Archive for Juni 2019

Refleksi Ramadan #30

[Sumber: earnest.com]
Melihat hilal dan sidang isbat sudah dilakukan kemarin dan sudah memutuskan bahwa hari ini adalah puasa terakhir tahun 1440 Hijriyah. Yang belum bukber, tolong nanti segera bukber karena besok sudah tidak ada bukber lagi kecuali kalau janjian puasa senin kamis sebanyak 10 orang lalu kalian bukber sendiri. tapi saya jamin tidak akan segayeng bukber puasa ramadan karena yang melakukan senatero jagad. Jadi beneran ini, kalau belum bukber nanti sore segeralah. Hehe

Sudah mendekati akhir ramadan, tentu kita juga ingin berpisah dengan baik-baik. Kita sudah digembleng sedemikian rupa sebulan ini, sebagai hari perpisahan tentu kita ingin mendapat kesan yang baik di bulan ramadan ini. Jangan tiru yang semalam main petasan, kayaknya dia gak punya tivi, lawong takbirane masih nanti malam kok semalem wes main petasan, sungguh ra ndue adab. Indonesia gak sih, haissshhhhh~

Sudah tidak ada qiyamul lail untuk ramadan, semua sudah selesai tadi malam. Setelah buka puasa kita sudah masuk di bulan syawal, artinya kewajiban zakat wes ada, soalnya sebagian sudah menemui ramadan dan sebagian syawal, jadi yang belum zakat segera zakat. Yang merasa kurang dalam ibadah wes dilanjut aja selama 11 bulan ini, seng penting istiqomah, dan semoga bisa ketemu ramadan tahun depan.

Tidak ada cita-cita lain selepas ramadan kecuali kita menjadi lebih bertakwa, dapat terimplementasi dalam banyak hal semisal lebih berserah dan lebih tau diri kalau kita ini manusia. Kita sebagai manusia punya penyakit yang sudah menahun, dan penyakit itu sebenarnya mempersusah kita untuk sampai menuju Tuhan. Tentu yang kita bicarakan adalah penyakit hati. Contoh, seringnya kita melakukan apa yang menjadi job-nya Tuhan, semisal kita mengerutu saat doa tak terkabul, padahal tugas manusia itu doa dan tugas Tuhan adalah mengabulkan, kondisi seperti ini sering membuat kita lupa bahwa tugas kita adalah doa dan berencana, kita sering kebablasan sampai ingin di posisi yang bisa mengabulkan.

Semisal yang kongkrit, kita punya kebiasaan sowan ke sarean untuk kirim doa ke leluhur, kalau misal prediksi hari raya itu selasa dan rabu, ya kan kita sowannya hari senin. Itungan dan prediksi pasti ada, apalagi yang mengatakan bahwa hilal masih amat kecil dan belum terlihat, tetapi kita tentu harus tetap rendah hati, bahwa prediksi hari raya emang antara selasa dan rabu, jadi sowannya ya tetap senin, tidak malah mendahulukan persepsi, mencoba memastikan dan merasa sudah tau kalau hari raya pasti rabu. Tentu sifat seperti ini yang membuat kita tidak rendah hati, kita merasa sudah lebih tau dari apa yang masih dicari dan diprediksi.

Penyakin yang lain semisal tidak syukur dengan apa yang sudah diberi, padahal hampir segala yang terpenting untuk kita sudah diberi sama Tuhan, tapi masih saja kurang dengan hal-hal yang sebenarnya tidak substansial. Kita gak tau rasanya saat dicabut satu nikmat paling besar semisal fungsi paru-paru. Tentu sudah modyar kita di dunia ini. Nikmat paling vital sudah diberi, kita belum mensyukuri yang sudah diberi tetapi malah minta sesuatu yang ndak substansial. Misal, mintak panas saat hujan dan minta hujan saat panas. Ini kan permintaan labil, permintaan yang seolah-olah kalau dikabulkan jadi enak, tapi malah sejatinya merusak tatanan alam. Lawong Tuhan memberi cuaca ini salah satu pemberian yang paling realistis, semua ada sebab akibatnya.

Penyakit lain yang sering menghantui kita adalah tidak sabar. Terutama saat dunia sudah dihimpit sosial media, dengan tawaran semua bisa serba cepat, mengakibatkan kecenderungan kita menjadi tidak sabaran dalam proses dan memilih yang instan-instan saja. Padahal tentu akan berbeda hasilnya ketika sesuatu dilakukan dengan sabar dan yang tergesa-gesa. Baru belajar suatu hal setahun sudah mendapuk diri jadi pakar, sudah merasa punya otoritas ini itu, sampek berdoa yang macam-macam, mengancam pula, kok pede bakal diijabah kayak waliyullah saja. Ini kan tanda ketidak sabaran dalam proses. Ini kan kayak si pembaca meme yang sombong di hadapan seorang penikmat buku.

Masih banyak sekali penyakit-penyakit hati yang perlu kita kendalikan dan kelola, tentu teman-teman bisa mencari kelemahan diri masing-masing, lalu dievaluasi dan berusaha diolah agar tidak melarut-larut menjadi kebaisaan dalam diri yang malah mendestruksi keefektifan hidup.

Selamat berpuasa hari terakhir, salam :)
Selasa, 04 Juni 2019
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Refleksi Ramadan #29

[Sumber: merdeka.com]
Ramadan sebentar lagi akan meninggalkan, semoga apa yang sudah kita usahakan selama ini membuahkan hasil. Kita menjadi pribadi yang lebih baik, sabar, ihlas, hawa nafsu terkontrol dan yang paling paripurna tentu semakin bertakwa.

Tentu semua itu ada tahapannya dan usaha yang perlu dilakukan. Semisal kita masih dalam level memperbanyak perbuatan baik dengan alasan yang materil dan lebih tertarik pada yang sama-sama mahluk, seperti berbuat baik karena diganjar amal dan surga, ya ndak apa-apa. Tentu kalau kita bisa istiqomah seperti itu, semoga suatu hari nanti kita bisa berbuat baik karena Allah saja.

Tanda ketakwaan pun amat sangat luas, kita bisa menemui takwa di banyak sisi, malahan dari kegiatan yang kayaknya tak ada unsur-unsur ibadahnya sama sekali. Membuang sampah pada tempatnya tergolong tanda ketakwaan, karena kita sedang menjadi kholifah yang merawat dunia. Menjadi pemaaf juga tanda ketakwaan, karena pemaaf adalah sifat Allah. Menjadi penyabar pun tanda ketakwaan. Sampai menjunjung tinggi akhlak yang baik pun tanda ketakwaan.

Barusan banget aku selesai baca tulisan mas Edi AH Iyubenu di Mojok, beliau mengulas tentang akhlak yang lebih tinggi derajatnya dari pada ilmu. Latar belakang tulisan itu katanya ada seseorang yang lagi-lagi merendahkan Gus Mus. Tentu Gus Mus-nya akan santai saja, tetapi para santrinya yang sering sebal melihat kiainya diperlakukan seperti itu. Aku tak mengerti kasus apa lagi ini, belum melihat juga rame-rame itu di twitter. Tetapi yang lebih penting dari tulisan itu tentu perihal aklak yang lebih tinggi dari ilmu, yang lebih awal perlu dihadirkan dari sekedar memiliki ilmu.

Aku masih percaya bahwa unsur utama yang perlu dihadirkan dalam proses pendidikan adalah mengembleng akhlak. Tidak semata-mata banyaknya ilmu yang disampaikan seperti logika kurikulum yang padat itu.

Tulisan itu pun mengingatkanku pada kondisi rumah yang beberapa hari lalu menjadi tema refleksi. Yang mana rumah adalah hidup, rumah tak selalu berisi keindahan, semua ada di rumah dari yang paling indah sampai yang buruk. Nah kadang-kadang orang kelas menengah seperti mahasiswa seperti saya ini sering gemas ketika melihat ada tidakan yang tidak sesuai dengan nalar pikir, sehingga mudah sekali sebal. Di pikiran semua harus rasional dan sesuai dengan kaidah yang dipercaya, sehingga menjadikan manusia kelas menengah ini merasa paling benar di rumah. Nah saat seperti itulah yang terlihat bahwa kelas menengah seperti saya ini hanya mengandalkan ilmu tapi lupa tentang akhlak.

Ya meskipun semisal dilihat dalam kacamata luas, orang tua misal melakukan tindakan yang aneh, tetapi hal itu tidak lantas membuat kita sebagai anak merasa punya hak untuk minteri. Sunggu Nabi Muhammad diturunkan untuk membenahi akhlak umat manusia.

Dari kisah Gus Mus yang beberapa kali dilecehkan, seharusnya membuat kita sadar bahwa teknologi tidak dapat menghadirkan apa yang kita butuhkan sebagai manusia. Dalam sosial media kita tidak tau siapa orang yang memiliki otoritas pada suatu hal. Pengalaman sering dilupakan, karena yang paling berisik dengan asumsi paling ngatuk pikiran lah yang banyak dikutip. Di sosial media, orang yang sudah mondok berpuluh-uluh tahun bisa sama followernya dengan anak bau bawang, sehingga dunia sosial media itu sangat kabur. Kita perlu lebih berhati-hati di sana.

Sosial media saat ini banyak mengerus otoritas, karena semua dimuali dari jumlah follower yang sedikit. Apalagi seseorang yang emang jarang menunjukan keberadaan di sosial media. Tentu kita sulit mendetesi tokoh-tokoh yang bisa diacu. Apalagi kecenderungan sekarang, yang mendapat otoritas adalah dia yang mendapuk dirinya sebagai public figure karena follower yang ribuan.

Kabiasaan munculnya fake accound juga tantangan tersendiri. Sehingga tantangan kita menjadi manusia bertakwa kategori orang yang memiliki akhlak baik menjadi lebih sulit saat ini, terutama saat kita sudah terjun di sosial media. Siapa yang masih memegang akhlak yang baik di sosial media, ya dialah yang saat ini masuk dalam kategori takwa. Hal ini sangat berbeda dengan saat kita bersama-sama duduk di suatu ruangan untuk ngopi bersama.

Nah, akhlak yang baik sebagai tanda takwa ini jua lah yang menjadi salah satu larar belakang kita tentang tetap takdzimnya kita pada orang tua, dituakan, sesepuh atau kiai desa. Bahkan ketika beliau sudah wafat. Sehingga sebagai tanda takdzim kita, kita juga jadi sering sowan ke sarean ulama. Karena komunikasi terbatas, ya kita pakai kirim doa dengan tahlil. Sebelum ramadan kita ke sarean, mau syawah juga demikian. Karena sejatinya kita saja yang tidak mengerti sesepuh kita, kita tersekat indra dhohir kita yang terbatas, tetapi beliau semua tetap mengerti kita.

Akhlak inilah yang perlu dan terus kita rawat, baik di dunia nyata, sosial media sampai dengan mereka yang sudah lebih dahulu meninggalkan kita di dunia.

Semoga kita sukses mengupgrad diri selama bulan puasa yang akan segera selesai ini. Salam :)
Senin, 03 Juni 2019
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Refleksi Ramadan #28


[Sumber: santriwirausaha.blogspot.com]
Pernah gak si setiap ramadan, kalian diberi oleh-oleh sama sekolah semacam buku kendali kegiatan selama puasa? Buku itu berisi absen solat isya dan teraweh, lembar resum materi ceramah selepas teraweh, kendali jumlah tadarus sampai absensi silaturahmi selepas solat id.

Dulu, aku tumbuh bersama buku itu. Tepatnya ketika masih MTs atau setara SMP. Pada mulanya masih program sekolah, jadi belum kayak sekarang yang dikordinir kantor kementrian agama kabupaten.

Buku kendali masih berupa map yang isinya kolom-kolom kosong untuk tanda tangan dalan laporan kegiatan.

Kehadiran buku itu disambut dengan baik oleh murid-murid seangkatanku, ya karena memang pengalaman baru untuk ramadan. Kita isi semua buku dengan sungguh-sungguh. Tidak ada tema ceramah yang luput dari perhatian kami, apalagi absen solat dan tadarus Alquran. Semuan kami lakukan dengan suka cita. Sungguh gambaran kampung santri yang ada di video clip lagu kota santri.

Tidak ada pikiran buruk pada program itu. Toh memang sebelumnya, aku beserta teman-teman, memang sudah melakukan semua yang ada di buku itu. Kita sudah dengar ceramah, solat rutin, tadarus juga, cuma tidak dicatat saja. Sehingga hadirnya buku itu cuma nambahi kegiatan minta tandatangan legalitas telah melakukan ibadah yang selama ini juga sudah dilakukan.

Malahan atmosfer MTs-ku sangat mendukung akan kesuksesan pengisian buku itu. Sering di antara kami yang bersaing mengisi buku itu, siapa di antara kami yang lebih giat dalam beribadah. Sering kami saling lihat sudah berapa ayat yang telah dibaca teman, kok ndilalah punya kita lebih sedikit, hal itu jadi motivasi untuk lebih giat beribadah.

Bisa jadi kesenangan kami pada buku kendali ibadah itu karena kegiatan ini merupakan sesuatu yang baru untukku dan teman-teman sebaya, sehingga penerimaanku ya baik-baik saja.

Tetapi kalau aku lihat semakin kesini, ke adik-adik yang saat ini masih mengisi buku itu, kok rasanya ada yang berbeda. Karena malah terlihat buku itu lebih tidak elok dan tidak diharapkan kehadirannya.

Karena sepengamatan bertahun-tahun ini, buku itu malah membiasakan para siswa untuk hidup dalam kungkungan formalistik tok. Mungkin karena sudah jadi kegiatan formal menahun, sehingga buku itu dipandang sebagai sesuatu yang formal saja, yang penting terisi.

Ibadah hanya selesai di absen dan tadarus selesai di jumlah, ya meskipun memang anak-anak masih dalam tahap belajar dengan membaca dan menghafal lebih banyak. Tapi hadirnya buku itu membuat atmosfer lebih tidak sehat, menurutku.

Malahan yang lebih lucu adalah saat mengisi kolom silaturahmi selepas solat id, banyak di antara adik-adik siswa yang ketika masuk ke rumah guru-gurunya menyodorkan buku itu lebih dulu. Sehingga tradisi meminta maafnya menjadi kegiatan nomer 2 atau bahkan sampai terlupa. Sehingga sering kali guru mengingatkan ulang tentang makna utama yang harus dicapai, yakni silaturahminya, bukan malah buku yang menjadi tujuan utama.

Sedikit FYI, ini tidak sebatas asumsi, aku mengerti dinamika ini karena memang aku tumbuh di keluarga guru, sehingga pemandangan itu mudah ditemui setiap lebaran di rumah.

Kejadian-kejadian lucu ini mengingatkanku pada ceramah Gus Mus perihal “kita jangan sampai lupa, mana yang jalan mana yang tujuan hidup”

Gus Mus sering mengingatkan dengan cara bertanya pada para jamaah “apa sebenarnya tujuan kita? Partai kah? Pilpres kah? NU kah? Islam kah? Atau Allah? Islam itu pun adalah jalan, masih wasilah, tujuan atau ghoyah kita ya tetap Allah”

Nah praktik kita sehari-hari itu sering menempatkan islam sebagai tujuan, bukan lagi Allah. Sehingga saat agama dikoyak, kita jadi bingung dan lupa tujuan. Yang seharusnya kita harus tetap fokus pada tujuan mencari ridho dan menuju Allah, malah seringnya kita teralih dan menuhankan islam. Kita jadi gampang marah dan mensupah serapahi liyan, padahal bisa jadi Allah tidak ridho kita seperti itu. Kita jadi terhalusinasi pandangan dan kabur dari tujuan, kita jadi koyak akan menyakini bahwa islam adalah jalan, bukan tujuan.

Ya Allah sungguh maafkan kami.

Hal ini tentu persis dengan tingkah lucu anak-anak tadi, tentu membuat kita gemas kan. Buku ramadan itu kan jalan, tujuannya adalah ibadah dilakukan dengan baik dan sungguh-sungguh.
Sebenarnya yang terpenting buat anak-anak itu ya rajib ibadah, kalau ceramah ya didengar, kalau selepas solat id ya silaturahmi ke guru, bukan malah fokus dan terpenjara pada tuntutan mengisi buku sampai yang hanya jalan.

Anak-anak itu jadi lebih mementingkan isi buku yang full dari pada rutin beribadah. Anak-anak itu lupa mana yang jadi tujuan dan jalan.

Sehingga kehadiran guru yang selalu membersamai murid jadi penting, yang selalu mengingtakan mana sebenarnya tujuan dan mana yang sekedar jalan. Dan semoga juga, dalam keberislaman kita, tetap ada alim ulama’ yang membersamai kita dan tidak lelah mengingatkan kita mana yang tujuan dan mana yang jalan.

Kalau murid tidak percaya guru yang selalu mengingatkan mana tujuan dan jalan, seraya berani berkata “pak minta tanda tangan absen silaturahmi, ini berhubungan dengan nilai”. Kita cuma bisa berharap bahwa dalam berislam kita tidak berperilaku seperti itu juga pada alim ulama yang biasanya membimbing kita, apalagi sampai punya standar ganda pada ulama’ demi kepentingan tertentu.
Salam :)
Minggu, 02 Juni 2019
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Refleksi Ramadan #27

[Sumber: mj-alfalah.blogspot.com]

Akhirnya semalam mengikuti rangkaian khotmil Quran yang dilaksanakan langgar sebelah rumah. Kegiatan ini memang dicocokkan dengan malam ganjil di 10 terakhir ramadan, tujuannya tak lain dan tak bukan untuk mencari kans peluang bertepatan dengan Lailatul Qadar.

Ndak perlu terlalu tegang karena dari kemarin aku selalu bilang soal mencari Lailatul Qadar yang seolah-olah semua ibadah dimaterialisasi. Semua ibadah harus untung.

Hal ini dikarenakan salah satu jalan masuk mengajak orang untuk mau beribadah terutama yang awam ya lewat dengan apa manfaat yang didapatkan ketika mau melakukan sesuatu. Urusal level beribadah, itu bisa dilatih, yang penting kan mau ibadah dulu.

Seperti belajar, analisis itu penting, evaluasi apalagi, sintesis malah hampir puncak dari tataran keilmuan. Tapi semua itu tidak akan bisa berjalan kalau pondasi keilmuan tidak dimiliki. Pondasi keilmuan jelas adalah tau tentang ilmu yang akan dibahas. Sehingga anak selevel SD pasti diberi banyak hafalan. Anak SD tidak harus bisa menganalisis secara tajam, tipis-tipis saja dulu, ndak papa, yang penting tau dulu tentang apa yang mau dianalisa. Kemampuan analisis nanti diasah sambil jalan, pelan-pelan.

Sehingga untuk tahapan masyarakat kampung, mau baca Quran dan salat jamaah rutin itu sudah bagus. Ndak perlu sampai semua orang diwajibkan paham nahwu sorof, asbabun nuzul sampai tafsir. Biar itu menjadi bagian otoritas yang ditunjuk kampung, semisal lulusan pondok pesantren atau kiai kampung.

Kembali ke khataman yang semalam aku ikuti. Kegiatannya full dengan membaca Alquran dari awal sampai akhir, diawali selepas subuh dan diakhiri selepas tarawih.

Sehingga memang yang dilakukan hanyalah membaca. Kalau bahasa orang yg lebih progresif, yang dilakukan hanyalah mengeja. Karena bisa dikatakan dari banyaknya orang yang membaca Alquran kemarin sama-sama tidak mengerti maksud dan tujuan dari apa yang dibaca.

Manfaat dan sedikit tafsir diberikan saat selesai berdoa bersama. Namun yang benar-benar aku baru sadar adalah khotmil quran di desa selalu dibarengkan dengan kegiatan sholawat nabi.

Sebenarnya sejak dulu, cuma aku sadarnya baru sekarang, bahwa apa yang berhubungan dengan Alquran selalu gandeng dengan sholawat nabi.

Ini tentu bukan sesuatu yang diada-adakan, kita tahu bersama bahwa Alquran adalah mukjizat paling agung dari Rasul Muhammad saw. Sehingga tentu kita perlu berterimakasih pada baginda Muhammad saw.

Kalau diingat-ingat, saat itu, saat turunnya Alquran untuk pertama kali, terjadi 3 buah peristiwa besar yang terjadi di waktu bersamaan. 1. Turunnya Alquran dari langit arsy ke langit bumi 2. Menandai awal masa kenabian dan 3. Lailatul Qadar.

Sungguh ramadan menjadi bulan yang semakin istimewa. Apalagi sampai kita tidak menyia-nyiakan malam ramadan. Bisa jadi kita juga bertemu dengan Lailatul Qadar yang notabene adalah hari di mana Nabi Muhammad saw. pertama menerima wahyu Alquran dan memulai masa kenabian.

Sehingga sudah sangat pasti bahwa Alquran dan hadis adalah satu kesatuan yang selalu berkelindan.

Namun, kita sebagai orang awam tak bisa serampangan menggunakan kedua wahyu agung itu. Kita perlu juru masak isi kandungan Quran dan Hadis, si pemilik otoritas tafsir yang dapat membantu kita memahami sari pati kandungan Alquran dan Hadis.

Semoga kita tidak terlalu tinggi hati yang membuat tidak mau belajar.
Salam :)
Sabtu, 01 Juni 2019
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Popular Post

Tengok Sahabat

Diberdayakan oleh Blogger.

Top Stories

About

- Copyright © Tigabelas! -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -