Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id Senin, 16 Mei 2016


Malang, Enam belas Mei 2016

Selamat siang Indonesia. Masih di temani kopi siang ini yang sudah terjaga sejak tadi pagi, cukup memberikan ketenangan dari pagi hingga siang ini, dan tak lupa guyonan segar ala warung kopi membuat siang semakin hangat. Semoga teman-teman semua juga berbahagia ala masing-masing.

Kemarin minggu sengaja penulis berjalan-jalan ke sebuah jalan legendaris di kota Malang untuk sekedar melihat-lihat guyup rukunnya kota, di jalan Ijen. Di temani dengan berjubelnya para penjaja kudapan ringan serta minuman dari yang hangat sampai yang segar. Namun saat ini penjual kudapan pagi ala pasar minggu jalan Ijen tak sampai masuk di badan jalan Ijen, tetapi hanya berjajar rapi di sekitar parkiran. Lalu yang tersisa di badan jalan Ijen hanya lah pejalan kaki dan beberapa ekor kuda penarik delman.

Ya, delman yang terlihat kemarin sangat ganjil di antara banyaknya pejalan kaki. Mungkin hanya ada sekitar 10 sampai 15-an ekor saja, dan di tiap-tiap ujung ada para pengantre yang sedang bergantian naik delman. Saat ini memang delman lebih banyak di temui sebagai wahana wisata.

Kita jarang menemukannya atau mungkin karena memang di larang beroperasi di jalan raya. Sehingga kita terasa asing melihatnya, dan jarang-jarang kita menemuinya akan bernasib sama seperti yang terjadi di pasar minggu, sebagai wahana wisata.

Lalu kenapa nasib delman seperti ini? sebenarnya apa dosa delman sampai sekarang dilarang beroperasi di jalan-jalan raya, dan berubah fungsi dari transportasi umum menjadi wahana wisata kaum urban?

Apa karena delman mengeluarkan tai, sehingga jalan kontemporer tak dapat mentolerir hal itu? Tai kuda penarik delman di anggap hal yang dapat mengganggu indahnya panorama kota era kini. Kalau memang iya, lantas kenapa mobil-mobil masih di biarkan bebas berkeliaran di atas aspal hitam pembelah kota? Bukankah malah kotoran kuda besi ini yang lebih berbahaya dari sekedar tai kuda? Yang menjadi suhu atmosfer bumi naik juga karena tai kuda besi.

Atau karena si delman buat macet jalan? Karena volume badan delman yang besar dan jalannya lambat, kemudian di anggap biang kemacetan kota yang serba cepat dan tak pernah bersabar. Kalau toh delman berdosa karena ini, kenapa pula mobil tak dapat peringatan khusus? Banyak di temui saat ini, kembali kuda besi ini juga berperan penting dalam menciptakan kemacetan kota. Kalau ini salah, setidaknya cukup tidak salah untuk area Dinoyo kota Malang tempat penulis riwa-riwi. Banyak di daerah ini mobil malah menjadi penentu kemacetan jalan, mereka saling beradu jalan terlebih dulu, saat di persimpangan dan perempatan tak ada yang mau mengalah sampai aksi selip-selip yang sudah lihai di peragakan para menunggang kuda besi.

Delman lambat dan sudah tak cocok hidup di jalan yang serba cepat karena dominasi kuda besi yang dapat melaju sangat cepat tanpa perlu istirahat asal asupan bensin masih ada. Kok agaknya karena terlalu cepatnya kuda besi ini melaju, Jawa menjadi kehilangan budaya ramah dan sabar. Dulu warga Jawa di sebut orang ramah, tapi sekarang? Berpikir ulang dulu saja lah. Lampu lalu lintas masih berbinar merah dan menunjukkan waktu 5 detik menuju binar hijau saja sudah di teriaki klakson dari penunggang kuda besi untuk segera tergesa-gesa. Apakah teriakan klakson ini masih kategori ramah?
Bukan tanpa alasan kenapa penulis memberikan pandangan sinis pada mereka pengendara mobil, ini dikarenakan rata-rata pengguna mobil serakah volume jalan. Bagaimana tidak di katakan serakah, mereka menunggang kuda besi berkapasitas 7 orang namun hanya di isi 1 atau 2 orang saja.

Padatnya mobil di jalan, di barengi dengan kurang sabarnya orang-orang, tergesa-gesa karena buaian kecepatan kuda besi, sampai kasus serakah volume jalan cukuplah menjadi  sebuah syarat tercapainya sebuah kemacetan jalan.

Selain itu, efek laten kecepatan kuda besi adalah membuat manusia era kini juga kehilangan semangat disiplin dan manage waktu.

Kembali ke delman yang kita bicarakan. Karena hal itu delman tergusur dari jalan, kita mendompleng yang bersalah adalah delman karena dia lambat dan besar, tapi nyatanya kita sendirilah tokoh di balik kerusuhan dan macetnya jalan dan menjadikan kita menjadi turis di negeri sendiri saat bertemu dengan delman.

Memang semua ada baik buruknya, sehingga mari berpintar-pintar dalam bijaksana. Mobil yang kapasitasnya dapat menampung 7 orang, sepatutnya di isi oleh 7 orang. Kalau hanya 2 orang yang berkendara, kan mending pakai kendaraan yang kapasitasnya 2 orang.

Wallahu A’lam

Semoga kita kembali menjadi pribumi dengan segudang tata krama serta kesopanannya. Bukan lagi sebagai turis di negeri sendiri dengan segala keangkuhannya. 

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

Tengok Sahabat

Diberdayakan oleh Blogger.

Top Stories

About

- Copyright © Tigabelas! -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -