Archive for Mei 2016
Perang Kelompok benar dan kelompok suci
Sumber: http://catatanperjalanan1.blogspot.co.id/2015/03/perang-dingin-cold-war.html
Malang, dua puluh dua Mei 2016
Selamat siang Indonesia, kembali lagi ditemani dengan
sekelumit keresahan-keresahan yang menempel seperti lendir di dinding-dinding
hati penulis.
Sudah menjadi tontonan yang wajar bahwa akhir-akhir ini
banyak praktik pembredelan buku, nonton film, diskusi sampai seminar oleh
ormas-ormas keagamaan dan aparat negara pada hal-hal yang berbau atau sekedar
di cap “kiri”. Sampai-sampai sebuah stasiun teve membuat sebuah acara diskusi khusus
menyoal isu-isu hangat ini.
Banyak yang mengatakan bahwa tindakan pembredelan adalah sebagai
wujud pencegahan untuk paham yang sudah di larang beredar di Indonesia, ada
pula yang mengatakan bahwa pembredelan yang dilakukan ormas keagamaan dan
aparat akan membangkitkan era baru yang mirip bahkan sama dengan orde baru.
Mada masa itu, di bawah kepemimpinan yang diktator, negeri
ini melarang semua yang berbau ideologi kiri, dari buku, film, lagu dan karya
budaya yang lain. Tidak hanya itu, birokrasi orde baru juga membuat sebuah
propaganda pengkambing hitam untuk sebagian masyarakat di negeri ini yang di
cap kiri, dari mengatakan mereka perongrong kesatuan bangsa sampai mereka tidak
ber-Tuhan. Dan nyatanya propaganda itu berhasil, karena imbasnya bisa kita
nikmati sampai sekarang. Saat ini banyak orang-orang yang menjadi paranoid
bahkan super kagetan dalam menerima hal-hal yang berbau kiri.
Kita awali menengok ke kanan
Di sana dapat kita lihat berjubel orang dengan legitimasi
legal dari pemerintah sedang gencar-gencarnya menyerbu buku, nonton film,
seminar, diskusi dan segala hal yang berbau komunis. Mereka mengatakan bahwa
apa-apa yang merbau kiri akan memecah belah kehidupan bangsa Indonesia.
Mereka saat ini menjadi kelompok yang paling senang menyerbu
dan mencurigai hal-hal yang berkover palu arit, 65, marxis dan komunis.
Ya hanya kover. Lihatlah, bahkan untuk buku yang berisi
kritik pedas pada paham-paham yang di kembangkan marxis saja di bredel hanya
karena ada kata marxis di kover buku. Kalau mereka mau membaca, kan harusnya
buku itu dapat di jadikan pisau untuk mengiris paham-paham kiri yang mereka
takuti.
Mereka kebanyakan tak mau membaca karena terlalu paranoid,
dan lebih memilih menjadi pahlawan dengan alih-alih menyelamatkan bangsa dengan
langsung bersikap anarkis pada semua hal yang mereka paranoidi.
Maka cukuplah kita sebut mereka kelompok benar, karena mereka
menganggap dirinya pahlawan yang akan menyelamatkan kehidupan bangsa.
Selanjutnya kita tengok sisi kiri
Di sana kita melihat, lebih tepatnya tak terlalu banyak
terlihat, hanya beberapa saja, karena banyak yang diam-diam. Sebagian di antara
mereka suka membuat sensasi dengan mempromosikan dirinya kalau mereka kiri
tulen. Ada yang dari mereka sengaja menggunakan logo-logo palu arit, komunis
dan sampai marxis. Tampaknya mereka hanya ingin memancing perhatian saja dan
pengetahuan tentang paham itu masih saja dangkal.
Mereka banyak yang bergemim kalau pemberangusan buku sama
halnya pemberangusan ide. Itu tidak boleh dilakukan. Mereka juga menyadari
bahwa paham yang mereka baca dilarang di negeri ini, namun untuk mempelajarinya
tidak apa-apa.
Mereka banyak yang mempromosikan “ayo membaca buku”, “menolak
lupa”, “merawat ide” dan seterusnya. Banyak sekali slogan atau mungkin sudah
masuk ke propaganda dan melegitimasi bahwa pemberangusan buku itu tidak boleh,
melawan hukum. Suci sekali ide yang mereka utarakan.
Namun di saat mereka menyuarakan gerakan ayo membaca buku dan
lawan pembredelan, saat itu muncul seorang novelis sebut saja "Tere Liye". Dia mengatakan
bahwa “kalian anak bangsa jangan terlalu terpesona oleh paham luar, kalian
merasa keren karena mempelajari komunis, sosialis, anarkis. Coba baca buku sejarah,
yang memperjuangkan bangsa ini adalah ulama’ dan santri”. Lalu mereka yang
menyuarakan ayo membaca berbondong-bondong menghujat Tere Liye dan semua
novel-novel tulisannya.
Jadi cukulah mereka kita sebut kelompok suci.
Wallahu A’lam
Sesungguhnya penulis sendiri juga tak yakin berada di tengah,
atau bahkan penulis tidak di mana-mana. Tapi yang penulis yakini, kita
membutuhkan orang-orang yang mempersatukan dan mengademkan umat, yang merangkul
semua dari kanan sampai kiri, yang tidak menjadi bagian dari kelompok-kelompok
separatis ini.
Dan perlu di ingat, bahwa kalian di kanan atau di kiri sama
saja. Kalian bisa keren karena itu atau bahkan kalian bisa terlihat sangat
dungu. Paham-paham yang kalian yakini sama benarnya dan sama-sama ada titik
salahnya, kalian boleh percaya akan paham itu tapi kalian tak boleh memaksakan
paham itu pada sesama yang lain, setidaknya itu yang di ucapkan Haji Omar Said
Cokroaminoto.
Dosanya Delman
Malang, Enam belas Mei 2016
Selamat siang Indonesia. Masih di temani kopi siang ini yang sudah terjaga sejak tadi pagi, cukup memberikan ketenangan dari pagi hingga siang ini, dan tak lupa guyonan segar ala warung kopi membuat siang semakin hangat. Semoga teman-teman semua juga berbahagia ala masing-masing.
Kemarin minggu sengaja penulis berjalan-jalan ke sebuah jalan legendaris di kota Malang untuk sekedar melihat-lihat guyup rukunnya kota, di jalan Ijen. Di temani dengan berjubelnya para penjaja kudapan ringan serta minuman dari yang hangat sampai yang segar. Namun saat ini penjual kudapan pagi ala pasar minggu jalan Ijen tak sampai masuk di badan jalan Ijen, tetapi hanya berjajar rapi di sekitar parkiran. Lalu yang tersisa di badan jalan Ijen hanya lah pejalan kaki dan beberapa ekor kuda penarik delman.
Ya, delman yang terlihat kemarin sangat ganjil di antara banyaknya pejalan kaki. Mungkin hanya ada sekitar 10 sampai 15-an ekor saja, dan di tiap-tiap ujung ada para pengantre yang sedang bergantian naik delman. Saat ini memang delman lebih banyak di temui sebagai wahana wisata.
Kita jarang menemukannya atau mungkin karena memang di larang beroperasi di jalan raya. Sehingga kita terasa asing melihatnya, dan jarang-jarang kita menemuinya akan bernasib sama seperti yang terjadi di pasar minggu, sebagai wahana wisata.
Lalu kenapa nasib delman seperti ini? sebenarnya apa dosa delman sampai sekarang dilarang beroperasi di jalan-jalan raya, dan berubah fungsi dari transportasi umum menjadi wahana wisata kaum urban?
Apa karena delman mengeluarkan tai, sehingga jalan kontemporer tak dapat mentolerir hal itu? Tai kuda penarik delman di anggap hal yang dapat mengganggu indahnya panorama kota era kini. Kalau memang iya, lantas kenapa mobil-mobil masih di biarkan bebas berkeliaran di atas aspal hitam pembelah kota? Bukankah malah kotoran kuda besi ini yang lebih berbahaya dari sekedar tai kuda? Yang menjadi suhu atmosfer bumi naik juga karena tai kuda besi.
Atau karena si delman buat macet jalan? Karena volume badan delman yang besar dan jalannya lambat, kemudian di anggap biang kemacetan kota yang serba cepat dan tak pernah bersabar. Kalau toh delman berdosa karena ini, kenapa pula mobil tak dapat peringatan khusus? Banyak di temui saat ini, kembali kuda besi ini juga berperan penting dalam menciptakan kemacetan kota. Kalau ini salah, setidaknya cukup tidak salah untuk area Dinoyo kota Malang tempat penulis riwa-riwi. Banyak di daerah ini mobil malah menjadi penentu kemacetan jalan, mereka saling beradu jalan terlebih dulu, saat di persimpangan dan perempatan tak ada yang mau mengalah sampai aksi selip-selip yang sudah lihai di peragakan para menunggang kuda besi.
Delman lambat dan sudah tak cocok hidup di jalan yang serba cepat karena dominasi kuda besi yang dapat melaju sangat cepat tanpa perlu istirahat asal asupan bensin masih ada. Kok agaknya karena terlalu cepatnya kuda besi ini melaju, Jawa menjadi kehilangan budaya ramah dan sabar. Dulu warga Jawa di sebut orang ramah, tapi sekarang? Berpikir ulang dulu saja lah. Lampu lalu lintas masih berbinar merah dan menunjukkan waktu 5 detik menuju binar hijau saja sudah di teriaki klakson dari penunggang kuda besi untuk segera tergesa-gesa. Apakah teriakan klakson ini masih kategori ramah?
Bukan tanpa alasan kenapa penulis memberikan pandangan sinis
pada mereka pengendara mobil, ini dikarenakan rata-rata pengguna mobil serakah
volume jalan. Bagaimana tidak di katakan serakah, mereka menunggang kuda
besi berkapasitas 7 orang namun hanya di isi 1 atau 2 orang saja.
Padatnya mobil di jalan, di barengi dengan kurang sabarnya orang-orang, tergesa-gesa karena buaian kecepatan kuda besi, sampai kasus serakah volume jalan cukuplah menjadi sebuah syarat tercapainya sebuah kemacetan jalan.
Selain itu, efek laten kecepatan kuda besi adalah membuat manusia era kini juga kehilangan semangat disiplin dan manage waktu.
Kembali ke delman yang kita bicarakan. Karena hal itu delman tergusur dari jalan, kita mendompleng yang bersalah adalah delman karena dia lambat dan besar, tapi nyatanya kita sendirilah tokoh di balik kerusuhan dan macetnya jalan dan menjadikan kita menjadi turis di negeri sendiri saat bertemu dengan delman.
Memang semua ada baik buruknya, sehingga mari berpintar-pintar dalam bijaksana. Mobil yang kapasitasnya dapat menampung 7 orang, sepatutnya di isi oleh 7 orang. Kalau hanya 2 orang yang berkendara, kan mending pakai kendaraan yang kapasitasnya 2 orang.
Wallahu A’lam
Semoga kita kembali menjadi pribumi dengan segudang tata
krama serta kesopanannya. Bukan lagi sebagai turis di negeri sendiri dengan
segala keangkuhannya.
Teman beberapa hari ini
Hai kawan, beberapa hari ini, ku lihat kau tak pernah telat mengunjungi kami
Bukankah ini waktumu libur bekerja
Mukamu jangan sinis dulu begitu
Bukannya aku tak suka dengan kehadiranmu
Tapi aku hanya ingin memberimu saran
Lebih baik kau datang saat malam saja kawan,
Karena mukamu akan tersamarkan oleh gelapnya malam
Kalau kau mengunjungi kami siang, kau hanya akan di caci maki
kalau kau mengunjungi malam, Kau tak perlu susah-susah berganti wajah lebih sumringah.
Cukup begini saja, dan kita tak akan mencaci makimu dengan membabi buta
Jangan tanyak ini karena apa kawan
Akan selalu seperti ini selama bumi ini bulat.
Promosi Diri
Sumber: http://adisumaryadi.mypangandaran.com/post/detail/21/promosi-diri-perlukah-dilakukan-bagaimana-caranya
Malang, Enam Mei 2016
Selamat malam Indonesia, bertemu lagi dengan cuplikan
keresahan-keresahan tak berguna. Kalau tak berguna untuk orang lain, minimal
berguna untuk pribadi penulis. Kalau tak berguna saat ini, mungkin berguna esok
hari. Demikian apa yang di sampaikan Pramudia Ananta Toer yang selalu memotivasi
penulis untuk terus menulis, meskipun hanya kumpulan keresahan yang bisa jadi
ini sampah.
Kita awali tulisan ini dengan cuplikan percakapan berikut:
Leo : Nanti jadi ke pameran kan?
Monik : wah aku lagi di rumah ini.
Leo : Lo kok malah di rumah, kan kita sudah
janjian lama untuk ke pameran ini. di rumah sapai kapan?
Monik : sampai Rabu kayak e
Leo : Lo, pamerannya hanya sampai rabu,
sebenarnya mau apa gak si ke pameran? Dari kemarin gak bilang iya atau tidak,
tapi pas gini malah pulang.
Monik : ya tak kira gak jadi.
Leo : gak jadi gimana? La kamu gak pernah
jawab iya atau tidak, tahu-tahu di rumah.
Monik : ya sudah berangkat saja, aku lo santai.
Kalau diperhatikan dari percakapan di atas kita menemui
tokoh Leo yang sepertinya cukup kecewa karena tindakan Monik yang menggantung,
dan kita temui Monik yang suka menggantung. Selain sikap ini, bisa kita temui
bahwa tokoh Monik memiliki sikap suka menunjukkan karakter yang harus ada di
dirinya alias pamer diri, seperti ditunjukan pada akhir percakapan “santai”.
Sekarang pertanyaan yang muncul di kepala penulis, bolehkan kita
melabeli diri kita sendiri dengan sifat-sifat seperti baik, jahat, santai,
tergesa-gesa, suka telat dan seterusnya?
Penulis memiliki cukup banyak pengalaman dan kesempatan
bertemu dengan orang-orang yang memiliki kecenderungan seperti ini. banyak
penulis alami ketika berinteraksi dengan mereka, selalu disisipkan sebuah
karakter yang mereka inginkan ada di diri mereka. Tampaknya ini sudah menjadi
hal yang lumrah, sehingga banyak sekali yang mempromosikan dirinya secara oral bahkan arogan.
Mungkin mereka termotivasi dengan kata-kata “kenali dulu
dirimu sendiri” atau kata-kata yang lain. Imam Nawawi pun menuturkan bahwa orang yang
selamat dunia dan akhirat adalah mereka yang memiliki kekuatan untuk mengerti kelemahan
dirinya.
Lalu pantaskah hasil evaluasi ini disampaikan di muka umum?
Semisal penulis sudah mengevaluasi diri dan menemukan sebuah
sikap yang melekat pada diri penulis. Sebut saja penulis suka tergopoh-gopoh
dan kemudian sikap ini penulis sampaikan di muka umum. “aku adalah orang yang suka
tergopoh-gopoh” apakah ini elok?
Bisa jadi penulis akan diberikan dua respon yang sama
besarnya, antara memaklumi dan menganggap penulis gila. Atau mungkin respon
yang lain.
Kalau menang penulis akan diberi respon yang sama
besarnya, atau malah diberikan respon memaklumi perkataan penulis tadi,
Tampaknya memang saat ini sudah menjadi hal yang lumrah mempromosikan diri
secara oral. Ini bukan berarti penulis mengamini agar ada respon yang menganggap
gila orang yang suka mempromosikan diri.
Kemudian penulis dibenturkan dengan sebuah kata dari Ali bin
Abi Thalib,“tak perlu kau tunjukkan sifatmu, karena orang
yang suka padamu tak butuh itu, dan orang yang membencimu tak percaya itu”
Seakan-akan ini menjadi angin segar, dan menjawab segala
keresahan.
Di saat angin segar dari Ali bin Abi Tholib menyapu tubuh,
kembali penulis dibenturkan dengan sebuah pertanyaan “oke itu soal sifat, tapi
saat ini ada sebuah lembaga atau organisasi, dan di lembaga atau organisasi itu
mengadakan pembaiatan dalam menerima anggota, apakah kita juga tetap tak boleh
mengaku-ngaku kalau kita anggota organisasi A, B, C dan seterusnya?”
Dan Tampaknya inilah salah satu hal yang membuat banyak
organisasi di negeri ini dipandang sebelah mata oleh khalayak ramai. Mahasiswa
jadi mencibir mereka yang ikut organisasi dan bapak-bapak juga mencibir para
anggota dewan dan partai. Karena mereka keburu mengaku dan mempromosikan diri
kalau ikut organisasi A, B, C dan seterusnya, tetapi belum memantaskan diri
untuk dianggap layak menjadi bagian dari organisasi-organisasi itu.
Banyak mahasiswa sudah mengaku ikut organisasi ini tetapi
belum melakukan hal-hal yang menjadi tuntunan organisasi, banyak bapak ibu
anggota dewan yang keburu mempromosikan diri menjadi anggota dewan tetapi belum
memantaskan diri untuk disebut anggota dewan.
Semoga kita juga ingat dengan surat Al-ihlas, yang mana yang
namanya ihlas ya kayak surat Al-ihlas, yang tak menyebut ihlas sama sekali di
dalamnya.
Lantas orang-orang yang suka mempromosikan diri akan serentak
menjawab “paham!” padahal tempatnya paham bukan hanya di mulut, tetapi juga di
tindakan. Sehingga dari sana mari belajar bersama-sama mengevaluasi dan
memperbaiki diri sebelum kita “mengaku paham”. Karena ketika kita benar-benar paham
yang ditunjukkan dengan tindakan yang berangsur-angsur membaik. Orang lain tak
akan bertanya lagi dia sudah paham atau tidak. Begitulah semestinya.
Wallahu A’lam
Terima kasih sudah membaca keresahan ini, semoga kita tetap
bisa bercerita dan saling bertukar keresahan dan terus mengevaluasi diri.
Editor: Muktadi Amri Assidiqi
Editor: Muktadi Amri Assidiqi