- Back to Home »
- Embun »
- Refleksi Ramadan #29
Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id
Senin, 03 Juni 2019
[Sumber: merdeka.com] |
Tentu semua itu ada tahapannya dan usaha yang perlu dilakukan. Semisal kita masih dalam level memperbanyak perbuatan baik dengan alasan yang materil dan lebih tertarik pada yang sama-sama mahluk, seperti berbuat baik karena diganjar amal dan surga, ya ndak apa-apa. Tentu kalau kita bisa istiqomah seperti itu, semoga suatu hari nanti kita bisa berbuat baik karena Allah saja.
Tanda ketakwaan
pun amat sangat luas, kita bisa menemui takwa di banyak sisi, malahan dari
kegiatan yang kayaknya tak ada unsur-unsur ibadahnya sama sekali. Membuang sampah
pada tempatnya tergolong tanda ketakwaan, karena kita sedang menjadi kholifah
yang merawat dunia. Menjadi pemaaf juga tanda ketakwaan, karena pemaaf adalah
sifat Allah. Menjadi penyabar pun tanda ketakwaan. Sampai menjunjung tinggi
akhlak yang baik pun tanda ketakwaan.
Barusan banget
aku selesai baca tulisan mas Edi AH Iyubenu di Mojok, beliau mengulas tentang
akhlak yang lebih tinggi derajatnya dari pada ilmu. Latar belakang tulisan itu
katanya ada seseorang yang lagi-lagi merendahkan Gus Mus. Tentu Gus Mus-nya
akan santai saja, tetapi para santrinya yang sering sebal melihat kiainya
diperlakukan seperti itu. Aku tak mengerti kasus apa lagi ini, belum melihat
juga rame-rame itu di twitter. Tetapi yang lebih penting dari tulisan itu tentu perihal aklak yang lebih tinggi dari ilmu, yang lebih awal perlu dihadirkan dari sekedar memiliki ilmu.
Aku masih percaya
bahwa unsur utama yang perlu dihadirkan dalam proses pendidikan adalah
mengembleng akhlak. Tidak semata-mata banyaknya ilmu yang disampaikan seperti
logika kurikulum yang padat itu.
Tulisan itu pun
mengingatkanku pada kondisi rumah yang beberapa hari lalu menjadi tema
refleksi. Yang mana rumah adalah hidup, rumah tak selalu berisi keindahan,
semua ada di rumah dari yang paling indah sampai yang buruk. Nah kadang-kadang
orang kelas menengah seperti mahasiswa seperti saya ini sering gemas ketika
melihat ada tidakan yang tidak sesuai dengan nalar pikir, sehingga mudah sekali
sebal. Di pikiran semua harus rasional dan sesuai dengan kaidah yang dipercaya,
sehingga menjadikan manusia kelas menengah ini merasa paling benar di rumah. Nah
saat seperti itulah yang terlihat bahwa kelas menengah seperti saya ini hanya
mengandalkan ilmu tapi lupa tentang akhlak.
Ya meskipun
semisal dilihat dalam kacamata luas, orang tua misal melakukan tindakan yang
aneh, tetapi hal itu tidak lantas membuat kita sebagai anak merasa punya hak
untuk minteri. Sunggu Nabi Muhammad diturunkan untuk membenahi akhlak umat
manusia.
Dari kisah Gus
Mus yang beberapa kali dilecehkan, seharusnya membuat kita sadar bahwa
teknologi tidak dapat menghadirkan apa yang kita butuhkan sebagai manusia. Dalam
sosial media kita tidak tau siapa orang yang memiliki otoritas pada suatu hal. Pengalaman
sering dilupakan, karena yang paling berisik dengan asumsi paling ngatuk pikiran lah
yang banyak dikutip. Di sosial media, orang yang sudah mondok berpuluh-uluh
tahun bisa sama followernya dengan anak bau bawang, sehingga dunia sosial media
itu sangat kabur. Kita perlu lebih berhati-hati di sana.
Sosial media saat
ini banyak mengerus otoritas, karena semua dimuali dari jumlah follower yang
sedikit. Apalagi seseorang yang emang jarang menunjukan keberadaan di sosial
media. Tentu kita sulit mendetesi tokoh-tokoh yang bisa diacu. Apalagi kecenderungan
sekarang, yang mendapat otoritas adalah dia yang mendapuk dirinya sebagai
public figure karena follower yang ribuan.
Kabiasaan munculnya
fake accound juga tantangan tersendiri. Sehingga tantangan kita menjadi manusia
bertakwa kategori orang yang memiliki akhlak baik menjadi lebih sulit saat ini,
terutama saat kita sudah terjun di sosial media. Siapa yang masih memegang
akhlak yang baik di sosial media, ya dialah yang saat ini masuk dalam kategori
takwa. Hal ini sangat berbeda dengan saat kita bersama-sama duduk di suatu
ruangan untuk ngopi bersama.
Nah, akhlak yang
baik sebagai tanda takwa ini jua lah yang menjadi salah satu larar belakang
kita tentang tetap takdzimnya kita pada orang tua, dituakan, sesepuh atau kiai
desa. Bahkan ketika beliau sudah wafat. Sehingga sebagai tanda takdzim kita,
kita juga jadi sering sowan ke sarean ulama. Karena komunikasi terbatas, ya
kita pakai kirim doa dengan tahlil. Sebelum ramadan kita ke sarean, mau syawah
juga demikian. Karena sejatinya kita saja yang tidak mengerti sesepuh kita,
kita tersekat indra dhohir kita yang terbatas, tetapi beliau semua tetap
mengerti kita.
Akhlak inilah
yang perlu dan terus kita rawat, baik di dunia nyata, sosial media sampai
dengan mereka yang sudah lebih dahulu meninggalkan kita di dunia.
Semoga kita
sukses mengupgrad diri selama bulan puasa yang akan segera selesai ini. Salam :)