- Back to Home »
- Embun »
- Bebal Pahami perbedaan dalam konteks Rahmatan Lil Alamin
Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id
Senin, 21 Maret 2016
gambar dari: http://i2.wp.com/www.seanedwards.com/wp-content/uploads/2014/10/Jihad.jpg
Lamongan, dua puluh
maret 2016
Selamat malam Indonesia, semoga
menjadi malam yang mengembirakan untuk siapa saja yang mau bersyukur atas
nikmat yang telah Tuhan titipkan pada hamba-hambanya.
Bermula dari sebuah tulisan yang
penulis buat bulan desember lalu menyoal perayaan natal dan mengucapkannya.
Penulis mendapat sebuah respon yang sangat menarik tentang sebuah makna Islam dari
kawan jauh di seberang pulau sana. Dalam komentar yang penulis terbitkan,
penulis mengatakan bahwa makna Islam bermakna damai (dari kolom Gus Dur
berjudul “Adakah Sistem Islami?” yang di muat dalam buku Islamku Islam Anda
Islam kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi halaman 3), bermula dari kata al-silmi
kaffah (Q.S. 2:208), al-silmi ada yang mengartikan leterlek menjadi Islam dan
ada yang mengartikan damai. Hal ini di karenakan kata Silmi Kaffah sulit
difahami sebagai sebuah bentuk kalimat ‘sifat dan mausuf (yang disifati)’,
belum lagi diajukan pertanyaan apakah kata ‘Kaffah’ dalam ayat tersebut sebagai
keterangan dari kata ganti yang ada dalam “udkhulu” atau dlamir “antum” atau
keterangan dari “al-silmi”. Gus Dur mengatakan pemaknaan kata al-silmi secara
leterlek sebagai ‘kesalahan-kesalahan yang populer’ dikarenakan dalam komunitas
muslim Indonesia yang tidak begitu akrab dengan kaidah gramatika bahasa arab.
Dalam komentar yang diterbitkan
kawan penulis, beliau mengatakan bahwa islam berarti penyerahan diri kepada
Allah SWT.
Tentu kedua makna ini penulis
yakini menjadi sebuah kebenaran sesuai paradigmanya masing-masing. Namun yang
pasti perbedaan makna ini bukanlah menjadi sebuah kelemahan Islam dan akan
membuat Islam melemah dan harus berupaya di samakan pemahamannya, karena
notabenya ini adalah rahmat dari Tuhan dalam memperkaya pengetahuan kita.
Inilah sebuah rahmat dari Tuhan
apabila kita dapat menghargai pandangan satu sama lain, karena ini adalah
implementasi dari istilah ‘Rahmatan lil alamin’. Tak perlulah menurut penulis
ketika ingin mewujudkan ‘Rahmatan lil alamin’ harus di buat Negara islam
terlebih dahulu. Apalagi alih-alih pembuatan Negara islam dikarenakan ingin
menagkal semangat neo-liberalisme dan neo-imprialisme. Karena lagi pula tak ada
jaminan umat muslim di nusantara ini akan hidup damai apabila menerapkan sistem
Negara Islam, karena itu hanyalah sebuah sistem yang dikonsep oleh manusia.
Kalau diterapkan Negara islam,
bagaimanakah nasib teman kita yang non-muslim? Lalu apabila sudah beragama Islam
namun belum menjalankan syariat Islam dengan benar dan lengkap, akankah dihukum
berat? Lanjut ketika ada warna Negara yang murtad dari Islam akankah dihukum
mati? Dan apabila sudah dihukum oleh pemimpin Negara Islam apakah akan gugur
hukuman dari Allah?
Pemikiran penulis mulai liar
apabila diarahkan pada pertanyaan-pertanyaan semacam ini:
Apakah orang non-muslim akan jadi
warna Negara kasta dua? Jongos? Babu? Tak perlu dipertimbangkan dan
diperhatikan kemanusiaannya?. Lantas dimana kesetaraan hukum di antara sesama
warna Negara?
Kalau belum melaksanakan syariat
dan di hukum berat apakah tidak bertolak belakang dengan perintah Allah yang
mennyuruh kita berIslam sesuai kemampuan?
Lalu kalau setiap yang berpindah
agama akan di bunuh, dimana letak hak asasi manusia yang membebaskan hidup dan
memilik kepercayaan?
Dan sejak kapan orang-orang yang
menginginakan membentuk Negara Islam ini berkomuniasi dengan Tuhan dan
bersepakat bahwa setiap hukuman sudah pasti akan menghapus dosa? Apakah orang-orang
ini menganggap bahwa ketika dia marah Allah pasti marah dan ketika dia senang Allah
pasti senang.
Seyogyanya kita harus menyadari
bahwa di dunia ini kita memiliki dua peran yakni sebagai kholifah dan sebagai
hamba. Dan keduanya harus dilakukan secara berbarengan. Kita adalah kholofah
Allah dibumi, sehingga harus merawat dan membuat perdamaian di dunia ini. Tetap
mengasihi kepada siapa saja seperti Allah juga menjatah rizki pada mereka yang
bukan orang Islam. Ini dilakukan sekaligus dalam peran kita sebagai hamba yang
selalu berserah dan berdoa untuk di berikan petunjuk. Karena kita hanyalah
kholifah dan hambanya Allah di bumi, bukan sebagai bentuk pengejawentahan wujud
Tuhan di bumi.
Selama ini sering kali yang kita
syukuri adalah sesuatu yang memberikan manfaat nyata untuk kita seperti di
tambahnya rizki oleh tuhan semisal uang, baju, anak, jabatan, dst. Namun kita
sering lupa dan bebal memahami bahwa berbedanya kita juga salah satu bentuk
kasih sayang Allah. Bagaimana kalau kita semua di buat sama semuanya oleh Allah
menjadi perempuan semua? Atau menjadi pedagang semua? Atau bahkan menjadi orang
Islam semua?. Tatkala menjadi Islam semua, lantas apa tugas para dai yang
memang ditugasi Allah menyebarkan agama Islam karena kelebihan ilmunya. Dan kalau
semuanya sama, kapan kita akan belajar toleransi?
Kalau semua sama, apa yang akan
di toleransi?
Apakah bentuk belajar toleransi
itu bukan rahmat dari Allah.
Menurut Qurais Shihab, beliau
mengatakan bahwa nabi Muhammad SAW tidak mengajari umatnya 5 + 5 = 10, tetapi
berapa tambah berapa sama dengan 10. Sehingga kalau anda menjawab 8 + 2, 4 + 6
dst semuanya benar, sehingga saat ini banyak aliran di Islam. Dan bukankah
konyol yang menjawab 8 + 2 merasa paling benar dan berperilaku angkuh dengan
menjahanamkan mereka yang menjawab 3 +7 dan 1 + 9?
Kita saat ini sama-sama berusaha
mencari jalan ke Allah, dan tidak ada kepastian yang kita yakini benar ini
memang benar menurut Allah dan pasti di ridhoi Allah meskipun KTP kita bertulis
agama Islam. Kalau memang ada yang sudah merasa benar, silahkan melangkah dari
ayat ke-6 surat Alfatihah saat membacanya.
Islam bukanlah sebuah tujuan,
Islam adalah jalan kita menuju Allah. Kalau ada yang mengatakan "Inadiina indaillahi
islam" dan mengklai bahwa ketika
beragama Islam sudah pasti benar, sungguh kurang berhati-hati menurut penulis
dan angkuh kepada Allah. Bagaimana tidak, setiap salat dia membaca ayat ke-6
surat Al fatihah dan memohon untuk di beri jalan yang lurus, tetapi di luar
salat sudah merasa lurus.
Sehingga mari kita saling
menghormati satu sama lain, karena sesungguhnya perbedaan-perbedaan yang di
uraikan di atas adalah nikmat. Kalau itu nikmat kenapa kita tidak mencona
menyebarkan nikmat itu kepada sesama. Bukankah ini yang sebenarnya rahmatan lil
alamin. Perilaku kita yang mencerminkan kehidupan damai dan bersahabat pada
semua, tidak melulu terjebak dalam baju agama.
Allah memberikan rahmat pada kita
semua, dan kita adalah kholifah Allah di bumi, kenapa kita tidak menyalurkan
rahmat Allah yang sudah di titipkan keseluruh alam dengan mengasihi dan
menyayangi. Karena apabila kita tidak meneruskan rahmat Allah yang sudah di
titipkan, kita juga bisa di bilang kurang berhasil menjalankan peran kita
sebagai khalifah.
Dan yang terahir, untuk
mewujudkan islam rahmatal lil alamin tak perlu mengformalkan agama ini menjadi
sebuah Negara, karena saat inipun kita bisa untuk saling menyayangi dan
mengasihi pada semua, seperti Allah memberikan sekian banyak kelebihan dan
kekurangan pada semua manusia tidak –pandang dia berseragam agama apa.
Wallahu A'lam
Semoga kita dilindungi Allah dan
tetap diletakkan di jalannya yang benar dan tetap dalam koridornya. Menjadi
manusia yang dapat melakukan peran kholifah dan hamba Allah secara tapat dan
tidak mudah menjahanamkan orang.