- Back to Home »
- Embun »
- Refleksi Ramadan #30
Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id
Selasa, 04 Juni 2019
[Sumber: earnest.com] |
Sudah mendekati akhir ramadan, tentu kita juga ingin berpisah dengan baik-baik. Kita sudah digembleng sedemikian rupa sebulan ini, sebagai hari perpisahan tentu kita ingin mendapat kesan yang baik di bulan ramadan ini. Jangan tiru yang semalam main petasan, kayaknya dia gak punya tivi, lawong takbirane masih nanti malam kok semalem wes main petasan, sungguh ra ndue adab. Indonesia gak sih, haissshhhhh~
Sudah tidak ada
qiyamul lail untuk ramadan, semua sudah selesai tadi malam. Setelah buka puasa
kita sudah masuk di bulan syawal, artinya kewajiban zakat wes ada, soalnya
sebagian sudah menemui ramadan dan sebagian syawal, jadi yang belum zakat
segera zakat. Yang merasa kurang dalam ibadah wes dilanjut aja selama 11 bulan
ini, seng penting istiqomah, dan semoga bisa ketemu ramadan tahun depan.
Tidak ada
cita-cita lain selepas ramadan kecuali kita menjadi lebih bertakwa, dapat
terimplementasi dalam banyak hal semisal lebih berserah dan lebih tau diri
kalau kita ini manusia. Kita sebagai manusia punya penyakit yang sudah menahun,
dan penyakit itu sebenarnya mempersusah kita untuk sampai menuju Tuhan. Tentu yang
kita bicarakan adalah penyakit hati. Contoh, seringnya kita melakukan apa yang
menjadi job-nya Tuhan, semisal kita mengerutu saat doa tak terkabul, padahal
tugas manusia itu doa dan tugas Tuhan adalah mengabulkan, kondisi seperti ini
sering membuat kita lupa bahwa tugas kita adalah doa dan berencana, kita sering
kebablasan sampai ingin di posisi yang bisa mengabulkan.
Semisal yang
kongkrit, kita punya kebiasaan sowan ke sarean untuk kirim doa ke leluhur,
kalau misal prediksi hari raya itu selasa dan rabu, ya kan kita sowannya hari
senin. Itungan dan prediksi pasti ada, apalagi yang mengatakan bahwa hilal masih
amat kecil dan belum terlihat, tetapi kita tentu harus tetap rendah hati, bahwa
prediksi hari raya emang antara selasa dan rabu, jadi sowannya ya tetap senin, tidak malah mendahulukan persepsi,
mencoba memastikan dan merasa sudah tau kalau hari raya pasti rabu. Tentu sifat
seperti ini yang membuat kita tidak rendah hati, kita merasa sudah lebih tau
dari apa yang masih dicari dan diprediksi.
Penyakin yang
lain semisal tidak syukur dengan apa yang sudah diberi, padahal hampir segala
yang terpenting untuk kita sudah diberi sama Tuhan, tapi masih saja kurang
dengan hal-hal yang sebenarnya tidak substansial. Kita gak tau rasanya saat
dicabut satu nikmat paling besar semisal fungsi paru-paru. Tentu sudah modyar
kita di dunia ini. Nikmat paling vital sudah diberi, kita belum mensyukuri yang
sudah diberi tetapi malah minta sesuatu yang ndak substansial. Misal, mintak
panas saat hujan dan minta hujan saat panas. Ini kan permintaan labil,
permintaan yang seolah-olah kalau dikabulkan jadi enak, tapi malah sejatinya
merusak tatanan alam. Lawong Tuhan memberi cuaca ini salah satu pemberian yang
paling realistis, semua ada sebab akibatnya.
Penyakit lain
yang sering menghantui kita adalah tidak sabar. Terutama saat dunia sudah
dihimpit sosial media, dengan tawaran semua bisa serba cepat, mengakibatkan
kecenderungan kita menjadi tidak sabaran dalam proses dan memilih yang
instan-instan saja. Padahal tentu akan berbeda hasilnya ketika sesuatu
dilakukan dengan sabar dan yang tergesa-gesa. Baru belajar suatu hal setahun
sudah mendapuk diri jadi pakar, sudah merasa punya otoritas ini itu, sampek
berdoa yang macam-macam, mengancam pula, kok pede bakal diijabah kayak
waliyullah saja. Ini kan tanda ketidak sabaran dalam proses. Ini kan kayak si
pembaca meme yang sombong di hadapan seorang penikmat buku.
Masih banyak
sekali penyakit-penyakit hati yang perlu kita kendalikan dan kelola, tentu
teman-teman bisa mencari kelemahan diri masing-masing, lalu dievaluasi dan
berusaha diolah agar tidak melarut-larut menjadi kebaisaan dalam diri yang
malah mendestruksi keefektifan hidup.
Selamat berpuasa
hari terakhir, salam :)