- Back to Home »
- Embun »
- Sami’na wa ato’na adalah doktrinasi
Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id
Rabu, 14 Oktober 2015
Gambar dari dwinugros.files.wordpress.com
Malang, empatbelas oktober 2015
Selamat pagi Indonesia. Sebagian pendudukmu yang beragama
islam hari ini sedang bergembira karena merayakan tahun baru hijriyah yang ke
1437. Semoga spirit ini bisa menyemangati kita dalam memperbaiki negeri ini dan
kita bisa hijrah menjadi lebih baik dan barokah.
Kali ini penulis akan mengulas masalah istilah sami’na wa
ato’na. Istilah yang mungkin untuk sebagian kalangan tak asing ditelinga. Dan
memang beberapa hari kemarin penulis sempat merasakan keresahan pada kata ini.
Sebelum memulai pembahasan, mari kita berkenalan terlebih
dahulu dengan sami’na wa ato’na ini.
Sami’na wa ato’na adalah sebuah kata yang berarti aku
mendengar dan aku taat. Kata ini berada di beberapa ayat al-qur’an dan salah
satunya berada di penutupan surat al baqarah. Menurut beberapa tafsir, banyak
kemuliaan pada ayat ini, dan tuhan akan mengganjar lebih pada umat yang bisa
melafalkanya setiap malam. Istilah ini juga sangat umum terdengar di dunia santri dan dunia pendidikan
yang bernafas islam. Istilah ini sering ditujukan pada para siswa agar selalu
taat pada setiap ucapan guru.
Namun, pernahkah pembaca semua terfikir, apabila kita menelan
mentah-mentah hal ini, akan jadi sama dengan proses doktrinasi?
Menurut penulis, dalam memahami kata ini, kita harus
melakukan kajian yang dalam pada esensinya agar tidak terjebak dalam
pengartianya.
Aku mendengar dan aku taat, oke pada siapa terlebih dahulu?
Kalua rasul cukup fine menurut penulis karena beliau dijaga tuhan dan sudah
berlebel maksum (terbebas dari dosa), sehingga apabila kita taat pada nabi
sudah dapat dijamin aman dunia ahirat. Namun kok rosul tak memaksa orang-orang
dimasanya masuk islam dengan mengatakan pada mereka “taatlah padaku yang telah
maksum ini”, dan malah mengeluarkan kata yang sangat toleran seperti “bagiku
agamaku dan bagimu agamamu”. Padahal apabila sami’na wa ato’na digunakan
sebagai senjata politik rasul dalam mengislamkan dunia, akan sangat terlihat
masif perjuangan beliau.
Dalam proses ini, bukankan rasul sudah mengajari kita untuk
berbuat toleran dan adil, rasul tak pernah memaksa orang masuk islam, artinya
rasul memberikan pilihan pada siapa saja untuk memilih agamanya, bukan
mendoktrinasi.
Karena rasul paham islam adalah agama yang damai, damai dapat
terlahir dari toleran dan tak ada toleran yang lahir dari satu keragaman.
Sehingga dalam prosesnya, rasul juga menuntun kita untuk
berfikir, kita memilih sebuah kepercayaan harus berfikir terlebih dahulu, jadi
dalam proses sami’na wa ato’na terselip proses berfikir dulu. Kita mendengar
kita berfikir baru setelah itu kita menentukan sikap dengan taat.
Sehingga dari sana penulis memang lebih sepakat apabila dalam
proses sami’na wa ato’na terselip proses memahami dengan berfikir, karena
memberikan pilihan itu lebih nyaman dari pada didoktrinasi. Dan nyaman itu
terlahir dari suatu yang lembut dan islam adalah agama yang lembut.
Dewasa ini, proses semacam memberikan pilihan sedang
dikembangkan dalam dunia pendidikan. Yang mana muridlah yang harus membuat dan
memilih standart sukses belajar, bukan seorang pengajar yang memberikan
standart pada muridnya. Dari usaha ini tentu diharapkan setiap murid akan
melampaui batas nyamanya, setiap murid akan lebih bisa mengeksplor kemampuanya,
dan tidak terpaku pada satu sosok panutan yakni guru.
Tentu kita ingat ungkapan “guru yang sukses adalah yang
memiliki murid dengan kemampuan malampaui dirinya”. Hal-hal semacam inilah yang
diharapkan dalam proses pembelajaran dengan menentukan standart sukses
sendiri-sendiri. Dan apabila kita memegang sami’na wa ato’na secara substansi saja,
apakah terjadi hal seperti ini? Penulis rasa tidak, karena sang murid juga akan
taat dan tahu hanya dari apa-apa saja yang diketahui gurunya.
Proses memperbaiki diri, evaluasi, toleransi, kosmopolitan
dan lain-lain akankah akan terjadi kalau kita hanya sami’na wa ato’na secara
substansi?
Hal ini juga sempat disingung oleh 10 ajaran hidup sunan
kalijaga, yang salah satunya berbunyi “jangan terheran-heran”. Dalam ungkapan
itu sunan kalijaga ingin mengajari kita agar kita tidak menjadi orang yang
mudah heran pada kebaikan atau keburukan orang, sehingga kita tidak minder
dalam belajar dan akan terus berusaha melampaui batas kita dan pada ujungnya
kita tidak menjadi orang yang fanatik. Apabila kita menjadi orang yang mudah
terheran lalu kita menaruh perhatian lebih pada orang itu, dan setiap ucapnya
kita taati tanpa proses olah fikir, bukankah akan menggekang pengetahuan kita dan membuat
semakin menipisnya orang yang luwes dan mau mengevaluasi diri?
Gus dur pun tak luput dari hal ini, penulis tak mengenal
begitu dalam dan memahami semua kerangka berfikir beliau, hanya sedikit yang
penulis tahu, dan salah satu yang penulis tahu saat gus dur bertanya pada putri
pertamanya masalah nikah, beliau bertanya seperti ini “kamu gak na nikah? Tapi
kalau gak nikah juga gak papa se, tapi tahu konsekuensinya kan?” pertanyaan
tersebut sunguh mengugah penulis, karena pertanyaan itu gus dur tak sedikitpun
memaksa dan mendoktrin pada anaknya untuk segera menikah, tapi cukup memberikan
pilihan.
Dan menutur penulis, apabila kita bisa melakukan sami’na wa
ato’na yang terselip proses berfikir tadi, entah kita diposisi guru atau murid,
secara tidak langsung kita juga telah mengamalkan nilai kemanusiaan, keadilan
dan pembebasan. Karena dengan sami’na wa ato’na yang terselip berfikir tadi,
kita membebaskan fikiran orang untuk berfikir dan memahami sesuatu dan
memanusiakan manusia dengan mencukupi hak nya sebagai manusianya dalam berfikir
dan memilih. Dan itu adalah hal yang adil ketika dibanding harus memaksa seperti
proses doktrinasi.
Waallahu a’lam
Penulis ucapkan terimakasih pada kelas pemikiran gus dur yang
telah banyak menginspirasi beberapa tulisan dan memperkaya khasanah pandangan
penulis.
Semoga kita lebih baik, salaing mengoreksi diri sendiri dan
membangun bangsa ini agar atlantis yang hilang itu segera ditemukan.