Archive for Februari 2019

Aku mau menyalahkan ambulans yang membuat gupuh karena menyalakan sirine di saat jalanan macet

[Sumber Gambar: nist.gov]

Di sebuah video yang pernah viral di yutup, isi kontennya tentang bagaimana respon pengendara jalanan umum dalam merespon ambulan yang sedang terburu-buru ke rumah sakit dengan menyalakan sirine yang seolah-olah ambulan itu sedang berkata “Woe, minggir sek woe, iki enek wong ape sekarat!!!”. Sengaja kreator video itu mengkomparasi beberapa perilaku pengguna jalan dari Indonesia dan juga dari negara-negara lain. Negara lain yang disebutkan tentunya adalah negara yang masyarakat “kita” pada umumnya menyebut negara maju. Kalau tidak salah antara lain: Jepang, Inggris, Cina, India dan satu dari Amerika latin.

Tentu teman-teman semua sudah menebak, apa yang membuat video itu laris penonton. Yap, menggambarkan buruknya pengguna jalan Indonesia dalam merespon ambulan yang lewat, dan dikontraskan dengan baiknya negara lain dalam merespon ambulan yang akan lewat. Malahan, dalam video itu, si pengendara jalan umum di indonesia tidak mau memberikan jalan pada ambulan dan sempat-sempatnya beradu argument dengan pengendara lain dan supir ambulan perihal ketidak mauannya memberikan jalan pada ambulan tersebut. Dan pada ujungnya, pengendara yang nakal itu mengeluarkan kata sakti "saya pejabat di satuan ini lo!"

Pokoknya, banyak sekali bahannya kalau kita ingin nyacati Indonesia, apalagi ketika dikontranskan dengan negara-negara yang disebut maju. Banyak lahan yang bisa dipisuhi atas luapan protes kita. Dari kualitas pelayanan birokrat sampai gaya hidup orang-orang di negeri ini yang gak mbois blas ketika  dikontraskan dengan “ilusi” hidup di negara maju.

Dalam dialog soal ambulan ini, sebenarnya aku juga sebal pada sirine. Sirine ya, jadi tidak hanya soal ambulan, mobil polisi sampai truk kompi TNI juga aku sebal-sebal gemes gitu. Karena aku punya cerita menjengkelkan tentang itu.

Suatu ketika aku pernah dibuat sebal oleh sirine ambulan. Bagaimana tidak, aku memergoki sebuah ambulan berjalan santai dan tidak menyalakan sirine, alias ambulan itu ya jalan-jalan aja, tidak sedang bertugas dan dalam kondisi genting. Ehh, ternyata, saat masuk ke jalan yang cukup padat dan mendekati perempatan yang ada lampu lalulintasnya, sekonyong-konyong ambulan jahanam itu menyalakan sirine, ya tujuannya tak lain dan tak bukan agar mendapat privilege untuk bisa menerobos jalan yang padat dan lampu lalu lintas.

Jahanam betul kan ini. Memainkan sirine yang seolah-olah di dalam sana ada korban yang butuh penanganan segera, eh tibaknya sirine itu hanya digunakan sebagai pemuas nafsu birahi si supir yang enggan antre di jalanan yang padat.

Kalau ingin cukup disempelkan, kira-kita kata mutiaranya jadi begini “banyak lo orang yang sekonyong-konyong memanfaatkan posisinya untuk dapat kemuliaan sesaat, untuk memuaskan nafsu birahi”

Salam

Jumat, 15 Februari 2019
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Kesebalan pada proses penelitian sampai publikasi

[Sumber Gambar: https://alihamdan.id/metode-penelitian/]

Entah kepada siapa misuhku ini akan kuhaturkan,

Dua tahun yang lalu aku diberitahu sebuah kepercayaan dalam merespon sebuah publikasi, yang mana diceritakan bahwa “publikasi bisa jadi salah, tetapi dia tak mungkin berbohong”

Saat itu aku benar-benar sumringah bahwa orang yang mempublikasi sebuah hasil penelitian memegang kaidah kejujuran, sesuatu yang sebenarnya cukup sulit ditemui saat ini. Selain sumringahnya karena mendapati fakta bahwa para ilmuan memegang kaidah kejujuran, saat itu aku merasa bahwa masa depan ilmu pengetahuan adalah sangat cerah, karena sifat dari publikasi yakni selalu berusaha menemukan hal yang benar-benar baru, selain itu sifatnya yang dekat dengan kebiasaan respon, kritik, dan komentar pada penemuan terdahulu dengan menyuguhkan sebuah penemuan yang memiliki kualitas yang lebih baik atau pemutahiran penemuan sebelumnya. Sungguh cermin kehidupan yang madani dalam berpikir.

Tetapi,

Minggu lalu, teman sekaligus dosen pembimbingku mengakatakan bahwa “jangan terlalu percaya pada publikasi, karena para ilmuan tidak akan secara cuma-cuma memberikan resep dalam penemuan terbarunya”

Dan seketika hatiku runtuh ketika menemui fakta “baru” itu. Bahwa, banyak di antara para ilmuan yang menulis sesuatu tidak sesuai dengan kejadian di lapangan. Berbedanya antara kejadian yang sebenarnya dengan apa yang dipublikasikan , katanya, dikarenakan ketidak inginan membeberkan cara terbaik dalam membuat sebuah penemuan terbaru dan mengejar kurva hasil yang indah dilihat.

Pada kasus tidak ingin membeberkan resep rahasia dalam membuat penemuan baru, hal ini sering ditemui pada praktik publikasi bidang sintesis, karena keterbaruan dalam mensintesis sebuah materi baru benar-benar menjadi sesuatu yang mahal, minimal di dunia sains. Sehingga para penemu tidak dengan jelas , atau mungkin dengan benar juga, menjabarkan apa yang terjadi di laboratorium dan apa yang ditulis di publikasi, kembali seperti tadi, para ilmuan tidak ingin cuma-cuma memberikan resep dalam membuat sebuah bahan baru. Jadi kalau bahasa jalanannya publikasi bidang sintesis kurang kebih seperti ini “Hei, gue dong, sudah bisa buat ini, baru lo ini, caranya kayak gini - - - ek ek ek, tapi gak gitu-gitu banget si, wkwkwk”

Sementara untuk kasus mengejar hasil yang baik a.k.a kurva yang indah. Hal ini sering ditemui pada proses pemutakhiran sebuat temuan lama, meningkatkan performa atau mencoba menerapkan hasil penemuan sebelumya. Misal dalam teori disebuah bahwa reaksi pembuatan senyawa Asitrunoneion akan menghasilkan 5 gram dalam 5 hari, tetapi dalam praktiknya memerlukan waktu 6 hari untuk memenuhi kebutuhan target 5 gram, ada sebagian orang yang tega menulis berhasil membuat 5 gram dalam waktu 5 hari, hanya untuk mengejar kurva yang baik nan indah a.k.a sesuai dengan teori.

Kesebalan yang aku alami selama tahap main-main di laboratorium selama ini juga perihal takutnya para peneliti pemula pada kata “gagal dan tidak sesuai dengan teori” seakan-akan kalau apa yang dibuatnya tidak sesuai dengan teori, kemampuannya akan dicap jatuh-sejatuh-jatuhnya.

Selain itu, kesebalan terakhir yang aku ingat saat menulis ini adalah soal keterikatan waktu/batas waktu penelitian/terlalu tersekat dan terbatas waktu untuk bisa memaksimalkan laboratorium dan biaya penelitian yang amat mahal. Bayangpun, saya bayar SPP hanya untuk input KRS, tidak ada kuliah yang saya ambil, dan di waktu yang sama, saya juga membayar sendiri seluruh biaya laboratorium dan bahan untuk penelitian yang mahal itu. Tapi mungkin saya saja yang tak tau soal regulasi SPP universitas, tapi di gotak-gatok sederhana kayak gitu, wes mbuh, ra mashok blas.

Untuk kesebalan saya pada orientasi belajar, itu kapan-kapan lah kita rasani.

Demikian rasan-rasan kali ini, semoga kita semua tidak merasa dan ingin jadi yang paling suci. Amen

Wallahu A’lam []

Rabu, 13 Februari 2019
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id

Review buku “Fenomenolaugh”: Memperbanyak Menanam humor, agar memanen tawa dan menuai hikmah


[Cover buku Fenomenolaugh, dokumen penulis]
Tidak ada sebuah komedi tanpa didahului oleh apresiasi. Kurang lebih seperti itu, hal yang aku pikirkan pada pertengahan 2014 lalu. Sebuah pemahaman yang bergelayut di pikiran dalam merespon fenomena-fenomena sekitar. Perkembanganku dalam merespon soal konsep-konsep komedi tak berkembang, kurang lebih sudah 4 tahun dan pemahamanku tentang komedi tidak banyak bergeser dari hal yang aku paparkan di muka. Mulai membaik ketika akhir-akhir ini, saat dunia stand up comedy begitu heboh di belantika dunia hiburan Indonesia. Makna komedi, fungsi sampai teknik banyak dipaparkan dalam suasana penjurian ajang pencarian bakat stand up comedian yang digelar di stasiun teve swasta nasional. Selebihnya, jarang sekali ada yang membincangkan dunia cekikikan ini dengan serius.
Buku itu diberi prolog dari cak Lontong, dan dari prolog itu saja telah aku dapatkan sebuah jawaban tentang beberapa keresahanku. Beliau sebagai pemberi prolong menuliskan “Daya apresiasi seorang memengaruhi taraf selera humornya”. Seketika aku menyadari, memang jarang sekali aku menemui tulisan yang membincang perihal komedi dengan serius. Sejauh ini hanya tulisan dari Gus Dur yang menjadi pengantar buku mati ketawa ala rusia dan tulisan yang berjudul “melawan melalui lelucon” yang diambil dari buku tuhan tidak perlu dibela yang menjelaskan perihal humor. Dalam tulisan itu, Gus Dur menjelaskan perihal fungsi-fungsi komedi, terutama saat digunakan dalam melawan sebuah kekuatan tertentu.  Dari sanalah muncul satu kelebihan buku ini, menjadi salah satu literatur tentang memahami dunia komedi, setidaknya buatku yang jarang membaca ini.
Setelah membaca buku ini, kemudian aku baca lagi judul bukunya “Fenomenolaugh” lalu aku menarik nafas dalam dan mulai dapat menerka-nerka tentang dunai tertawa disekitar kita. Buku ini sangat mewakili, merespon dan menarasikan tentang fenomena tertawa yang setiap hari kita alami. Buku ini berisi 3 bab, antara lain akar rumput humor, humor di sekitar kita dan menilai dan memaksimalkan humor. Dalam menjelaskan fenomena tertawa yang dibahas dalam 3 bab ini sebenarnya telah cukup mewakili dan menjawab keingintahuan tentang fenomena-fenomena yang berseliweran di dalam humor. dalam membaca buku ini, permulaan kita disuguhi tentang makna dan sebab sebuah fenomena tawa, seperti yang dinarasikan Triana Sari Fadhilah “Humor dapat membuat kelucuan apabila mengandung satu atau lebih dari empat unsur; kejutan, mengakibatkan rasa malu, ketidakmasukakalan dan membesar-besarkan masalah”. Setelah membaca petikan ini, kita menjadi mafhum kenapa saat ada teman kita terpeleset, kita bisa otomatis tertawa, karena fenomena itu mengandung setidaknya dua kunci humor yakni kejutan dan mengakibatkan rasa malu.
Dari bab ini juga kita akan mendapatkan bahwa humor itu terikat ruang dan waktu. Tidak semua humor akan menghasilkan tawa ketika diletakkan di ruang dan waktu yang tidak tepat. Bahkan di waktu dan ruang yang sama, saat penyampai humor adalah orang yang berbeda, hasil tertawanya bisa berbeda. Dari hal ini, bahkan bisa dikatakan bahwa selain terikat ruang dan waktu, humor adalah hal yang otentik dari setiap orang. Pada tulisan dari Ferlynda Putri Sofyandari, kita juga disuhugi sebuah fungsi humor, yakni sebagai media menaikkan popularitas, mengategori kelompok dan menjatuhkan kelompok lain.
Pada bab selanjutnya, kita disuguhi banyak sekali fenomena humor tematik, dari humor di teve, pangung pertunjukan, jalanan sampai diberbagai isu-isu yang sensitif. Octandi Bayu Pradana menjelaska dengan cukup detail tentang fenomena parodi, lalu ada Nia Aprilianingsih yang menjelaskan perihal humor pada layar pagelaran yang ada di nusantara, dan masih banyak yang lain. Pada bab ini pula, kita dapat menemukan sebuah fenomena tertawa yang muncul dari hal-hal yang sensitif seperti munculnya tawa dari tema seperti suku, ras sampai bentuk anatomi tubuh. Bagusnya, tulisan ini tidak terikat pada variabel setuju atau tidak pada munculnya tertawa pada kasus SARA tersebut, tetapi pada variabel “kenapa ada yang tertawa saat komedi disematkan dan diolah pada hal-hal yang sensitif”. Dan pada babak akhir buku ini, menceritakan perihal hubungan humor dengan norma dan nilai. Sehingga, buku ini memang sudah cukup gamblang menjelaskan tentang fenomena tertawa.
Meskipun, ada beberapa tulisan yang lepas dari mendalami fenomena tertawa, seperti tulisan yang terlalu fokus pada pembahasan soal dunia jurnalis dan etikanya, atau terlepasnya pembahasan humor dan teralih pada dalamnya pembahasan soal etika dunia pertelevisian. Namun tetap saja, buku-buku setema dengan Fenomenolough ini perlu dan penting untuk diproduksi. Karena saat ini, dunia komedi benar-benar digerus atau mungkin dicekal untuk disampaikan karena dalih “ketersinggungan”.
Banyak orang yang menyalah pahami makna komedi. Komedi yang merupakan salah satu cara menyampaikan opini, sudah bergeser menjadi hanya sekedar pagelaran haha hihi. Diantara mereka sudah  lupa bahwa ada komedi yang disampaikan untuk maksud dan tujuan tertentu, meskipun perlu diakui dengan jujur pula, bahwa ada komedi yang tujuan utamanya hanya untuk mengais tawa. Sehingga saat komedi (yang memiliki maksud luhur) menerjang sesuatu yang sensitif dan dianggap sakral, orang-orang yang memahami komedi sekedar lelucon akan secara serampangan mencemooh sampai mengancam karena diawali rasa tersinggung dan merasa dihina. Sehingga tepat pula kalau saat ini mengunakan adagium yang dipopulerkan grup lawak warkop DKI “tertawalah sebelum tertawa itu dilarang”, dan ayo perbanyak literasi soal komedi, agar semakin banyak orang yang sadar bahwa dalam menciptakan tawa perlu perenungan yang sangat serius.
Wallahu A’lam
[]

Sabtu, 09 Februari 2019
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Popular Post

Tengok Sahabat

Diberdayakan oleh Blogger.

Top Stories

About

- Copyright © Tigabelas! -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -