Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id Senin, 03 Juni 2019

[Sumber: merdeka.com]
Ramadan sebentar lagi akan meninggalkan, semoga apa yang sudah kita usahakan selama ini membuahkan hasil. Kita menjadi pribadi yang lebih baik, sabar, ihlas, hawa nafsu terkontrol dan yang paling paripurna tentu semakin bertakwa.

Tentu semua itu ada tahapannya dan usaha yang perlu dilakukan. Semisal kita masih dalam level memperbanyak perbuatan baik dengan alasan yang materil dan lebih tertarik pada yang sama-sama mahluk, seperti berbuat baik karena diganjar amal dan surga, ya ndak apa-apa. Tentu kalau kita bisa istiqomah seperti itu, semoga suatu hari nanti kita bisa berbuat baik karena Allah saja.

Tanda ketakwaan pun amat sangat luas, kita bisa menemui takwa di banyak sisi, malahan dari kegiatan yang kayaknya tak ada unsur-unsur ibadahnya sama sekali. Membuang sampah pada tempatnya tergolong tanda ketakwaan, karena kita sedang menjadi kholifah yang merawat dunia. Menjadi pemaaf juga tanda ketakwaan, karena pemaaf adalah sifat Allah. Menjadi penyabar pun tanda ketakwaan. Sampai menjunjung tinggi akhlak yang baik pun tanda ketakwaan.

Barusan banget aku selesai baca tulisan mas Edi AH Iyubenu di Mojok, beliau mengulas tentang akhlak yang lebih tinggi derajatnya dari pada ilmu. Latar belakang tulisan itu katanya ada seseorang yang lagi-lagi merendahkan Gus Mus. Tentu Gus Mus-nya akan santai saja, tetapi para santrinya yang sering sebal melihat kiainya diperlakukan seperti itu. Aku tak mengerti kasus apa lagi ini, belum melihat juga rame-rame itu di twitter. Tetapi yang lebih penting dari tulisan itu tentu perihal aklak yang lebih tinggi dari ilmu, yang lebih awal perlu dihadirkan dari sekedar memiliki ilmu.

Aku masih percaya bahwa unsur utama yang perlu dihadirkan dalam proses pendidikan adalah mengembleng akhlak. Tidak semata-mata banyaknya ilmu yang disampaikan seperti logika kurikulum yang padat itu.

Tulisan itu pun mengingatkanku pada kondisi rumah yang beberapa hari lalu menjadi tema refleksi. Yang mana rumah adalah hidup, rumah tak selalu berisi keindahan, semua ada di rumah dari yang paling indah sampai yang buruk. Nah kadang-kadang orang kelas menengah seperti mahasiswa seperti saya ini sering gemas ketika melihat ada tidakan yang tidak sesuai dengan nalar pikir, sehingga mudah sekali sebal. Di pikiran semua harus rasional dan sesuai dengan kaidah yang dipercaya, sehingga menjadikan manusia kelas menengah ini merasa paling benar di rumah. Nah saat seperti itulah yang terlihat bahwa kelas menengah seperti saya ini hanya mengandalkan ilmu tapi lupa tentang akhlak.

Ya meskipun semisal dilihat dalam kacamata luas, orang tua misal melakukan tindakan yang aneh, tetapi hal itu tidak lantas membuat kita sebagai anak merasa punya hak untuk minteri. Sunggu Nabi Muhammad diturunkan untuk membenahi akhlak umat manusia.

Dari kisah Gus Mus yang beberapa kali dilecehkan, seharusnya membuat kita sadar bahwa teknologi tidak dapat menghadirkan apa yang kita butuhkan sebagai manusia. Dalam sosial media kita tidak tau siapa orang yang memiliki otoritas pada suatu hal. Pengalaman sering dilupakan, karena yang paling berisik dengan asumsi paling ngatuk pikiran lah yang banyak dikutip. Di sosial media, orang yang sudah mondok berpuluh-uluh tahun bisa sama followernya dengan anak bau bawang, sehingga dunia sosial media itu sangat kabur. Kita perlu lebih berhati-hati di sana.

Sosial media saat ini banyak mengerus otoritas, karena semua dimuali dari jumlah follower yang sedikit. Apalagi seseorang yang emang jarang menunjukan keberadaan di sosial media. Tentu kita sulit mendetesi tokoh-tokoh yang bisa diacu. Apalagi kecenderungan sekarang, yang mendapat otoritas adalah dia yang mendapuk dirinya sebagai public figure karena follower yang ribuan.

Kabiasaan munculnya fake accound juga tantangan tersendiri. Sehingga tantangan kita menjadi manusia bertakwa kategori orang yang memiliki akhlak baik menjadi lebih sulit saat ini, terutama saat kita sudah terjun di sosial media. Siapa yang masih memegang akhlak yang baik di sosial media, ya dialah yang saat ini masuk dalam kategori takwa. Hal ini sangat berbeda dengan saat kita bersama-sama duduk di suatu ruangan untuk ngopi bersama.

Nah, akhlak yang baik sebagai tanda takwa ini jua lah yang menjadi salah satu larar belakang kita tentang tetap takdzimnya kita pada orang tua, dituakan, sesepuh atau kiai desa. Bahkan ketika beliau sudah wafat. Sehingga sebagai tanda takdzim kita, kita juga jadi sering sowan ke sarean ulama. Karena komunikasi terbatas, ya kita pakai kirim doa dengan tahlil. Sebelum ramadan kita ke sarean, mau syawah juga demikian. Karena sejatinya kita saja yang tidak mengerti sesepuh kita, kita tersekat indra dhohir kita yang terbatas, tetapi beliau semua tetap mengerti kita.

Akhlak inilah yang perlu dan terus kita rawat, baik di dunia nyata, sosial media sampai dengan mereka yang sudah lebih dahulu meninggalkan kita di dunia.

Semoga kita sukses mengupgrad diri selama bulan puasa yang akan segera selesai ini. Salam :)

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

Tengok Sahabat

Diberdayakan oleh Blogger.

Top Stories

About

- Copyright © Tigabelas! -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -