- Back to Home »
- Purnama »
- Review buku “Fenomenolaugh”: Memperbanyak Menanam humor, agar memanen tawa dan menuai hikmah
Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id
Sabtu, 09 Februari 2019
Tidak ada sebuah
komedi tanpa didahului oleh apresiasi. Kurang lebih seperti itu, hal yang aku
pikirkan pada pertengahan 2014 lalu. Sebuah pemahaman yang bergelayut di pikiran
dalam merespon fenomena-fenomena sekitar. Perkembanganku dalam merespon soal
konsep-konsep komedi tak berkembang, kurang lebih sudah 4 tahun dan pemahamanku
tentang komedi tidak banyak bergeser dari hal yang aku paparkan di muka. Mulai
membaik ketika akhir-akhir ini, saat dunia stand up comedy begitu heboh di
belantika dunia hiburan Indonesia. Makna komedi, fungsi sampai teknik banyak
dipaparkan dalam suasana penjurian ajang pencarian bakat stand up comedian yang
digelar di stasiun teve swasta nasional. Selebihnya, jarang sekali ada yang
membincangkan dunia cekikikan ini dengan serius.
Buku itu diberi prolog dari cak Lontong, dan dari prolog itu saja telah aku dapatkan sebuah jawaban tentang beberapa keresahanku. Beliau sebagai pemberi prolong menuliskan “Daya
apresiasi seorang memengaruhi taraf selera humornya”. Seketika aku menyadari,
memang jarang sekali aku menemui tulisan yang membincang perihal komedi dengan
serius. Sejauh ini hanya tulisan dari Gus Dur yang menjadi pengantar buku mati
ketawa ala rusia dan tulisan yang berjudul “melawan melalui lelucon” yang
diambil dari buku tuhan tidak perlu dibela yang menjelaskan perihal humor.
Dalam tulisan itu, Gus Dur menjelaskan perihal fungsi-fungsi komedi, terutama
saat digunakan dalam melawan sebuah kekuatan tertentu. Dari sanalah muncul satu kelebihan buku ini,
menjadi salah satu literatur tentang memahami dunia komedi, setidaknya buatku
yang jarang membaca ini.
Setelah membaca
buku ini, kemudian aku baca lagi judul bukunya “Fenomenolaugh” lalu aku menarik
nafas dalam dan mulai dapat menerka-nerka tentang dunai tertawa disekitar kita.
Buku ini sangat mewakili, merespon dan menarasikan tentang fenomena tertawa
yang setiap hari kita alami. Buku ini berisi 3 bab, antara lain akar rumput
humor, humor di sekitar kita dan menilai dan memaksimalkan humor. Dalam menjelaskan
fenomena tertawa yang dibahas dalam 3 bab ini sebenarnya telah cukup mewakili
dan menjawab keingintahuan tentang fenomena-fenomena yang berseliweran di dalam
humor. dalam membaca buku ini, permulaan kita disuguhi tentang makna dan sebab
sebuah fenomena tawa, seperti yang dinarasikan Triana Sari Fadhilah “Humor dapat
membuat kelucuan apabila mengandung satu atau lebih dari empat unsur; kejutan,
mengakibatkan rasa malu, ketidakmasukakalan dan membesar-besarkan masalah”. Setelah
membaca petikan ini, kita menjadi mafhum kenapa saat ada teman kita terpeleset,
kita bisa otomatis tertawa, karena fenomena itu mengandung setidaknya dua kunci
humor yakni kejutan dan mengakibatkan rasa malu.
Dari bab ini juga
kita akan mendapatkan bahwa humor itu terikat ruang dan waktu. Tidak semua
humor akan menghasilkan tawa ketika diletakkan di ruang dan waktu yang tidak
tepat. Bahkan di waktu dan ruang yang sama, saat penyampai humor adalah orang
yang berbeda, hasil tertawanya bisa berbeda. Dari hal ini, bahkan bisa
dikatakan bahwa selain terikat ruang dan waktu, humor adalah hal yang otentik
dari setiap orang. Pada tulisan dari Ferlynda Putri Sofyandari, kita juga
disuhugi sebuah fungsi humor, yakni sebagai media menaikkan popularitas,
mengategori kelompok dan menjatuhkan kelompok lain.
Pada bab
selanjutnya, kita disuguhi banyak sekali fenomena humor tematik, dari humor di
teve, pangung pertunjukan, jalanan sampai diberbagai isu-isu yang sensitif.
Octandi Bayu Pradana menjelaska dengan cukup detail tentang fenomena parodi, lalu
ada Nia Aprilianingsih yang menjelaskan perihal humor pada layar pagelaran yang
ada di nusantara, dan masih banyak yang lain. Pada bab ini pula, kita dapat
menemukan sebuah fenomena tertawa yang muncul dari hal-hal yang sensitif
seperti munculnya tawa dari tema seperti suku, ras sampai bentuk anatomi tubuh.
Bagusnya, tulisan ini tidak terikat pada variabel setuju atau tidak pada
munculnya tertawa pada kasus SARA tersebut, tetapi pada variabel “kenapa ada
yang tertawa saat komedi disematkan dan diolah pada hal-hal yang sensitif”. Dan
pada babak akhir buku ini, menceritakan perihal hubungan humor dengan norma dan
nilai. Sehingga, buku ini memang sudah cukup gamblang menjelaskan tentang
fenomena tertawa.
Meskipun, ada
beberapa tulisan yang lepas dari mendalami fenomena tertawa, seperti tulisan
yang terlalu fokus pada pembahasan soal dunia jurnalis dan etikanya, atau
terlepasnya pembahasan humor dan teralih pada dalamnya pembahasan soal etika
dunia pertelevisian. Namun tetap saja, buku-buku setema dengan Fenomenolough
ini perlu dan penting untuk diproduksi. Karena saat ini, dunia komedi benar-benar
digerus atau mungkin dicekal untuk disampaikan karena dalih “ketersinggungan”.
Banyak orang yang
menyalah pahami makna komedi. Komedi yang merupakan salah satu cara
menyampaikan opini, sudah bergeser menjadi hanya sekedar pagelaran haha hihi.
Diantara mereka sudah lupa bahwa ada
komedi yang disampaikan untuk maksud dan tujuan tertentu, meskipun perlu diakui
dengan jujur pula, bahwa ada komedi yang tujuan utamanya hanya untuk mengais
tawa. Sehingga saat komedi (yang memiliki maksud luhur) menerjang sesuatu yang
sensitif dan dianggap sakral, orang-orang yang memahami komedi sekedar lelucon
akan secara serampangan mencemooh sampai mengancam karena diawali rasa
tersinggung dan merasa dihina. Sehingga tepat pula kalau saat ini mengunakan
adagium yang dipopulerkan grup lawak warkop DKI “tertawalah sebelum tertawa itu
dilarang”, dan ayo perbanyak literasi soal komedi, agar semakin banyak orang
yang sadar bahwa dalam menciptakan tawa perlu perenungan yang sangat serius.
Wallahu A’lam
[]