- Back to Home »
- Embun »
- Benci Zakir Naik Itu Boomerang
Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id
Minggu, 09 April 2017
[Foto: voa-islam.com | Saat Zakir Naik sampai di bandara internasional Soekarno Hatta (30/3)] |
Malang, Sembilan April 2017
Indonesia sebagai negara bhinneka tunggal ika terus-menerus
mengalami ujian dalam pendewasaan diri. Dari waktu-kewaktu negeri ini selalu
banyak ditimpa konflik horizontal, dari yang mempersengketakan suku, ras,
budaya sampai agama. Untuk cikal bakal sengketa yang disebut paling akhir, saat
ini menjadi tema yang sangat asyik untuk digoreng. Agama seakan-akan menjadi
jurang pemisah antara satu komunitas masyarakat dengan yang lain.
Tentu teman-teman semua masih ingat sederetan aksi yang
dilakukan sekelompok manusia beridentitas Islam dari bulan November lalu, dari
aksi 411, 212, 112 dan 313, kesemuanya memberikan efek bahwa dalam tubuh Islam
terbelah minimal menjadi dua kelompok besar, yakni “mereka yang mau membela
Agama, Kitab dan Tuhannya” dan “mereka yang mengakui bahwa Tuhan tidak perlu
dibela”. Sampai-sampai ada sebuah kata-kata embongan yang sangat menohok
nurani “kalau tak seagama dimusuhi, sudah se-agama tapi beda cara memahami
agama juga dimusuhi, sama cara memahami tapi beda madzhab juga dimusuhi, sudah
se-madzhab tapi beda ormas juga dimusuhi, sudah se-ormas tapi beda kiai juga
dimusuhi, sudah se-kiai tapi beda masjid juga dimusuhi. Dan siapapun yang
berbeda pandangan dimusuhi”. Sungguh mengelisahkan hal ini terjadi di negara
yang mempercayai kebhinekaan dalam setiap sendi kehidupannya.
Dan akhir-akhir ini nampaknya umat Islam Indonesia kembali
terpisah karena kedatanggan tokoh viral YouTube; Zakir Naik. Kabar kedatanggan
Naik langsung membuat sosial media berbincang hangat, apalagi saat beredarnya
foto Naik bersama bapak wakil presiden Indonesia Jusuf Kalla. Terang saja foto
itu menjadi obrolan seru dan memperjelas pemisah antara mereka yang
mendamba-dambakan kehadiran Naik dan yang menolak Naik.
Bagi mereka yang mendambakan kehadiran Naik, Dia dianggap
sebagai tokoh penting untuk berceramah di Indonesia, apalagi dengan sederetan
prestasi dan penghargaan yang sudah diraih. Menurut para pendukung Naik, dia
dianggap sebagai tokoh yang kharismatik dan sukses dalam berceramah, parameternya
adalah keberhasilan Naik mengalahkan musuh debat lintas agamanya serta
keberhasilan mengislamkan musuh debat, dan beberapa peserta ceramah. Selain
itu, penghargaan yang diraih Naik seperti “The King Faisal International Award”
dari Raja Salman pada 2015, “Tokoh Internasional Ma’al Hijrah” dari pemerintah
Malaysia pada 2013, “Islamic Personality of the year Award” dari pemerintah
Dubai pada 2013 serta penghargaan dari pemerintah Gambia pada 2014 semakin
membuat Naik dianggap mencadi tokoh yang sangat penting dalam dunia Islam dan
mengislamkan orang.
Di sisi lain, Zakir Naik dianggap sebagai tokoh yang amat
kontrofersial, dapat dilihat dari berbagai isi ceramahnya. Prof. Mun’im Sirri
menjelaskan dalam beberapa kolom yang diunggah oleh laman geotimes.co.id, Beliau
menerangkan bahwa ceramah Naik kerap kali menyerang keyakinan dan kitab suci
agama lain sembari menyulut permusuhan dan mengobarkan radikalisme. Dalam
ceramah-ceramah yang lain, Naik juga paling gemar membandingkan Al-Qur’an
dengan kitab suci agama lain dan menghubungkan Al-Qur’an dengan sains. Naik
menganggap bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang amat rasional sementara tidak
dijumpai pada kitab suci agama lain. Naik juga selalu memperlihatkan
superioritas Islam. Dan pandangan-pandangan naik tentang agama lain menurut
Prof. Mun’im Sirri masih superficial atau amat sangat dangkal. Beberapa
catatan diberikan oleh Prof. Mun’im Sirri terkait kedangkalan isi ceramah Naik,
antara lain saat Naik mengungkapkan bahwa “bagaimana mungkin manusia (Yesus) pada
waktu yang bersamaan disebut Tuhan? Naik juga mempertanyakan saat ada konsep
tiga adalah satu dan satu adalah tiga dalam Kristen masih disebut monoteis”
terlihat sekali bahwa Naik sangat dangkal dalam memahami agama Kristen, padahal
berdebatan soal ini sudah dibahas panjang-lebar dalam tradisi Kristen, dan
pemecahan masalah dalam konsep trinitas yang hanya mengunakan pandangan
matematis yang sangat sederhana semakin memperjelas kedangkalan pemahamannya
pada tradisi kristen.
Respon terhadap kedatangan Naik disambut dengan kekaguman dan
keheranan, ini terjadi karena latar belakang pendidikan Naik. Bagi mereka yang
mendambakan Naik, dia dianggap sebagai
tokoh inspirasional, karena dengan latar belakang sebagai dokter bedah,
dia bisa berbicara tentang Islam dengan sangat baik bahkan mampu mengislamkan banyak
orang. Sementara bagi mereka yang enggan atas kedatangan Naik, dia adalah tokoh
yang hanya menyulut permusuhan antar umat beragama. Isi ceramah Naik yang hanya
berpuatar-putar dalam membandingkan agama dengan muatan dan pembahasan yang sangat
dangkal. Banyak kalangan memahami ini sebagai imbas ketidak tuntasan Naik dalam
pendidikan formal keislaman. Seseorang yang tidak pernah mengenyam pendidikan
Islam seperti madrasah dan pondok pesantren serta studi tentang perbandingan
agama mulai membincang dan menyalahkan agama orang, tentu dapat ditebak
bagaimana isi ceramahnya!. Selain itu naik juga banyak disebut memiliki hubungan
yang dekat dengan kelompok Islam radikal; ISIS. Bukti kedekatan antara Naik dan
tindak radiakal pernah terbukti pada salah satu aksi terorisme yang menewaskan
29 orang di Dhaka India. Dalam aksi penyerangan tersebut, salah satu pelaku
terbukti adalah fans Naik, meskipun tuduhan ini masih sangat dangkal.
---
Penyudutan Naik yang keluar dari isi ceramah bisa menjadi
boomerang. Apalagi hal yang digunakan sebagai tombak untuk menyerang Naik
adalah seputar latar belakang pendidikan dan dugaan-dugaan keterlibatannya
dengan aksi terror. Ini disebabkan karena pemaketan “formal pendidikan” dan
“pekerjaan” selalu seirama adalah hal baru.
Dalam tradisi Islam Indonesia, orang yang melakukan kegiatan
seperti Naik biasa disebut kiai atau ulama’. Saat kita berbincang soal kiai dan
ulama’, pemberangusan peran dalam masyarakat dari orang yang dapat mengerti
banyak bidang ilmu menjadi penuntun agama saja adalah buah pikir kaum kolonial.
Apalagi saat kita menenggok kata ulama’ dalam bahasa Arab yang merupakan jama’
dari kata alim yang memiliki arti dalam bahasa Indonesia adalah orang pintar. Sehingga
ulama’ bukanlah orang yang hanya cakap dalam bidang agama saja.
Saat kita Tarik benang sejarah, pada era awal Islam sampai
perkembangannya ke berbagai wilayah, banyak kita temui alim ulama’ yang tak
hanya cakap soal agama. Sebagai contoh, saat kita sebut Imam Al-Ghazali dan
karyanya, pasti kita akan langsung teringat pada kitab Ihya’ Ulumuddin. Ihya
ulumuddin adalah kitab syariat, di dalamnya ada bagian yang menjelaskan seluk-beluk
sholat, dan saat berbincang soal solat, dalam pembahasannya ada tahapan
menentukan waktu solat dan arah kiblat, sehingga sangat tidak mungkin kalau Imam
Al-Ghazali hanya faham ilmu fiqih, pasti beliau juga memahami ilmu astronomi
dan matematika. Contoh lain adalah Jabiir ibn Al-hayan, selain ulama’ beliau
malah lebih dikenal sebagai bapak kimia moderen oleh eropa. Dan saat kita
menyebut ulama’ Indonesia dari KH Ahmad Dahlan, Nur Cholis Majid, Abdurrahman
Wahid sampai Sabrang, kita akan menemui bahwa deretan alim ulama’ ini
tidak hanya fasih soal beribadatan.
Sehingga dalam membahas Naik, mari kita cukup pada gagasan
pemikirannya saja. Kita ingin melegitimasi kebenaran dengan menyodorkan tawaran
bahwa gagasan Naik keliru karena dia tidak belajar agama Islam secara formal
baik di madrasah atau pesantren hanya akan menjadi boomerang. Dan untuk
membahas Naik dan keterlibatannya dengan aksi teroris, lebih baik itu dibahas
dalam tema tulisan lain yang berlatar pada hasil investigasi yang kredibel dan
falit, agar kita jauh dari unsur hanya mengira-ngira dan mencocokkan.
Dan pada akhirnya, Indonesia adalah negara yang sangat nyaman
untuk berdiskusi dan saling lempar gagasan. Sehingga pelarangan-pelarangan pada
munculnya gagasan di Indonesia hanya akan membuat kita menelan ludah sendiri. Jadi
saat naik boleh membincang soal isi kitab suci agama lain, boleh dong kitab
suci umat islam dibahas bukan hanya oleh muslim sendiri?
Wallahu A’lam