- Back to Home »
- Embun »
- Kaki Mana Yang Terlebih Dahulu Melangkah
Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id
Sabtu, 17 Juni 2017
[Sumber: ridous.blogspot.co.id] |
Lamongan,
Enambelas Juni 2017
Beberapa saat lalu, tepatnya
tanggal 1 Juni kita memperingati hari lahir pancasila. Pada hari itu laman
sosial media menjadi senada temanya, (hampir) semua orang yang terikat batin denganku
di sosial media mengenakan tema “saya Indonesia! Saya Pancasila!”. Tapi ada
juga yang kontra peringatan hari lahir pancasila, ini bukan berarti tidak
setuju pancasila, diantara yang kontra mengenakan jargon “Pancasila di hati”,
“Pancasila bukan hanya 1 Juni”, “1 Juni hanya pencitraan cinta pancasila” dan
lain sebagainya.
Ketika saya membaca
komentar-komentar tentang pancasila yang berjajar di sosial media pada hari
itu, sejujurnya saya tidak kaget dan ini hanya soal biasa saja. Saya kira semua
hal di dunia ini memiliki caranya masing-masing dalam dipahami. Dari pancasila,
kitab suci sampai menilai pasangan, kita pasti punya cara masing-masing dalam
memahami hal-hal itu.
Taruhlah contoh cara kita dalam
memahami perempuan yang kita cintai. Di dunia ini pasti ada yang memulai
mengagumi karena parasnya, lakunya, bahkan sampai bodi-nya.
Dalam menyikapi hal ini, biasanya
saya mengunakan dua istilah besar untuk memisahkan cara orang memahami sesuatu.
Kalau bukan karena isi ya karena kulit, kalau bukan soal tekstual ya tentang
kontekstual, kalau bukan soal essensi ya soal nge-pop. Secara garis
besar, kita mudah sekali terperosok pada dua sisi ini, antara kanan dan kiri.
Kita kembali soal pancasila, saya
rasa orang-orang yang setuju dengan jargon “Saya Indonesia! Saya Pancasila!”
adalah mereka yang senang hatinya ketika hari ulang tahunnya diperingati alias
orang yang nge-pop. Sementara untuk mereka yang mengatakan “Pancasila itu
di hati, bukan hanya 1 Juni” adalah mereka yang tidak suka hari ulang tahunnya
diperingati alias orang yang mengutamakan essensi.
Lalu apakah dua cara pandang ini
salah dan ada yang lebih baik? Tentu tidak bukan.
Dalam berbagai kesempatan, dalam
segala peringatan, dalam segala momen, pasti ada orang-orang yang suka seremonial
atau suka peringatan meriah serta hingar bingar dan ada yang tidak suka
ramai-ramai seremonial.
Dalam cipta karya oleh seniman
pun demikian. Telah banyak contoh yang dapat kita pelajari. Coba teman-teman
tengok karya efek rumah kaca yang berjudul di udara, bukankah ini karya nge-pop,
karya yang di buat atas tragedi meninggalnya Munir, sang pejuang hak asasi
manusia yang teracun arsen di pesawat saat perjalanan dari Indonesia ke Belanda.
Dan coba teman-teman tengok karya Navicula yang berjudul mafia hukum, bukankah
itu contoh karya essensial yang dengan jelas mengkritik para koruptor dan
keserakahannya.
Apakah efek rumah kaca dan
navicula tergolong band yang tidak memiliki idealisme? Tidak bukan. Apakah mereka
yang ngomongnya selalu soal essensi akan terus lebih baik dari yang hanya ngomong
soal nge-pop dan yang ngomong soal nge-pop selalu lebih up to
date (baca: Aptudet) dari orang-orang yang suka essensial? Tentu tidak juga
bukan.
Sejak dulu keserakahan di dunia
ini sudah ada, praktik korupsi juga ada, orang merampas hak orang lain juga ada.
Orang jahat masuk bui juga bukan hal baru, orang jahat sogok penegak hukum biar
gak masuk bui, Apalagi!. Jadi terserah dong kita mau pakai pendekatan
apa dalam menyikapi sesuatu.
Memang saat ini kita hidup di era
banjir informasi. Informasi yang kita dapat datang dari segala sudut. Taruh saja
dalam kasus Koh Ahok masuk bui beberapa saat yang lalu, info tersebut tidak hanya
hadir dalam layar kaca dan media cetak saja. Tetapi dunia berita online yang kecepatan
informasinya luar biasa itu sampai media sosial beruma meme merekam
setiap update (Baca: Apdet) kejadian diseluruh pelosok dunia. Jadi saat
kita masuk dalam berputaran bincang soal Ahok masuk bui bukan berarti kita melakukan hal yang memalukan, dan saat kita membahas penegak hukum yang tunduk pada kepentingan
politik tanpa penunggu momen ada orang baik dicuranggi juga bukan hal yang
mutlak benar kan?.
Perlu disadari, bahwa kita juga
tak bisa menyalahkan banjir berita terbaru yang masuk di hidup kita, karena
salah satu sarat berita adalah baru, sehingga pintar-pintar saja memilih apa
yang ingin kita baca dan yang kita izinkan masuk dalam sanubari kita.
Mau dari mana kita memahami hidup
ini? Itu terserah teman-teman bukan!.
Yang menjadi masalah adalah saat
ujaran kebencian lahir dari perbedaan kita memahami sesuatu. Saat yang suka
essensi menyalah-nyalahkan mereka yang nge-pop dan yang nge-pop
mulai mencacati mereka yang suka essensi, ini baru tindakan yang tak dapat
dibenarkan. Mari berbahagia dalam perbedaan pola pikir.
Wallahu A’lam
[Sumber: ruangislam.com] |