Archive for Maret 2016
Momentum bercermin dan memperbaiki diri -Kali Ini Kambing Hitamnya “Dia”-
Gambar dari: http://s.kaskus.id/images/2016/03/26/8552702_20160326034549.jpg
Malang, tiga puluh satu
Maret 2016
Kecintaan atau
kebencianmu pada suatu kaum jangan sampai membuatmu berlaku tidak adil
Kutipan di atas ketika di telaah
akan menunjukkan pada kita agar tidak menjadi manusia yang fanatik, yang
sedang-sedang saja dalam menilai, yang sedang-sedang saja dalam memilih jalan,
yang sedang-sedang saja dalam mencintai dan membenci suatu kaum.
Selama ini yang sering kali kita
diskusikan adalah sikap subjeknya. Kebiasaan membahas orang pertama yang harus
berperan jangan bertindak berlebihan dalam membenci dan mencintai. Si tokoh
utamalah yang harus mawas diri dalam menjaga perilaku. Si “saya, kamu, dia, atau
kita” yang jangan keterlaluan dalam mencintai atau membenci.
Mungkin ini luput dari perhatian
penulis saja, mungkin juga luput dari perhatian kita atau mungkin kita semua
lupa bahwa dalam membentuk perilaku fanatik selalu ada pengaruh dari yang
di-fanatik-i.
Perilaku yang selalu mensuperiorkan
diri, membuat peran lebih menonjol dari yang lain, kebiasaan over leping, bekerja
lebih banyak dari yang lain, mengeluarkan gagasan muluk-muluk, ingin membuat
loncatan yang sangat signifikan, menunjukkan segala kemampuan, berbicara dan
dapat menjawab segala pertanyaan dalam segala bidang, dan tindak tanduk yang
selalu menunjukkan bahwa “Aku orang yang berguna!” tanpa sengaja akan dapat
menarik seseorang dalam berperilaku fanatik pada kita.
Bahayanya, ketika kita terlalu
sering melakukan hal-hal dalam mengunggulkan diri sendiri dan selalu menjawab
segala permasalahan dalam segala bidang, kita akan dapat merasa bahwa kita
dapat memecahkan segala masalah dan ujung-ujungnya bangga diri dan jumawa pada
isi otak. Ketika kita melakukan peran lebih banyak dan sering di lihat orang dalam
segala sisi, orang akan menganggap kita multi talen, dan bukankah itu
berbahaya ketika multi talen yang tumbuh tidak di barengi dengan sikap
rendah hati. Ketika rasa penasaran orang mulai muncul pada kita yang multi
talen serta jumawa dan kita sambut dengan perilaku yang menunjukkan bahwa
kita benar-benar bisa melakukan segala hal, dalam diri mereka akan berkembang suatu
perilaku yang fanatik -karena perilaku kita-, bukankan itu akan berbahaya pada
kita, karena setiap lontaran komentar dari mulutnya yang bersarang kepada kita
selalu berkonotasi positif dan tak pernah kita dapatkan pengembangan diri dari
komentar yang mengupas sisi negatif diri kita?. Ketika kita terlalu sering
tampil, bukankah orang yang sudah fanatik ini akan menganggap bahwa tanpa andilku,
setiap kegiatan akan berjalan oleng dan apabila ada suatu masalah dalam
kegiatan itu mutlak menjadi salah mereka!, dan membuat kita di anggap empunya
acara.
Sungguh membahayakan sekali...
Kebanggaan orang yang bersandar
pada diri kita secara mutlak bukanlah sebuah kelebihan dan perlu di umbar
serta di banggakan, tetapi itu adalah ujian.
Bukankah praktik seperti ini
adalah bentuk ujian untuk kita. Apakah kita bisa lolos dari sifat-sifat ujub,
takabur dan sombong!.
Sehingga dalam belajar berbuat
“sak madyo”, tak cukup hanya memposisikan diri berperilaku biasa saja pada
mereka yang memiliki kelebihan. Tetapi kita juga harus menata perilaku kita,
men-setting tindakan kita menjadi sak madyo pula, tak membuat dalam diri
seseorang muncul benih-benih fanatik pada diri kita.
Mungkin
Dengan menggunakan pola bahwa
siapa pun adalah guru kita. Dia guruku di bidang ini, dia yang lain guruku di
bidang ini, serta dia juga guruku di bidang yang lain, akan dapat mengekang
tindakan kita dalam membanggakan isi otak. Dan memperlakukan mereka yang belum
mengetahui apa yang kita ketahui sebagai teman belajar kita, dia temanku yang
tadi malam mengerjakan pekerjaan yang lain, sehingga yang aku pelajari tadi
malam belum sempat dia pelajari, aku bukan gurunya, aku adalah teman sheringnya.
Wallahu A’lam
Semoga kita semua dapat tetap
saling bercerita dan menjadi teman yang terus membangkitkan kedekatan kita ke
Tuhan -Al-Hikam-. Semoga kita saling mengingatkan, baik secara oral atau
tulisan. Semoga pertemanan kita tak berujung pada kefanatikanku pada
kemampuanmu dan kefanatikanmu pada kemampuanku.
Selamat Siang!
Si Rohman Suka Melamun
gambar dari
http://misterbo13.blogspot.com/2011/12/1001-cara-dalam-mencontek.html
Waktu menunjukkan pukul 08.00 WIB, terlihat pula di spedo
motorku menunjuk ke angka 80 Km/h. Saat ini aku sedang berjalan pulang ke
Lamongan dari Malang, kabupaten kelahiranku, buat nyambung silaturahmi
dengan keluarga di rumah, kali saja ada yang kangen, hehe..
Kenalkan, sebut saja namaku Rohman. Kalau ada ramalan
golongan darah yang mengatakan golongan darah O cocok buat nyetir karena
fokus, itu tak terjadi di diriku. Ngelamun ya itu hobiku, bahkan saat di
jalan, membayangkan hal ini-itu, pikiran meloncat dari kejadian satu ke
kejadian yang lain, melihat-lihat segala tulisan dan pamflet di jalan, ahh
sudahlah, biarkan saja orang yang suka melamun ini berwisata gratis dengan
pikirannya sendiri.
Saat ini lagi musim pemilu, di sana sini ada banyak sekali
poster-poster. Kalo biasanya yang ngerumbuki jalan hanya poster produk.
Dari produk makanan, kecantikan, obat pembasmi hama, badut ulang tahun sampai
tukang sedot WC. Kalau musim seperti ini iklan diri dari calon-calon legislatif
yang mendominasi, gak usah di tanyak berapa jumlahnya, malah bisa lebih banyak
dari iklan-iklan tukang sedot WC itu. Pas melintas di kabupaten Sidoarjo aku
tengak-tengok iklan diri calon-calon legislatif, ada satu yang menurutku paling
berkesan, bukan karena calonya terlihat tampan atau cantik, bukan juga karena
moto dan visi misinya yang kece dan aku tak paham maksudnya, tapi ada sebuah
tulisan advertensi yang tertera di salah satu poster calon, pas di bawah
namanya ada tulisan “anak kiai bla bla bla”. Wah kalau ketemu yang beginian,
hobiku yang satu gak mau ketinggalan. Kenalkan satu lagi hobiku, selain aku
suka ngelamun, ngomentarin adalah salah satu hobiku juga. Kalau ini sinetron,
sambil liat gambar itu akan muncul suara aneh yang entah dari mana asalnya
seraya berkata “jasik!, itu yang nyalon dapurane apa bapake..
bapak e kiai kok di ajak kampanye”.
---
Sudah separuh perjalanan antara Malang Lamongan, sampai di
perempatan Krian, aku keingat sama kata-katanya Om mus. Om mus memang suka
ceramah kesana-kemari, sudah kayak bintang pantura saja, dari panggung ke
panggung. Om Mus sempat mengutip dawuh-e Rasul Muhammad SAW, kata Om Mus “Islam
itu datang dengan keterasingan dan akan kembali terasing”. Dulu Nabi Muhammad
itu sendirian Islam di lingkungan kafir qurais, dan nanti Islam akan kembali
terasing. Bukan jamaahnya yang sedikit, tapi nilai-nilai Islam yang terasing.
“Ambil saja contoh orang jujur, kok kayak-kayaknya sulit sekali cari orang
jujur saat ini” kata Om Mus.
Iya juga si, kok kayaknya sulit cari orang jujur, dari sekian
banyak gambar-gambar calon ini, kita gak bisa menilai kejujuran dari profilnya
saja.
Sssssssssseeeeetttttt ... pikirku kembali melayang, kembali
ke kejadian beberapa bulan yang lalu.
Malam ini, malam jum’at, tapi ini bukan cerita horor, hehe
Tit tit.. tit tit.. itu suara telepon gengamku, itu suara
SMS. Ku ambil telepon gengamku, tak lihat, itu adalah SMS dari salah seorang
adik tingkatku kuliah, saat ini aku mengulang satu mata kuliah, bukan karena
aku gak lulus, tapi memperbaiki nilai, ini bukan titik penting, haha... sebut
saja namanya Tita. Isi pesan singkat dari Tita seperti ini “mas, besok pas
kuliah jangan telat ya, nanti dimarahi”. Minggu kemarin saat minggu pertama
kuliah aku memang bolos karena ada kegiatan, jadi aku belum sempat bertemu
dengan Bu dosen.
Aku mulai berbicara lagi dalam hati “walah.. di marahi saja
sampai buat pengumuman si Tita ini, di marahi yo gak bakal sampai 2 jam dan
menghabiskan seluruh waktu pelajaran kan”
Keesokan hari saat kuliah, aku datang tepat waktu, kulihat
juga Tita sudah ada di ruangan, dia duduk di depan. Waktu berjalan, tak lihat
memang ada beberapa orang dari kelas ini yang belum datang, ada beberapa
mahasiswa dan mahasiswi yang nampaknya bakal bernasib telat dan yes bakal di
marahi, haha
Kelas kami mengadap ke selatan, dan pintu berada di belakang
kelas, berada di sisi utara kelas. Para mahasiswa duduk di sebelah barat alias
jauh dari pintu, sementara mahasiswi duduk di sebelah timur. Di kampusku memang
seperti itu, duduk mahasiswa dan mahasiswi tidak campur, biasa.. biar tetap
dengan nuansa Islami, hehe.
Tak lihat jam tangan, ini sudah telat 10 menit, tapi Bu dosen
belum datang e, dan beberapa mahasiswa dan mahasiswi juga ada yang belum datang.
Tet.. ehh panjang umur bener Bu dosen ini, baru di rasani sudah nongol saja,,
dan yey, akhirnya akan ada tontonan, melihat orang dimarahi, ya meskipun aku
tak tahu sampai level apa marahnya Bu dosen ini, masuk level iblis apa malaikat
penjaga pintu neraka, haha
O iya, aku lupa menceritakan, saat ini kampus lagi lampu
mati, aku juga gak tahu, kenapa gensetnya gak nyala, jadi kelas kita agak gelap
dan otomatis proyektor gak bisa di gunakan saat ini.
Kita kesampingkan dulu ya level marahnya bu dosen ini, beberapa
bulan lalu aku sempet tulis di buku kecilku, kira-kira yang tak tulis seperti
ini “tenaga pengajar saat ini sudah berbeda dengan dulu, ketika dulu guru bisa
dengan baik mengajar dengan keterbatasan media pengajaran, guru-guru mengajar
dengan ciri khasnya masing-masing. kalau saat ini, guru cenderung memiliki gaya
yang sama, kalau gak ada proyektor sudah kayak ultra man mintak di cas, lemah
tak berdaya, haha” memang saat itu sedang mengalami kuliah pas lampu mati juga,
dan kuliah kami hanya berisi cerita gara-gara gak ada proyektor.
Lamunan ini kembali berkata “Bu dosen yang katanya galak ini
akankah lemah tak berdaya juga ya? hehe”
Dan mak bedunduk, belum sampai tahu Bu dosen ini masuk
kategori ultra man mintak di cas atau tenaga pengajar strong, ehh genset kok
nyala.
Bu Dosen berkata “itu proyektornya tolong di nyaalakan!” dan
salah satu dari kami yang bertubuh jangkung menjawab “enggeh bu”.
Kita mulai belajar dan tak lihat memang masih ada beberapa
mahasiswa dan mahasiswi yang belum datang.
Pelajaran mungkin sudah berjalan 3 menitan, aku menengok ke
pintu, ada 3 orang mahasiswi berdiri di depan pintu, dan wow wow wow, mataku
terbelalak, ini pengalaman yang luar biasa, dan bisa di contoh dalam
menghindari amukan dosen karena telat. Aku melihat 3 mahasiswi itu merayap, iya
merayap, suer merayap.. merayap dari pintu dan ujuk-ujuk duduk di kursi paling
belakang sembari menata wajah agar tidak terlihat kalau habis merayap karena
telat. Merayap coy, sudah tidak mirip kelas calon saintis ini, sudah mirip
kelas bela negara, haha..
“Wahh, sayang sekali, gak jadi ada tontonan dengan judul bu
dosen marah, untung sekali mereka bisa lolos” lamunanku agak kesal. Semoga
habis ini ada yang ketahuan telat lah,
dan aku kembali mengikuti kuliah.
Kuliah berjalan sekitar 15 menit dan terlihat ada 2 orang
mahasiswa yang akan masuk, kali ini mereka tak mungkin bisa merangkak, karena
bangku mahasiswa jauh dari pintu. Yes yes, akhirnya jurus dosen mabuk akan
dikeluarkan oleh Bu dosen yang katanya Tita galak ini.
Aku mengalihkan fokus dari papan ke pintu, dan aku lihat
mereka berdua seperti dorong-dorongan, mencari peluang paling pas agar bisa
masuk tanpa ketahuan. Mata mereka berdua celingukan mencari bangku yang masih
kosong dan gerak gerik Bu dosen. Sruut... Bu dosen menoleh ke papan, dan salah
satu dari mereka berhasil masuk dengan mengendap-endap seperti ninja,
langkahnya tak bersuara dan secepat kilat dapat sampai di dalam kelas, namun
hanya satu yang berhasil masuk, salah satu di antara mereka tak dapat momentum
sehingga belum sempat masuk kelas Bu dosen sudah menoleh lagi ke mahasiswa.
“wahh, edan, teman apa ini, meninggalkan teman sendiri,
memikirkan diri sendiri, asal dia bisa masuk, temannya di tinggal di luar”
lamunanku
Terlihat wajah mahasiswa yang di luar itu memasang mimik
protes pada temannya yang berhasil masuk, dan tak lama kemudian dia
meninggalkan tempat berdirinya dan pergi entah kemana, dia memutuskan bolos.
Sial, kembali gagal melihat Bu dosen marah, yang satu pakai
jurus merayap bak militer, yang satu jadi ninja. Dan sampai akhir kuliah tak
ada lagi mahasiswa atau mahasiswi yang mencoba masuk kelas.
“Iya ya Om Mus, sekarang sulit ya
cari orang jujur, baru proses belajar saja sudah banyak praktik tidak jujuran,
wong mereka mikirin diri sendiri Om, penting selamat bisa masuk kelas tanpa
ketahuan, mereka rela tak jujur ke Bu dosen karena telat. yang penting diri
selamat, urusan dosa lewat” lamunanku berkata pada Om Mus.
Tak terasa sambil mengingat-ingat
kejadian di kelas itu, sudah sampai saja di gapura masuk kabupaten Lamongan.
Kalau sudah sampai gapura ini perjalanan terasa cepat. tinggal jalan ke barat,
sampai pertigaan Deket terus lurus ke barat, masuk kota Lamongan, lurus terus
sampai kecamatan Turi, masih lurus saja ke barat sampai di pertigaan Sukodadi
atau orang sini biasa menyebut pertelon semlaran baru belok kanan ambil
arah ke wisata religi sunan drajat. Jalan terus ke utara, melewati Simo terus
sampai pertelon ngudi belok kiri. Lurus ke barat sampai melihat gapura
desa Kawistolegi kanan jalan, masuk ke kanan, melewati desa Kawistolegi, dusun
Rengin, dusun Bongkawak dan masuk ke dusun Pilang. Masuk ke dusun Pilang sampai
di RT 001/RW 002.
Dan pas di pukul 10.00 WIB aku sampai
di rumah, syukur Alhamdulillah sampai rumah dengan selamat.
Malang, tiga puluh Maret 2016
Orang Miskin Itu Menjual Islam
Malang, dua puluh delapan Maret 2016
Selamat sore Indonesia. Terima kasih telah Kau titipkan sejuk
pada negeri ini. agar kita semua tak lupa bersyukur pada semua nikmat-nikmat-Mu,
semoga orang-orang miskin itu juga tak melulu mikirin dunia.
Tepat kemarin penulis menemukan 2 buah iklan yang sebenarnya
sudah cukup lumrah ada di negeri ini, namun barang yang di jual berbeda dari
sebelumnya. Iklan menjual Islam, iklan menjual kata syariah, syar’i, islami,
halal dan seterusnya.
Kalau selama ini penulis hanya menemui yang di beri label
islami hanya berupa pakaian, makanan dan bank. Seperti makanan halal, baju
islami dan bank syariah, kali ini para penjual label agama ini sudah merambah pangsa
pasar mereka menjadi sangat luas.
Kemari penulis menemukan barang-barang baru yang di islamkan.
Di antaranya adalah hotel, perawatan wajah, rumah makan dan perumahan.
Kesemuanya membanggakan label-label yang melekat di setiap produk-produk islami
itu. Semisal hotel islami, mereka berujar bangga ketika menjelaskan bahwa hotel
mereka adalah hotel bernuansa Islam, dengan interior dan eksterior khas negeri
timur tengah, suguhan yang katanya itu milik umat Islam seperti buah kurma dan
air zam-zam, di sediakan Qur’an, sajadah dan mukenah di setiap kamar serta tak
kurang mushola hotel ada di sana dan tidak menutup pintu pada mereka yang
non-muslim agar mencerminkan Islam yang ramah pada semua umat. Ada lagi
perawatan wajah dengan kristal yang mengatakan dirinya islami dengan dibungkus
semua resepsionisnya menggunakan kerudung dalam melayani customer. Ada lagi
rumah makan yang menjual makanan halal dengan sertifikat halal di ujung tembok
rumah makan tersebut. Dan yang terakhir adalah perumahan islami, dengan slogan
advertensinya “perumahan islami pertama di kota ini!”.
Semakin maraknya produk dengan label-label seperti ini memang
sudah di baca para pengusaha-pengusaha itu. Mereka mengetahui bahwa negeri ini
adalah sebuah neger yang memiliki penduduk muslim terbesar di dunia, sehingga
apabila di jual sebuah barang yang menggunakan judul Islam, warga di negeri ini
sangat senang menyambutnya.
Namun tak ingatkah kita, bahwa yang terpenting bukan hanya
cover Islam itu sendiri, tetapi nilai-nilai keislaman yang tak boleh di
sisihkan begitu saja. Kita ambil 1 nilai Islam sebagai contoh, apakah produk-produk
ini telah menerapkan nilai Islam atau melupakan atau malah sengaja menyisihkan
nilai-nilai Islam itu sendiri.
Islam memiliki nilai luhur berupa kesederhanaan. Bahkan dalam
tingkatan orang mengenal Tuhan ada tingkatan sampai orang itu di sebut menjadi
sang zahid. Orang yang zahid tentu tidak risau dengan tetek benggek
dunia, tak risau kala dia di buat miskin dan tak takabur kala dia di buat kaya.
Gus Mus dengan bahasa enteng dan santunya mengatakan “sudah jangan zuhud dulu,
kita gak kuat sampai tingkatan itu, sudah kita belajar sederhana saja dulu”.
Dapat dipahami bahwa untuk naik menjadi seorang sang zahid, jalan yang bisa di
tempuh adalah dengan berperilaku sederhana.
Lantas saat ini yang di sebut Islam apakah mereka yang rumah
dan hotelnya ber-interior timur tengah, yang memakai jilbab, yang datang
pengajian rutin dan menagih dalil-dalil, yang rumahnya berada di kompleks
islami atau kah mereka yang dapat hidup sederhana?
Mungkin dari kita ada yang menjawab “bisa dong kita tetap
sederhana tetapi juga menggunakan produk-produk itu”. Ya itu pilihan
teman-teman semua, ingin mendahulukan belajar Islam melalui memperbaiki cover
terlebih dahulu atau belajar memperbaiki akhlak dahulu. Karena kita pun tak
dapat memastikan hidayah Tuhan datang dari mana, oleh siapa dan kapan. Sekedar
ingin mengingatkan, bahwa Allah tidak pernah memuji Nabi Muhammad dalam
al-Qur’an karena ketampanannya, karena kecerdasannya, atau karena
harta-hartanya. Allah memuji Nabi Muhammad dalam Al-Qur’an hanya karena Akhlak
beliau.
---
Melanjutkan pembahasan di atas, kita pula harus ingat bahwa
negeri ini adalah negara Bhinneka Tunggal Ika, negeri yang memiliki banyak
suku, budaya, agama, bahasa dan seterusnya. Negeri kita sangat majemuk. Negeri
kita penuh dengan masyarakat yang heterogen, kita bukan negara yang homogen.
Sehingga jiwa toleransi dan saling menghargai harus kita miliki.
Tak bolehlah kita karena mayoritas lantas menindas dan
merampas hak-hak saudara kita yang minoritas.
Lalu semisal kita di hadapkan pada study kasus seperti ini.
“kita bangga dan gembira karena di negeri ini banyak produk syar’i, lantas
ketika ada sebuah produk baru dan dengan jelas menggunakan istilah bukan agama
Islam” bagaimana respon kita? Apakah ini sebuah praktik kristenisasi? Atau kah mereka
antek-antek Zeonis? Atau mereka anak buah Kapitalis Amerika?
Ingat, Akhlak rasul bukan akhlak mencaci.
Silahkan berpendapat seraya berdoa semoga ada produk-produk
dengan label bukan agama Islam yang di jual bebas, agar terlihat sikap kita,
apakah kita benar-benar siap hidup majemuk atau hanya mementingkan kedigdayaan
golongan sendiri.
Wallahu A’lam
Semoga kita tidak sampai lupa, bahwa Islam masihlah jalan dan
akan selamanya menjadi jalan kita menuju Allah SWT. dan orang yang miskin
(orang kaya yang masih butuh banyak uang dan dengan menjual label agama) ini
bisa belajar sederhana bersama-sama dengan kita. Amin.
Bebal Pahami perbedaan dalam konteks Rahmatan Lil Alamin
gambar dari: http://i2.wp.com/www.seanedwards.com/wp-content/uploads/2014/10/Jihad.jpg
Lamongan, dua puluh
maret 2016
Selamat malam Indonesia, semoga
menjadi malam yang mengembirakan untuk siapa saja yang mau bersyukur atas
nikmat yang telah Tuhan titipkan pada hamba-hambanya.
Bermula dari sebuah tulisan yang
penulis buat bulan desember lalu menyoal perayaan natal dan mengucapkannya.
Penulis mendapat sebuah respon yang sangat menarik tentang sebuah makna Islam dari
kawan jauh di seberang pulau sana. Dalam komentar yang penulis terbitkan,
penulis mengatakan bahwa makna Islam bermakna damai (dari kolom Gus Dur
berjudul “Adakah Sistem Islami?” yang di muat dalam buku Islamku Islam Anda
Islam kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi halaman 3), bermula dari kata al-silmi
kaffah (Q.S. 2:208), al-silmi ada yang mengartikan leterlek menjadi Islam dan
ada yang mengartikan damai. Hal ini di karenakan kata Silmi Kaffah sulit
difahami sebagai sebuah bentuk kalimat ‘sifat dan mausuf (yang disifati)’,
belum lagi diajukan pertanyaan apakah kata ‘Kaffah’ dalam ayat tersebut sebagai
keterangan dari kata ganti yang ada dalam “udkhulu” atau dlamir “antum” atau
keterangan dari “al-silmi”. Gus Dur mengatakan pemaknaan kata al-silmi secara
leterlek sebagai ‘kesalahan-kesalahan yang populer’ dikarenakan dalam komunitas
muslim Indonesia yang tidak begitu akrab dengan kaidah gramatika bahasa arab.
Dalam komentar yang diterbitkan
kawan penulis, beliau mengatakan bahwa islam berarti penyerahan diri kepada
Allah SWT.
Tentu kedua makna ini penulis
yakini menjadi sebuah kebenaran sesuai paradigmanya masing-masing. Namun yang
pasti perbedaan makna ini bukanlah menjadi sebuah kelemahan Islam dan akan
membuat Islam melemah dan harus berupaya di samakan pemahamannya, karena
notabenya ini adalah rahmat dari Tuhan dalam memperkaya pengetahuan kita.
Inilah sebuah rahmat dari Tuhan
apabila kita dapat menghargai pandangan satu sama lain, karena ini adalah
implementasi dari istilah ‘Rahmatan lil alamin’. Tak perlulah menurut penulis
ketika ingin mewujudkan ‘Rahmatan lil alamin’ harus di buat Negara islam
terlebih dahulu. Apalagi alih-alih pembuatan Negara islam dikarenakan ingin
menagkal semangat neo-liberalisme dan neo-imprialisme. Karena lagi pula tak ada
jaminan umat muslim di nusantara ini akan hidup damai apabila menerapkan sistem
Negara Islam, karena itu hanyalah sebuah sistem yang dikonsep oleh manusia.
Kalau diterapkan Negara islam,
bagaimanakah nasib teman kita yang non-muslim? Lalu apabila sudah beragama Islam
namun belum menjalankan syariat Islam dengan benar dan lengkap, akankah dihukum
berat? Lanjut ketika ada warna Negara yang murtad dari Islam akankah dihukum
mati? Dan apabila sudah dihukum oleh pemimpin Negara Islam apakah akan gugur
hukuman dari Allah?
Pemikiran penulis mulai liar
apabila diarahkan pada pertanyaan-pertanyaan semacam ini:
Apakah orang non-muslim akan jadi
warna Negara kasta dua? Jongos? Babu? Tak perlu dipertimbangkan dan
diperhatikan kemanusiaannya?. Lantas dimana kesetaraan hukum di antara sesama
warna Negara?
Kalau belum melaksanakan syariat
dan di hukum berat apakah tidak bertolak belakang dengan perintah Allah yang
mennyuruh kita berIslam sesuai kemampuan?
Lalu kalau setiap yang berpindah
agama akan di bunuh, dimana letak hak asasi manusia yang membebaskan hidup dan
memilik kepercayaan?
Dan sejak kapan orang-orang yang
menginginakan membentuk Negara Islam ini berkomuniasi dengan Tuhan dan
bersepakat bahwa setiap hukuman sudah pasti akan menghapus dosa? Apakah orang-orang
ini menganggap bahwa ketika dia marah Allah pasti marah dan ketika dia senang Allah
pasti senang.
Seyogyanya kita harus menyadari
bahwa di dunia ini kita memiliki dua peran yakni sebagai kholifah dan sebagai
hamba. Dan keduanya harus dilakukan secara berbarengan. Kita adalah kholofah
Allah dibumi, sehingga harus merawat dan membuat perdamaian di dunia ini. Tetap
mengasihi kepada siapa saja seperti Allah juga menjatah rizki pada mereka yang
bukan orang Islam. Ini dilakukan sekaligus dalam peran kita sebagai hamba yang
selalu berserah dan berdoa untuk di berikan petunjuk. Karena kita hanyalah
kholifah dan hambanya Allah di bumi, bukan sebagai bentuk pengejawentahan wujud
Tuhan di bumi.
Selama ini sering kali yang kita
syukuri adalah sesuatu yang memberikan manfaat nyata untuk kita seperti di
tambahnya rizki oleh tuhan semisal uang, baju, anak, jabatan, dst. Namun kita
sering lupa dan bebal memahami bahwa berbedanya kita juga salah satu bentuk
kasih sayang Allah. Bagaimana kalau kita semua di buat sama semuanya oleh Allah
menjadi perempuan semua? Atau menjadi pedagang semua? Atau bahkan menjadi orang
Islam semua?. Tatkala menjadi Islam semua, lantas apa tugas para dai yang
memang ditugasi Allah menyebarkan agama Islam karena kelebihan ilmunya. Dan kalau
semuanya sama, kapan kita akan belajar toleransi?
Kalau semua sama, apa yang akan
di toleransi?
Apakah bentuk belajar toleransi
itu bukan rahmat dari Allah.
Menurut Qurais Shihab, beliau
mengatakan bahwa nabi Muhammad SAW tidak mengajari umatnya 5 + 5 = 10, tetapi
berapa tambah berapa sama dengan 10. Sehingga kalau anda menjawab 8 + 2, 4 + 6
dst semuanya benar, sehingga saat ini banyak aliran di Islam. Dan bukankah
konyol yang menjawab 8 + 2 merasa paling benar dan berperilaku angkuh dengan
menjahanamkan mereka yang menjawab 3 +7 dan 1 + 9?
Kita saat ini sama-sama berusaha
mencari jalan ke Allah, dan tidak ada kepastian yang kita yakini benar ini
memang benar menurut Allah dan pasti di ridhoi Allah meskipun KTP kita bertulis
agama Islam. Kalau memang ada yang sudah merasa benar, silahkan melangkah dari
ayat ke-6 surat Alfatihah saat membacanya.
Islam bukanlah sebuah tujuan,
Islam adalah jalan kita menuju Allah. Kalau ada yang mengatakan "Inadiina indaillahi
islam" dan mengklai bahwa ketika
beragama Islam sudah pasti benar, sungguh kurang berhati-hati menurut penulis
dan angkuh kepada Allah. Bagaimana tidak, setiap salat dia membaca ayat ke-6
surat Al fatihah dan memohon untuk di beri jalan yang lurus, tetapi di luar
salat sudah merasa lurus.
Sehingga mari kita saling
menghormati satu sama lain, karena sesungguhnya perbedaan-perbedaan yang di
uraikan di atas adalah nikmat. Kalau itu nikmat kenapa kita tidak mencona
menyebarkan nikmat itu kepada sesama. Bukankah ini yang sebenarnya rahmatan lil
alamin. Perilaku kita yang mencerminkan kehidupan damai dan bersahabat pada
semua, tidak melulu terjebak dalam baju agama.
Allah memberikan rahmat pada kita
semua, dan kita adalah kholifah Allah di bumi, kenapa kita tidak menyalurkan
rahmat Allah yang sudah di titipkan keseluruh alam dengan mengasihi dan
menyayangi. Karena apabila kita tidak meneruskan rahmat Allah yang sudah di
titipkan, kita juga bisa di bilang kurang berhasil menjalankan peran kita
sebagai khalifah.
Dan yang terahir, untuk
mewujudkan islam rahmatal lil alamin tak perlu mengformalkan agama ini menjadi
sebuah Negara, karena saat inipun kita bisa untuk saling menyayangi dan
mengasihi pada semua, seperti Allah memberikan sekian banyak kelebihan dan
kekurangan pada semua manusia tidak –pandang dia berseragam agama apa.
Wallahu A'lam
Semoga kita dilindungi Allah dan
tetap diletakkan di jalannya yang benar dan tetap dalam koridornya. Menjadi
manusia yang dapat melakukan peran kholifah dan hamba Allah secara tapat dan
tidak mudah menjahanamkan orang.
Memuja Simbol
gambar dari:
http://nutsarea.blogspot.co.id/2013/09/proses-atau-hasil-akhir.html
Malang, delapan belas Maret 2016
Selamat petang Indonesia.. semoga hari Jumat ini membawa
kebahagiaan untuk mereka yang besok akan di kukuhkan menjadi seorang sarjana,
yang sudah lama di idam-idamkan pengukuhan ini, yang berulang tahun hari ini dan
untuk kita semua yang dapat bersyukur.
Memang benar, besok sebagian teman-teman penulis akan di
kukuhkan menjadi seorang sarjana. Kita semua dapat menafsirkan apa arti hari
esok sesuai perspektif kita masing-masing. Mungkin di antara kita ada yang
menganggap esok adalah hari yang sangat penting dan di idam-idamkan karena
mulai besok resmi menggunakan gelar kesarjanaan di belakang namanya atau di
terjemahkan menjadi sebuah langkah menuju pintu dunia nyata bersama masyarakat
dan berbagai perspektif yang lain.
Tidak ingin memperpanjang perspektif melihat hari esok, tapi
penulis ingin menceritakan sedikit respon-respon yang di berikan kepada
teman-teman yang esok akan di kukuhkan gelar kesarjanaannya. Dan beberapa
cerita yang berbeda namun senada dengan judul esai ini.
---
Kemarin ketika bertemu dengan seorang adik tingkat yang
pulang bertemu dosen pembimbing penelitiannya dan saat tangan ini menenteng
sebungkus toga yang akan di kenakan esok, terlihat mata itu melihat apa yang di
tenteng. Sontak saja dikatakan pada adik tingkat ini “mau? Atau besok adik saja
yang mewakili di wisuda?” si adik tingkat menjawab dengan satu seruan dan
antusias “mau!”.
Tadi pagi ketika ada seseorang bertanya melalui media sosial,
dia berpesan seperti ini “mas lagi di gedung buat wisuda besok?”, dijawab “iya
dek, habis geladi bersih buat besok”, lalu dia menjawab lagi “ingin kayak begitu
mas”.
Ada yang suka sepak bola? Kalau iya, apa pertanyaan yang
sering sekali kita tanyakan kepada teman yang menonton pertandingan dan saat
kita tidak sempat menonton.. apakah pertanyaan ini “berapa skornya?” atau “lolos
atau tidak dari zona 16 besar?”.
Dan yang terakhir ada sebuah ungkapan yang menggunakan logika
sederhana dan menurut penulis ini cukup menampar sukma penulis “kalau lampu buatan
Thomas alfa esidon sekarang digunakan untuk membaca Al-Quran dan teori dunia
pesawat milik Habibie dimanfaatkan untuk teknologi dunia penerbangan
terbarukan. Apakah hanya habibi yang akan masuk surga karena ilmunya
bermanfaat?”
---
Itu adalah beberapa cerita yang ingin penulis sampaikan. Ada yang
sudah dapat menangkap maksud penulis dan hubungannya dengan judul? Atau mungkin
sudah memiliki penalaran dan perspektif masing-masing?
Akan sangat menggembirakan kalau kita semua memiliki tafsir
yang berbeda atas cerita ini, karena itulah sesungguhnya fitrah perbedaan. Itu yang
patut kita syukuri.
Perspektif penulis terlihat sejak awal. Judul esai inilah
perspektif penulis. Kenapa kita selama ini lebih menghargai hasil tanpa
menengok proses? Sebuah kode-kode dan simbol-simbol yang di puja dan di inginkan
secara berlebihan sampai melupakan tahapan-tahapan mencapai sebuah keberhasilan. Kenapa kita lebih suka di bilang punya toga, besok wisuda, timku juara, dan
ilmuanku senada agamanya?
Wallahu A’lam
Semoga kita semua tetap dalam koridor Allah SWT. tak perlu
memuja Islam karena Islam tetaplah jalan kita menuju tujuan yang sesungguhnya
tujuan kita, yakni Allah SWT.
Dan penulis ucapkan untuk semua teman-teman penulis yang esok
akan di kukuhkan gelar kesarjanaannya, semoga ilmunya bermanfaat untuk agama,
dunia dan akhirat.
Belajar dari bayi untuk bekal mati
Lamongan, satu Maret 2016
Selamat malam Indonesia, kali ini penulis memulai tulisan
dari balik bilik sederhana tempat penulis di besarkan. Memang kegiatan seperti
ini jarang penulis lakukan di rumah. Tetapi ini mumpung ada yang ingin penulis
bagikan, ya penulis bagikan saja sebelum kelupaan.
Hari ini keluarga penulis sedang bermuram durja, karena salah
satu anak dari kakek penulis, tepatnya paman penulis meninggal dunia. Semoga
beliau tenang di alam sana, dan yang di tinggal di berikan kekuatan dan
ketabahan. Tulisan ini juga bermula dari keikutsertaan penulis merawat jenazah
tadi pagi. Pada tengah-tengah proses merawat jenazah, penulis teringat sebuah
syair arab. Ya meskipun penulis tak ingat siapa penyair ini, dan kapan beliau
membuat syair ini, yang penulis ingat hanya penulis tahu syair ini dari
kolom-kolom gus dur.
Kau menangis sendiri saat semua orang
tersenyum bahagia.
Kemudian kau tersenyum sendiri saat
semua orang di sekitarmu menangis tersedu-sedu.
Kurang lebih isi syairnya seperti itu. Penulis teringat syair
itu saat melihat banyak sekali orang yang menangis saat jenazah datang dari
rumah sakit dan di turunkan dari ambulans.
Pernahkah kita sadari bersama, saat kita baru lahir, kita
sedang menangis, langsung menangis sejadi-jadinya lalu selesai. Kita menangis
sendiri di saat orang-orang di sekitar kita tersenyum bahagia. Orang-orang
sangat menunggu kehadiran kita, sampai rasa capek menunggu kita keluar dari
rahim ibu tak di hiraukan sama sekali oleh orang-orang di sekitar kita.
Bayi yang lahir selalu menjadi sesuatu yang sangat di
tunggu-tunggu oleh semua orang. Dan kehadirannya pasti membuat semua orang
berbahagia. Dari catatan penulis selesai mengikuti ngaji subuh, ada sekitar
empat hal kenapa kehadiran bayi selalu di tunggu-tunggu, bahkan bayi yang
selalu di sayang semua orang juga karena ke empat hal ini.
Beberapa sifat itu adalah tidak sombong, jujur, nriman
(menerima apa yang di berikan tuhan) dan tidak dendam. Keempat inilah yang
diamalkan setiap bayi yang membuat orang yang berinteraksi dengannya selalu
bahagia.
Bayi tidak pernah menyombongkan apa yang ia kenakan, baik ia
dikenakan baju paling mahal atau biasa-biasa saja oleh orang tuanya, bayi tak
pernah risau. Bahkan meskipun celana yang ia kenakan adalah produk terbaik
misal, kalau dia ingin berak ya berak saja, bayi tak punya rasa menyombongkan
sesuatu dan bangga pada hal yang biasanya oleh orang yang malah sudah berakal
di sombongkan.
Selanjutnya bayi juga selalu jujur. Saat lapar dia tak pernah
merasa kuat menahan lapar, saat dia sudah kenyang, dia juga tak akan terus-terusan
makan. Saat ia mengantuk pun demikian, tak pernah dia berdusta pada orang-orang
di sekitarnya.
Bayi juga memiliki sifat nriman, tak pernah protes
dengan apa yang dia makan dan diperoleh. Orang tuanya memberi minum asi ya di minum, orang tuam memberi makan bubur
ya di makan, itu pun di konsumsi dalam taraf yang cukup. Jadi tidak terlalu
sedikit atau tidak terlalu banyak.
Dan yang terakhir tak punya dendam. Bayi itu di bawa siapa
pun entah yang membawa itu membaiki dia, atau memarahi dia, tak jadi persoalan
buat dia. Dia tak menaruh dendam sama sekali di hidupnya pada orang lain, saat
di jeleki oleh orang biasa saja, saat di baiki orang lain juga biasa saja.
Sehingga apabila kita dapat mengamalkan ke empat sifat bayi
di atas, dapat di jamin pula bahwa hidup kita akan bisa membuat yang lain
bahagia seperti bayi yang selalu membuat sekitarnya bahagia.
Hal ini yang sering kali terjadi pada kita, saat kita tumbuh
dewasa, lambat lain kita malah melupakan sifat-sifat yang pernah ada di diri
kita. Kita semakin dewasa malah ada yang semakin sombong, ada yang mulai gak
nriman, ada yang mulai tidak jujur dan ada yang mulai menaruh dendam.
Padahal seharusnya dengan bertambahnya umur dan akan, kita harus bisa lebih
baik dan mengambil hikmah.
Teringat salah satu hikmah dalam kitab Al-hikam karya Ibn At-tailah
yang berbunyi “sungguh merugi seseorang yang mengejar sesuatu yang sudah
disediakan tetapi bersantai pada sesuatu yang harus di kejar”
Rizki, jodoh dan mati adalah sesuatu yang sudah di sediakan
Tuhan, tetapi banyak sekali di antara kita malah mengejar hal-hal ini. Banyak
orang sampai membanting tulangnya sendiri untuk mencari rizki, padahal rizki
ini sudah disediakan Tuhan. Sementara untuk hal yang harus dikejar seperti
berbuat baik (termasuk emat sifat bayi) malah orang jarang menghiraukannya.
Sehingga saat kita hanya teropsesi mencari rizki dan tak peduli pengembangan
kualitas hidup agar lebih baik, menurut Ibn At-tailah kita tergolong orang yang
merugi.
Syair di atas di akhiri dengan saat kita tersenyum
orang-orang menangis tersedu-sedu. Pertanyaannya kapan kita akan meninggal?,
dan apakah saat kita meninggal kita akan tersenyum dan orang-orang lain
menangis?. Atau malah sebaliknya? Inilah sebabnya kita harus kita introspeksi
diri. Sedari sekarang kita harus ingat bahwa kita punya kewajiban untuk
memperbaiki diri, dan tak melupakan sifat dasar bayi yang pernah kita miliki,
karena ya itu tadi, kita tak tahu kapan kita meninggal, dan sungguh naudzubillah
kalau sampai kita meninggal tidak dalam kondisi tersenyum dan orang-orang malah
bahagia.
Wallahu A’lam
Semoga kita dilindungi dan tetap dalam koridor Tuhan, dan
kita menjadi insan yang terus mau belajar.