Archive for 2019
Review Dua Garis Biru: Film yang Lengkap Meskipun Tidak Ada Adegan Enak-enak
[Sumber: hot.detik.com/] |
Setelah beberapa waktu lalu menulis respon orang-orang pada film dua garis
biru yang dicap banyak madhorodnya. Akhirnya setelah itu aku putuskan untuk
menonton dan membuktikan apakah film ini benar-benar sebegitu buruknya atau
malah berisi sebaliknya dan menjadi film yang patut direkomendasikan.
Ekspektasi awal sebelum menonton film dua garis biru adalah film yang akan
berisi banyak hal haru dan memilukan. Apalagi dari sedikit cuplikan di trailer
ada beberapa adegan marah-marahan antara orang tua ke anak. Selain itu juga ada
kalimat vonis dokter kehamilan pada Rara dan Bisa tentang bahayanya hamil di
usia muda.
Dan ternyata benar saja, setelah menonton film yang durasinya hampir dua
jam itu, adegan cerianya hanya sepersekian menit saja. Sedikit sekali, sekolah,
bercanda, pulang, bercanda di kamar terus buyar. Bahkan adegan enak-enakpun
yang dikhawatirkan itu tak ada. Semi enak-enak tak ada. Enak-enak disensor ndak
ada. Bahkan pemanasan enak-enak pun ndak ada. Blas ndak ada titik film yang
bisa membuat ngaceng sedikit saja. Blas ndak ada. Astagaaaa.
Selanjutnya, mungkin dari menit ke 10 menit awal sampai selesai, film itu isine
pilu kabeh, penyesalan, kebingungan, keputusasaan, kekecewaan dan keharu-biruan
sejenis.
Sesuai ekspektasi!. Setidaknya egoku menang melawan orang-orang yang bilang
kalau “film ini akan mengajarkan enak-enak” serta yang mengakatakan bahwa “enak-enak
pada pelajar itu oke”.
“Mana ada? Tidak ada yang seperti itu” batin egoku.
Selain pemuas atas ego, film ini masuk dalam kategori yang menyenangkan. Bahkan
kalau dirangking, film ini bisa mendapat poin 9/10 dalam takaran kepuasanku.
9/10 ini pun bukan isapan jempol, ada alasan jelas dariku kenapa nilainya
bisa sampai 9/10. Satu kata pertama kenapa film ini menyenangkan sekali:
komplit!.
Saya kira film ini sudah memiliki semua hal-hal yang aku butuhkan untuk
dikatakan menyenagkan untuk dilihat.
Film ini kuat pada dramanya, nangis adu biyung. Apalagi konflik yang
dibangun adalah konflik keluarga. Huhuhu. Apalagi setjara subjektif ancen aku
ndak isoan kalau konflik yang diangkat adalah keluarga, sedihe ya Tuhan. Seperti
saat film cek toko sebelah. Sedih banget.
Selain itu keruwetan yang dihadirkan dalam drama konflik dua keluarga ini
juga seru. Penataan latar belakang dan sifat yang dikenakan pada masing-masing
tokoh juga bagus. Rara berlatar belakang keluarga kaya dan sudah pasti orang
tuanya menjadi sibuk, rumah menjadi sering kosong dan kahirnya Rara sering cerita
ke adiknya. Sementara Bima adalah keluarga miskin di pingiran sungai Jakarta,
punya ayah yang alim nan sabar dan ibu yang khas stereotip ibu-ibu gang,
cerewet dan ceplas-ceplos.
Kehadiran tokoh yang kuat ini di beberapa adegan menjadikan cerita menjadi
sangat dramatis. Apalagi saat Rara
ketahuan hamil dan ke dua orang tua mereka dipanggil sekolah. Pertangkaran di
ruang UKS menjadi adegan tumplek blek karakter kuat di satu ruangan yang
menghasilkan adegan yang sensasional.
Selain drama yang kuat, sepanjang film aku menunggu pada poin “di mana akan
ada pelajaran tentang seks?” akankah ada superhero yang tiba-tiba muncul dan
menjelaskan apa itu kesehatan resproduksi? Ataukah info itu akan muncul dari
layar teve atau berita, ataukah akan ada seseorang kerabat yang kebetulan
seorang pegiat kesehatan reproduksi?
Jawaban itu turun pada dokter kehamilan. Cukup wajar. Dan akhirnya
menjadikan adegan tidak terlalu dibuat-buat.
Penyampaian materi itu pun wajar dan tidak berlebihan sampai membuat film ini
menyerupai film dokumenter yang banyak keterangan dan penjelasan. Dalam menyampaikan
penjelasan pun diselinggi adegan yang cukup mengelitik dan membuat keterangan
tidak begitu tegang.
Selain ada keterangan eksplisit, dalam film ini juga menampilkan keterangan
implisit dari setiap adegan yang ada. Semisal tentang perubahan perut dan
kondisi kehamilan, kapan bayi mulai menendang, cek USG sampai keluarnya susu
saat seorang ibu hamil.
Asli untuk urusan susu keluar pas ibu lagi hamil dan mendekati masa kelahiran
adalah hal yang baru aku tau.
Film bermanfaat gini kok dibilang ngajari enak-enak. Hilih.
Belum lagi saat masa-masa klimaks, muncul beberapa kata yang cukup
menguncang batin. Untukku bagian ini jatuh saat dialog Bima dan Ibunya setelah
solat. Bima bilang dia selalu berdoa kalau dia masuk neraka, dia ndak pengen
ibunya ikut masuk neraka karena Bima. Dijawab juga oleh ibunya bima, bahwa
beliau selalu berdoa semoga anaknya masuk surga. Ini hampir pecah, tapi belum. Sampai
muncul kata dari Ibunya bima “harusnya kita lebih sering ngobrol kayak gini ya
bim”. Tumpahlah anak dan ibuk itu dipelukan yang basah oleh air mata.
Dan satu hal lagi yang membuat aku suka dengan film ini adalah saat
memberikan jawaban atas konflik yang dibangun.
Dalam cerita itu ada satu konflik yang dibangun, yakni ananya Rara yang
masih dalam kandungan rencananya akan diberikan ke tantenya karena tantenya itu
berdua belum dikaruniai anak. Bima tak setuju, bukan hanya karena itu anaknya,
tetapi keputusan akan memberikan bayinya Rara dan Bima ke tantenya Rara adalah
keputusan sepihan ibunya Rara. Rara pun tak setuju.
Belum lagi saat ibunya Rara bilang “ngurusi anak itu bukan hal yang mudah,
mama aja gagal, apalagi kamu Ra yang masih kecil”. Rara dan Bima tersudut, mau
ndak mau mereka mengakui memang masih muda dan mungkin belum siap mengurusi
bayi. Belum lagi urusan pekerjaan dan sekolah yang masih jadi mimpi. Mereka anak
SMA dan belum punya penghasilan untuk ngerumat keluarga, tentu sulit
kalau dipikir-pikir. Mereka terlihat menyerah dan mungkin terpaksa mengiyakan
pinta mamanya Rara.
Tetapi jawaban atas konflik ini indah sekali. Bukan atas adu argumen Rara
dan Bima vs Mamanya Rara, tetapi pada hasil yang didapatkan Rara.
Ternyata Rara saat melahirkan mendapat bekas pendarahan di rahim dan
membuatnya harus dioprasi pengangkatan Rahim. Yessss!
Ini keputusan yang bagus, pengangkatan rahim Rara memastikan anaknya tidak
akan diberikan ke tantenya Rara. Jawaban yang indah, meskipun aslinya adegan
itu sangat sedih. Terutama untuk Mamanya Rara yang harus menerima kenyataan
bahwa anak sulungnya harus oprasi pengangkatan rahim sebelum anaknya genap
lulus SMA. Haru biru. Hu hu hu
Jadi, kurang lebih itulah hal-hal indah yang aku temukan dalam film dua
garis biru. Dan dari serangkaian keindahan film ini, kembali bisa aku pastikan
bahwa kekhawatiran film ini menjadi pelegalan enak-enak adalah bualan belaka.
Lawong sedih tok, kapan enak-enake, sampek afirmasi enak-enak... hemmm
Menikah, Enak Kali Ya
[Sumber: entertainment.kompas.com/] |
Saya belum menikah, sehingga bukti kesakralan menikah ini aku dapatkan dari pengalaman mengamati orang lain yang sudah menikah. Dengan sedikit bertanya kepada yang bersangkutan untuk mengverifikasi apa yang kuamati. Setidaknya aku punya dua cerita tentang sakralnya menikah.
Pertama, menikah yang akan memberikan barokah rejeki.
Saat itu, ada seorang perjaka yang belum menikah tetapi sudah bekerja. Dari
pengakuannya, hasil kerjanya sebelum menikah untuk mencukupi kebutuhan
sehari-hari masih sering kurang. Bahkan sesekali perjaka ini meminta tambahan
uang pada orang tuanya.
Kebutuhan sehari-harinya pun sebenarnya standar, dari makan, pakaian,
bensin dan beberapa keperluan rumah semisal sabun. Ditambah kebutuhan rokok
yang akan menemani waktu senggangnya.
Dia hidup sederhana, bahkan jauh dari kehidupan bermewah-mewahan. Rokok
yang dibelinya pun bukan rokok yang harganya mahal, rokok dengan harga medium
dan itu pun dihabiskan dalam waktu kurang lebih dua hari per bungkus.
Segala yang melekat dalam dirinya pun sebenarnya tidak ada yang benar-benar
mewah, semuanya serba sederhana. Mementingkan fungsi dari pada gengsi.
Ketika ia menginjak umur, mungkin sekitar, 27, Dia memutuskan menikah.
Keputusannya ini pun membuatnya hidup pindah ke rumah istrinya, hal ini
dikarekanan istrinya hanya tinggal bersama ibunya, karena ayah istrinya sudah
tidak ada. Sehingga perjaka ini tidak hanya akan menjadi kepala keluarga kecil
barunya, tetapi sudah akan langsung menjadi tulang punggung keluarga barunya.
Sebenarnya secara logika rasional, kehidupannya akan sulit. Bagaimana
tidak, dia hidup sendiri saja masih harus amat sangat menghemat. Setelah
menikah kok langsung menanggung kehidupan 2 orang, istrinya dan ibu mertuanya.
Belum lagi setahun atau dua tahun lagi dia akan dikaruniai buah hati.
Tetapi harga rasional itu benar-benar terbantah.
Berkahnya menikah benar-benar terwujud darinya, jangankan untuk menghidupi
keluarganya, pemuda ini pun mengaku bisa kridit 2 motor dengan lancar dan
menabung sedikit demi sedikit. Padahal kerja yang dilakukannya pun tidak
berubah dari sebelum menikah.
Dan aku sudah cukup dengan ini, lain kali saja aku membutuhkan penjelasan
rasional lebih. Saat ini aku cukup dan mengamini bahwa menikah memang membawa
keberkahan. Cara mendapatkan berkah itulah yang perlu dicari.
Kedua, menikah akan mengubah aura seseorang.
Kisahnya aku sudah kenal perempuan ini dari sebelum dia menikah. Dia orang
yang baik dan penuh ketegasan. Ketegasan ini lah yang kadang-kadang serem juga
kalau dilihat.
Mungkin niatnya bercanda atau sekedar meminta penjelasan pada suatu hal,
tetapi rasa-rasanya serem aja. Sejujure sebagai teman yang tidak pernah punya
masalah dengannya, aku juga cukup takut kalau misal ada masalah dengan dia,
penyebabnya ya karena auranya kalau dia sudah mulai sebal itu serem sekali.
Sering dia digoda temannya dan terpancing percikan sebal kecil ala teman,
itu pun ada seramnya.
Belum lagi kalau cerita pada orang yang tidak disukainya. Aura seram
perempuan ini semakin pekat terasa.
Sehingga sentilan pertama yang muncul di otak saat mendengarnya dia akan
menikah “ini beneran mau menikah, pacarnya aja sering dimarahi, gimana itu
nanti keluarganya. Serem gitu e”
Dan, bimsalabim.
Setelah ia menikah, seminggu setelahnya aku baru bertemu dengannya lagi.
Rasa-rasa serem itu sudah benar-benar alpa.
Dia digoda teman sampek sebal? Masih
Dia cerita orang yang tidak disukai? Masih
Dia marah-marah gemas ke teman? Masih
Tapi semua beda rasanya. Terasa ada nuansa ayem yang terpancar dari
air mukanya. Sekarang, melihatnya hanya ada satu hal yang terpancar dari
dirinya, gembira.
Anehnya, ketika dilihat di foto, dia tersenyum saat diambil gambar, rasanya
si biasa aja, gak ada yang berubah dari sebelum dan sesudah menikah. Tetapi
kalau sudah bertemu, barulah pancaran bahagia itu terasa.
Terasa banget malahan.
Dan sekali lagi, aku masih belum benar-benar membutuhkan penjelasan paling
rasional tentang fenomena ini, biar ini menjadi misteri yang seru aja di hidup.
Selain dua yang aku ceritakan, sebenarnya ya ada beberapa menikah yang
rasanya biasa aja si. Semoga kita kebagian efek indahnya menikah lah ya.
Untuk yang belum menikah, ya sekarang kita siap-siap saja.
Tidak perlu terburu-buru, yang sudah ada calon atau yang belum, kita masih
kebagian jatah berusaha memperbaiki dan mempersiapkan diri. Biar kejutan Tuhan
yang berperan.
Guns n Roses Yang Biasa Aja!
[Sumber: www.youtube.com/watch?v=1w7OgIMMRc4] |
Ketika ada pertanyaan, pernah gak kalian tidak suka pada sebuah band tapi
hampir rata-rata orang suka?
Kebetulan aku memiliki jawaban “iya”. Band itu adalah Guns N’ Roses. Sungguh
aku biasa-biasa aja pada band ini, padahal dalam hidupku, aku pernah merasakan
seriusnya belajar gitar, hampir setiap hari ngulik dan mencoba lagu serta melodi baru. Dan memang harusnya Guns N’ Roses adalah salah satu
band yang aku pelajari dalam bermain gitar.
Asal mula ketidaksukaanku pada Guns N’ Roses masih berkaitan dengan momen
pertemuan pertama. Saat itu, kurang lebih saat kelas VIII Mts. Ketika masa awal
belajar gitar.
Untuk seorang gitaris pemula, para sesepuh sering kali memberikan materi
gitar yang enak untuk dipelajari dan dimainkan. Point plus selain enak dan
mudah tentu soal keren. Dan Guns N’ Roses adalah salah satu band yang sangat
direkomendasikan dalam awal belajar gitar.
Dibilangnya “wah band ini rock sekali. Enak dan keren. Coba latihan sweet
child o mine!”. Tentu bisa ditebak karena apa, tentu karena solo gitar dari Slash yang membanjiri lagu ini. Baru mulai saja sudah solo.
Tapi itu semua sayangnya tidak berlaku di hidupku. Permulaan lagu yang
hanya berisi melodi pelan, suara yang sama sekali tak unik, nada yang standard dan pastinya menjadi alunan pembuka yang kurang memikat. Disusul petikan bass
yang bermain harmonisasi berniat memberikan sentuhan melodik, gitar ngenjeng
sesekali yang membangun ritme dan drummer yang hanya sesekali bermain simbal
untuk memberikan suasana lebih hidup.
Namun sayangnya semua itu tidak berguna di telingaku. Pembukaan yang
membosankan dan tidak mengairahkan. Dan yang paling krusial, lagu ini pelan,
pelan sekali untuk mau dikatakan band rock. Hal ini karena di kepalaku dulu,
yang namanya rock ya temponya harus cepat dan kuat.
Sebenarnya solo awal tidak sepenuhnya gak enak. ya enak, tapi gak sampek
buat tercengang dan berseru “wah ini!”. Tidak memikat, dan ya hanya berlalu
saja. Nada-nada pembuka seperti itu sudah tidak memberikan efek kejut di
telinga.
Kalau yang ditanya soal “Ikonik?” Tentu, sangat ikonik, apalagi para pemuja
Guns N’ Roses sangat memvisualisasi mereka dengan sangat baik. Sangat dewa lah.
Apalagi memang didukung dengan dandanan yang nyentrik.
Siapa coba yang tidak terpikat dengan gaya kepala dari Slash?
Tapi masalahnya tidak hanya soal persona, tapi ya tadi, soal irama.
Lagu yang isinya hanya permainan drum dobble strok “duk tak duk duk tak duk
duk tak duk duk~”, itu saja sampai lagu selesai, sangat standart dan
membosankan!.
Permainan gitar kedua yang tidak memberikan peran signifikan. Udah lah gak
pakek gitar kedua juga gak apa-apa. Beda gitu rasanya kalau mendengar gitar
kedua dari My Chemical Romance atau Avenged sevenfold yang menurutku sangat
bekerja keras untuk membangun suasana.
Permainan gitar kedua yang krusial dan sangat berpengaruh pada aura lagu. Sementara
gitar kedua Guns N’ Roses di lagu sweet child o mine tidak semenarik itu.
Bass juga tidak begitu menarik, kayaknya emang karena nada dasar yang
diambil adalah standar begitu ya, jadi ya hasilnya standar semua. Dan untuk Axl
Rose, ini adalah salah satu kelebihan, kuat karena suara yang melengking khas. Sayangnya
memang Axl sepenuhnya sendirian, bahkan solo slash yang tengah pun buatku biasa saja. Ya cepat,
tapi apa? Sudah ya begitu aja.
Begitulah sweet child o mine yang tidak sweet di hidupku.
Memang sayangnya adalah kenapa pertemuan pertamaku dengan Guns N’ Roses
adalah lagu sweet child o mine, coba kalau pertemuan pertamaku adalah welcome
to the jungle atau paradise city. Mungkin akan lain ceritanya. Bisa jadi yang
aku idolakan sekarang bukan Metallica, tetapi Guns N’ Roses ini, karena Metallica
baru hadir belakangan ini.
Selamat Mendengar Musik!
Malas Membaca, Gemar Komentar
[Sumber: hot.detik.com] |
Yang uniknya, kenapa yang berisik berceloteh demikian adalah orang-orang dari satu afiliasi ormas yang sama. Padahal konteks yang dikritik adalah film, kenapa tidak menjadi global saja, kan film adalah hiburan konsumsi publik, kalau emang film ini jelek, kan bisa bernarasi masing-masing sesuai penilaian.
Apa jangan-jangan karena memang selama ini mereka yang berceloteh tadi
kerap berkampanye menolak pacaran dan langsung nikah aja, meskipun masih belia.
Eh
Ketika ditanya balik soal celoteh mereka, apa sudah mereka menonton film
itu, eh ternyata jawabannya belum.
Mereka berkata, dari trailer saja sudah kelihatan arah film itu. Trailernya
bercerita pergaulan bebas anak SMA yang berani bersetubuh di luar nikah. Lalu mereka
berbondong-bondong menyerang film dan penontonnya, terutama yang
menganggap film itu bagus. Ya dengan narasi tadi, film menyuruh berhubungan
bebas kok dibilang bagus.
Padahal, sependeknya saya kenal film. Ini serius, saya emang pendek
pengetahuan tentang film, karena emang jarang-jarang aja liat film. Bukan bermaksud
merendah, emang saya rendah.
Saya tidak pernah sekalipun bisa menebak arah dan maksud dari suatu film hanya
dari sebuah trailer, asli. Selalu banyak lika-liku yang tidak mungkin
diceritakan di trailer. Lagian trailer ini kan tujuannya cuma menampilkan
beberapa cuplikan film. Paling yang pasti ditampilkan cuma setup awal
film. Ditampilkannya pun kerap tidak runtut, kadang dari depan, terus belakang
dan berakhir ditenggah. Jadi sungguh film ndak bisa hanya dinilai dari sebuah
trailer, an sich.
Tapi kalau emang ada trailer film yang sudah dapat menjelaskan isi film,
itu adalah bukti bahwa pengetahuan saya tentang film emang pendek.
Hal lain, selain mengklaim kebenaran pengehatuan film dari trailer, mereka
juga menyebut film menyuruh berhubungan bebas kok ditonton, kok dibilang bagus.
Nah ini konyol. Asli.
Apa ya mereka ndak pernah liat film action yang isinya tembak-tembakkan. Apa
ya mereka ndak pernah liat film komedi yang suka memunculkan korban untuk
menampilkan tawa. Apa mereka ndak pernah nonton film triler yang penuh darah. Apa
ya mereka ndak pernah nonton film drama yang dikit-dikit galau, nyanyi dan
cipokan. Apa ya mereka ndak pernah nonton AYAT-AYAT CINTA yang hadehhhhhh~
Kan ini film. Banyak tujuan yang ingin dicapai dari film. Ada maksud dari
film. Ada pesan yang ingin disampaikan dari film.
Kalau saya liat Jhon Wick yang hobi tembak-tembakan, apa ya artinya jhon
wick ngajari saya untuk nembaki orang sepanjang jalan kaliurang. kalau saya
liat Alladin yang dikit-dikit suka nyanyi, apa ya saya harus dikit-dikit nyanyi
di jalan gejayan. Kalau saya lihat 5cm yang suka naik gunung, apa ya saya harus
naik gunungnya an*s. kalau saya liat bumi manusia, minke cium annelis di pertemuan
pertama, apa ya artinya bumi manusia nyuruh saya nyium gadis di pertemuan
pertama dengan cewek berjaket biru dongker di toko buku togamas gejayan yang
cantinya aduhai itu.
Kan ndak begitu cara mainnya.
Kok bisa dibilang bahwa film dua garis biru ngajari kentu di luar
nikah hanya karena trailernya/set up filmnya bilang kentu di luar nikah.
Ini kan pengambilan keputusan yang terlalu prematur.
Nah, sesudah sebel-sebelnya saya pada mereka yang kadong mencaci film dua
garis biru senbelum nonton. Kok ndilalah saya melihat unggahan terbaru dari KH
Musthofa Bisri di Instagram. beliau menulis “Kalau memahami status saja tak
sempat, mengapa tergesa-gesa mengomentarinya?”
Ehh ternyata kebiasaan komentar sebelum memahami maksud seseorang itu gaya
hidup to. Hehehe. Sampek KH Musthifa Bisri menuliskan hal seperti itu.
Kok sampek terang benderang gini alur dan ritmenya dalam pengen nyacati
orang dan gagasan yang gak disuka.
Bijaknya seperti apa, monggo dirembuk masing-masing.
Salam
Dewa 19 Adalah Dewa
[Sumber: www.tokopedia.com/mascisjunior/cd-dewa-19-bintang-lima] |
Seingatku,
aku sunat pada liburan kelas 3 menuju kelas 4 MI. Motivasi sunat saat itu tidak
hanya soal agar terbebas ecean teman karena belum sunat dan bujukan
seperti digigit semut, tetapi dorongan yang lebih penting
adalah soal uang yang akan didapat kalau mau sunat.
Banyak diantara teman yang memang mau sunat karena uang santunan sunat akan dipakai untuk beli ini dan itu. Paling sering si aku temui targetnya adalah beli PS. Meskipun banyak diantaranya yang berakhir di hayalan, karena emang PS adalah hal yang istimewa dan tentu juga malah. Sehingga keistimewaan itu hanya didapat oleh mereka yang kaya dan sunatnya bermegah-megahan. Selebihnya paling keinginannya tereduksi menjadi CD player, kaos, sepatu atau bola.
Banyak diantara teman yang memang mau sunat karena uang santunan sunat akan dipakai untuk beli ini dan itu. Paling sering si aku temui targetnya adalah beli PS. Meskipun banyak diantaranya yang berakhir di hayalan, karena emang PS adalah hal yang istimewa dan tentu juga malah. Sehingga keistimewaan itu hanya didapat oleh mereka yang kaya dan sunatnya bermegah-megahan. Selebihnya paling keinginannya tereduksi menjadi CD player, kaos, sepatu atau bola.
Nah, untuk diriku sendiri, dulu yang kudapat
adalah CD player dan beberapa keping CD. Selain CD film power ranger turbo dan
beberapa power ranger dari Jepang, yang kuambil adalah kepingan CD lagu. Saat itu
yang kuambil adalah CD lagu album Dewa 19 “Bintang Lima”. Tidak karena kualitas
musik atau sudah ngefans dengan Ahmad Dhani dan Andra Ramadan, saat itu aku
masih kelas 3 dan berumur 7 tahun, atau sekitar tahun 2001, jadi kenapa aku
putuskan membeli album bintang lima hanya karena cover CD-nya bagus. Hati dengan
sayap dan diatasnya bertuliskan DeWA 19. Sangat ikonik.
Sebenarnya kebiasaanku mendengar lagu
sudah berjalan sejak lama, hal ini karena emakku yang selalu nyetel
qasidah dan banjari. Serta kedua kakakku yang jarak usianya 7-10 tahun di
atasku selalu membawa lagu-lagu top 40 dari daerah rantaunya masing-masing,
sehingga lagu-lagu seperti Padi atau Sheila on 7 bukanlah hal yang aneh aku
dengar.
Dan puncaknya tentu di Album Dewa 19
ini, bukan hanya karena aku sendiri yang memilih kasetnya, tetapi karena
lagunya memang enak luar biasa.
Tidak hanya satu atau dua lagu. Semua lagu
di album Bintang Lima adalah kategori enak di telinga dan hatiku.
Sedikit aku sampaikan, bahwa dari dulu
sampai sekarang, aku tak terlalu biasa menelisik isi kandungan lirik terlalu
jauh. Asal nada enak, cocok dan nyaman, sudah pasti aku sebut lagu itu enak,
meskipun liriknya amat norak.
Dan benar saja, kebiasaan ini amat
sangat dimanjakan dengan album Bintang Lima.
Isian melodi gitar dari Andra yang
selalu membuat kita berhayal menjadi rock star yang sedang solo gitar di sebuah
konser, permainan keyboard dari Ahmad dani yang tipis-tipis tapi membuat lagu
ini amat lengkap. Gebukan drum dan olah bass yang selalu membuat beat yang
mudah membuat pendengar berjoget, minimal mengeleng-gelengkan kepala. Apalagi dengan
suara khas once yang serak, sangat maco dan menjadi jubir terbaik dari lagu-lagu
yang melodis dan megah dari Dewa 19.
Mendengarkan album bintang sembilan
memberikan efek seperti kita sedang dipertontonkan sebuah opera atau mungkin teater.
Album ini seolah memiliki alur, ritme dan emosi yang dimainkan. Album dibuka
dengan lagu berjudul mukadimah, isinya hanya instrumen dan diujungnya
seakan-akan bersambung dengan lagu ke 2, Roman picisan.
Kekuatan lagu Dewa 19 buatku tidak hanya
soal harmoni musik yang selalu membuat ekstase pecintanya. Tetapi pemilihan
nada dari pengisi vokal juga sangat khas, aneh dan unik. Ada yang mendayu, ada
yang seperti membaca mantra, ada yang seperti orasi, ada yang seperti merayu,
dan tentu ada yang seperti marah-marah.
Kalau mau menelisik liriknya sedikit
serta meresapi apa yang ingin disampaikan, sebenarnya pemilihan diksi dari lagu-lagu
Dewa 19 selalu kuat dalam mengekspresikan hati sang Arjuna.
Malam-malamku bagai malam seribu bintang
Yang terbentang di angkasa bila kau di
sini
Tuk sekedar menemani
Tuk melintas jiwa
Yang selalu tersaji di satu sisi hati –
Roman Picisan
Hawa tercipta di untuk menemani sang
Adam
Begitu juga dirimu, tercipta tuk temani
aku – Dua Sejoli
Kau hancurkan diriku
Bila kau tinggalkan aku
Kembalilah padaku bahwa separuh nafasku
Kau dewiku – Separuh Nafas
Selanjutnya, buatku, lagu terbaik di
album ini adalah “Cemburu”. Entah ini genre apa, meskipun aku selalu lemah
dalam mengidentifikasi genre. Tetapi efek magisnya sudah terasa sejak drum
mulai digebuk. Dibuka dengan kata-kata –sebenarnya sangat norak- “ingin ku
bunuh pacarmu!”. Lirik macam apa ini, tapi ya begitulah dewa 19, selalu
blak-blakan.
Lalu saat masuk ke part “mungkin ku
katakan kepadanya saja, bahwa aku juga milikmu, bahwa aku juga u u u u u, bahwa
aku juga kekasih hatimu” adalah klimak kemarahan yang sangat benar-benar marah,
memberikan efek ingin jingkrak dan teriak.
Dan ajaibnya, langsung disusul dengan
permainan solo Andra yang berkali-kali, berhasil menyihirku. Sial.
Sehingga tak berlebihan bahwa aku
menyebut Dewa 19 adalah dewa, inilah pertemuan pertamaku dengan musik secara
intens dan berjalan sangat manis.
Bebas untuk para pengkritik musik, bisa
melihat kekurangan ini itu dari album ini, tapi ya begitulah cinta pertama,
selalu berjalan indah dan membutakan.
Refleksi Ramadan #30
[Sumber: earnest.com] |
Sudah mendekati akhir ramadan, tentu kita juga ingin berpisah dengan baik-baik. Kita sudah digembleng sedemikian rupa sebulan ini, sebagai hari perpisahan tentu kita ingin mendapat kesan yang baik di bulan ramadan ini. Jangan tiru yang semalam main petasan, kayaknya dia gak punya tivi, lawong takbirane masih nanti malam kok semalem wes main petasan, sungguh ra ndue adab. Indonesia gak sih, haissshhhhh~
Sudah tidak ada
qiyamul lail untuk ramadan, semua sudah selesai tadi malam. Setelah buka puasa
kita sudah masuk di bulan syawal, artinya kewajiban zakat wes ada, soalnya
sebagian sudah menemui ramadan dan sebagian syawal, jadi yang belum zakat
segera zakat. Yang merasa kurang dalam ibadah wes dilanjut aja selama 11 bulan
ini, seng penting istiqomah, dan semoga bisa ketemu ramadan tahun depan.
Tidak ada
cita-cita lain selepas ramadan kecuali kita menjadi lebih bertakwa, dapat
terimplementasi dalam banyak hal semisal lebih berserah dan lebih tau diri
kalau kita ini manusia. Kita sebagai manusia punya penyakit yang sudah menahun,
dan penyakit itu sebenarnya mempersusah kita untuk sampai menuju Tuhan. Tentu yang
kita bicarakan adalah penyakit hati. Contoh, seringnya kita melakukan apa yang
menjadi job-nya Tuhan, semisal kita mengerutu saat doa tak terkabul, padahal
tugas manusia itu doa dan tugas Tuhan adalah mengabulkan, kondisi seperti ini
sering membuat kita lupa bahwa tugas kita adalah doa dan berencana, kita sering
kebablasan sampai ingin di posisi yang bisa mengabulkan.
Semisal yang
kongkrit, kita punya kebiasaan sowan ke sarean untuk kirim doa ke leluhur,
kalau misal prediksi hari raya itu selasa dan rabu, ya kan kita sowannya hari
senin. Itungan dan prediksi pasti ada, apalagi yang mengatakan bahwa hilal masih
amat kecil dan belum terlihat, tetapi kita tentu harus tetap rendah hati, bahwa
prediksi hari raya emang antara selasa dan rabu, jadi sowannya ya tetap senin, tidak malah mendahulukan persepsi,
mencoba memastikan dan merasa sudah tau kalau hari raya pasti rabu. Tentu sifat
seperti ini yang membuat kita tidak rendah hati, kita merasa sudah lebih tau
dari apa yang masih dicari dan diprediksi.
Penyakin yang
lain semisal tidak syukur dengan apa yang sudah diberi, padahal hampir segala
yang terpenting untuk kita sudah diberi sama Tuhan, tapi masih saja kurang
dengan hal-hal yang sebenarnya tidak substansial. Kita gak tau rasanya saat
dicabut satu nikmat paling besar semisal fungsi paru-paru. Tentu sudah modyar
kita di dunia ini. Nikmat paling vital sudah diberi, kita belum mensyukuri yang
sudah diberi tetapi malah minta sesuatu yang ndak substansial. Misal, mintak
panas saat hujan dan minta hujan saat panas. Ini kan permintaan labil,
permintaan yang seolah-olah kalau dikabulkan jadi enak, tapi malah sejatinya
merusak tatanan alam. Lawong Tuhan memberi cuaca ini salah satu pemberian yang
paling realistis, semua ada sebab akibatnya.
Penyakit lain
yang sering menghantui kita adalah tidak sabar. Terutama saat dunia sudah
dihimpit sosial media, dengan tawaran semua bisa serba cepat, mengakibatkan
kecenderungan kita menjadi tidak sabaran dalam proses dan memilih yang
instan-instan saja. Padahal tentu akan berbeda hasilnya ketika sesuatu
dilakukan dengan sabar dan yang tergesa-gesa. Baru belajar suatu hal setahun
sudah mendapuk diri jadi pakar, sudah merasa punya otoritas ini itu, sampek
berdoa yang macam-macam, mengancam pula, kok pede bakal diijabah kayak
waliyullah saja. Ini kan tanda ketidak sabaran dalam proses. Ini kan kayak si
pembaca meme yang sombong di hadapan seorang penikmat buku.
Masih banyak
sekali penyakit-penyakit hati yang perlu kita kendalikan dan kelola, tentu
teman-teman bisa mencari kelemahan diri masing-masing, lalu dievaluasi dan
berusaha diolah agar tidak melarut-larut menjadi kebaisaan dalam diri yang
malah mendestruksi keefektifan hidup.
Selamat berpuasa
hari terakhir, salam :)
Refleksi Ramadan #29
[Sumber: merdeka.com] |
Tentu semua itu ada tahapannya dan usaha yang perlu dilakukan. Semisal kita masih dalam level memperbanyak perbuatan baik dengan alasan yang materil dan lebih tertarik pada yang sama-sama mahluk, seperti berbuat baik karena diganjar amal dan surga, ya ndak apa-apa. Tentu kalau kita bisa istiqomah seperti itu, semoga suatu hari nanti kita bisa berbuat baik karena Allah saja.
Tanda ketakwaan
pun amat sangat luas, kita bisa menemui takwa di banyak sisi, malahan dari
kegiatan yang kayaknya tak ada unsur-unsur ibadahnya sama sekali. Membuang sampah
pada tempatnya tergolong tanda ketakwaan, karena kita sedang menjadi kholifah
yang merawat dunia. Menjadi pemaaf juga tanda ketakwaan, karena pemaaf adalah
sifat Allah. Menjadi penyabar pun tanda ketakwaan. Sampai menjunjung tinggi
akhlak yang baik pun tanda ketakwaan.
Barusan banget
aku selesai baca tulisan mas Edi AH Iyubenu di Mojok, beliau mengulas tentang
akhlak yang lebih tinggi derajatnya dari pada ilmu. Latar belakang tulisan itu
katanya ada seseorang yang lagi-lagi merendahkan Gus Mus. Tentu Gus Mus-nya
akan santai saja, tetapi para santrinya yang sering sebal melihat kiainya
diperlakukan seperti itu. Aku tak mengerti kasus apa lagi ini, belum melihat
juga rame-rame itu di twitter. Tetapi yang lebih penting dari tulisan itu tentu perihal aklak yang lebih tinggi dari ilmu, yang lebih awal perlu dihadirkan dari sekedar memiliki ilmu.
Aku masih percaya
bahwa unsur utama yang perlu dihadirkan dalam proses pendidikan adalah
mengembleng akhlak. Tidak semata-mata banyaknya ilmu yang disampaikan seperti
logika kurikulum yang padat itu.
Tulisan itu pun
mengingatkanku pada kondisi rumah yang beberapa hari lalu menjadi tema
refleksi. Yang mana rumah adalah hidup, rumah tak selalu berisi keindahan,
semua ada di rumah dari yang paling indah sampai yang buruk. Nah kadang-kadang
orang kelas menengah seperti mahasiswa seperti saya ini sering gemas ketika
melihat ada tidakan yang tidak sesuai dengan nalar pikir, sehingga mudah sekali
sebal. Di pikiran semua harus rasional dan sesuai dengan kaidah yang dipercaya,
sehingga menjadikan manusia kelas menengah ini merasa paling benar di rumah. Nah
saat seperti itulah yang terlihat bahwa kelas menengah seperti saya ini hanya
mengandalkan ilmu tapi lupa tentang akhlak.
Ya meskipun
semisal dilihat dalam kacamata luas, orang tua misal melakukan tindakan yang
aneh, tetapi hal itu tidak lantas membuat kita sebagai anak merasa punya hak
untuk minteri. Sunggu Nabi Muhammad diturunkan untuk membenahi akhlak umat
manusia.
Dari kisah Gus
Mus yang beberapa kali dilecehkan, seharusnya membuat kita sadar bahwa
teknologi tidak dapat menghadirkan apa yang kita butuhkan sebagai manusia. Dalam
sosial media kita tidak tau siapa orang yang memiliki otoritas pada suatu hal. Pengalaman
sering dilupakan, karena yang paling berisik dengan asumsi paling ngatuk pikiran lah
yang banyak dikutip. Di sosial media, orang yang sudah mondok berpuluh-uluh
tahun bisa sama followernya dengan anak bau bawang, sehingga dunia sosial media
itu sangat kabur. Kita perlu lebih berhati-hati di sana.
Sosial media saat
ini banyak mengerus otoritas, karena semua dimuali dari jumlah follower yang
sedikit. Apalagi seseorang yang emang jarang menunjukan keberadaan di sosial
media. Tentu kita sulit mendetesi tokoh-tokoh yang bisa diacu. Apalagi kecenderungan
sekarang, yang mendapat otoritas adalah dia yang mendapuk dirinya sebagai
public figure karena follower yang ribuan.
Kabiasaan munculnya
fake accound juga tantangan tersendiri. Sehingga tantangan kita menjadi manusia
bertakwa kategori orang yang memiliki akhlak baik menjadi lebih sulit saat ini,
terutama saat kita sudah terjun di sosial media. Siapa yang masih memegang
akhlak yang baik di sosial media, ya dialah yang saat ini masuk dalam kategori
takwa. Hal ini sangat berbeda dengan saat kita bersama-sama duduk di suatu
ruangan untuk ngopi bersama.
Nah, akhlak yang
baik sebagai tanda takwa ini jua lah yang menjadi salah satu larar belakang
kita tentang tetap takdzimnya kita pada orang tua, dituakan, sesepuh atau kiai
desa. Bahkan ketika beliau sudah wafat. Sehingga sebagai tanda takdzim kita,
kita juga jadi sering sowan ke sarean ulama. Karena komunikasi terbatas, ya
kita pakai kirim doa dengan tahlil. Sebelum ramadan kita ke sarean, mau syawah
juga demikian. Karena sejatinya kita saja yang tidak mengerti sesepuh kita,
kita tersekat indra dhohir kita yang terbatas, tetapi beliau semua tetap
mengerti kita.
Akhlak inilah
yang perlu dan terus kita rawat, baik di dunia nyata, sosial media sampai
dengan mereka yang sudah lebih dahulu meninggalkan kita di dunia.
Semoga kita
sukses mengupgrad diri selama bulan puasa yang akan segera selesai ini. Salam :)
Refleksi Ramadan #28
[Sumber: santriwirausaha.blogspot.com] |
Dulu, aku tumbuh bersama buku itu. Tepatnya ketika masih MTs atau setara SMP. Pada mulanya masih program sekolah, jadi belum kayak sekarang yang dikordinir kantor kementrian agama kabupaten.
Buku kendali
masih berupa map yang isinya kolom-kolom kosong untuk tanda tangan dalan
laporan kegiatan.
Kehadiran buku
itu disambut dengan baik oleh murid-murid seangkatanku, ya karena memang
pengalaman baru untuk ramadan. Kita isi semua buku dengan sungguh-sungguh.
Tidak ada tema ceramah yang luput dari perhatian kami, apalagi absen solat dan tadarus Alquran. Semuan kami lakukan dengan suka cita. Sungguh gambaran
kampung santri yang ada di video clip lagu kota santri.
Tidak ada pikiran
buruk pada program itu. Toh memang sebelumnya, aku beserta teman-teman, memang
sudah melakukan semua yang ada di buku itu. Kita sudah dengar ceramah, solat
rutin, tadarus juga, cuma tidak dicatat saja. Sehingga hadirnya buku itu cuma nambahi
kegiatan minta tandatangan legalitas telah melakukan ibadah yang selama ini juga sudah dilakukan.
Malahan atmosfer
MTs-ku sangat mendukung akan kesuksesan pengisian buku itu. Sering
di antara kami yang bersaing mengisi buku itu, siapa di antara kami yang lebih
giat dalam beribadah. Sering kami saling lihat sudah berapa ayat yang telah
dibaca teman, kok ndilalah punya kita lebih sedikit, hal itu jadi motivasi
untuk lebih giat beribadah.
Bisa jadi
kesenangan kami pada buku kendali ibadah itu karena kegiatan ini merupakan
sesuatu yang baru untukku dan teman-teman sebaya, sehingga penerimaanku ya
baik-baik saja.
Tetapi kalau aku
lihat semakin kesini, ke adik-adik yang saat ini masih mengisi buku itu, kok
rasanya ada yang berbeda. Karena malah terlihat buku itu lebih tidak elok dan
tidak diharapkan kehadirannya.
Karena sepengamatan
bertahun-tahun ini, buku itu malah membiasakan para siswa untuk hidup dalam
kungkungan formalistik tok. Mungkin karena sudah jadi kegiatan formal menahun,
sehingga buku itu dipandang sebagai sesuatu yang formal saja, yang penting
terisi.
Ibadah hanya
selesai di absen dan tadarus selesai di jumlah, ya meskipun memang anak-anak
masih dalam tahap belajar dengan membaca dan menghafal lebih banyak. Tapi hadirnya
buku itu membuat atmosfer lebih tidak sehat, menurutku.
Malahan yang
lebih lucu adalah saat mengisi kolom silaturahmi selepas solat id, banyak
di antara adik-adik siswa yang ketika masuk ke rumah guru-gurunya menyodorkan
buku itu lebih dulu. Sehingga tradisi meminta maafnya menjadi kegiatan nomer 2
atau bahkan sampai terlupa. Sehingga sering kali guru mengingatkan ulang tentang
makna utama yang harus dicapai, yakni silaturahminya, bukan malah buku yang
menjadi tujuan utama.
Sedikit FYI, ini
tidak sebatas asumsi, aku mengerti dinamika ini karena memang aku tumbuh di
keluarga guru, sehingga pemandangan itu mudah ditemui setiap lebaran di rumah.
Kejadian-kejadian
lucu ini mengingatkanku pada ceramah Gus Mus perihal “kita jangan sampai lupa,
mana yang jalan mana yang tujuan hidup”
Gus Mus sering
mengingatkan dengan cara bertanya pada para jamaah “apa sebenarnya tujuan kita?
Partai kah? Pilpres kah? NU kah? Islam kah? Atau Allah? Islam itu pun adalah
jalan, masih wasilah, tujuan atau ghoyah kita ya tetap Allah”
Nah praktik kita
sehari-hari itu sering menempatkan islam sebagai tujuan, bukan lagi Allah. Sehingga
saat agama dikoyak, kita jadi bingung dan lupa tujuan. Yang seharusnya kita
harus tetap fokus pada tujuan mencari ridho dan menuju Allah, malah seringnya
kita teralih dan menuhankan islam. Kita jadi gampang marah dan mensupah
serapahi liyan, padahal bisa jadi Allah tidak ridho kita seperti itu. Kita jadi
terhalusinasi pandangan dan kabur dari tujuan, kita jadi koyak akan menyakini
bahwa islam adalah jalan, bukan tujuan.
Ya Allah sungguh
maafkan kami.
Hal ini tentu
persis dengan tingkah lucu anak-anak tadi, tentu membuat kita gemas kan. Buku ramadan
itu kan jalan, tujuannya adalah ibadah dilakukan dengan baik dan
sungguh-sungguh.
Sebenarnya yang
terpenting buat anak-anak itu ya rajib ibadah, kalau ceramah ya didengar, kalau
selepas solat id ya silaturahmi ke guru, bukan malah fokus dan terpenjara pada
tuntutan mengisi buku sampai yang hanya jalan.
Anak-anak itu
jadi lebih mementingkan isi buku yang full dari pada rutin beribadah. Anak-anak
itu lupa mana yang jadi tujuan dan jalan.
Sehingga kehadiran
guru yang selalu membersamai murid jadi penting, yang selalu mengingtakan mana
sebenarnya tujuan dan mana yang sekedar jalan. Dan semoga juga, dalam
keberislaman kita, tetap ada alim ulama’ yang membersamai kita dan tidak lelah
mengingatkan kita mana yang tujuan dan mana yang jalan.
Kalau murid tidak percaya guru yang selalu mengingatkan mana tujuan dan jalan, seraya berani berkata “pak minta tanda tangan absen silaturahmi, ini berhubungan dengan nilai”. Kita cuma bisa
berharap bahwa dalam berislam kita tidak berperilaku seperti itu juga pada alim
ulama yang biasanya membimbing kita, apalagi sampai punya standar ganda pada
ulama’ demi kepentingan tertentu.
Salam :)
Refleksi Ramadan #27
[Sumber: mj-alfalah.blogspot.com] |
Akhirnya semalam mengikuti rangkaian khotmil Quran yang dilaksanakan langgar sebelah rumah. Kegiatan ini memang dicocokkan dengan malam ganjil di 10 terakhir ramadan, tujuannya tak lain dan tak bukan untuk mencari kans peluang bertepatan dengan Lailatul Qadar.
Ndak perlu terlalu tegang karena dari kemarin aku selalu bilang soal mencari Lailatul Qadar yang seolah-olah semua ibadah dimaterialisasi. Semua ibadah harus untung.
Hal ini dikarenakan salah satu jalan masuk mengajak orang untuk mau beribadah terutama yang awam ya lewat dengan apa manfaat yang didapatkan ketika mau melakukan sesuatu. Urusal level beribadah, itu bisa dilatih, yang penting kan mau ibadah dulu.
Seperti belajar, analisis itu penting, evaluasi apalagi, sintesis malah hampir puncak dari tataran keilmuan. Tapi semua itu tidak akan bisa berjalan kalau pondasi keilmuan tidak dimiliki. Pondasi keilmuan jelas adalah tau tentang ilmu yang akan dibahas. Sehingga anak selevel SD pasti diberi banyak hafalan. Anak SD tidak harus bisa menganalisis secara tajam, tipis-tipis saja dulu, ndak papa, yang penting tau dulu tentang apa yang mau dianalisa. Kemampuan analisis nanti diasah sambil jalan, pelan-pelan.
Sehingga untuk tahapan masyarakat kampung, mau baca Quran dan salat jamaah rutin itu sudah bagus. Ndak perlu sampai semua orang diwajibkan paham nahwu sorof, asbabun nuzul sampai tafsir. Biar itu menjadi bagian otoritas yang ditunjuk kampung, semisal lulusan pondok pesantren atau kiai kampung.
Kembali ke khataman yang semalam aku ikuti. Kegiatannya full dengan membaca Alquran dari awal sampai akhir, diawali selepas subuh dan diakhiri selepas tarawih.
Sehingga memang yang dilakukan hanyalah membaca. Kalau bahasa orang yg lebih progresif, yang dilakukan hanyalah mengeja. Karena bisa dikatakan dari banyaknya orang yang membaca Alquran kemarin sama-sama tidak mengerti maksud dan tujuan dari apa yang dibaca.
Manfaat dan sedikit tafsir diberikan saat selesai berdoa bersama. Namun yang benar-benar aku baru sadar adalah khotmil quran di desa selalu dibarengkan dengan kegiatan sholawat nabi.
Sebenarnya sejak dulu, cuma aku sadarnya baru sekarang, bahwa apa yang berhubungan dengan Alquran selalu gandeng dengan sholawat nabi.
Ini tentu bukan sesuatu yang diada-adakan, kita tahu bersama bahwa Alquran adalah mukjizat paling agung dari Rasul Muhammad saw. Sehingga tentu kita perlu berterimakasih pada baginda Muhammad saw.
Kalau diingat-ingat, saat itu, saat turunnya Alquran untuk pertama kali, terjadi 3 buah peristiwa besar yang terjadi di waktu bersamaan. 1. Turunnya Alquran dari langit arsy ke langit bumi 2. Menandai awal masa kenabian dan 3. Lailatul Qadar.
Sungguh ramadan menjadi bulan yang semakin istimewa. Apalagi sampai kita tidak menyia-nyiakan malam ramadan. Bisa jadi kita juga bertemu dengan Lailatul Qadar yang notabene adalah hari di mana Nabi Muhammad saw. pertama menerima wahyu Alquran dan memulai masa kenabian.
Sehingga sudah sangat pasti bahwa Alquran dan hadis adalah satu kesatuan yang selalu berkelindan.
Namun, kita sebagai orang awam tak bisa serampangan menggunakan kedua wahyu agung itu. Kita perlu juru masak isi kandungan Quran dan Hadis, si pemilik otoritas tafsir yang dapat membantu kita memahami sari pati kandungan Alquran dan Hadis.
Semoga kita tidak terlalu tinggi hati yang membuat tidak mau belajar.
Salam :)
Refleksi Ramadan #26
[Sumber: travel.kompas.com] |
Puasa di rumah tentu memberikan sebuah sensasi yang berbeda dengan saat di daerah rantau, dari hidup yang lebih teratur
Berkesan dalam
arti banyak sekali rasa yang dapat hadir di rumah, dari suka sampai duka. Ya itu
lah rumah.
Rumah memang
memberikan banyak kenangan, kadang yang menyenangkan, kadang yang menyebalkan. Rumah
adalah hidup. Tidak mungkin hidup hanya berisi kebahagiaan. Hidup itu kompleks
dari bahagia bukan main sampai sedih luar biasa.
Dulu aku sempat
protes kenapa ada sesuatu yang masam hadir di rumah? Kayaknya hal itu datang
ketika aku kecanduan motivasi yang katanya kontruktif, ya meskipun rasa yang
nyata hadir ada juga yang membuat hidup tambah destruktif. Motivator bilang “rumah
adalah surga”, kok buatku saat ini, kata-kata itu semacam racun yang
pelan-pelan bisa membunuh, karena kita akan tetap merasakan kecutnya hidup di
rumah.
Dari sana aku sering
protes karena kehidupan di rumah ndak selalu manis kayak di surga, pikiranku
saat itu rumah harus berisi sesuatu yang manis saja, tidak boleh ada yang asam.
Dan saat asamnya kehidupan itu datang, brontak datang menjadi-jadi.
Saat ini mulai
aku meyadari bahwa picik juga kalau mengharap rumah hanya berisi yang manis,
sementara rumah adalah hidup itu sendiri. karena hidup, sehingga isinya harus
beragam. Tinggal kita yang cerdik atau tidak dalam mengelola setiap rasa yang
datang. Atau kita hanya mau pasrah dan mengharap kebahagiaan tanpa mau mengolah
diri dan perspektif yang nantinya akan membuat mata kita memaknai hidup lebih
berbeda.
Ya itulah rumah,
tempat paling tempat untuk kita memahami hidup.
Ada diantara kita
yang bahagianya bukan main kalau sedang di rumah bersama keluarga dan ada juga
yang sebaliknya. Rumah benar-benar menjadi salah satu contoh paling tepat
tentang kompleksnya kehidupan yang penuh dengan spektrum situasi hidup.
Menjadi contoh
yang sangat tepat juga untuk kita dalam melatih hawa nafsu saat puasa, karena
yang kita hadapi adalah bagian dari diri kita sendiri.
Mungkin kita bisa
sabar dengan ulah ngawur orang di jalan yang tidak kita kenal, tetapi kalau
kejadian menyebalkan itu terjadi di rumah, apakah kita tetap bisa mengendalikan
emosi? Tentu menjadi sangat sulit apalagi kita merasa punya hak untuk meredam
situasi yang tidak kita suka. Salah pendekatan dan berakibat pada semakin
kacaunya situasi, kondisi pun tambah gak enak, karena kejadiannya ya tetap di rumah.
Rumah adalah
tempat keintiman kita dengan jati diri.
Jika rumah buat
sebagian teman-teman adalah tempat yang menyebalkan, coba ubah persepektif,
jangan terlalu banyak berharap pada hal yang tidak bisa kita ubah. Yang bisa
kita kendalikan adalah diri kita sendiri. ubah cara kita memandang rumah dan
menjadi manusia proaktif.
Untuk teman-teman
yang tidak bisa pulang kampung, jangan sampai berkecil hati, karena yang tidak
bisa ditemui saat lebaran ini hanya rumah sebagai benda, bukan rumah sebagai
sifat.
Sebenarnya, di
manapun kita dan sejauh apapun kita pergi, kita tetap berada di rumah dengan
segala gejolak kehidupan yang hadir di dalamnya.
Semoga ramadan
yang nyaris akan segera berkahir ini dapat membuat kita menjadi manusia yang
lebih efektif. Salam :)