- Back to Home »
- Embun »
- Saat Tabi’innya Gus Dur Meneladani
Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id
Rabu, 09 Agustus 2017
“Walaupun Gus
Dur selalu merayakan hari ulang tahunnya pada tanggal 4 Agustus, namun
tampaknya teman-teman dan keluarganya yang menghadiri pesta perayaan hari ulang
tahunnya di Istana Bogor pada hari Jum’at 4 Agustus 2000 tak sadar bahwa
sebenarnya hari lahir Gus Dur bukanlah tanggal itu. Sebagaimana juga dengan
banyak aspek dalam hidupnya dan juga pribadinya, ada banyak hal yang tidak
seperti apa yang terlihat. Gus Dur memang dilahirkan pada hari keempat bulan
kedelapan. Akan tetapi perlu diketahui bahwa tanggal itu adalah menurut
kalender Islam, yakni bahwa Gus Dur dilahirkan pada bulan Sya’ban, bulan
kedelapan dalam penanggalan Islam. Sebenarnya, tanggal 4 Sya’ban 1940 adalah
tanggal 7 September. Gus Dur dilahirkan di Denanyar, dekat kota Jombang, Jawa
Timur, di rumah pesantren milik kakek dari pihak ibunya, Kiai Bisri Syansuri.”
Ini adalah paragraf pertama dari
buku The Authorized Biography of ABDURRAHMAN WAHID karya Greg Barton. Kok
saat saya membaca paragraf pertama buku ini sudah tergambar bahwa sosok Gus Dur
adalah seseorang yang tidak kedonyan. Berbeda sekali dengan kita, yang
mana kita sering kali bukan hanya terpaut tapi masuk dan tak mau lepas dari
perihal keduniawian. Saat ini status sosial amatlah dianggap penting, jumlah follower
dan likers di media sosial menjadi barometer kita dianggap sebagai
manusia atau tidak. Dan menyoal ulang tahun, kita sangat berharap bahwa “semua
orang tau tanggal ulang tahun kita dan semuanya mengirim doa, tak penting doa
dalam gelap, dikirim saja doa itu melalui pesan, ucapan atau perayaan berupa
kejutan padaku. Itu lebih penting dan ngena dari pada doa dalam gelap”.
Berbeda sekali dengan Gus Dur.
Saya tidak pernah berkenalan
dengan Gus Dur, karena sejak saya lahir sudah berada dalam lembaga Gus Dur. Gus
Dur bagi saya sama halnya seperti Islam dan NU. Dalam tahapan hidup saya, tak
pernah saya memilih untuk beribadah dan mengenal Tuhan melalui cara dan jalan
apa. Karena sejak lahir saya ‘telah’ di dalam Islam, NU dan Gus Dur. Sejak
kecil saya sudah melaksanakan ritual solat, puasa dan zakat. Soal syahadat
jangan ditanya, itu sudah masuk materi saat masih TK. Solatku juga mengunakan usolli,
kunut dan ada wirid setelahnya, persis seperti yang diucapkan Habib Syech dalam
setiap acara solawatan “solat usolli, kunut dan wirid adalah ibadahnya
NU”. Pun demikian dengan Gus Dur, saya tidak pernah melalui tahapan kenalan,
karena seluruh isi rumah saya mengidolakannya. Bahkan Bapak pernah bilang
“kalau dulu Gus Dur mengizinkan warga NU dari Jawa Timur dan Jawa Tengah
menyerbu Jakarta saat Gus Dur dimakzulkan, saya akan ke Jakarta” ucap Bapak
saat saya beranjak remaja. Cukup bisa diakui kan, kalau saya sudah terlahir di
lingkunagn pendukung Gus Dur.
Mungkin jalan hidup saya kurang
menarik menurut sebagian teman-teman, karena saya ber-Islam, ber-NU dan ber-Gus
Dur secara diturunkan bukan memilih. Saya pun bersepakat dengan anda-anda semua
yang mengangap hidup saya tak menarik. Setidaknya alasan utama kenapa saya
menganggap hidup saya kurang menarik adalah terlalu homogennya lingkungan masa
kecil saya. Saya hampir tak pernah mengenal orang dengan KTP selain Islam
sebelum bergabung dengan Jaringan GUSDURian Malang –ini juga alasan kenapa saya
bergabung dengan GUSDURian- bahkan saya jarang berinteraksi dengan orang selain
NU, meskipun saya mengenal orang-orang selain NU, tapi saya tidak pernah punya
urusan yang membuat saya harus berinteraksi. Dan untuk Gus Dur, desaku cukup minim
nafas diskusi, meskipun saya tahu bahwa di desa ada perkumpulan pendukung Amin
Rais, Megawati dan Akbar Tanjung, tapi para simpatisan ini tak pernah semeja
untuk duduk berdiskusi bersama.
Meminjam peristilahan yang
disandarkan pada Rasul terkait istilah sahabat, tabi’in dan tabiit tabiin. Saya
tidak masuk dalam golongan sahabat Gus Dur, alias yang pernah bertemu langsung
dengan beliau. Saya adalah tabi’innya Gus Dur, karena saya hanya bertemu
sabahat-sahabat beliau. Setidaknya sampai umurku yang sudah masuk 23 ini,
pernah mendengar kisah Gus Dur lansung dari putri sulung beliau Alissa Wahid
dan sedikit membaca buku-buku tentang beliau yang ditulis para sahabat.
[Dokumen Penulis; Perayaan ulang tahun Gus Dur ke-75 di Tebuireng yang berbarengan dengan muktamar NU ke-33] |
Kemudian, saya bertemu dengan
pemikiran Gus Dur itu seperti saya bertemu dengan komunis. Untuk anak yang
lahir di periode sebelum ‘98 hampir pasti menghirup ajaran bahwa komunis adalah
sama dengan atheis, bahwa pemikiran ini masuk ke tubuh tanpa di pilah –tepatnya
tak bisa dipilah, sehingga harus dihirup- seperti okigen yang tak pernah kita
memilih akan menghirup oksigen hasil fotosintesis dari pohon apa. Seperti itulah
pemikiran Gus Dur yang diam-diam masuk dan menyusupi rongga-rongga otakku. Dia
masuk dan memberitahu bahwa Gus Dur adalah seorang yang humanis, pemberani dan
pembela wong tertindas. Namun perbedaan antara pemikiran Gus Dur dan
komunis adalah saat saya tumbuh dan sedikit-sedikit baca buku mulai
berkesimpunan bahwa ‘O... komunis itu seperti ini to, ternyata diartikan sempit
hanya sebagai atheis itu karena ini to dan untuk kepentingan ini to’, berbeda
dengan pemikiran Gus Dur yang masuk ke otakku saat kecil, Gus Dur tak berbeda
setelah saya baca-baca dan mendengar cerita-cerita tentang beliau. Gus Dur
tetap seorang masterpiece joke dan berkepribadian simpel sekaligus
kompleks.
Ini juga yang dikisahkan bapak
Quraish Shihab saat peringatan 1000 hari wafatnya Gus Dur, beliau menjelaskan
bahwa Gus Dur adalah orang yang simpel dalam satu sisi dan pada waktu yang sama
adalah orang yang sangat rumit. Gus Dur juga orang yang sangat realistis
sekaligus orang yang percaya supra natural, dan seterusnya dan seterusnya.
Seperti itu cara Pak Quraish
mengenang Gus Dur, dan kita tahu banyak sekali cara untuk mengenang dan
meneladani beliau. Banyak kata serta perilaku beliau yang tiba-tiba sangat
relevan saat ini meskipun dulu saat beliau masih ada sering disebut
kontroversial.
Gus Dur sudah lebih dekat dengan Tuhan sejak Desember 2009. Tanggal 4 bulan 8 ini banyak santri-santri beliau
yang akan merayakan hari ulang tahun Gus Dur yang ke 77. Tapi mengenang dan
hanya meratapi Gus Dur dengan sendu sedih, menurutku, bukanlah ciri murid-murid
Gus Dur. Ciri murid-murid Gus Dur adalah siapa yang mempersiapkan dirinya untuk
menjadi pemimpin bangsa, seorang humanis dan pembela hak manusia yang tertindas
di bumi Indonesia ini selanjutnya.
Dan pada akhirnya. Gus, kapan pun
engkau dilahirkan. Selamat ulang tahun Gus. Terimakasih telah menjadi guru di Negeri
ini. Negeri ini berterimakasih atas segala pikiran sampai tindakanmu. Maafkan
kami yang lamban memahami apa maksudmu dulu, sehingga cacian yang muncul dari
mulut kami. Tugas kami saat ini adalah melanjutkan dan terus melestarikan
pikiran serta perjuanganmu. Pinjami kami keberanian dan semangatmu agar kami
tetap kuat menghadapi negeri yang sudah banyak melahirkan mafia ini gus. Gus
kami rindu. Selamat ulang tahun.
Lamongan,
Agustus 2017