enteng membunyikan pengeras suara di siang dan malam hari saat puasa
seperti yang terjadi di masjid sekitar seknas tadi.
Semisal setelah teraweh masjid di desa itu akan tadarus dengan pengeras
suara, apakah akan disetel spiker itu sangat keras dan mengaji sampai larut
malam, semisal jam 11 atau 12 malam?
Meskipun yang dibaca adalah kitab suci Alquran, tetapi ada 750 warga lain
yang punya kitab sucinya masing-masing. Tentu kita akan berpikir ulang tentang
merayakan ritual keagamaan dan asas hidup bersama. Kita tidak bisa terlalu
egois dan menganggap bahwa kegiatan kita paling baik dan benar sehingga harus
diterima oleh orang lain.
Kita akan mulai berpikir bahwa setiap orang memegang kebenarannya
sendiri-sendiri.
Kondisi seperti ini akan membuat kita belajar bahwa selain kita takbiran
saat idul fitri dan idul adha, teman-teman kristiani juga melakukan ibadah
setiap minggu, teman-teman budha juga memiliki hari raya waisak dan apakah kita
masih tega mengeber motor dan menyalakan pengeras suara masjid saat teman-teman
hindu nyepi?
Kan tentu tidak, karena kita hidup bersama.
Sehingga, sebenarnya kita di jawa ini sebagai orang islam enak sekali, kita
mendominasi secara jumlah dan kita bisa sangat leluasa menjalankan ibadah kita.
Harusnya saat seperti ini malah membuat hati kita peka tentang hal “kita
tidak hidup sendirian”. Tidak perlu kita sebagai umat islam melarang
warung-warung tetap buka di siang ramadan, karena tidak semua orang sedang
puasa, malahan harusnya warung-warung itu tetap buka, biar sekalian kita
berlatih mengelola hati, puasa kita tidak hanya sebatas menahan hawa nafsu
makan, tetapi juga hawa nafsu kita untuk marah-marah dan membuat kita menjadi lebih sabar.
Bukankah banyak sekali orang yang puasanya hanya menghasilkan haus dan
lapar karena lalai pada hal-hal perihal hati.
Selamat puasa teman-teman
Untuk hari ini updatenya telat karena semalam saya bersama rombongan
mojok.co dan gusdurian jogja sedang ada program sowan kiai, bisa disaksikan di
YouTube mojokdotco, hari ini sudah tayang hasil sowan kita ke kiai abdul karim
solo, monggo :)