Archive for November 2015
Berbasis internasional apalah apalah
Malang, duapuluh tiga november 2015
Selamat petang Indonesia. Terimakasih diucapkan pada mu atas
segala nikmat yang sudah Kau titipkan pada kami, semoga teman-teman kami juga
turut dapat menimati indahnya alam-Mu ini.
Masih menjadi tema yang sangat menarik ketika penulis
mengulas masalah pendidikan, dan kebetulan tema yang ingin dibahas kali ini
masih saja membahas masalah internasionalisasi sekolah-sekolah di negeri ini.
Selain karena fenomena ini sedang marak dinegeri ini, semakin diperpanas dengan
lembaga tempat penulis study juga sedang mengadakan langkah internasionalisasi
lembaga dan diberi lebel World Class University (WCU).
Internasionalisasi pendidikan selalu menuai pro dan kontra,
banyak diantara yang mengatakan pro akan menyuarakan ini adalah sebuah langkah
baik karena pendidikan kita akan setara dengan negara-negara maju. Namun kali
ini penulis lebih ingin membahas daerah kontra, karena menurut penulis ini
cukup mengancam sendi budaya kita apabila internasionalisasi ini tidak
dibarengi dengan sadar budaya.
Satu hal yang pasti dalam internasionalisasi pendidikan
adalah akan digunakanya bahasa internasional dalam setiap komunikasi dan
buku-buku yang digunakan. Dan sadarkah kita semua, bahwa ini akan mengancam kearifan
lokal kita.
Budaya kita mengajarkan adab tata krama dalam berbicara.
Tidak hanya dijawa, bahkan diseluruh belahan negeri ini memiliki tata bicara
yang mengutamakan tata krama. Di jawa ini disebut Unggah Ungguh boso “tingkatan
berbahasa”. Kita di Indonesia memiliki budaya untuk selalu menghargai yang
lebih tua dengan memposisikan bahasa kita sesuai dengan siapa kita berbicara.
Dengan teman kita memangil “Awakmu” untuk orang yang lebih tua kita
menggunakan “Sampean” untuk guru kita menggunakan “Panjenengan”
yang semuanya berarti kamu. Bisa dibayangkan kalau di negeri kita sendiri, kita
dimintak berbahasa inggris, di lingkungan sekolah kita dimintak berbahasa
inggris, pada teman, orang yang lebih tua dan guru kita akan sama-sama
menmangil “you”. Padahal dikatakan bahwa sekolah adalah tempat
pengembangan moral, sekarang moral sebelah mana yang mengajarkan berbicara
dengan orang yang lebih tua sama saja dengan kita berbicara pada teman sejawat.
Kearifan lokal kita terancam hanya karena mengejar gelar sekolah internasional
dan menggunakan bahas internasional dilingkunagan sekolah.
Tentu tak hanya dalam komunikasi, kita akan membaca dan
meliahat video-video dengan berbahasa Inggris dan tentu lambat laun ini akan
mempengaruhi pola laku kita sehari-hari. Sungguh ini hal yang sangat berbahaya
bagi kearifan lokal kita apabila tak ada filter dalam setiap prosesnya.
Seharusnya bahasa inggris memang tetap diajarkan agar kita
bisa komunikasi dengan mereka, tetapi tidak merengut komunikasi kita
sehari-hari dan mematahkan kearifan lokal kita sendiri.
Dari teman-teman semua, yang mungkin beberapa sudah merasakan
sekolah berstandart internasional, apa muatan lokal yang diajarkan di sekolah
internasional? Apakah muatan lokal itu masih mengajarkan kita berbahasa jawa
dan bertutur laku sopan? Ataukan muatan lokal kita sudah diganti dengan
menjahit, elektro, dsb?
Untuk teman-teman yang sudah pernah bersekolah di sekolah
internasional, apakah sempat menemui segala jenis pengumuman dan papan
informasi bertuliskan dengan huruf jawa dan menggunakan bahasa jawa? Ataukah
sudah berganti dengan kata berbahasa inggris? Kalau semua sudah berganti dengan
bahasa asing, ya mari kita tunggu generasi mendatang akan tidak mengerti dengan
bahasa negerinya sendiri.
Yang terahir penulis ingin bertanya pada kita semua. Kalau di
Indonesia ada sekolah standart internasional, apakah di eropa dan amerika juga
ada sekolah standart internasional? Dan semisal ada, apakah disana mereka
belajar bahasa jawa dan Indonesia? Kalau jawabanya mereka tak belajar bahasa
jawa, kenapa kita harus ngoyo belajar bahasa mereka?
Ataukan standart internasional yang dimaksut hanya semu
belaka, karena tak ada standart pasti yang universal sedunia mengenai bagaimana
bentuk sekolah standar internasional. Dan ataukah memang kita yang hanya ingin
ikut-ikutan dengan budaya eropa dan amerika dalam belajar agar kita dibilang
sekolah internasional karena menyerupai mereka?
Wallahu A’lam
Mari memperbaiki diri dan jangan melupakan kearifan lokal
kita sendiri-sendiri. Kita boleh maju dalam segala hal, namun jangan lupakan
dasar kita, jangan sampai kita menjadi kacang yang lupa kulit, yang pintar
namun lupa cikal nenek moyang. Semoga kita lebih baik. Dan negeri ini tetap
menjadi ramah untuk masyarakatnya sendiri. Amin...
Lindungi dari perilaku manusia nan sombong (#SaveSetan)
Malang, duapuluh tiga
november 2015
Selamat sore Indonesia, senjamu
masih sangat indah dan hangat untuk dinikmati. Semoga kita semua masih dapat
mengucap syukur atas segala nikmat-Mu yang telah Kau titipkan pada kami.
Kali ini mari sama-sama berbenah
dan menggugat kembali pada apa-apa yang perlu digugat. Beberapa waktu lalu kita
sempat menggugat orang tua, kali ini mari kita menggugat manusia. Mahluk yang
satu ini memang tetap menjadi sangat asik untuk diperbincangkan. Bukan hanya
karena kemampuanya menganalisa dan berfikir, tapi tingkah lucunya yang selalu
membuat cerita disetiap sendi hidup kita.
Ada apa lagi dengan manusia? Apa
yang sudah diperbuat oleh mahluk yang satu ini? Dan kenapa judul esai ini
#SaveSetan? Ada apa dengan setan dan apa hubunganya dengan manusia?
Mari kita mulai pembahasanya...
Teman-teman semua pernah mengucap
lafat “Audzubillahi minas syaitonirojim”? nampaknya kita semua pernah
mengucapkanya, lafat yang mungkin setiap salat kita selipkan dalam permulaan
surat alfatihah. Tahu artinya? Nampaknya banyak diantara kita tahu. Yap artinya
“Aku berlindung dari godaan syaitan yang terkutuk”. Dan pernahkan
teman-teman bertanya, kenapa kita harus berlindung dari setan? Apakah setan ini
yang membawa kita ke neraka? Apakah setan ini yang selalu membuat kita berbuat
buruk?
Kalau jawabanya “iya”, bahwa
setan lah yang mengantarkan kita masuk ke neraka tuhan, lantas siapakah yang
mengantar kita masuk ke surganya tuhan?
Apakah teman-teman tahu siapa
yang membuat kita berbuat baik? Kalau belum tahu jawabanya, berarti kita sama.
Namun dalam kasus seperti ini
kita pasti dan bahkan sering kali menemui hal-hal semacam ini:
Kita mencuri => kita dihasut
setan
Kita mabuk => kita dihasut
setan
Kita zina => kita dihasut
setan
Semua kalau kita sedang berbuat
buruk => kita telah dihasut setan.
Namun saat kita melakukan hal-hal
seperti ini:
Kita salat => kita sadar harus
salat
Kita sodaqoh => kita sadar
harus membagikan harta titipan tuhan
Kita puasa => kita sadar harus
menjaga hawa nafsu
Semua kalau kita sedang berbuat
baik => itu semua karena kita sadar untuk berbuat baik.
Sadarkah teman-teman semua, kita
seringkali mengkambing hitamkan setan dan menyombongkan diri kita
sendiri-sendiri.
Saat kita lupa salat sontak kita
menyebut, “maaf Tuhan tadi sedang dihasut setan”, dan saat kita salat tepat
waktu kita berkata “saya sadar bahwa salat adalah kebutuhan, tidak hanya
perintah tuhan”.
Sadarkah teman-teman, kita
terlalu sering menyombongkan diri sendiri. Kok bisa terjadi didunia ini, saat
kita salah, yang menyebabkan itu setan. Namun saat kita berbuat baik,
semata-mata itu karena kita baik. Saat kita berbuat baik setan dimana?
Kasihan setan yang selalu di
kambing hitamkan, dan mau sampai kita kita akan membanggakan diri sendiri saat
berbuat baik.
Semisal dari teman-teman semua
ada yang berpendapat seperti ini, saat kita berbuat buruk kita sedang dihasut
setan, kalau kita berbuat baik itu karena kita sedang diingatkan tuhan, itu
semua karena tuhan.
La terus, kok rendah sekali tuhan
kita, sampai harus menghadapi setan yang notabenya itu mahluknya. Tuhan menjadi
tan semaha seperti sebelum-sebelumnya, hanya karena saat jalah itu disebabkan
setan namun saat baik tuhan sedang menjaga kita.
Dalam Al-Qur’an sempat disebutkan
“setaan adalah musuh yang nyata bagimu”. Lantas salahkah penulis kalau
menanyakan siapakah sahabat kita? Kalau kita punya musuh yang nyata, siapa
sahabat nyata kita?
Disini penulis mencoba menawarkan
sudut pandang saja. Dan jangan lagi kita hanya mengkambing hitamkan setan dan
terus-menerus menyombongkan diri.
Kalau kita berbuat baik karena
kita sadar harus berbuat baik, harusnya kalau kita berbuat jahat ya karena kita
sedang lalai, tidak gara-gara setan. Semua kembali pada kita, perbuatan baik atau
jahat ya karena kita.
Kalau kita berbuat baik karena
takdir tuhan telah menulis saat ini kita ditakdirkan berbuat baik oleh tuhan,
ya kalau kita berbuat jahat itu memang tadik tuhan berbucara demikian. Semuanya
dikembalikan lagi pada tuhan.
Kita boleh bebas memilih
pandangan itu, atau mungkin ada pandangan yang lain. Kita diduni ini dibekali
akal, berbeda dengan mahluk-mahluk yang lain, harusnya kita dapat memilih jalan
baik dan jalan buruk kita, dan jangan semata-mata menyalahkan setan, apalagi
sampai membanggakan diri sendiri.
Wallahu A’lam
Semoga kita lebih baik dan tetap
ditempatkan hai kita diatas agama yang Allah ridhoi.
Agar disebut baik
Malang, duapuluh dua november 2015
Selamat petang Indonesia, nampaknya sudah lama sekali aku tak
menyapa, mohon maaf, bukan karena tak ada tulisan yang dapat dibagi tetapi
sedang mengalami minggu yang sibuk untuk segera menyelesaikan tugas amanah
orang tua.
Pada pembuka tulisan yang sudah lama fakum ini penulis akan
mengulas tentang tingkah laku kita, sudah baikkah kita dan apakah orang-orang
disekitar kita menyukai adanya kita.
Pernahkah teman-teman semua bertanya pada diri sendiri dengan
pertanyaan bagaimana cara kita berbuat baik, dan apakah kita sudah masuk dalam
kategori orang baik?
Kalau pernah berarti kita sama, karena beberapa waktu lalu
penulis sempat sangat dipusingkan dengan pertanyaan-pertanyaa ini. Namun kalau
belum, berarti teman-teman semua nampaknya sedang memikirkan hal lain yang tak
kalah menarik dengan pertanyaan tadi.
Mari kita awali dengan sebuah quote yang disampaikan KH.
Bisri Mustafa dalam tweet jum’at nya. Beliau mengatakan “jangan biarkan masalah
pribadimu membuat masalah dalam lingkunganmu”.
Menurut penulis dan pengalaman
yang dialami, akan sangat-sangat sulit kita melakukan hal ini, jangankan kita
tidak membagi masalah, saat ini kita terjebak dalam sebuah era yang mana
semuanya harus disampaikan pada khalayak melalui media sosial. Baik itu
bahagia, musibah dan semuanya yang dilihat.
Dari quotes yang disampaikan gus mus diatas, nampaknya beliau
ingin mengajak kita dan menggiring kita ke arah berbuat baik pada sesama. Membuat
semua orang bahagia dekat dengan kita, sehingga apa-apa yang menjadi masalah
pribadi diri baiknya disimpan sendiri dan tidak dibagikan dengan yang lain. Sebaiknya
kita membagi senyum pada sesama agar lingkungan juga tersenyum dari pada
membagi sebuah masalah bersama dan membuat irama lingkungan kita menjadi
nelangsa.
Melanjutkan quote diatas dan masih menjawab pertanyaan
penulis perihal menjadi orang baik. Penulis sempat berfikir apakah kita bisa
mengkategorikan bentuk-bentuk kebaikan. Sempat bertanya pada beberapa teman dan
menyimpulkan boleh-boleh saja. Beberapa kategori yang dapat dilakukan agar kia
bisa baik dapat berupa selalu bertutur baik pada sesama, menjaga hati sesama,
memberikan manfaat sebanyak-banyaknya pada orang lain, dll (masih sangat banyak
kategori lain).
Namun dari pembolehan mengkategorikan berbuat baik tadi,
nampaknya ada sebuah syarat yang diberikan. Syarat yang diberikan adalah, kita
berbuat baik jangan untuk menjadi baik, tapi tulus baik. Maksutnya kita berbuat
baik jangan diarahkan pada hal-hal mintak apresiasi dan berembel-embel ingin
disebut baik, berbuat baik saja. Karena kita berada didunia yang semuanya serba
relatif. Sebaik apapun kategori baik kita, akan selalu ada orang yang menghujat
dan tidak suka kita, karena hanya mangga yang bagus yang akan dilempari.
Kita berbuat baik dengan niat tulus ingin menebar kedamaian
diantara kita. Adanya musuh, orang yang menghina, benci pada kita itu sudah
jadi hal yang lumrah didunia ini.
Wallahu A’lam
Semoga kita semua dalat saling berbuat baik dan menebar
kebaikan pada sesama. Mari sama-sama belajar berbuat baik dengan kategori
masing-masing. Mari sama-sama belajar, karena penulis juga sadari masih sangat
sering membuat orang sakit hati karena tutur kata yang sering bernada tinggi. Mohon
maaf semuanya. Mari membuat dunia kita lebih nyaman dengan tebaran senyum
setiap har.
Tak lupa penulis juga ucapkan terimakasih pada
sahabat-sahabat semeja kopi dan GUSDURian yang telah membagi pengalaman dan
kebaikan yang selama ini sangat sering menginspirasi.
Pendidikan standart internasional rasa selokan pondok
Malang, lima november
2015
Selamat pagi menjelang siang
Indonesia. Tanah yang sampai saat ini dan seterusnya akan kucinta. Terimakasih telah
membagi cerita lagi pagi ini dan yang berkesempatan penulis tulis. Dan nampaknya
kepala ini tetap terfokus pada isu-isu pendidikan negeri kita. Yang entah
kenapa menurut penulis masih tak kunjung baik, meskipun banyak lembaga dan
instansi pendidikan yang sudah melebeli dirinya dengan kelas standart internasional,
namun nyatanya kualitas yang disuguhkan masih biasa-biasa saja.
Tak ayal ini semua berawal dari
cerita teman-teman semeja kopi yang akhir-akhir ini kembali bercerita tentang
tindakan beberapa tenaga pengajar yang kurang mengenakkan.
Mohon maaf sebelumnya, karena
tulisan ini hanya melihat dengan satu sudut pandang.
Berbicara masalah sekolah
standart intenasional, dalam prosesnya kita tak boleh hanya bercermin pada
peningkatan kualitas sarana dan prasarana saja. Namun harus pula memberikan
fokus pada kualitas dan cara mengajar. Ini adalah salah satu yang masih menjadi
dilema, karena pembangunan pendidikan masih terfokus pada perbaikan sarana
prasarana. Bukannya hal itu menjadi sesuatu yang tidak penting, namun proses
itu seharusnya berjalan seirama dengan peningkatan kualitas pendidikan.
Kualitas pendidikan bukanlah
sesuatu yang simpel sebenarnya. Tak cukup hanya dengan memberikan tanaga
pendidik dengan kualitas lulusan minimal S2 atau lulusan dari universitas
terkemuka serta ditunjang dengan lulusan yang sesuai dengan bidang ilmu yang
diajarkan. Tetapi yang tak kalah penting, pendidikan yang mengutamakan
pengembangan karakter dan dengan muatan-muatan lokal.
Pengembangan karakter dan muatan
lokal bukanya tidak diperhatikan oleh kementrian pendidikan, namun dalam
praktiknya memang masing sangat minim diterapkan.
Sebenarnya budaya negeri ini sudah
menemukan metode-metode pendidikan yang tak melupakan pendidikan karakter dan
muatan lokal. Mari kita ingat-ingat proses pendidikan kita sebelum kolonial
menancapkan tonggak pendidikan formal di tanah nusantara. Negeri ini telah
mengenal beberapa jenis pendidikan seperti pondok pesantren dan pedepokan.
Dalam dunia pondok pesantern dan
padepokan, nilai yang jelas diajarkan adalah nilai kejujuran dan berbuat baik
pada sesama. Nilai yang menjadi ciri
khas masyarakat negeri ini dan melahirkan karakter ramah pada masyarakat negeri
ini. Namun agaknya nilai-nilai dasar seperti ini teleh dilupakan dalam
formalitas pendidikan saat ini.
Siswa diajarkan untuk berbuat
curang secara tidak langsung saat ujian dan tak menghargai sesama. Kita dipaksa
mengikuti standart pendidikan guru dan kurang bisa mengekspor kemampuan kita. Ada
beberapa penekanan dan ancaman semisal tidak lulus akan mengulang dan
sebagainya, hal semacam inilah yang memaksa beberapa siswa menghalalkan proses
mencontek. Sebelumnya mari kita tenggok proses belajar agar kita tidak terlalu
membela kaum pelajar. Dalam proses belajar, tugas dari seorang tenaga pengajar
adalah mengembangkan pemahaman pelajar agar dapat mengetahui sesuatu yang
sebelumnya belum diketahui, dalam proses belajar pula tak boleh dilupakan
proses penanaman karakter berbuat baik. Dalam proses belajar mengajar, pengajar
juga harus tuntas memberikan pemahaman, tidak hanya sukur mengajar dan
menyelesaikan materi. Mengajari untuk memahami dan tak hanya menghafal. Dilakukan
dengan keadaan ceria dan membebaskan fikiran pelajar.
Bisa dibayangkan bersama, semisal
kelas berjalan dengan ceria dan pelajar merasa nyaman dengan guru. Sehingga praktik-praktik
mencontek saat ujian akan berkurang dengan sendirinya. Karena para siswa akan
paham, bahwa sebenarnya ujian yang terpenting adalah kejujuran. Dalam ujian
bukan hasil ahir yang menjadi tujuan utama, tatapi mengetahui seberapa jauh
kita memahami materi yang diberikan. Dalam ujian sebenarnya yang harus was-was
bukanlah siswa, was-was karena tak bisa mengerjakan, tetapi yang seharusnya
was-was adalah guru, karena hasil ujian akan menunjukan seberapa berhasil
seorang tenaga pengajar mengembangkan pengetahuan seorang murid.
Selain nilai kejujuran, nilai
berbuat baik juga jadi perhatian di dunia pondok pesantren dan padepokan. Namun
kejadian yang terjadi pada salah satu instansi pendidikan bertitel negeri dan
melebeli didinya dengan instansi yang sedang bergerak menjadi WCU terjadi
praktik-praktik yang jauh dari mengajari berbuat baik.
Beberapa waktu lalu, di salah satu
kelas instasni yang menuju WCU tersebut, ada beberapa siswa yang sengaja diusir
oleh pengajar dengan alasan memiliki masalah pribadi. Dan ada pula dikelas yang
lain, tenaga pengajar menceritakan aib orang yang tidak disukainya. Apakah ini
yang disebut pengembangan karakter baik? Apakah ini yang disebut instansi
dengan gelar WCU? Apakah ini yang diharapkan dari kementrian pendidikan? Apakah
ini pendidikan Indonesia?
Mengusir siswa dari kelas bukan
karena dia nakal dikelas tetapi karena masalah pribadi diluar kelas, apakah ini
yang disebut berbuat baik. Membawa masalah pribadi ke kelas dan menyeretnya
menjadi masalah yang besar. Apakah ini yang disebut karakter berbuat baik? Sementara
salah satu ciri orang baik adalah menyelesaikan masalah pribadi ya secara
pribadi dan tak malah membesar-besarkan masalah.
Selanjutnya, tenaga pengajar
menceritakan aib orang dikelas. Apakah itu berbuat baik, padahal orang baik
adalah yang menjaga lisan dan tak menyebar aib orang. Ada yang mengatakan lebih
baik khusnudzan (prasangka baik) meskipun itu salah, dari pada suudzan (prasangka
buruk) meskipun itu benar.
Dari sana memang sengaja penulis
membuat esai ini dengan judul pendidikan standart internasional rasa selokan
pondok, yang memang berarti dalam sisi pengembangan nilai, banyak instansi di
negeri ini yang berstandart internasional tapi pendidikan nilainya lebih rendah
dari kelas pondok pesantren.
Semoga kita semua bisa belajar
dari peristiwa ini, dan menjadi refleksi untuk kita semua dalam perjalanan menjadi
orang baik.
Waallahu a’lam
Terimakasih untuk semua
teman-teman semeja kopi yang telah banyak bercerita dan menginspirasi. Semoga kita
tetap dalam niat untuk terus menyebar kebaikan.
dan mohon maaf apabila ada yang kurang dalam memberikan contoh, semoga kita semua tetap bisa berdiskusi.
Kimia ku, Kimia anda, Kimia kita
Malang, tiga november
2015
Selamat sore Indonesia, sore ini
cukup sejuk, tak seperti sore-sore kemarin yang cukup terik, terdengar kabar
pula kalau di kota batu sudah turun hujan. Semoga membawa barokah dan
kebahagiaan untuk umat manusia.
Kali ini mari kita mengulas dan
mengaplikasikan salah satu idiom yang cukup populer di kalangan penikmat
karya-karya gus dur. Islamku islam anda islam kita. Itu adalah idiom yang
sebenarnya, namun semisal gus dur masih hidup pun, beliau tak akan marah kala
kita memplesetkan kata dalam idiom tersebut seperti judul esai ini. Yang penting
kita bisa memahami dan menarik suatu hikmah darinya.
Idiom islamku islam anda dan
islam kita menurut penulis adalah salah satu idiom yang sangat ramah dan tak
membuat orang-orang tersinggung. Karena pengunaan katanya yang tak hanya
memperhatikan islam milik ku, tapi juga islam mu dan pertemuan jenis-jenis
islam itu menjadi sebuah islam kita. Sama hal nya ketika kita gunakan idiom ini
dengan kata lain, semisal kopi ku kopi anda dan kopi kita. Yang memadukan
takaran pahit kopi milikku dan pahit kopimu serta akan terwujud kopi kita yang
sama-sama bisa kita nikmati yang disebut kopi kita. Hasil akhir dari idiom itu
berada di kata kita yang menunjukan sudah terinternalisasinya sebuah ego milik
ku dan milikmu menjadi ego bersama yang dibungkus kata kita.
Cukup mengejutkan ketika penulis
sempat ikut sebuah diskusi yang diadakan gusdurian malang dalam mengupas esensi
buku itu, ternyata makna asli dari idiom gus dur itu tak seperti yang kita
duga. Yang hanya sebatas terinternalisasi ego. Tetapi ada makna yang sangat
penting dibalik itu.
Kali ini mari kita bungkus makna
idiom tersebut dalam balutan ilmu kimia.
Ilmu kimia berkembang pesat pada
saat masa jabir ibnu hayyan, yang mana beliau sendiri dijuluki dengan istilah
bapak kimia moderen. Pada masa sebelum jabir ibnu hayyan, ilmu kimia disebut
ilmu hitam dan sihir, karena para ilmuan terdahulu mengunakan sebuah pendekatan
yang kurang ilmiah seperti ingin membuat emas dari air kencing hanya karena
kedua zat ini memiliki warna yang sama. Namun ditanggan jabir ibnu hayyan,
kimia menjadi ilmu yang sagat penting dan bermanfaat untuk hidup manusia. Salah
satu karya paling fenomenal dari jabbir ibnu hayyan adalah destilasi. Sebuah alat
yang digunakan dua atau lebih zat yang memiliki titik didih berbeda.
Uraian diatas adalah sebuah kimia
ku, kimia yang aku percayai, yang aku terima dan telah aku pikirkan
kebenaranya. Aku menerima itu tidak dari sebuah cekoan senior yang tak aku
fikirkan kebenaranya. Dan aku menerima hanya menerima.
Kimia adalah sebuah ilmu yang sulit,
dan apabila aku masuk ke jurusan kimia, aku dianggap pintar oleh sekitarku. Atau
mungkin keluargaku semua berilmu formal kimia, sehingga aku sebagai anak harus
belajar ilmu kimia juga, agar tetap menjaga tradisi keluarga. Atau aku belajar
kimia hanya karena aku ingin bekerja di pabrik dan berposisi sebagai analis di
laboratorium, karena kerjanya santai dan mudah namun akan mendapat gaji yang
tinggi. Atau aku di jurusan kimia hanya ingin mengejar gelar sarjana sains dan
tak memperdulikan khasanah keilmuan kimia apa yang dapat aku manfaatkan untuk
memperbaiki hidup dan mendekatkan diri pada tuhan.
Itu adalah kimia anda. Kimia yang
kita terima karena lingkunagn kita kimia, aku berada dikimia tak perlu berfikir
terlalu jauh masalah khasanah keilmuan, yang terpenting aku bisa bekerja, dan
dianggap pintar dan bergaji tinggi. Aku juga tak pernah berpikir kenapa aku
memilih kimia, karena aku hanya ikut-ikutan trand.
Ilmu sains sebenarnya adalah ilmu
yang tak mutlak, ilmu sains adalah ilmu yang sangat luwes dan terus berkembang
dari masa kemasa, apabila destilasi sampai saat ini adalah sebuah metode yang
masih dianggap baik dalam memisahkan zat-zat kimia, belum tentu metode ini akan
tetap bisa digunakan di masa depan. Sebagai seorang kimiawan kita harus
benar-benar memikirkan apakah kelemahan dan kelebihan metode destilasi,
sehingga kita bisa memodifikasi metode tersebut agar lebih baik dalam performa
memisahkan zat kimia, atau bahkan kita bisa membuat metode lain yang dapat
mengantikan destilasi.
Itu adalah kimia kita, kimia yang
mampu meneropong masa depan. Kimia yang menjadi trand seter, bukan hanya
follower. Kimia yang selalu bergerak ke situasi lebih baik dari sebelumnya, dan
mempertimbankan efektifitas sebuah ilmu kimia. Kimia yang tak ragu mengkritik
sebuah metode dan pengetahuan dahulu yang diangap sudah tak relevan dan
menciptakan sebuah metode dan penemuan-penemuan baru.
Dari contoh-contoh itu, kita
mencoba memahami idiom milik gus dur tersebut yang kita aplikasikan dalam
kimia. Yang apabila ditulis makna singkatnya, kurang lebih seperti ini:
Ku = sebuah kebenaran yang aku
percayai dan telah aku fikirkan bahwa pilihan dan pengetahuanku ini benar.
Anda = sebuah kegiatan yang hanya
ikut-ikutan, dan tak pernah memikirkan apa maksut dan kebenaran suatu
pengetahuan. Dan tak pernah terbesit bahwa kita perlu meneropong masa depan.
Kita = kegiatan meneropong masa
depan, dan mempersiapkan apa-apa saja yang sekiranya sudah harus diganti karena
telah tidak relevan dengan zaman, sehingga ilmu terus berkembang dan
bermunculan suatu yang baru dan bermanfaat.
Sehingga apabila kita telah
memahami makna sebenarnya dari idiom tersebut, gus dur mengharapkan kita
berfikir dalam posisi aku dan diaplikasikan dalam kita. Jangan sampai kita
terjebak di situasi anda, dan terlilit perkembangan zaman. Karena semua yang
ada didunia ini akan terus berkembang. Kita bertugas merelevankan pengetahuan
kita dengan zaman kita.
Pun dengan semuanya. Baik Islam kita,
kimia kita, kopi kita, sekolah kita, gus dur kita dan semuanya harus kita
elaborasi secara maksimal dalam teropong yang dibungkus kita.
Wallahu a’lam
Semoga kita bisa lebih baik, dan
terus belajar dari senior dan meneruskan perjuangaya. Kita berjuang didunia
kita, tak hanya berkutat di dunia anda, dan diawali dengan pemikiran di
duniaku.
Kapan kita bisa adil?
Malang, dua november
2015
Selamat malam Indonesia. Sejuk sekali
malam ini, sunguh nyaman dan semoga membuat semua orang bahagia dan bersyukur
bisa hidup di negeri ini. Sudah cukup lama tak meramaikan dunia blog, bukan
karena tak ada keresahan atau tak ada bahan, hanya saja sedang cukup disibukkan
dengan pertemuan-pertemuan dengan orang yang luar biasa. Semoga semua yang
telah membagi ilmu diberkahi dan manfaat.
Kali ini penulis akan membagi
keresahan kembali, dan semoga teman-teman semua tak bosan mendengar keresahan
penulis. Hehe
Hal yang ingin penulis sampaikan
sebenarnya sangat lumrah, dan mungkin semua dari kita sempat mengalami.
Pernahkah teman-teman semua
terdampar disuatu keadaan dimana dalam situasi tersebut ada beberapa orang yang
memang mahir di suatu bidang dan yang lain masih tahap belajar -anggap saja
dalam bidang bermusik- .
Secara tak sengaja atau sengaja
kita akan sering sekali menemukan keadaan dimana akan ada toleransi pada
siapapun yang telah mahir meskipun dia salah dalam memainkan alat musik. Sementara
untuk teman kita yang masih belajar, ketika salah akan di hujat dengan contoh kata-kata
seperti ini “ehh, yang serius dong! Dari dulu selalu salah, kapan bisanya?”
Penulis teringat suatu quotes
dari novelis dan esaiin besar Indonesia “pramoedya”, dia mengatakan kita harus
berlaku adil sejak dalam pikiran.
Mungkin yang dimaksut pramoedya
dalam quotesnya tersebut diaplikasikan dalam kasus-kasus seperti ini. Karena bagaimanapun
orang yang telah pandai masih perlu kritikan agar dia terus berkembang dan yang
masih belajar jangan semata-mata kita hujat agar api semangatnya tak padam.
Secara mendasar, toleransi itu
memang penting, namun apabila toleransi hanya kita sandarkan pada mereka yang
telah pandai? Apakah itu adil.
Kritik juga tak selalu buruk. Kritik
yang baik akan menghasilkan perkembangan pada siapa yang dikenai kritik, namun
ketika kritik itu selalu bersarang pada orang-orang yang masih belajar,
sementara kita sendiri belum tuntas memahami orang yang masih belajar ini,
mungkin saja dia tak cocok di kritik tapi lebih suka untuk diberitahu secara
halus dan langsung “tanpa sindira”, apakah kritik jadi hal yang baik.
Berlaku adil semata-mata tak
memperlakukan sama pada semua hal, tapi adil adalah yang tahu porsi. Untuk tau
porsi kita harus memahami dan objektif. Seorang anak berusia 5 tahun diberikan
pisau yang sama tajam dengan orang yang telah berusia 17 tahun untuk mengupas
buah ditanganya sendiri-sendiri, apakah itu yang dinamakan adil? Nampaknya kita
semua bersepakat jawabanya bukan.
Sehingga memang sebenarnya kita
sudah mengerti kalau kita harus berlaku adil, namun secara tak sengaja dalam
alam bawah sadar, kita sering kali kita sudah tak adil memperlakukan orang. Secara
tak sengaja kita selalu mangut-mangut pada semua ucapan orang yang dikenal
pandai tanpa ada kritik barangkali ada yang salah dan selalu mendebat dan
mencoba membenarkan pendapat kita pada setiap argumen orang yang mengkin lebih
muda atau kita tahu dia masih belajar hal itu.
Mari sama-sama saling
mengingatkan. Dan apresiasi itu penting sahabat. Untuk teman-teman yang masih
belajar perlu kita apresiasi semagatnya agar dia lebih semangat. dan untuk yang
sudah pandai, bentuk apresiasi kita bisa lewat kritikan yang membangun, karena
ilmu itu selalu berkembang, tak ada ilmu hanya stastis diam. Bahkan sekelas
ilmu alam yang katanya ilmu pasti itu, sebenarnya masih ada sangat banyak yang
perlu kita kritisi bersama, untuk terus berkembang dan relevan sengan zaman.
Kalau kita terus menelusuri
permasalahan seperti ini, mendiang pramoedya agaknya ingin mengajak kita untuk
menjauhi lupang-lupang fanatisme. Karena apabila kita sudah tak adil meskipun
dalam fikiran, yang selalu memaklumi dan tak mau mengkritik orang-orang pintar
itu, dan sedikit-sedikit menghujat orang yang belajar tanpa sekalipun
mendukungnya, kita akan sangan mudah terjerumus pada lubang fanatisme.
Bukankan hadratus syaih hasyim
asari juga telah mengingatkan kita bahwa “jangan jerumuskan dirimu ke jurang
fanatisme” sehingga memang banyak orang-orang besar yang menaruh perhatian pada
jebakan fanatis ini.
Mungkin selama ini kita juga
masih menjadi orang yang selalu membela siapa saja yang memiliki ilmu lebih
tanpa pernah mengkritik kalau ada laku salah darinya?
Atau mungkin kita yang selalu
menghujat teman-teman kita yang masih belajar?
Sedari sekarang marilah kita
belajar untuk berperilaku baik pada sesama, karena menjadi teman yang baik pun
tak cukup hanya mengetahui kebaikanya, tetapi juga harus faham sampai sisi
terburuknya namun kita dapat membantu memperbaikinya.
Wallahu a’lam
Semoga kita lebih baik dan
menjadi orang-orang yang adil pada sesama.