Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id Jumat, 24 Mei 2019

[Sumber: hellosehat.com]
Apa saja yang kita lakukan di dunia ini tidak bisa di-judge begitu saja tanpa adanya analisis lanjut. Semisal solat, tidak mesti itu baik, kadang-kadang juga menjadi sesuatu yang buruk. Tidak percaya? Anda solat sunah, dan orang tua anda memanggil, lebih baik dan lebih utama anda menghampiri orang tua dari pada tidak menjawab pangilan orang tua karena solat sunah. Bahkan solat itu ada yang haram? Emm, masak iya? Iya dong, solat sunah setelah asar, kan, hehe

Selain sesuatu yang emang diperintah dan hal-hal yang dilarang, semua yang di dunia ini berhukum awal boleh. Dan darinya selalu terdapat 5 hukum yang bersandar atasnya. Tidak bisa suatu hal itu hanya bersandar pada satu hukum dengan absolut. Segala bisa berubah tergantung situasi dan kondisi. Dari sana muncullah fiqh.

Nah, fiqh ini kan sebuah rule atau aturan yang harusnya memudahkan kita dalam hidup. Namanya aturan ini untuk kebaikan, kalau aturan itu menyusahkan sebuah permainan, berarti peraturan sudah menikam permainan itu sendiri. Dan sudutnya bisa beragam, gak kaku hanya hitam putih. Kadang-kadang cuma peringatan, kadang-kadang kartu kuning.

Emang monokrom, cuma hitam putih, tidak ada warna yang lain. Udah cukup Tulus saja yang monokrom. krik

***

Aku langsung ingin pakai contoh perkara menikah saja dalam membincangkan fleksibelnya fiqh dalam mengatur kita. Lawong aku juga pengen menikah, jadi bisa relate, Hehe

Dengan sangat mudah kita bisa temui orang-orang seperti tanpa filter diluk-diluk tekok kapan menikah, kayak seolah-olah menikah iki selalu baik. Basa-basi keluarga selalu berputar-putar pada pertanyaan template soal menikah yang tidak kritis transformatif, apalagi sampai ke masif dan terstruktur kayak dem uuuoooooo, eh~~ . Wkwkwkw

Kalau orang berani dan mau jeli, kan tidak semua hal dalam menikah ini selalu baik. Dibilangnya menikah ini menyempurnakan iman lah, menggenapkan lah, sunnah lah, ealaahhhh. Kan perlu dilirik dulu situasi dan kondisi.

Kalau ada orang yang terkena hukum haram menikah, terus kamu mau gitu seenaknya tanya dan memotivasi ke dia “kapan menikah?”. Menikah endoke, kalau si dia yang terkena hukum haram menikah beneran menikah, kamu mau tanggung jawab? Karena sudah jadi oknum mendorong orang melakukan perbuatan dosa. Heh?

Aku mau menahan saja terkait kategorisasi dan kondisi ketika orang-orang itu hukumnya seterti apa dalam kaitannya dengan menikah, lawong aku ra layak. Tapi terkait eksistensi kategori itu emang ada, dan bisa dicari pada beliau yang memang kompeten untuk membicarakan soal fiqh. Tentu pada beliau-beliau yang menguasai fiqh, usul fiqh sampai kaidah fiqh. Bukan yang ulama’ web-web-an.
Bahwa menikah itu ada dari wajib, sunah, mubah, mekruh, sampai haram. Semua ada tinggal dicari.

Dorongan-dorongan segera berkeluarga ini juga kadang menjemukan. Tawaran selalu datang untuk pemuda agar segera membuat relasi suami istri dengan seseorang. Katanya kalau menikah itu apa-apa bisa jadi ibadah. Mencium istri ibadah, menafkahi ibadah, mencucikan baju suami ibadah, bahkan meniduri itu ibadah. La aku mulai resah ini, emang aku muncul dari batu? Kedua orang tua ku kan juga menikah. La emang kalau aku cium tangan kedua orang tua ku ndak ibadah. Apa ciumanku jadi ibadah dimulai saat nikah? Harusnya mereka yang ngajak menikah itu fair, bilangnya gini "yang siap menikah, yang wajib, ya menikah. kalau belum wajib, masih sunah apalagi mubah ya santai aja, lawong perkara ciuman dapat pahala itu ndak hanya dimonopoli orang yang sudah menikah, cium orang tuamu juga bernilai ibadah" enak to.

Seolah-olah menikah itu ndak sirkel, ndak siklus. Seolah-olah kita cium tangan baru ibadah itu dimulai pas menikah. Padahal ortu kita juga menikah dan ibadah kita ya hormat pada beliau berdua. Emang bener-bener lambe bakol.

Nah kehidupan kita yang hukumnya bisa berubah-ubah sesuai kondisi ini juga sebenarnya belum final. Ada unsur niat di sana, semua yang kita lakukan tergantung pada apa yang kita niatkan.

Sesuatu yang mulia macam menikah itu, kalau niatnya sudah kuorat-karet. Secara isi bisa jadi amburadul. Jadi kita pun ndak bisa mengatakan bahwa perokok itu pasti negatif. Kalau niat merokok ini membantu meditasi, merenung dan mengingat Tuhan, masak itu tetap negatif. Negatif mana dengan membela agama tapi niate ingin kudeta. eh

Tapi, dari serangkaian perihal fiqh ini, kita sebagai umat islam juga dibekali akhlak. Jadi selain hukum yang selalu berubah, niat yang menjadi semangat dan ukuran, akhlak adalah unsur yang penting.

Benar saudaramu itu sudah wajib menikah, tapi cara memotivasimu itu brutal dan mengusik hatinya, alias akhlakmu itu ndak ditata, ya apa jadinya ibadah yang udah kadong baik ritual dan niatnya.

Semoga dalam puasa ini kita bisa fokus dalam mengasah fiqh, niat dan akhlak. Salam :)

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

Tengok Sahabat

Diberdayakan oleh Blogger.

Top Stories

About

- Copyright © Tigabelas! -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -