Archive for 2017
Mencium Tuhan di Perayaan Natal
[Dokumen dari @Hai_digna] |
Beberapa minggu lalu, salah satu
organisasi kemahasiswaan untuk mahasiswa program S-2 Ilmu Kimia UGM mengadakan
perayaan natal 2017. Cukup atau bahkan terkesan dipaksakan, perayaan dilakukan
jauh sebelum tanggal 25 Desember dikarenakan terbentur sistem bahwa semua
program kerja harus selesai sebelum musyawarah besar. Namun setelah mengikuti
kegiatan, bukan suatu penyesalan yang hadir, tapi rasa gembira dan melegakan
jiwa.
Banyak pengalaman yang menarik
setelah mengikuti perayaan natal saat itu, dari dituduh pindah agama karena
hadir ke acara perayaan natal selepas solat asyar dan di tengah-tengah kegiatan
harus izin untuk solat magrib, hikmah yang dapat diambil dari khutbah yang
disampaikan pendeta sampai gemetarnya tubuh saat mengikuti kegiatan.
Siapa sangka, di acara perayaan
agama orang lain, aku malah menemukan sebiah hikmah serta makna-makna kerumitan
dunia dan bermuara pada kelegaan yang luar biasa. Apakah akan terkategori
sesuatu yang buruk saat kita mengenal cinta Allah bukan di forum pengajian atau
majelis keagamaan yang dilakukan di masjid, tapi malah di perayaan natal. Untuk
orang yang tak begitu pahan tentang perbandingan agama, aku hanya bisa bilang
“Ah entahlah, yang penting aku lega dan bahagia”
Aku sudah lupa, bagaimana
asal-muasal aku menerima informasi ini, tapi hasil informasi itu masih aku
ingat sampai sekarang. Menjawab bertanyaan “Apakah ada cinta karena Allah?
Kalau ada, bagaimana bentuknya atau bagaimana melakukannya?”
Cinta adalah suatu rasa di mana
saat kita melakukannya akan memberikan hal-hal yang baik pada siapa saja yang
kita cintai. Dee lestari menyebutkan bahwa cinta adalah hidup. Seperti yang aku
sebutkan di muka, cinta adalah memberikan hidup pada siapa pun yang kita
cintai.
Lalu saat cinta disandingkan
dengan teologi, disambungkan dengan pertanyaan
yang tadi diajukan, bagaimana cinta karena Allah itu? Banyak makna dan
spekulasi yang dikeluarkan. Paling mainstream, orang-orang menyebutkan
bahwa cinta karena Allah adalah saat cinta itu membuat kita semakin rajin
beribadah. Namun sepertinya banyak yang menolak dari argumen ini.
Berbeda dengan jawaban sementara
di atas, hal yang aku dapatkan dari forum perayaan natal menyebutkan bahwa
cinta persepektif teologi yang membahas cinta karena allah bukanlah sesuatu
yang perlu dicari. Karena saat kita cinta, sudah pasti karena Allah, kalau
tidak karena Allah, itu bukan cinta!
Penjelasannya seperti ini, saat
cinta itu karena Allah kita tak akan mengunakan sifat-sifat makhluk dalam
memandang cinta. Apa itu sifat makhluk? Ya bisa kita tengok diri kita sendiri,
kita butuh makan, minum, bernafas, melihat, istirahat, dan seterusnya, itulah
sifat makhluk. Kita ambil contoh melihatnya makhluk. Kita menyukai seseorang
karena parasnya, kita lihat kemolekan tubuhnya, kesempurnaan wajahnya, lalu
saat penglihatan kita hilang alias sifat makhluk kita untuk melihat hilang,
apakah kita masih menyukainya? Saat kita kendur dalam sayang padanya, di situ
terindikasi kita tidak sedang cinta. Atau semisal orang yang kita sebut cantik
tadi diangkat kecantikannya, sehingga apa yang dapat kita lihat bukan cantik
lagi, apakah kita masih menyukainya? Saat kasih bisa terus berjalan, barulah
terindikasi bahwa yang selama ini dilakukan adalah cinta, bukan menafsuinya.
Setiap orang yang hadir dihadapan
kita adalah utusan Tuhan, karena utusan Tuhan, kita harus memperlakukannya
dengan baik, karena saat kita jahat pada utusan Tuhan, secara tidak langsung,
kita juga jahat pada Tuhan. Sehingga berperilaku baik pada siapa saja yang Tuhan
kirimkan pada kita adalah salah satu makna dan bentuk cinta karena Tuhan yang
lain. Saat ini semua tak terjadi dan membuat kasih-kasih yang kita sebarkan
meredub, nampaknya memang selama ini kita tidak sedang mencintai, tapi hanya
sekedar menafsuinya.
---
Satu hal lain yang sayang kalau
tak dibagikan adalah tentang pengalaman tubuh yang bergetar saat mengikuti
acara perayaan natal.
Untuk orang yang memiliki
kebiasaan menikmati musik dengan menaruh perhatian pada nada terlebih dulu dan
menelisik lirik kemudian, sering memberikan pengalaman yang sangat menyenangkan
ketika bertemu nada yang bagus dan masuk ke hati. Seperti cerita aku bertemu
barasuara, efek rumah kaca, muse dan masih banyak musisi lain.
Saat perayaan natal, sudah wajar
dilantunkan lagu-lagu pujian. Irama dan nada yang dimainkan sangat
menyenangkan. Aku tak tahu apa yang terjadi dengan telingaku, biasanya aku
cukup selektif mengidentifikasi dan menjatuhkan pilihan bahwa musik ini
tergolong asik atau biasa-biasa saja, tapi saat acara itu, aku mengidentifikasi
semua lagu yang dinyayikan sangat menarik. Dan puncaknya saat lampu dimatikan
dan lilin-lilin dinyalakan, tanpa sengaja tubuhku bergetar gak karuan. Hati
bergetar dan sedikit demi sedikit air mata menetes, ku coba untuk menahan
tetesan air mata itu, agar terlihat biasa saja. Tapi gagal juga usahaku,
beberapa kali air mata tetap menetes.
Sejujurnya aku tak tahu apa yang
sedang dinyanyikan saat itu, kerena sungguh tek pernah sekalipun aku
memperhatiakn teks-teks lirik. Sangat menyenagkan. Begitu syahdu dan
mengetarkan jiwa. Memang bukan kali pertama aku bergetar saat mendengar lagu,
setidaknya ada dua nada yang pasti mengetarkan diriku saat lagu itu
dilantunkan, pertama lagu Indonesia Raya dan kedua Nada Marhabanan saat dzibaan.
Dan sepertinya ini jadi yang ketiga.
Belakangan aku baru tahu lagu apa
yang mengeratkan diriku setelah mengkonfirmasi pada teman senagkatan, bahwa
yang dinyayikan saat itu adalah lagu Holy Night (malam kudus).
Apakah kalian pernah memiliki
pengalaman seperti yang aku rasakan?
Wallahu A’lam
Selamat natal, aku mencintai kalian semua
Jogja, 10
Desember 2017
Definisi: Sebuah proses konstruktif atau destruktif
[Sumber: teknonetwork.com] |
Entah mengapa aku lebih senang menyebut proses kita selama hidup ini dengan “mengungkap teka-teki Tuhan”. Aku tak ingat ini bermula dari omongan orang, hasil perenungan selama di kamar mandi atau membaca, tak ingat pasti, karena sedikitnya hal berfaedah yang aku lakukan dalam hidup. Yang aku percayai adalah Tuhan telah membuat seluruh alam semesta ini dengan sangat sempurna, dari bunga yang mekar di musim semi sampai perihal kecelakaan dan musibah. Semuanya adalah sesuatu yang sangat sempurna, kemudian kita mulai merangkai dan menerka-nerka maksud Tuhan di balik setiap kejadian yang kita alami.
Setidaknya itu garis besar kita
dalam hidup yang aku percayai dan dengan berjalannya waktu, pengamatan-pengamatan itu
terpecah menjadi sebuah studi-studi kecil. Ada yang memilih fokus pada
fenomena-fenomena alam, ada pula yang menaruh perhatian pada interaksi antar
manusia.
Menurutku, sejak manusia pertama
ada, entah itu versi adam atau versi manusia yang jalan dan bentuk tubuhnya seperti
kera. Saat batu dilempar ke atas pasti dia akan jatuh lagi ke bawah. Sehingga
fenomena itu bukanlah hal baru dan tak membuat orang yang melihat peristiwa itu
terperangga, dan membuat manusia bertanya-tanya apa penyebab batu itu jatuh.
kemudian ada sebuah momentum dimana seorang Newton menyebut penyebab peristiwa
itu dipengaruhi oleh adanya gaya grafitasi dan kemudian mendefinisikanlah apa
itu grafitasi.
Di suatu hari yang lain, hidup
rukun antar umat manusia sudah terjadi di Tanah jawa. Konon kabarnya saat Jawa
masih diduduki kerajaan maha besar Majapahit, kehidupan antara pemeluk iman
satu dan yang lain dapat hidup rukun. Tak ada pemeluk iman ini menghujat dan
menjelek-jelekkan yang lain. Semua berjalan baik-baik saja dan selaras bersama
harmoni yang ada. Kemudian barulah orang mendefinisikan bahwa interaksi yang
dibangun Majapahit adalah sebuah tindakan toleransi.
Definisi-definisi ini muncul
seiring dengan hasil pengamatan manusia pada setiap objek, sehingga muncul
istilah-istilah baru, seperti kata HoAX, Kepo, Swafoto dan lain-lain. Kata-kata
yang barusan saya sebutkan nampaknya belum ada saat era 90an dan kegiatan
mendefinikan ini akan selalu berjalan sesuai dengan berkembangnya pola hidup.
Selanjutnya, dari proses-proses
kita mendefinisikan intisari hidup ini. Apakah ini adalah sesuatu yang
mengarahkan kita ke jalan yang lebih baik atau malah sebaliknya.
---
Manusia mengekspresikan isi hati
dengan berbagai cara, ada yang disampaikan lewat tutur kata, tulisan-tulisan
sampai interaksi pada sesama yang lain. Apa yang ada di dalam hati, mulai dari
senang, acuh sampai benci dapat tercitra melalui perilaku manusia. Saat orang-orang
merasa benci, tentu gerak-gerik dan gestur tubuh akan berbeda dengan orang yang
sedang jatuh cinta. Apa yang dikeluarkan dari mulutnya tentu pula berbeda. Tiap
orang juga memiliki ciri khas masing-masing dalam mengungkapkan itu, ada yang
memilih jalan kata-kata, tindakan bahkan hanya memendam.
Gerak-gerik yang dikeluarkan
manusia untuk merespon kondisi lingkunagan kemudian mulai diamati dan dipelajari.
Para pengamat ini mulai menaruh perhatian pada pola-pola kehidupan manusia,
mengklasifikasikan dan menyusunnya menjadi sebuah cabang studi baru.
Beragam cara manusia
mengekspesikan isi hati, seperti yang diungkapan di atas, salah satunya adalah
dengan cara tutur dan tulis. Dalam ekspesi itu memiliki suatu kekhasan dengan
ekspresi manusia dalam menghadapi situasi yang biasa-biasa saja. Ekspresi tutur
tadi ditulis dengan bahasa yang indah, lugas, tajam dan dengan makna yang
dalam. Kemudian para pengamat mulai menyebut bahwa ekpresi-ekspesi tadi adalah syair dan puisi.
Puisi-puisi mulai terdefinisi,
puisi adalah kata-kata yang berbeda dengan obrolan setiap hari. Definisi-definisi
mulai muncul bahwa yang disebut puisi ini harus begini dan begitu, harus ada
unsur ini dan itu. Tersusunlah definisi, cara sampai guna puisi dan syair.
Kemudian apa yang telah didefinisikan dipelajari dan membuat satu lingkar studi
yang baru.
---
Di hari yang lain, saat api masih
dapat membakar daun, saat air masih dapat membeku, saat udara masih segar untuk
dihirup. Ada beberapa orang yang bertanya, apa yang sebenarnya terjadi dengan
fenomena-fenomena ini, kenapa bisa terjadi seperti ini dan siapa yang berperan
disana. Seperti pada soal puisi tadi, muncul pula para mengamat yang akan
mencari dan mempolakan setiap fenomena yang terjadi. Pengamat ini mulai mencoba
menjawab alasan kenapa api bisa membakar daun, kenapa air bisa membeku, kenapa
udara terasa segar dan fenomena-fenomena alam yang lain.
Salah satu pertanyaan yang muncul
adalah, apa sebenarnya penyusun dari materi yang diamati ini. Diawali dengan
hipotesa sederhana yang muncul beribu tahun yang lalu “saat materi itu dipotong
sampai ke ukuran paling kecil dia akan berhenti pada satu buah atom, atom
adalah materi terkecil dan tak dapat dibelah lagi, dan atom-atom yang sama akan
membentuk benda yang memiliki sifat yang sama”. Dan definisi untuk materi tadi
pun akan terus berkembang.
Kemudian orang mulai
mempelajarinya, mulai mengenal apa itu karbon, besi, emas, oksigen dan lain
sebagainya. Pemahaman pada materi terkecil pun terus bergerak, dari pemahaman
lama yang menyebutnya atom seperti bola sampai yang terbaru sebagai mekanika
gelombang. Definisi-definisi mulai muncul dan membuat sebuah lingkar studi yang
lain lagi.
Klasifikasi tertaut dengan
klasifikasi yang lain. Definisi bertaut dengan definisi yang lain. Muncul definisi
baru akan muncul pula lingkar studi baru. Bahkan cara berfikir pun terdefinisi
dan membuat lingkar studi yang lain, meskipun pada mulanya cara berfikir selalu
digunakan dalam melihat berbagai fenomena yang terjadi. Sampai yang terbaru,
banyak pula orang yang hanya sibuk menghafal definisi tanpa tau bahkan lupa
pada asal mula muncul definisi ini.
Definisi-definisi yang terhafal
dan tercerabut dari akar munculnya definisi adalah keniscayaan. Kemudian setelah
muncul pengamat, sekarang bermunculah penghafal, meskipun tetap mengakui diri
sebagai pengamat. Dan para penghafal ini kemudian memanfaatkan apa yang dihafal
tadi menjadi sebuah produk-produk baru, dan yang pasti sudah tercerabut dari
akar definisi. Dan dari fenomena-fenomena ini muncul sebuah definisi baru “para
penghafal ini pengetahuannya hanya seperficial”. Dan kegiatan ini terus
berkembang. Pasti!.
Setelah puisi, atom, grafitasi
dan toleransi. Setelah ini kita hanya tinggal menunggu akan bermunculan
definisi-definisi baru kemudian munculnya lingkar studi baru.
Lalu, adakah tindakan yang muncul
diawali oleh definisi, yang sama sekali berbeda dengan opini yang ada di tulisan
ini, yang mengatakan bahwa definisi selalu muncul setelah tindakan? Perlu waktu
lain untuk mendiskusikan hal ini.
Wallahu A’lam
Sleman, 5 November 2017
Saat Tabi’innya Gus Dur Meneladani
“Walaupun Gus
Dur selalu merayakan hari ulang tahunnya pada tanggal 4 Agustus, namun
tampaknya teman-teman dan keluarganya yang menghadiri pesta perayaan hari ulang
tahunnya di Istana Bogor pada hari Jum’at 4 Agustus 2000 tak sadar bahwa
sebenarnya hari lahir Gus Dur bukanlah tanggal itu. Sebagaimana juga dengan
banyak aspek dalam hidupnya dan juga pribadinya, ada banyak hal yang tidak
seperti apa yang terlihat. Gus Dur memang dilahirkan pada hari keempat bulan
kedelapan. Akan tetapi perlu diketahui bahwa tanggal itu adalah menurut
kalender Islam, yakni bahwa Gus Dur dilahirkan pada bulan Sya’ban, bulan
kedelapan dalam penanggalan Islam. Sebenarnya, tanggal 4 Sya’ban 1940 adalah
tanggal 7 September. Gus Dur dilahirkan di Denanyar, dekat kota Jombang, Jawa
Timur, di rumah pesantren milik kakek dari pihak ibunya, Kiai Bisri Syansuri.”
Ini adalah paragraf pertama dari
buku The Authorized Biography of ABDURRAHMAN WAHID karya Greg Barton. Kok
saat saya membaca paragraf pertama buku ini sudah tergambar bahwa sosok Gus Dur
adalah seseorang yang tidak kedonyan. Berbeda sekali dengan kita, yang
mana kita sering kali bukan hanya terpaut tapi masuk dan tak mau lepas dari
perihal keduniawian. Saat ini status sosial amatlah dianggap penting, jumlah follower
dan likers di media sosial menjadi barometer kita dianggap sebagai
manusia atau tidak. Dan menyoal ulang tahun, kita sangat berharap bahwa “semua
orang tau tanggal ulang tahun kita dan semuanya mengirim doa, tak penting doa
dalam gelap, dikirim saja doa itu melalui pesan, ucapan atau perayaan berupa
kejutan padaku. Itu lebih penting dan ngena dari pada doa dalam gelap”.
Berbeda sekali dengan Gus Dur.
Saya tidak pernah berkenalan
dengan Gus Dur, karena sejak saya lahir sudah berada dalam lembaga Gus Dur. Gus
Dur bagi saya sama halnya seperti Islam dan NU. Dalam tahapan hidup saya, tak
pernah saya memilih untuk beribadah dan mengenal Tuhan melalui cara dan jalan
apa. Karena sejak lahir saya ‘telah’ di dalam Islam, NU dan Gus Dur. Sejak
kecil saya sudah melaksanakan ritual solat, puasa dan zakat. Soal syahadat
jangan ditanya, itu sudah masuk materi saat masih TK. Solatku juga mengunakan usolli,
kunut dan ada wirid setelahnya, persis seperti yang diucapkan Habib Syech dalam
setiap acara solawatan “solat usolli, kunut dan wirid adalah ibadahnya
NU”. Pun demikian dengan Gus Dur, saya tidak pernah melalui tahapan kenalan,
karena seluruh isi rumah saya mengidolakannya. Bahkan Bapak pernah bilang
“kalau dulu Gus Dur mengizinkan warga NU dari Jawa Timur dan Jawa Tengah
menyerbu Jakarta saat Gus Dur dimakzulkan, saya akan ke Jakarta” ucap Bapak
saat saya beranjak remaja. Cukup bisa diakui kan, kalau saya sudah terlahir di
lingkunagn pendukung Gus Dur.
Mungkin jalan hidup saya kurang
menarik menurut sebagian teman-teman, karena saya ber-Islam, ber-NU dan ber-Gus
Dur secara diturunkan bukan memilih. Saya pun bersepakat dengan anda-anda semua
yang mengangap hidup saya tak menarik. Setidaknya alasan utama kenapa saya
menganggap hidup saya kurang menarik adalah terlalu homogennya lingkungan masa
kecil saya. Saya hampir tak pernah mengenal orang dengan KTP selain Islam
sebelum bergabung dengan Jaringan GUSDURian Malang –ini juga alasan kenapa saya
bergabung dengan GUSDURian- bahkan saya jarang berinteraksi dengan orang selain
NU, meskipun saya mengenal orang-orang selain NU, tapi saya tidak pernah punya
urusan yang membuat saya harus berinteraksi. Dan untuk Gus Dur, desaku cukup minim
nafas diskusi, meskipun saya tahu bahwa di desa ada perkumpulan pendukung Amin
Rais, Megawati dan Akbar Tanjung, tapi para simpatisan ini tak pernah semeja
untuk duduk berdiskusi bersama.
Meminjam peristilahan yang
disandarkan pada Rasul terkait istilah sahabat, tabi’in dan tabiit tabiin. Saya
tidak masuk dalam golongan sahabat Gus Dur, alias yang pernah bertemu langsung
dengan beliau. Saya adalah tabi’innya Gus Dur, karena saya hanya bertemu
sabahat-sahabat beliau. Setidaknya sampai umurku yang sudah masuk 23 ini,
pernah mendengar kisah Gus Dur lansung dari putri sulung beliau Alissa Wahid
dan sedikit membaca buku-buku tentang beliau yang ditulis para sahabat.
[Dokumen Penulis; Perayaan ulang tahun Gus Dur ke-75 di Tebuireng yang berbarengan dengan muktamar NU ke-33] |
Kemudian, saya bertemu dengan
pemikiran Gus Dur itu seperti saya bertemu dengan komunis. Untuk anak yang
lahir di periode sebelum ‘98 hampir pasti menghirup ajaran bahwa komunis adalah
sama dengan atheis, bahwa pemikiran ini masuk ke tubuh tanpa di pilah –tepatnya
tak bisa dipilah, sehingga harus dihirup- seperti okigen yang tak pernah kita
memilih akan menghirup oksigen hasil fotosintesis dari pohon apa. Seperti itulah
pemikiran Gus Dur yang diam-diam masuk dan menyusupi rongga-rongga otakku. Dia
masuk dan memberitahu bahwa Gus Dur adalah seorang yang humanis, pemberani dan
pembela wong tertindas. Namun perbedaan antara pemikiran Gus Dur dan
komunis adalah saat saya tumbuh dan sedikit-sedikit baca buku mulai
berkesimpunan bahwa ‘O... komunis itu seperti ini to, ternyata diartikan sempit
hanya sebagai atheis itu karena ini to dan untuk kepentingan ini to’, berbeda
dengan pemikiran Gus Dur yang masuk ke otakku saat kecil, Gus Dur tak berbeda
setelah saya baca-baca dan mendengar cerita-cerita tentang beliau. Gus Dur
tetap seorang masterpiece joke dan berkepribadian simpel sekaligus
kompleks.
Ini juga yang dikisahkan bapak
Quraish Shihab saat peringatan 1000 hari wafatnya Gus Dur, beliau menjelaskan
bahwa Gus Dur adalah orang yang simpel dalam satu sisi dan pada waktu yang sama
adalah orang yang sangat rumit. Gus Dur juga orang yang sangat realistis
sekaligus orang yang percaya supra natural, dan seterusnya dan seterusnya.
Seperti itu cara Pak Quraish
mengenang Gus Dur, dan kita tahu banyak sekali cara untuk mengenang dan
meneladani beliau. Banyak kata serta perilaku beliau yang tiba-tiba sangat
relevan saat ini meskipun dulu saat beliau masih ada sering disebut
kontroversial.
Gus Dur sudah lebih dekat dengan Tuhan sejak Desember 2009. Tanggal 4 bulan 8 ini banyak santri-santri beliau
yang akan merayakan hari ulang tahun Gus Dur yang ke 77. Tapi mengenang dan
hanya meratapi Gus Dur dengan sendu sedih, menurutku, bukanlah ciri murid-murid
Gus Dur. Ciri murid-murid Gus Dur adalah siapa yang mempersiapkan dirinya untuk
menjadi pemimpin bangsa, seorang humanis dan pembela hak manusia yang tertindas
di bumi Indonesia ini selanjutnya.
Dan pada akhirnya. Gus, kapan pun
engkau dilahirkan. Selamat ulang tahun Gus. Terimakasih telah menjadi guru di Negeri
ini. Negeri ini berterimakasih atas segala pikiran sampai tindakanmu. Maafkan
kami yang lamban memahami apa maksudmu dulu, sehingga cacian yang muncul dari
mulut kami. Tugas kami saat ini adalah melanjutkan dan terus melestarikan
pikiran serta perjuanganmu. Pinjami kami keberanian dan semangatmu agar kami
tetap kuat menghadapi negeri yang sudah banyak melahirkan mafia ini gus. Gus
kami rindu. Selamat ulang tahun.
Lamongan,
Agustus 2017
Apakah Maaf Bisa Di-shortcut?
Sudah menjadi rahasia umum bahwa
perkembangan teknologi membuat yang jauh menjadi dekat, apapun yang ingin kita
tahu dari isi dunia ini dapat kita intip dari layar gawai yang lebarnya kurang lebih
5 inci. Tapi semakin jauh kita memandang lewat layar gawai, kita semakin jarang
berinteraksi langsung dengan tetangga kita. Dan ini juga terjadi dengan tradisi
maaf memaafkan saat idul fitri kali ini.
[Sumber: simomot.com] |
Tulisan ini sengaja ditulis jauh
hari setelah hari raya idul fitri, saat kunjung-mengunjungi sudah jarang
ditemui hari-hari ini. Saat ini sudah memasuki tengah bulan syawal yang artinya
idul fitri sudah terlewat 2 minggu lebih. Lalu apakah hati kita masih lapang
untuk meminta maaf dan saling memaafkan? Sebelum berbicara soal maaf memaafkan,
saya akan ingat-ingat apa yang sudah terjadi saat malam idul fitri kemarin.
Dengan perkembangan teknologi dari
tahun ketahun, semakin beragam pula cara orang menyampaikan maaf. Saat dahulu
kala, orang berbondong-bondong pulang kampung atau biasa kita sebut mudik agar
bisa merayakan idul fitri di kampung halaman, salah satu alasan pulang kampung
tentu ingin menyampaikan maaf secara langsung pada orang tua, kerabat dan
sahabat di rumah. Meskipun akhir-akhir ini tradisi mudik memiliki makna lain,
karena perihal maaf bisa dikelola dengan sangat instan tanpa harus susah payah pulang kampung. Lalu kita memasuki era pesan singkat atau SMS, kemudian dengan
cepat berubah dengan masuknya internet sehingga pesan-pesan dapat kita sampaikan lebih cepat lewat pesan BBM, WA atau aplikasi chating sejenis, dan akhir-akhir
ini dengan semakin beredarnya grup kumpul di dunia maya membuat pesan hanya
disampaikan sekali dan bisa diketahui seluruh warga net yang tergabung dalam
grup yang sama.
Yang menarik dan telah saya amati
secara pribadi, kata-kata maaf beredar tidak ketika tanggal 1 syawal siang hari setelah solat idul
fitri, meskipun sebagian kecil tetap ada yang disampaikan saat selepas solat id,
tetapi pesan maaf itu ramai dikirimkan saat malam idul fitri, yang artinya
dilakukan saat masjid dan surau beramai-ramai takbiran –Harusnya. Saya mencatat
hampir seluruh grup yang saya ikuti, semuanya berbondong-bondong meramaikan
laman perbincangan grup dengan adu kata maaf paling mutakhir. Saya sedang tidak
membicarakan benar salah, tetapi secara pribadi saya sangat menunggu ucapan ‘yok
takbiran’ pada malam itu, meskipun memang hasilnya nihil. Tak ayal saya sendiri
menghayal, apa sebenarnya motif orang meminta maaf pada malam idul fitri
melalui pesan singkat dan tak satupun megajak atau menyertakan seruan untuk takbiran. Apakah keutamaan
takbiran telah bergeser ke meminta maaf lewat pesan instan?. Sekali lagi saya
sedang tidak membicarakan benar salah, hanya sedang membicarakan mana yang
seharusnya kita lakukan, menyebarkan pesan maaf atau takbiran saat malam idul
fitri.
Selanjutnya, saat siang hari
selepas solat id. Apakah kita telah sungkem kepada kedua orang tua kita,
keluarga-keluarga kita, tetangga, guru dan sahabat kita? Atau kita masih sibuk
dengan pesan-pesan maaf? Mulai termaklumi saat pesan-pesan itu disampaikan pada
kerabat yang memang tak mungkin kita capai dengan tatap muka langsung. Tetapi kembali
lagi, apakah kita juga tetap mengabaikan manusia disamping kita dengan
menjatuhkan pandangan hanya pada layar gawai atau kita lebih sering bertatap
dengan gawai dari pada orang disekitar?
Diantara kita tentu ada yang
resah, bertanya atau sudah mendapat jawaban terkait pertanyaan ‘memangnya tak
baik kita berbondong-bonong segera minta maaf lewat pesan singkat, kan meminta
maaf itu dianjurkan?’ memang sangat tepat, meminta maaf sangat dianjurkan, sehingga
harapannya saat kita telah selesai digodok selama sebulan ramadhan, kita
menjadi manusia yang bertaqwa, yang luas maafnya, yang baik budi pekertinya,
dan halus tutur katanya. Sehingga memang perlu diseimbankan antara prioritas
kita bertatap muka dan meminta maaf pada manusia di sebelah kita dengan manusia
di seberang pulau sana yang sedang kita hubungi lewat gawai.
Saya mengutip petuah bapak Qurais
Sihab (Channel YouTube ‘Semua Murid Semua Guru dalam episode: Kenapa Saat Idul Fitri, Kita Bermaaf-maafan?’), bahwa di atas maaf-memaafkan adalah berbuat
baik, sehingga semoga kita semua benar-benar bisa berbuat baik. Dan semangat
kirim pesan maaf itu tidak hanya menjadi pemanis perayaan idul fitri era
digital ini.
Dengan ini pula ‘Kulo
Ngaturaken Sedoyo Kelepatan lan Nyuwun Pangapuro-Saya Meghantar Segala
Kesalahan dan Mohon Dimaafkan’
Wallahu A’lam
Lamongan,
Sepuluh Juli 2017
Lebih dari Terlewat. Ini Semua Dihilangkan dari Buku Sejarah!
[Salah satu ilustrasi pada buku 'Yang Kelewat Di Buku Sejarah'] |
Lamongan,
Duapuluh Juni 2017
Apakah diantara kita pernah ada
yang menganggap bahwa PKI, Komunis dan yang dikroni-kronikan oleh rezim
Soeharto dengannya adalah sinonim dari atheis? Saya yakin ada!
Kita dengan mudah mengeneralisir
komunis menjadi atheis adalah sebuah tindakan kejahatan. Tindakan kejahatan
yang telah melukai akal dan nurani. Kalau teman-teman semua ingin tahu lebih
tentang kejahatan ini, selain buku yang akan saya ceritakan pada tulisan ini,
patut juga bahkan penting untuk membaca buku karya Wijaya Herlambang yang
diterbitkan marjin kiri yang berjudul kejahatan budaya pasca 65.
Kenapa menurut saya ini penting?
Agar kita tahu diri. Sampai saat ini, masih banyak orang yang menganggap bahwa
Komunis adalah atheis. PKI adalah musuh negara yang halal darahnya. Sehingga pustaka
tentang ini perlu dikembangkan, dilestarikan serta diamalkan, salah satunya
buku yang ingin saya ceritakan pada kesempatan kali ini.
---
[Awal mula bertemu buku 'Yang Kelewat Di Buku Sejarah'] |
Oke, mari kita mulai. Buku yang
ingin aku ceritakan kali ini berjudul “Yang Kelewat Di Buku Sejarah”. Ketidak sengajaan
bertemu dengan buku ini di twitter membuatku melirik, kepo dan unduh elektronik
book ini. Apalagi setelah membaca judulnya yang mengusik ketenangan batin. Memang
secara pribadi, sejarah yang hilang dari negeri ini bukan hal yang benar-benar
baru untukku, tapi tambahan informasi serta refrash tentang hal-hal yang
dihilangan dari denyut nadi negeri ini perlu dilakukan agar kita dapat terus
ingat dan memanusiakan manusia.
[Halaman depan buku 'Yang Kelewat Di Buku Sejarah'] |
Proses unduh selesai dan mulailah
memandangi sampul depan buku, secara cepat kita akan tahu bahwa buku ini sasaran
utamanya adalah kalangan pelajar. Bagaimana tim penyusun dari Perkumpulan
Pamflet Generasi Jakarta dengan sengaja membuat buku tentang sejarah yang
selama ini terkesan membosankan menjadi sangat menarik dan penuh ilustrasi. Dan
dengan ketebalan hanya sekitar 150 halaman semakin membuat jelas bahwa buku ini
memang buku pembuka mata kita pada apa-apa yang ingin diketahui dari hal-hal
yang sudah dihilangkan dari halaman-halaman buku sejarah kita.
Buku ini mengemas 6 pola yang
dihilangkan dari buku sejarah kita, disebut pola karena pada kenyataanya akan
ada banyak sekali contoh yang ada dilapangan tiap masing-masing pola, bahkan
satu pola akan memiliki lebih dari 3 contoh dalam kejaian nyata di lapangan. Nama
pola-pola juga diisyaratkan dengan kata-kata sarkastik yang lucu. Dan dari
kesemua pola yang diungkap di buku ini adalah tindak kekerasan yang terjadi
selama bertahun-tahun di negeri kita tercinta ini.
Pola yang disebutkan adalah pola
kekerasan yang terjadi di negeri ini. Oleh siapa kekerasan itu dilakukan,
kepada siapa dan karena apa? Pertanyaan awal ini akan segera muncul saat kita
hendak membaca pola-pola kekerasan yang akan diceritakan.
Buku ini juga sangat dianjurkan
dibaca oleh mereka yang sudah pernah membaca buku-buku seputar kekerasan yang
pernah terjadi di negeri ini. Karena ada banyak fakta bahkan rekam kesaksian
korban yang barangkali tidak kita temui dibuku-buku lain.
Enam pola yang ada dibuku “Yang
Kelewat Di Buku Sejarah” antara lain; Diam-diam menghanyatkan, Orang bilang
tanah kita tanah surga, Beda itu (tidak) biasa, Banyak yang cinta damai tapi
perang semakin ramai, dipaksa berencana dan buntu. Keenam pola merekam kejadian
dari tahun 65 sampai tahun-tahun dekat ini.
Pola pertama, Diam-diam
menghanyutkan berkisah tentang kisah singkat dari apa yang terjadi pada rentan
tahun 65-66 dan efek setelah kejadian yang terjadi di tahun-tahun itu. Pola kedua,
orang bilang tanah kita tanah surga berkisah tentang kerakusan penguasa masa
itu dengan kolega investornya dari luar negeri yang ingin mengeksploitasi alam
Indonesia, yang mana kegiatan ini bukan hanya merusak alam tetapi juga merusak
sendi kemanusiaan kita. Pola ketiga, beda itu (tidak) biasa berkisah tentang
kekerasan yang terjadi saat resim Soeharto yang ingin menyeragamkan semua warga
Indonesia, banyak tindak kekerasan yang menyertainya dan saat ada yang berbeda
disebut makar pada rezim. Pola keempat, banyak yang cinta damai tapi perang
semakin ramai berkisah tentang konflik horizontal yang terjadi di negeri ini,
yang mana banyak diantara konflik itu disengaja adanya oleh rezim yang
berkuasa. Pola kelima, dipaksa berencana mengisahkan program keluarga berencana
(KB) yang dalam praktiknya banyak tindak kekerasan yang membarengi dan
merugikan perempuan karena program-program yang tak jelas. Dan yang terakhir
adalah buntu, pola yang terakhir ini mengisahkan tentang rezim yang dengan
sewenang-wenang merubah hukum untuk melenggangkan kepentingan pemerintah saat
itu.
Buku ini lebih dari baik karena
selain menjelaskan pola-pola kekerasan dengan ringkas, padat dan jelas, banyak
juga saran-saran bacaan, tontonan dan reverensi lain untuk memperluas
pengetahuan kita tentang pola-pola yang sudah dijelaskan. Misalnya saja pada
pola pertama yang menjelaskan tragedi genosida 65, buku itu memberi saran pada
pembaca untuk membaca juga buku karangan John Roosa dan video jagal, yang
menjadi asik adalah kita juga diberitahu bagaimana cara kita mendapatkan buku-buku
rujukan dan cara menonton film-film yang dimaksud dengan jelas dan praktis.
Dari kelebihan buku yang seabrek
ini, ada satu pertanyaan dari pribadiku pada penyusun buku ini, yakni “kenapa
buku ini hanya mengulas dari tahun 65 sampai sekarang, apakah sejarah tentang
sebelum 65 sudah jelas adanya untuk kita semua?” atau memang buku ini disengaja
untuk menyerang dosa rezim Soeharto, sehingga yang diulas hanya kisah yang
hilang dari tahun 65 sampai saat ini.
Tapi dari kelebihan dan
kekurangan buku ini, saya yakin buku ini amat penting untuk dibaca. Beberapa fakta
menarik dari buku ini banyak aku temui seperti fakta bahwa “Pada era Soekarno,
anak muda dipangil dengan sebutan ‘pemuda’ dan dikenal sangat aktif dalam
politik. Soeharto yang ingin anak muda tidak ikut campur dengan politik,
menentang penggunaan istilah pemuda yang kental dengan nuansa politik. Untuk mendepolitisasi
anak muda, maka ia mengunakan istilah
lain yang lebih netral, yaitu ‘remaja’”.
Demikian sedikit ulasanku tentang
buku “Yang Kelewat Di Buku Sejarah” Mari berbenah dan memandang segala sesuatu
dengan bijak!
Untu link baca atau unduh buku
ini adalah berikut 'Yang Kelewat Di Buku Sejarah'
Wallahu A’lam
Kaki Mana Yang Terlebih Dahulu Melangkah
[Sumber: ridous.blogspot.co.id] |
Lamongan,
Enambelas Juni 2017
Beberapa saat lalu, tepatnya
tanggal 1 Juni kita memperingati hari lahir pancasila. Pada hari itu laman
sosial media menjadi senada temanya, (hampir) semua orang yang terikat batin denganku
di sosial media mengenakan tema “saya Indonesia! Saya Pancasila!”. Tapi ada
juga yang kontra peringatan hari lahir pancasila, ini bukan berarti tidak
setuju pancasila, diantara yang kontra mengenakan jargon “Pancasila di hati”,
“Pancasila bukan hanya 1 Juni”, “1 Juni hanya pencitraan cinta pancasila” dan
lain sebagainya.
Ketika saya membaca
komentar-komentar tentang pancasila yang berjajar di sosial media pada hari
itu, sejujurnya saya tidak kaget dan ini hanya soal biasa saja. Saya kira semua
hal di dunia ini memiliki caranya masing-masing dalam dipahami. Dari pancasila,
kitab suci sampai menilai pasangan, kita pasti punya cara masing-masing dalam
memahami hal-hal itu.
Taruhlah contoh cara kita dalam
memahami perempuan yang kita cintai. Di dunia ini pasti ada yang memulai
mengagumi karena parasnya, lakunya, bahkan sampai bodi-nya.
Dalam menyikapi hal ini, biasanya
saya mengunakan dua istilah besar untuk memisahkan cara orang memahami sesuatu.
Kalau bukan karena isi ya karena kulit, kalau bukan soal tekstual ya tentang
kontekstual, kalau bukan soal essensi ya soal nge-pop. Secara garis
besar, kita mudah sekali terperosok pada dua sisi ini, antara kanan dan kiri.
Kita kembali soal pancasila, saya
rasa orang-orang yang setuju dengan jargon “Saya Indonesia! Saya Pancasila!”
adalah mereka yang senang hatinya ketika hari ulang tahunnya diperingati alias
orang yang nge-pop. Sementara untuk mereka yang mengatakan “Pancasila itu
di hati, bukan hanya 1 Juni” adalah mereka yang tidak suka hari ulang tahunnya
diperingati alias orang yang mengutamakan essensi.
Lalu apakah dua cara pandang ini
salah dan ada yang lebih baik? Tentu tidak bukan.
Dalam berbagai kesempatan, dalam
segala peringatan, dalam segala momen, pasti ada orang-orang yang suka seremonial
atau suka peringatan meriah serta hingar bingar dan ada yang tidak suka
ramai-ramai seremonial.
Dalam cipta karya oleh seniman
pun demikian. Telah banyak contoh yang dapat kita pelajari. Coba teman-teman
tengok karya efek rumah kaca yang berjudul di udara, bukankah ini karya nge-pop,
karya yang di buat atas tragedi meninggalnya Munir, sang pejuang hak asasi
manusia yang teracun arsen di pesawat saat perjalanan dari Indonesia ke Belanda.
Dan coba teman-teman tengok karya Navicula yang berjudul mafia hukum, bukankah
itu contoh karya essensial yang dengan jelas mengkritik para koruptor dan
keserakahannya.
Apakah efek rumah kaca dan
navicula tergolong band yang tidak memiliki idealisme? Tidak bukan. Apakah mereka
yang ngomongnya selalu soal essensi akan terus lebih baik dari yang hanya ngomong
soal nge-pop dan yang ngomong soal nge-pop selalu lebih up to
date (baca: Aptudet) dari orang-orang yang suka essensial? Tentu tidak juga
bukan.
Sejak dulu keserakahan di dunia
ini sudah ada, praktik korupsi juga ada, orang merampas hak orang lain juga ada.
Orang jahat masuk bui juga bukan hal baru, orang jahat sogok penegak hukum biar
gak masuk bui, Apalagi!. Jadi terserah dong kita mau pakai pendekatan
apa dalam menyikapi sesuatu.
Memang saat ini kita hidup di era
banjir informasi. Informasi yang kita dapat datang dari segala sudut. Taruh saja
dalam kasus Koh Ahok masuk bui beberapa saat yang lalu, info tersebut tidak hanya
hadir dalam layar kaca dan media cetak saja. Tetapi dunia berita online yang kecepatan
informasinya luar biasa itu sampai media sosial beruma meme merekam
setiap update (Baca: Apdet) kejadian diseluruh pelosok dunia. Jadi saat
kita masuk dalam berputaran bincang soal Ahok masuk bui bukan berarti kita melakukan hal yang memalukan, dan saat kita membahas penegak hukum yang tunduk pada kepentingan
politik tanpa penunggu momen ada orang baik dicuranggi juga bukan hal yang
mutlak benar kan?.
Perlu disadari, bahwa kita juga
tak bisa menyalahkan banjir berita terbaru yang masuk di hidup kita, karena
salah satu sarat berita adalah baru, sehingga pintar-pintar saja memilih apa
yang ingin kita baca dan yang kita izinkan masuk dalam sanubari kita.
Mau dari mana kita memahami hidup
ini? Itu terserah teman-teman bukan!.
Yang menjadi masalah adalah saat
ujaran kebencian lahir dari perbedaan kita memahami sesuatu. Saat yang suka
essensi menyalah-nyalahkan mereka yang nge-pop dan yang nge-pop
mulai mencacati mereka yang suka essensi, ini baru tindakan yang tak dapat
dibenarkan. Mari berbahagia dalam perbedaan pola pikir.
Wallahu A’lam
[Sumber: ruangislam.com] |
Benci Zakir Naik Itu Boomerang
[Foto: voa-islam.com | Saat Zakir Naik sampai di bandara internasional Soekarno Hatta (30/3)] |
Malang, Sembilan April 2017
Indonesia sebagai negara bhinneka tunggal ika terus-menerus
mengalami ujian dalam pendewasaan diri. Dari waktu-kewaktu negeri ini selalu
banyak ditimpa konflik horizontal, dari yang mempersengketakan suku, ras,
budaya sampai agama. Untuk cikal bakal sengketa yang disebut paling akhir, saat
ini menjadi tema yang sangat asyik untuk digoreng. Agama seakan-akan menjadi
jurang pemisah antara satu komunitas masyarakat dengan yang lain.
Tentu teman-teman semua masih ingat sederetan aksi yang
dilakukan sekelompok manusia beridentitas Islam dari bulan November lalu, dari
aksi 411, 212, 112 dan 313, kesemuanya memberikan efek bahwa dalam tubuh Islam
terbelah minimal menjadi dua kelompok besar, yakni “mereka yang mau membela
Agama, Kitab dan Tuhannya” dan “mereka yang mengakui bahwa Tuhan tidak perlu
dibela”. Sampai-sampai ada sebuah kata-kata embongan yang sangat menohok
nurani “kalau tak seagama dimusuhi, sudah se-agama tapi beda cara memahami
agama juga dimusuhi, sama cara memahami tapi beda madzhab juga dimusuhi, sudah
se-madzhab tapi beda ormas juga dimusuhi, sudah se-ormas tapi beda kiai juga
dimusuhi, sudah se-kiai tapi beda masjid juga dimusuhi. Dan siapapun yang
berbeda pandangan dimusuhi”. Sungguh mengelisahkan hal ini terjadi di negara
yang mempercayai kebhinekaan dalam setiap sendi kehidupannya.
Dan akhir-akhir ini nampaknya umat Islam Indonesia kembali
terpisah karena kedatanggan tokoh viral YouTube; Zakir Naik. Kabar kedatanggan
Naik langsung membuat sosial media berbincang hangat, apalagi saat beredarnya
foto Naik bersama bapak wakil presiden Indonesia Jusuf Kalla. Terang saja foto
itu menjadi obrolan seru dan memperjelas pemisah antara mereka yang
mendamba-dambakan kehadiran Naik dan yang menolak Naik.
Bagi mereka yang mendambakan kehadiran Naik, Dia dianggap
sebagai tokoh penting untuk berceramah di Indonesia, apalagi dengan sederetan
prestasi dan penghargaan yang sudah diraih. Menurut para pendukung Naik, dia
dianggap sebagai tokoh yang kharismatik dan sukses dalam berceramah, parameternya
adalah keberhasilan Naik mengalahkan musuh debat lintas agamanya serta
keberhasilan mengislamkan musuh debat, dan beberapa peserta ceramah. Selain
itu, penghargaan yang diraih Naik seperti “The King Faisal International Award”
dari Raja Salman pada 2015, “Tokoh Internasional Ma’al Hijrah” dari pemerintah
Malaysia pada 2013, “Islamic Personality of the year Award” dari pemerintah
Dubai pada 2013 serta penghargaan dari pemerintah Gambia pada 2014 semakin
membuat Naik dianggap mencadi tokoh yang sangat penting dalam dunia Islam dan
mengislamkan orang.
Di sisi lain, Zakir Naik dianggap sebagai tokoh yang amat
kontrofersial, dapat dilihat dari berbagai isi ceramahnya. Prof. Mun’im Sirri
menjelaskan dalam beberapa kolom yang diunggah oleh laman geotimes.co.id, Beliau
menerangkan bahwa ceramah Naik kerap kali menyerang keyakinan dan kitab suci
agama lain sembari menyulut permusuhan dan mengobarkan radikalisme. Dalam
ceramah-ceramah yang lain, Naik juga paling gemar membandingkan Al-Qur’an
dengan kitab suci agama lain dan menghubungkan Al-Qur’an dengan sains. Naik
menganggap bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang amat rasional sementara tidak
dijumpai pada kitab suci agama lain. Naik juga selalu memperlihatkan
superioritas Islam. Dan pandangan-pandangan naik tentang agama lain menurut
Prof. Mun’im Sirri masih superficial atau amat sangat dangkal. Beberapa
catatan diberikan oleh Prof. Mun’im Sirri terkait kedangkalan isi ceramah Naik,
antara lain saat Naik mengungkapkan bahwa “bagaimana mungkin manusia (Yesus) pada
waktu yang bersamaan disebut Tuhan? Naik juga mempertanyakan saat ada konsep
tiga adalah satu dan satu adalah tiga dalam Kristen masih disebut monoteis”
terlihat sekali bahwa Naik sangat dangkal dalam memahami agama Kristen, padahal
berdebatan soal ini sudah dibahas panjang-lebar dalam tradisi Kristen, dan
pemecahan masalah dalam konsep trinitas yang hanya mengunakan pandangan
matematis yang sangat sederhana semakin memperjelas kedangkalan pemahamannya
pada tradisi kristen.
Respon terhadap kedatangan Naik disambut dengan kekaguman dan
keheranan, ini terjadi karena latar belakang pendidikan Naik. Bagi mereka yang
mendambakan Naik, dia dianggap sebagai
tokoh inspirasional, karena dengan latar belakang sebagai dokter bedah,
dia bisa berbicara tentang Islam dengan sangat baik bahkan mampu mengislamkan banyak
orang. Sementara bagi mereka yang enggan atas kedatangan Naik, dia adalah tokoh
yang hanya menyulut permusuhan antar umat beragama. Isi ceramah Naik yang hanya
berpuatar-putar dalam membandingkan agama dengan muatan dan pembahasan yang sangat
dangkal. Banyak kalangan memahami ini sebagai imbas ketidak tuntasan Naik dalam
pendidikan formal keislaman. Seseorang yang tidak pernah mengenyam pendidikan
Islam seperti madrasah dan pondok pesantren serta studi tentang perbandingan
agama mulai membincang dan menyalahkan agama orang, tentu dapat ditebak
bagaimana isi ceramahnya!. Selain itu naik juga banyak disebut memiliki hubungan
yang dekat dengan kelompok Islam radikal; ISIS. Bukti kedekatan antara Naik dan
tindak radiakal pernah terbukti pada salah satu aksi terorisme yang menewaskan
29 orang di Dhaka India. Dalam aksi penyerangan tersebut, salah satu pelaku
terbukti adalah fans Naik, meskipun tuduhan ini masih sangat dangkal.
---
Penyudutan Naik yang keluar dari isi ceramah bisa menjadi
boomerang. Apalagi hal yang digunakan sebagai tombak untuk menyerang Naik
adalah seputar latar belakang pendidikan dan dugaan-dugaan keterlibatannya
dengan aksi terror. Ini disebabkan karena pemaketan “formal pendidikan” dan
“pekerjaan” selalu seirama adalah hal baru.
Dalam tradisi Islam Indonesia, orang yang melakukan kegiatan
seperti Naik biasa disebut kiai atau ulama’. Saat kita berbincang soal kiai dan
ulama’, pemberangusan peran dalam masyarakat dari orang yang dapat mengerti
banyak bidang ilmu menjadi penuntun agama saja adalah buah pikir kaum kolonial.
Apalagi saat kita menenggok kata ulama’ dalam bahasa Arab yang merupakan jama’
dari kata alim yang memiliki arti dalam bahasa Indonesia adalah orang pintar. Sehingga
ulama’ bukanlah orang yang hanya cakap dalam bidang agama saja.
Saat kita Tarik benang sejarah, pada era awal Islam sampai
perkembangannya ke berbagai wilayah, banyak kita temui alim ulama’ yang tak
hanya cakap soal agama. Sebagai contoh, saat kita sebut Imam Al-Ghazali dan
karyanya, pasti kita akan langsung teringat pada kitab Ihya’ Ulumuddin. Ihya
ulumuddin adalah kitab syariat, di dalamnya ada bagian yang menjelaskan seluk-beluk
sholat, dan saat berbincang soal solat, dalam pembahasannya ada tahapan
menentukan waktu solat dan arah kiblat, sehingga sangat tidak mungkin kalau Imam
Al-Ghazali hanya faham ilmu fiqih, pasti beliau juga memahami ilmu astronomi
dan matematika. Contoh lain adalah Jabiir ibn Al-hayan, selain ulama’ beliau
malah lebih dikenal sebagai bapak kimia moderen oleh eropa. Dan saat kita
menyebut ulama’ Indonesia dari KH Ahmad Dahlan, Nur Cholis Majid, Abdurrahman
Wahid sampai Sabrang, kita akan menemui bahwa deretan alim ulama’ ini
tidak hanya fasih soal beribadatan.
Sehingga dalam membahas Naik, mari kita cukup pada gagasan
pemikirannya saja. Kita ingin melegitimasi kebenaran dengan menyodorkan tawaran
bahwa gagasan Naik keliru karena dia tidak belajar agama Islam secara formal
baik di madrasah atau pesantren hanya akan menjadi boomerang. Dan untuk
membahas Naik dan keterlibatannya dengan aksi teroris, lebih baik itu dibahas
dalam tema tulisan lain yang berlatar pada hasil investigasi yang kredibel dan
falit, agar kita jauh dari unsur hanya mengira-ngira dan mencocokkan.
Dan pada akhirnya, Indonesia adalah negara yang sangat nyaman
untuk berdiskusi dan saling lempar gagasan. Sehingga pelarangan-pelarangan pada
munculnya gagasan di Indonesia hanya akan membuat kita menelan ludah sendiri. Jadi
saat naik boleh membincang soal isi kitab suci agama lain, boleh dong kitab
suci umat islam dibahas bukan hanya oleh muslim sendiri?
Wallahu A’lam