Archive for 2019

Review Dua Garis Biru: Film yang Lengkap Meskipun Tidak Ada Adegan Enak-enak

[Sumber: hot.detik.com/]

Setelah beberapa waktu lalu menulis respon orang-orang pada film dua garis biru yang dicap banyak madhorodnya. Akhirnya setelah itu aku putuskan untuk menonton dan membuktikan apakah film ini benar-benar sebegitu buruknya atau malah berisi sebaliknya dan menjadi film yang patut direkomendasikan.

Ekspektasi awal sebelum menonton film dua garis biru adalah film yang akan berisi banyak hal haru dan memilukan. Apalagi dari sedikit cuplikan di trailer ada beberapa adegan marah-marahan antara orang tua ke anak. Selain itu juga ada kalimat vonis dokter kehamilan pada Rara dan Bisa tentang bahayanya hamil di usia muda.

Dan ternyata benar saja, setelah menonton film yang durasinya hampir dua jam itu, adegan cerianya hanya sepersekian menit saja. Sedikit sekali, sekolah, bercanda, pulang, bercanda di kamar terus buyar. Bahkan adegan enak-enakpun yang dikhawatirkan itu tak ada. Semi enak-enak tak ada. Enak-enak disensor ndak ada. Bahkan pemanasan enak-enak pun ndak ada. Blas ndak ada titik film yang bisa membuat ngaceng sedikit saja. Blas ndak ada. Astagaaaa.

Selanjutnya, mungkin dari menit ke 10 menit awal sampai selesai, film itu isine pilu kabeh, penyesalan, kebingungan, keputusasaan, kekecewaan dan keharu-biruan sejenis.

Sesuai ekspektasi!. Setidaknya egoku menang melawan orang-orang yang bilang kalau “film ini akan mengajarkan enak-enak” serta yang mengakatakan bahwa “enak-enak pada pelajar itu oke”.

“Mana ada? Tidak ada yang seperti itu” batin egoku.

Selain pemuas atas ego, film ini masuk dalam kategori yang menyenangkan. Bahkan kalau dirangking, film ini bisa mendapat poin 9/10 dalam takaran kepuasanku.

9/10 ini pun bukan isapan jempol, ada alasan jelas dariku kenapa nilainya bisa sampai 9/10. Satu kata pertama kenapa film ini menyenangkan sekali: komplit!.

Saya kira film ini sudah memiliki semua hal-hal yang aku butuhkan untuk dikatakan menyenagkan untuk dilihat.

Film ini kuat pada dramanya, nangis adu biyung. Apalagi konflik yang dibangun adalah konflik keluarga. Huhuhu. Apalagi setjara subjektif ancen aku ndak isoan kalau konflik yang diangkat adalah keluarga, sedihe ya Tuhan. Seperti saat film cek toko sebelah. Sedih banget.

Selain itu keruwetan yang dihadirkan dalam drama konflik dua keluarga ini juga seru. Penataan latar belakang dan sifat yang dikenakan pada masing-masing tokoh juga bagus. Rara berlatar belakang keluarga kaya dan sudah pasti orang tuanya menjadi sibuk, rumah menjadi sering kosong dan kahirnya Rara sering cerita ke adiknya. Sementara Bima adalah keluarga miskin di pingiran sungai Jakarta, punya ayah yang alim nan sabar dan ibu yang khas stereotip ibu-ibu gang, cerewet dan ceplas-ceplos.

Kehadiran tokoh yang kuat ini di beberapa adegan menjadikan cerita menjadi sangat dramatis. Apalagi saat Rara ketahuan hamil dan ke dua orang tua mereka dipanggil sekolah. Pertangkaran di ruang UKS menjadi adegan tumplek blek karakter kuat di satu ruangan yang menghasilkan adegan yang sensasional.

Selain drama yang kuat, sepanjang film aku menunggu pada poin “di mana akan ada pelajaran tentang seks?” akankah ada superhero yang tiba-tiba muncul dan menjelaskan apa itu kesehatan resproduksi? Ataukah info itu akan muncul dari layar teve atau berita, ataukah akan ada seseorang kerabat yang kebetulan seorang pegiat kesehatan reproduksi?

Jawaban itu turun pada dokter kehamilan. Cukup wajar. Dan akhirnya menjadikan adegan tidak terlalu dibuat-buat.

Penyampaian materi itu pun wajar dan tidak berlebihan sampai membuat film ini menyerupai film dokumenter yang banyak keterangan dan penjelasan. Dalam menyampaikan penjelasan pun diselinggi adegan yang cukup mengelitik dan membuat keterangan tidak begitu tegang.

Selain ada keterangan eksplisit, dalam film ini juga menampilkan keterangan implisit dari setiap adegan yang ada. Semisal tentang perubahan perut dan kondisi kehamilan, kapan bayi mulai menendang, cek USG sampai keluarnya susu saat seorang ibu hamil.

Asli untuk urusan susu keluar pas ibu lagi hamil dan mendekati masa kelahiran adalah hal yang baru aku tau.

Film bermanfaat gini kok dibilang ngajari enak-enak. Hilih.

Belum lagi saat masa-masa klimaks, muncul beberapa kata yang cukup menguncang batin. Untukku bagian ini jatuh saat dialog Bima dan Ibunya setelah solat. Bima bilang dia selalu berdoa kalau dia masuk neraka, dia ndak pengen ibunya ikut masuk neraka karena Bima. Dijawab juga oleh ibunya bima, bahwa beliau selalu berdoa semoga anaknya masuk surga. Ini hampir pecah, tapi belum. Sampai muncul kata dari Ibunya bima “harusnya kita lebih sering ngobrol kayak gini ya bim”. Tumpahlah anak dan ibuk itu dipelukan yang basah oleh air mata.

Dan satu hal lagi yang membuat aku suka dengan film ini adalah saat memberikan jawaban atas konflik yang dibangun.

Dalam cerita itu ada satu konflik yang dibangun, yakni ananya Rara yang masih dalam kandungan rencananya akan diberikan ke tantenya karena tantenya itu berdua belum dikaruniai anak. Bima tak setuju, bukan hanya karena itu anaknya, tetapi keputusan akan memberikan bayinya Rara dan Bima ke tantenya Rara adalah keputusan sepihan ibunya Rara. Rara pun tak setuju.

Belum lagi saat ibunya Rara bilang “ngurusi anak itu bukan hal yang mudah, mama aja gagal, apalagi kamu Ra yang masih kecil”. Rara dan Bima tersudut, mau ndak mau mereka mengakui memang masih muda dan mungkin belum siap mengurusi bayi. Belum lagi urusan pekerjaan dan sekolah yang masih jadi mimpi. Mereka anak SMA dan belum punya penghasilan untuk ngerumat keluarga, tentu sulit kalau dipikir-pikir. Mereka terlihat menyerah dan mungkin terpaksa mengiyakan pinta mamanya Rara.

Tetapi jawaban atas konflik ini indah sekali. Bukan atas adu argumen Rara dan Bima vs Mamanya Rara, tetapi pada hasil yang didapatkan Rara.

Ternyata Rara saat melahirkan mendapat bekas pendarahan di rahim dan membuatnya harus dioprasi pengangkatan Rahim. Yessss!

Ini keputusan yang bagus, pengangkatan rahim Rara memastikan anaknya tidak akan diberikan ke tantenya Rara. Jawaban yang indah, meskipun aslinya adegan itu sangat sedih. Terutama untuk Mamanya Rara yang harus menerima kenyataan bahwa anak sulungnya harus oprasi pengangkatan rahim sebelum anaknya genap lulus SMA. Haru biru. Hu hu hu

Jadi, kurang lebih itulah hal-hal indah yang aku temukan dalam film dua garis biru. Dan dari serangkaian keindahan film ini, kembali bisa aku pastikan bahwa kekhawatiran film ini menjadi pelegalan enak-enak adalah bualan belaka.

Lawong sedih tok, kapan enak-enake, sampek afirmasi enak-enak... hemmm

Kamis, 25 Juli 2019
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Menikah, Enak Kali Ya

[Sumber: entertainment.kompas.com/]
Aku percaya bahwa menikah adalah kegiatan sakral. Bukan hanya karena harapan untuk dilakukan sekali seumur hidup, tetapi lebih dari itu, banyak hal yang yang dapat berubah dan munculnya berbagai kejutan setelah menikah. Sehingga memang aku pun percaya, menikah bukan perkara cepet-cepetan, butuh persiapan yang matang di dalam dan luar diri.

Saya belum menikah, sehingga bukti kesakralan menikah ini aku dapatkan dari pengalaman mengamati orang lain yang sudah menikah. Dengan sedikit bertanya kepada yang bersangkutan untuk mengverifikasi apa yang kuamati. Setidaknya aku punya dua cerita tentang sakralnya menikah.

Pertama, menikah yang akan memberikan barokah rejeki.

Saat itu, ada seorang perjaka yang belum menikah tetapi sudah bekerja. Dari pengakuannya, hasil kerjanya sebelum menikah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari masih sering kurang. Bahkan sesekali perjaka ini meminta tambahan uang pada orang tuanya.

Kebutuhan sehari-harinya pun sebenarnya standar, dari makan, pakaian, bensin dan beberapa keperluan rumah semisal sabun. Ditambah kebutuhan rokok yang akan menemani waktu senggangnya.

Dia hidup sederhana, bahkan jauh dari kehidupan bermewah-mewahan. Rokok yang dibelinya pun bukan rokok yang harganya mahal, rokok dengan harga medium dan itu pun dihabiskan dalam waktu kurang lebih dua hari per bungkus.

Segala yang melekat dalam dirinya pun sebenarnya tidak ada yang benar-benar mewah, semuanya serba sederhana. Mementingkan fungsi dari pada gengsi.

Ketika ia menginjak umur, mungkin sekitar, 27, Dia memutuskan menikah. Keputusannya ini pun membuatnya hidup pindah ke rumah istrinya, hal ini dikarekanan istrinya hanya tinggal bersama ibunya, karena ayah istrinya sudah tidak ada. Sehingga perjaka ini tidak hanya akan menjadi kepala keluarga kecil barunya, tetapi sudah akan langsung menjadi tulang punggung keluarga barunya.

Sebenarnya secara logika rasional, kehidupannya akan sulit. Bagaimana tidak, dia hidup sendiri saja masih harus amat sangat menghemat. Setelah menikah kok langsung menanggung kehidupan 2 orang, istrinya dan ibu mertuanya. Belum lagi setahun atau dua tahun lagi dia akan dikaruniai buah hati.

Tetapi harga rasional itu benar-benar terbantah.

Berkahnya menikah benar-benar terwujud darinya, jangankan untuk menghidupi keluarganya, pemuda ini pun mengaku bisa kridit 2 motor dengan lancar dan menabung sedikit demi sedikit. Padahal kerja yang dilakukannya pun tidak berubah dari sebelum menikah.

Dan aku sudah cukup dengan ini, lain kali saja aku membutuhkan penjelasan rasional lebih. Saat ini aku cukup dan mengamini bahwa menikah memang membawa keberkahan. Cara mendapatkan berkah itulah yang perlu dicari.

Kedua, menikah akan mengubah aura seseorang.

Kisahnya aku sudah kenal perempuan ini dari sebelum dia menikah. Dia orang yang baik dan penuh ketegasan. Ketegasan ini lah yang kadang-kadang serem juga kalau dilihat.

Mungkin niatnya bercanda atau sekedar meminta penjelasan pada suatu hal, tetapi rasa-rasanya serem aja. Sejujure sebagai teman yang tidak pernah punya masalah dengannya, aku juga cukup takut kalau misal ada masalah dengan dia, penyebabnya ya karena auranya kalau dia sudah mulai sebal itu serem sekali.

Sering dia digoda temannya dan terpancing percikan sebal kecil ala teman, itu pun ada seramnya.
Belum lagi kalau cerita pada orang yang tidak disukainya. Aura seram perempuan ini semakin pekat terasa.

Sehingga sentilan pertama yang muncul di otak saat mendengarnya dia akan menikah “ini beneran mau menikah, pacarnya aja sering dimarahi, gimana itu nanti keluarganya. Serem gitu e”

Dan, bimsalabim.

Setelah ia menikah, seminggu setelahnya aku baru bertemu dengannya lagi. Rasa-rasa serem itu sudah benar-benar alpa.

Dia digoda teman sampek sebal? Masih
Dia cerita orang yang tidak disukai? Masih
Dia marah-marah gemas ke teman? Masih

Tapi semua beda rasanya. Terasa ada nuansa ayem yang terpancar dari air mukanya. Sekarang, melihatnya hanya ada satu hal yang terpancar dari dirinya, gembira.

Anehnya, ketika dilihat di foto, dia tersenyum saat diambil gambar, rasanya si biasa aja, gak ada yang berubah dari sebelum dan sesudah menikah. Tetapi kalau sudah bertemu, barulah pancaran bahagia itu terasa.

Terasa banget malahan.

Dan sekali lagi, aku masih belum benar-benar membutuhkan penjelasan paling rasional tentang fenomena ini, biar ini menjadi misteri yang seru aja di hidup.

Selain dua yang aku ceritakan, sebenarnya ya ada beberapa menikah yang rasanya biasa aja si. Semoga kita kebagian efek indahnya menikah lah ya.

Untuk yang belum menikah, ya sekarang kita siap-siap saja.

Tidak perlu terburu-buru, yang sudah ada calon atau yang belum, kita masih kebagian jatah berusaha memperbaiki dan mempersiapkan diri. Biar kejutan Tuhan yang berperan.

Senin, 22 Juli 2019
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Guns n Roses Yang Biasa Aja!

[Sumber: www.youtube.com/watch?v=1w7OgIMMRc4]

Ketika ada pertanyaan, pernah gak kalian tidak suka pada sebuah band tapi hampir rata-rata orang suka?

Kebetulan aku memiliki jawaban “iya”. Band itu adalah Guns N’ Roses. Sungguh aku biasa-biasa aja pada band ini, padahal dalam hidupku, aku pernah merasakan seriusnya belajar gitar, hampir setiap hari ngulik dan mencoba lagu serta melodi baru. Dan memang harusnya Guns N’ Roses adalah salah satu band yang aku pelajari dalam bermain gitar.

Asal mula ketidaksukaanku pada Guns N’ Roses masih berkaitan dengan momen pertemuan pertama. Saat itu, kurang lebih saat kelas VIII Mts. Ketika masa awal belajar gitar.

Untuk seorang gitaris pemula, para sesepuh sering kali memberikan materi gitar yang enak untuk dipelajari dan dimainkan. Point plus selain enak dan mudah tentu soal keren. Dan Guns N’ Roses adalah salah satu band yang sangat direkomendasikan dalam awal belajar gitar.

Dibilangnya “wah band ini rock sekali. Enak dan keren. Coba latihan sweet child o mine!”. Tentu bisa ditebak karena apa, tentu karena solo gitar dari Slash yang membanjiri lagu ini. Baru mulai saja sudah solo.

Tapi itu semua sayangnya tidak berlaku di hidupku. Permulaan lagu yang hanya berisi melodi pelan, suara yang sama sekali tak unik, nada yang standard dan pastinya menjadi alunan pembuka yang kurang memikat. Disusul petikan bass yang bermain harmonisasi berniat memberikan sentuhan melodik, gitar ngenjeng sesekali yang membangun ritme dan drummer yang hanya sesekali bermain simbal untuk memberikan suasana lebih hidup.

Namun sayangnya semua itu tidak berguna di telingaku. Pembukaan yang membosankan dan tidak mengairahkan. Dan yang paling krusial, lagu ini pelan, pelan sekali untuk mau dikatakan band rock. Hal ini karena di kepalaku dulu, yang namanya rock ya temponya harus cepat dan kuat.

Sebenarnya solo awal tidak sepenuhnya gak enak. ya enak, tapi gak sampek buat tercengang dan berseru “wah ini!”. Tidak memikat, dan ya hanya berlalu saja. Nada-nada pembuka seperti itu sudah tidak memberikan efek kejut di telinga.

Kalau yang ditanya soal “Ikonik?” Tentu, sangat ikonik, apalagi para pemuja Guns N’ Roses sangat memvisualisasi mereka dengan sangat baik. Sangat dewa lah. Apalagi memang didukung dengan dandanan yang nyentrik.

Siapa coba yang tidak terpikat dengan gaya kepala dari Slash?

Tapi masalahnya tidak hanya soal persona, tapi ya tadi, soal irama.

Lagu yang isinya hanya permainan drum dobble strok “duk tak duk duk tak duk duk tak duk duk~”, itu saja sampai lagu selesai, sangat standart dan membosankan!.

Permainan gitar kedua yang tidak memberikan peran signifikan. Udah lah gak pakek gitar kedua juga gak apa-apa. Beda gitu rasanya kalau mendengar gitar kedua dari My Chemical Romance atau Avenged sevenfold yang menurutku sangat bekerja keras untuk membangun suasana.

Permainan gitar kedua yang krusial dan sangat berpengaruh pada aura lagu. Sementara gitar kedua Guns N’ Roses di lagu sweet child o mine tidak semenarik itu.

Bass juga tidak begitu menarik, kayaknya emang karena nada dasar yang diambil adalah standar begitu ya, jadi ya hasilnya standar semua. Dan untuk Axl Rose, ini adalah salah satu kelebihan, kuat karena suara yang melengking khas. Sayangnya memang Axl sepenuhnya sendirian, bahkan solo slash yang tengah pun buatku biasa saja. Ya cepat, tapi apa? Sudah ya begitu aja.

Begitulah sweet child o mine yang tidak sweet di hidupku.

Memang sayangnya adalah kenapa pertemuan pertamaku dengan Guns N’ Roses adalah lagu sweet child o mine, coba kalau pertemuan pertamaku adalah welcome to the jungle atau paradise city. Mungkin akan lain ceritanya. Bisa jadi yang aku idolakan sekarang bukan Metallica, tetapi Guns N’ Roses ini, karena Metallica baru hadir belakangan ini.

Selamat Mendengar Musik!

Kamis, 18 Juli 2019
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Malas Membaca, Gemar Komentar

[Sumber: hot.detik.com]
Beberapa hari lalu, saya menemui banyaknya orang mencibir film dua garis biru, narasinya nyaris tunggal, “Boykot film yang menghimbau pergaulan bebas”, “Pergaulan bebas kok dibilang bagus”, “film sesat!”.

Yang uniknya, kenapa yang berisik berceloteh demikian adalah orang-orang dari satu afiliasi ormas yang sama. Padahal konteks yang dikritik adalah film, kenapa tidak menjadi global saja, kan film adalah hiburan konsumsi publik, kalau emang film ini jelek, kan bisa bernarasi masing-masing sesuai penilaian.

Apa jangan-jangan karena memang selama ini mereka yang berceloteh tadi kerap berkampanye menolak pacaran dan langsung nikah aja, meskipun masih belia. Eh

Ketika ditanya balik soal celoteh mereka, apa sudah mereka menonton film itu, eh ternyata jawabannya belum.

Mereka berkata, dari trailer saja sudah kelihatan arah film itu. Trailernya bercerita pergaulan bebas anak SMA yang berani bersetubuh di luar nikah. Lalu mereka berbondong-bondong menyerang film dan penontonnya, terutama yang menganggap film itu bagus. Ya dengan narasi tadi, film menyuruh berhubungan bebas kok dibilang bagus.

Padahal, sependeknya saya kenal film. Ini serius, saya emang pendek pengetahuan tentang film, karena emang jarang-jarang aja liat film. Bukan bermaksud merendah, emang saya rendah.

Saya tidak pernah sekalipun bisa menebak arah dan maksud dari suatu film hanya dari sebuah trailer, asli. Selalu banyak lika-liku yang tidak mungkin diceritakan di trailer. Lagian trailer ini kan tujuannya cuma menampilkan beberapa cuplikan film. Paling yang pasti ditampilkan cuma setup awal film. Ditampilkannya pun kerap tidak runtut, kadang dari depan, terus belakang dan berakhir ditenggah. Jadi sungguh film ndak bisa hanya dinilai dari sebuah trailer, an sich.

Tapi kalau emang ada trailer film yang sudah dapat menjelaskan isi film, itu adalah bukti bahwa pengetahuan saya tentang film emang pendek.

Hal lain, selain mengklaim kebenaran pengehatuan film dari trailer, mereka juga menyebut film menyuruh berhubungan bebas kok ditonton, kok dibilang bagus. Nah ini konyol. Asli.

Apa ya mereka ndak pernah liat film action yang isinya tembak-tembakkan. Apa ya mereka ndak pernah liat film komedi yang suka memunculkan korban untuk menampilkan tawa. Apa mereka ndak pernah nonton film triler yang penuh darah. Apa ya mereka ndak pernah nonton film drama yang dikit-dikit galau, nyanyi dan cipokan. Apa ya mereka ndak pernah nonton AYAT-AYAT CINTA yang hadehhhhhh~

Kan ini film. Banyak tujuan yang ingin dicapai dari film. Ada maksud dari film. Ada pesan yang ingin disampaikan dari film.

Kalau saya liat Jhon Wick yang hobi tembak-tembakan, apa ya artinya jhon wick ngajari saya untuk nembaki orang sepanjang jalan kaliurang. kalau saya liat Alladin yang dikit-dikit suka nyanyi, apa ya saya harus dikit-dikit nyanyi di jalan gejayan. Kalau saya lihat 5cm yang suka naik gunung, apa ya saya harus naik gunungnya an*s. kalau saya liat bumi manusia, minke cium annelis di pertemuan pertama, apa ya artinya bumi manusia nyuruh saya nyium gadis di pertemuan pertama dengan cewek berjaket biru dongker di toko buku togamas gejayan yang cantinya aduhai itu.

Kan ndak begitu cara mainnya.

Kok bisa dibilang bahwa film dua garis biru ngajari kentu di luar nikah hanya karena trailernya/set up filmnya bilang kentu di luar nikah. Ini kan pengambilan keputusan yang terlalu prematur.

Nah, sesudah sebel-sebelnya saya pada mereka yang kadong mencaci film dua garis biru senbelum nonton. Kok ndilalah saya melihat unggahan terbaru dari KH Musthofa Bisri di Instagram. beliau menulis “Kalau memahami status saja tak sempat, mengapa tergesa-gesa mengomentarinya?”

Ehh ternyata kebiasaan komentar sebelum memahami maksud seseorang itu gaya hidup to. Hehehe. Sampek KH Musthifa Bisri menuliskan hal seperti itu.

Kok sampek terang benderang gini alur dan ritmenya dalam pengen nyacati orang dan gagasan yang gak disuka.

Bijaknya seperti apa, monggo dirembuk masing-masing.
Salam


Senin, 15 Juli 2019
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Dewa 19 Adalah Dewa

[Sumber: www.tokopedia.com/mascisjunior/cd-dewa-19-bintang-lima]

Seingatku, aku sunat pada liburan kelas 3 menuju kelas 4 MI. Motivasi sunat saat itu tidak hanya soal agar terbebas ecean teman karena belum sunat dan bujukan seperti digigit semut, tetapi dorongan yang lebih penting adalah soal uang yang akan didapat kalau mau sunat.

Banyak diantara teman yang memang mau sunat karena uang santunan sunat akan dipakai untuk beli ini dan itu. Paling sering si aku temui targetnya adalah beli PS. Meskipun banyak diantaranya yang berakhir di hayalan, karena emang PS adalah hal yang istimewa dan tentu
juga malah. Sehingga keistimewaan itu hanya didapat oleh mereka yang kaya dan sunatnya bermegah-megahan. Selebihnya paling keinginannya tereduksi menjadi CD player, kaos, sepatu atau bola.

Nah, untuk diriku sendiri, dulu yang kudapat adalah CD player dan beberapa keping CD. Selain CD film power ranger turbo dan beberapa power ranger dari Jepang, yang kuambil adalah kepingan CD lagu. Saat itu yang kuambil adalah CD lagu album Dewa 19 “Bintang Lima”. Tidak karena kualitas musik atau sudah ngefans dengan Ahmad Dhani dan Andra Ramadan, saat itu aku masih kelas 3 dan berumur 7 tahun, atau sekitar tahun 2001, jadi kenapa aku putuskan membeli album bintang lima hanya karena cover CD-nya bagus. Hati dengan sayap dan diatasnya bertuliskan DeWA 19. Sangat ikonik.

Sebenarnya kebiasaanku mendengar lagu sudah berjalan sejak lama, hal ini karena emakku yang selalu nyetel qasidah dan banjari. Serta kedua kakakku yang jarak usianya 7-10 tahun di atasku selalu membawa lagu-lagu top 40 dari daerah rantaunya masing-masing, sehingga lagu-lagu seperti Padi atau Sheila on 7 bukanlah hal yang aneh aku dengar.

Dan puncaknya tentu di Album Dewa 19 ini, bukan hanya karena aku sendiri yang memilih kasetnya, tetapi karena lagunya memang enak luar biasa.

Tidak hanya satu atau dua lagu. Semua lagu di album Bintang Lima adalah kategori enak di telinga dan hatiku.

Sedikit aku sampaikan, bahwa dari dulu sampai sekarang, aku tak terlalu biasa menelisik isi kandungan lirik terlalu jauh. Asal nada enak, cocok dan nyaman, sudah pasti aku sebut lagu itu enak, meskipun liriknya amat norak.

Dan benar saja, kebiasaan ini amat sangat dimanjakan dengan album Bintang Lima.

Isian melodi gitar dari Andra yang selalu membuat kita berhayal menjadi rock star yang sedang solo gitar di sebuah konser, permainan keyboard dari Ahmad dani yang tipis-tipis tapi membuat lagu ini amat lengkap. Gebukan drum dan olah bass yang selalu membuat beat yang mudah membuat pendengar berjoget, minimal mengeleng-gelengkan kepala. Apalagi dengan suara khas once yang serak, sangat maco dan menjadi jubir terbaik dari lagu-lagu yang melodis dan megah dari Dewa 19.

Mendengarkan album bintang sembilan memberikan efek seperti kita sedang dipertontonkan sebuah opera atau mungkin teater. Album ini seolah memiliki alur, ritme dan emosi yang dimainkan. Album dibuka dengan lagu berjudul mukadimah, isinya hanya instrumen dan diujungnya seakan-akan bersambung dengan lagu ke 2, Roman picisan.

Kekuatan lagu Dewa 19 buatku tidak hanya soal harmoni musik yang selalu membuat ekstase pecintanya. Tetapi pemilihan nada dari pengisi vokal juga sangat khas, aneh dan unik. Ada yang mendayu, ada yang seperti membaca mantra, ada yang seperti orasi, ada yang seperti merayu, dan tentu ada yang seperti marah-marah.

Kalau mau menelisik liriknya sedikit serta meresapi apa yang ingin disampaikan, sebenarnya pemilihan diksi dari lagu-lagu Dewa 19 selalu kuat dalam mengekspresikan hati sang Arjuna.

Malam-malamku bagai malam seribu bintang
Yang terbentang di angkasa bila kau di sini
Tuk sekedar menemani
Tuk melintas jiwa
Yang selalu tersaji di satu sisi hati – Roman Picisan

Hawa tercipta di untuk menemani sang Adam
Begitu juga dirimu, tercipta tuk temani aku – Dua Sejoli

Kau hancurkan diriku
Bila kau tinggalkan aku
Kembalilah padaku bahwa separuh nafasku
Kau dewiku – Separuh Nafas

Selanjutnya, buatku, lagu terbaik di album ini adalah “Cemburu”. Entah ini genre apa, meskipun aku selalu lemah dalam mengidentifikasi genre. Tetapi efek magisnya sudah terasa sejak drum mulai digebuk. Dibuka dengan kata-kata –sebenarnya sangat norak- “ingin ku bunuh pacarmu!”. Lirik macam apa ini, tapi ya begitulah dewa 19, selalu blak-blakan.

Lalu saat masuk ke part “mungkin ku katakan kepadanya saja, bahwa aku juga milikmu, bahwa aku juga u u u u u, bahwa aku juga kekasih hatimu” adalah klimak kemarahan yang sangat benar-benar marah, memberikan efek ingin jingkrak dan teriak.

Dan ajaibnya, langsung disusul dengan permainan solo Andra yang berkali-kali, berhasil menyihirku. Sial.

Sehingga tak berlebihan bahwa aku menyebut Dewa 19 adalah dewa, inilah pertemuan pertamaku dengan musik secara intens dan berjalan sangat manis.

Bebas untuk para pengkritik musik, bisa melihat kekurangan ini itu dari album ini, tapi ya begitulah cinta pertama, selalu berjalan indah dan membutakan.
Kamis, 11 Juli 2019
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Refleksi Ramadan #30

[Sumber: earnest.com]
Melihat hilal dan sidang isbat sudah dilakukan kemarin dan sudah memutuskan bahwa hari ini adalah puasa terakhir tahun 1440 Hijriyah. Yang belum bukber, tolong nanti segera bukber karena besok sudah tidak ada bukber lagi kecuali kalau janjian puasa senin kamis sebanyak 10 orang lalu kalian bukber sendiri. tapi saya jamin tidak akan segayeng bukber puasa ramadan karena yang melakukan senatero jagad. Jadi beneran ini, kalau belum bukber nanti sore segeralah. Hehe

Sudah mendekati akhir ramadan, tentu kita juga ingin berpisah dengan baik-baik. Kita sudah digembleng sedemikian rupa sebulan ini, sebagai hari perpisahan tentu kita ingin mendapat kesan yang baik di bulan ramadan ini. Jangan tiru yang semalam main petasan, kayaknya dia gak punya tivi, lawong takbirane masih nanti malam kok semalem wes main petasan, sungguh ra ndue adab. Indonesia gak sih, haissshhhhh~

Sudah tidak ada qiyamul lail untuk ramadan, semua sudah selesai tadi malam. Setelah buka puasa kita sudah masuk di bulan syawal, artinya kewajiban zakat wes ada, soalnya sebagian sudah menemui ramadan dan sebagian syawal, jadi yang belum zakat segera zakat. Yang merasa kurang dalam ibadah wes dilanjut aja selama 11 bulan ini, seng penting istiqomah, dan semoga bisa ketemu ramadan tahun depan.

Tidak ada cita-cita lain selepas ramadan kecuali kita menjadi lebih bertakwa, dapat terimplementasi dalam banyak hal semisal lebih berserah dan lebih tau diri kalau kita ini manusia. Kita sebagai manusia punya penyakit yang sudah menahun, dan penyakit itu sebenarnya mempersusah kita untuk sampai menuju Tuhan. Tentu yang kita bicarakan adalah penyakit hati. Contoh, seringnya kita melakukan apa yang menjadi job-nya Tuhan, semisal kita mengerutu saat doa tak terkabul, padahal tugas manusia itu doa dan tugas Tuhan adalah mengabulkan, kondisi seperti ini sering membuat kita lupa bahwa tugas kita adalah doa dan berencana, kita sering kebablasan sampai ingin di posisi yang bisa mengabulkan.

Semisal yang kongkrit, kita punya kebiasaan sowan ke sarean untuk kirim doa ke leluhur, kalau misal prediksi hari raya itu selasa dan rabu, ya kan kita sowannya hari senin. Itungan dan prediksi pasti ada, apalagi yang mengatakan bahwa hilal masih amat kecil dan belum terlihat, tetapi kita tentu harus tetap rendah hati, bahwa prediksi hari raya emang antara selasa dan rabu, jadi sowannya ya tetap senin, tidak malah mendahulukan persepsi, mencoba memastikan dan merasa sudah tau kalau hari raya pasti rabu. Tentu sifat seperti ini yang membuat kita tidak rendah hati, kita merasa sudah lebih tau dari apa yang masih dicari dan diprediksi.

Penyakin yang lain semisal tidak syukur dengan apa yang sudah diberi, padahal hampir segala yang terpenting untuk kita sudah diberi sama Tuhan, tapi masih saja kurang dengan hal-hal yang sebenarnya tidak substansial. Kita gak tau rasanya saat dicabut satu nikmat paling besar semisal fungsi paru-paru. Tentu sudah modyar kita di dunia ini. Nikmat paling vital sudah diberi, kita belum mensyukuri yang sudah diberi tetapi malah minta sesuatu yang ndak substansial. Misal, mintak panas saat hujan dan minta hujan saat panas. Ini kan permintaan labil, permintaan yang seolah-olah kalau dikabulkan jadi enak, tapi malah sejatinya merusak tatanan alam. Lawong Tuhan memberi cuaca ini salah satu pemberian yang paling realistis, semua ada sebab akibatnya.

Penyakit lain yang sering menghantui kita adalah tidak sabar. Terutama saat dunia sudah dihimpit sosial media, dengan tawaran semua bisa serba cepat, mengakibatkan kecenderungan kita menjadi tidak sabaran dalam proses dan memilih yang instan-instan saja. Padahal tentu akan berbeda hasilnya ketika sesuatu dilakukan dengan sabar dan yang tergesa-gesa. Baru belajar suatu hal setahun sudah mendapuk diri jadi pakar, sudah merasa punya otoritas ini itu, sampek berdoa yang macam-macam, mengancam pula, kok pede bakal diijabah kayak waliyullah saja. Ini kan tanda ketidak sabaran dalam proses. Ini kan kayak si pembaca meme yang sombong di hadapan seorang penikmat buku.

Masih banyak sekali penyakit-penyakit hati yang perlu kita kendalikan dan kelola, tentu teman-teman bisa mencari kelemahan diri masing-masing, lalu dievaluasi dan berusaha diolah agar tidak melarut-larut menjadi kebaisaan dalam diri yang malah mendestruksi keefektifan hidup.

Selamat berpuasa hari terakhir, salam :)
Selasa, 04 Juni 2019
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Refleksi Ramadan #29

[Sumber: merdeka.com]
Ramadan sebentar lagi akan meninggalkan, semoga apa yang sudah kita usahakan selama ini membuahkan hasil. Kita menjadi pribadi yang lebih baik, sabar, ihlas, hawa nafsu terkontrol dan yang paling paripurna tentu semakin bertakwa.

Tentu semua itu ada tahapannya dan usaha yang perlu dilakukan. Semisal kita masih dalam level memperbanyak perbuatan baik dengan alasan yang materil dan lebih tertarik pada yang sama-sama mahluk, seperti berbuat baik karena diganjar amal dan surga, ya ndak apa-apa. Tentu kalau kita bisa istiqomah seperti itu, semoga suatu hari nanti kita bisa berbuat baik karena Allah saja.

Tanda ketakwaan pun amat sangat luas, kita bisa menemui takwa di banyak sisi, malahan dari kegiatan yang kayaknya tak ada unsur-unsur ibadahnya sama sekali. Membuang sampah pada tempatnya tergolong tanda ketakwaan, karena kita sedang menjadi kholifah yang merawat dunia. Menjadi pemaaf juga tanda ketakwaan, karena pemaaf adalah sifat Allah. Menjadi penyabar pun tanda ketakwaan. Sampai menjunjung tinggi akhlak yang baik pun tanda ketakwaan.

Barusan banget aku selesai baca tulisan mas Edi AH Iyubenu di Mojok, beliau mengulas tentang akhlak yang lebih tinggi derajatnya dari pada ilmu. Latar belakang tulisan itu katanya ada seseorang yang lagi-lagi merendahkan Gus Mus. Tentu Gus Mus-nya akan santai saja, tetapi para santrinya yang sering sebal melihat kiainya diperlakukan seperti itu. Aku tak mengerti kasus apa lagi ini, belum melihat juga rame-rame itu di twitter. Tetapi yang lebih penting dari tulisan itu tentu perihal aklak yang lebih tinggi dari ilmu, yang lebih awal perlu dihadirkan dari sekedar memiliki ilmu.

Aku masih percaya bahwa unsur utama yang perlu dihadirkan dalam proses pendidikan adalah mengembleng akhlak. Tidak semata-mata banyaknya ilmu yang disampaikan seperti logika kurikulum yang padat itu.

Tulisan itu pun mengingatkanku pada kondisi rumah yang beberapa hari lalu menjadi tema refleksi. Yang mana rumah adalah hidup, rumah tak selalu berisi keindahan, semua ada di rumah dari yang paling indah sampai yang buruk. Nah kadang-kadang orang kelas menengah seperti mahasiswa seperti saya ini sering gemas ketika melihat ada tidakan yang tidak sesuai dengan nalar pikir, sehingga mudah sekali sebal. Di pikiran semua harus rasional dan sesuai dengan kaidah yang dipercaya, sehingga menjadikan manusia kelas menengah ini merasa paling benar di rumah. Nah saat seperti itulah yang terlihat bahwa kelas menengah seperti saya ini hanya mengandalkan ilmu tapi lupa tentang akhlak.

Ya meskipun semisal dilihat dalam kacamata luas, orang tua misal melakukan tindakan yang aneh, tetapi hal itu tidak lantas membuat kita sebagai anak merasa punya hak untuk minteri. Sunggu Nabi Muhammad diturunkan untuk membenahi akhlak umat manusia.

Dari kisah Gus Mus yang beberapa kali dilecehkan, seharusnya membuat kita sadar bahwa teknologi tidak dapat menghadirkan apa yang kita butuhkan sebagai manusia. Dalam sosial media kita tidak tau siapa orang yang memiliki otoritas pada suatu hal. Pengalaman sering dilupakan, karena yang paling berisik dengan asumsi paling ngatuk pikiran lah yang banyak dikutip. Di sosial media, orang yang sudah mondok berpuluh-uluh tahun bisa sama followernya dengan anak bau bawang, sehingga dunia sosial media itu sangat kabur. Kita perlu lebih berhati-hati di sana.

Sosial media saat ini banyak mengerus otoritas, karena semua dimuali dari jumlah follower yang sedikit. Apalagi seseorang yang emang jarang menunjukan keberadaan di sosial media. Tentu kita sulit mendetesi tokoh-tokoh yang bisa diacu. Apalagi kecenderungan sekarang, yang mendapat otoritas adalah dia yang mendapuk dirinya sebagai public figure karena follower yang ribuan.

Kabiasaan munculnya fake accound juga tantangan tersendiri. Sehingga tantangan kita menjadi manusia bertakwa kategori orang yang memiliki akhlak baik menjadi lebih sulit saat ini, terutama saat kita sudah terjun di sosial media. Siapa yang masih memegang akhlak yang baik di sosial media, ya dialah yang saat ini masuk dalam kategori takwa. Hal ini sangat berbeda dengan saat kita bersama-sama duduk di suatu ruangan untuk ngopi bersama.

Nah, akhlak yang baik sebagai tanda takwa ini jua lah yang menjadi salah satu larar belakang kita tentang tetap takdzimnya kita pada orang tua, dituakan, sesepuh atau kiai desa. Bahkan ketika beliau sudah wafat. Sehingga sebagai tanda takdzim kita, kita juga jadi sering sowan ke sarean ulama. Karena komunikasi terbatas, ya kita pakai kirim doa dengan tahlil. Sebelum ramadan kita ke sarean, mau syawah juga demikian. Karena sejatinya kita saja yang tidak mengerti sesepuh kita, kita tersekat indra dhohir kita yang terbatas, tetapi beliau semua tetap mengerti kita.

Akhlak inilah yang perlu dan terus kita rawat, baik di dunia nyata, sosial media sampai dengan mereka yang sudah lebih dahulu meninggalkan kita di dunia.

Semoga kita sukses mengupgrad diri selama bulan puasa yang akan segera selesai ini. Salam :)
Senin, 03 Juni 2019
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Refleksi Ramadan #28


[Sumber: santriwirausaha.blogspot.com]
Pernah gak si setiap ramadan, kalian diberi oleh-oleh sama sekolah semacam buku kendali kegiatan selama puasa? Buku itu berisi absen solat isya dan teraweh, lembar resum materi ceramah selepas teraweh, kendali jumlah tadarus sampai absensi silaturahmi selepas solat id.

Dulu, aku tumbuh bersama buku itu. Tepatnya ketika masih MTs atau setara SMP. Pada mulanya masih program sekolah, jadi belum kayak sekarang yang dikordinir kantor kementrian agama kabupaten.

Buku kendali masih berupa map yang isinya kolom-kolom kosong untuk tanda tangan dalan laporan kegiatan.

Kehadiran buku itu disambut dengan baik oleh murid-murid seangkatanku, ya karena memang pengalaman baru untuk ramadan. Kita isi semua buku dengan sungguh-sungguh. Tidak ada tema ceramah yang luput dari perhatian kami, apalagi absen solat dan tadarus Alquran. Semuan kami lakukan dengan suka cita. Sungguh gambaran kampung santri yang ada di video clip lagu kota santri.

Tidak ada pikiran buruk pada program itu. Toh memang sebelumnya, aku beserta teman-teman, memang sudah melakukan semua yang ada di buku itu. Kita sudah dengar ceramah, solat rutin, tadarus juga, cuma tidak dicatat saja. Sehingga hadirnya buku itu cuma nambahi kegiatan minta tandatangan legalitas telah melakukan ibadah yang selama ini juga sudah dilakukan.

Malahan atmosfer MTs-ku sangat mendukung akan kesuksesan pengisian buku itu. Sering di antara kami yang bersaing mengisi buku itu, siapa di antara kami yang lebih giat dalam beribadah. Sering kami saling lihat sudah berapa ayat yang telah dibaca teman, kok ndilalah punya kita lebih sedikit, hal itu jadi motivasi untuk lebih giat beribadah.

Bisa jadi kesenangan kami pada buku kendali ibadah itu karena kegiatan ini merupakan sesuatu yang baru untukku dan teman-teman sebaya, sehingga penerimaanku ya baik-baik saja.

Tetapi kalau aku lihat semakin kesini, ke adik-adik yang saat ini masih mengisi buku itu, kok rasanya ada yang berbeda. Karena malah terlihat buku itu lebih tidak elok dan tidak diharapkan kehadirannya.

Karena sepengamatan bertahun-tahun ini, buku itu malah membiasakan para siswa untuk hidup dalam kungkungan formalistik tok. Mungkin karena sudah jadi kegiatan formal menahun, sehingga buku itu dipandang sebagai sesuatu yang formal saja, yang penting terisi.

Ibadah hanya selesai di absen dan tadarus selesai di jumlah, ya meskipun memang anak-anak masih dalam tahap belajar dengan membaca dan menghafal lebih banyak. Tapi hadirnya buku itu membuat atmosfer lebih tidak sehat, menurutku.

Malahan yang lebih lucu adalah saat mengisi kolom silaturahmi selepas solat id, banyak di antara adik-adik siswa yang ketika masuk ke rumah guru-gurunya menyodorkan buku itu lebih dulu. Sehingga tradisi meminta maafnya menjadi kegiatan nomer 2 atau bahkan sampai terlupa. Sehingga sering kali guru mengingatkan ulang tentang makna utama yang harus dicapai, yakni silaturahminya, bukan malah buku yang menjadi tujuan utama.

Sedikit FYI, ini tidak sebatas asumsi, aku mengerti dinamika ini karena memang aku tumbuh di keluarga guru, sehingga pemandangan itu mudah ditemui setiap lebaran di rumah.

Kejadian-kejadian lucu ini mengingatkanku pada ceramah Gus Mus perihal “kita jangan sampai lupa, mana yang jalan mana yang tujuan hidup”

Gus Mus sering mengingatkan dengan cara bertanya pada para jamaah “apa sebenarnya tujuan kita? Partai kah? Pilpres kah? NU kah? Islam kah? Atau Allah? Islam itu pun adalah jalan, masih wasilah, tujuan atau ghoyah kita ya tetap Allah”

Nah praktik kita sehari-hari itu sering menempatkan islam sebagai tujuan, bukan lagi Allah. Sehingga saat agama dikoyak, kita jadi bingung dan lupa tujuan. Yang seharusnya kita harus tetap fokus pada tujuan mencari ridho dan menuju Allah, malah seringnya kita teralih dan menuhankan islam. Kita jadi gampang marah dan mensupah serapahi liyan, padahal bisa jadi Allah tidak ridho kita seperti itu. Kita jadi terhalusinasi pandangan dan kabur dari tujuan, kita jadi koyak akan menyakini bahwa islam adalah jalan, bukan tujuan.

Ya Allah sungguh maafkan kami.

Hal ini tentu persis dengan tingkah lucu anak-anak tadi, tentu membuat kita gemas kan. Buku ramadan itu kan jalan, tujuannya adalah ibadah dilakukan dengan baik dan sungguh-sungguh.
Sebenarnya yang terpenting buat anak-anak itu ya rajib ibadah, kalau ceramah ya didengar, kalau selepas solat id ya silaturahmi ke guru, bukan malah fokus dan terpenjara pada tuntutan mengisi buku sampai yang hanya jalan.

Anak-anak itu jadi lebih mementingkan isi buku yang full dari pada rutin beribadah. Anak-anak itu lupa mana yang jadi tujuan dan jalan.

Sehingga kehadiran guru yang selalu membersamai murid jadi penting, yang selalu mengingtakan mana sebenarnya tujuan dan mana yang sekedar jalan. Dan semoga juga, dalam keberislaman kita, tetap ada alim ulama’ yang membersamai kita dan tidak lelah mengingatkan kita mana yang tujuan dan mana yang jalan.

Kalau murid tidak percaya guru yang selalu mengingatkan mana tujuan dan jalan, seraya berani berkata “pak minta tanda tangan absen silaturahmi, ini berhubungan dengan nilai”. Kita cuma bisa berharap bahwa dalam berislam kita tidak berperilaku seperti itu juga pada alim ulama yang biasanya membimbing kita, apalagi sampai punya standar ganda pada ulama’ demi kepentingan tertentu.
Salam :)
Minggu, 02 Juni 2019
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Refleksi Ramadan #27

[Sumber: mj-alfalah.blogspot.com]

Akhirnya semalam mengikuti rangkaian khotmil Quran yang dilaksanakan langgar sebelah rumah. Kegiatan ini memang dicocokkan dengan malam ganjil di 10 terakhir ramadan, tujuannya tak lain dan tak bukan untuk mencari kans peluang bertepatan dengan Lailatul Qadar.

Ndak perlu terlalu tegang karena dari kemarin aku selalu bilang soal mencari Lailatul Qadar yang seolah-olah semua ibadah dimaterialisasi. Semua ibadah harus untung.

Hal ini dikarenakan salah satu jalan masuk mengajak orang untuk mau beribadah terutama yang awam ya lewat dengan apa manfaat yang didapatkan ketika mau melakukan sesuatu. Urusal level beribadah, itu bisa dilatih, yang penting kan mau ibadah dulu.

Seperti belajar, analisis itu penting, evaluasi apalagi, sintesis malah hampir puncak dari tataran keilmuan. Tapi semua itu tidak akan bisa berjalan kalau pondasi keilmuan tidak dimiliki. Pondasi keilmuan jelas adalah tau tentang ilmu yang akan dibahas. Sehingga anak selevel SD pasti diberi banyak hafalan. Anak SD tidak harus bisa menganalisis secara tajam, tipis-tipis saja dulu, ndak papa, yang penting tau dulu tentang apa yang mau dianalisa. Kemampuan analisis nanti diasah sambil jalan, pelan-pelan.

Sehingga untuk tahapan masyarakat kampung, mau baca Quran dan salat jamaah rutin itu sudah bagus. Ndak perlu sampai semua orang diwajibkan paham nahwu sorof, asbabun nuzul sampai tafsir. Biar itu menjadi bagian otoritas yang ditunjuk kampung, semisal lulusan pondok pesantren atau kiai kampung.

Kembali ke khataman yang semalam aku ikuti. Kegiatannya full dengan membaca Alquran dari awal sampai akhir, diawali selepas subuh dan diakhiri selepas tarawih.

Sehingga memang yang dilakukan hanyalah membaca. Kalau bahasa orang yg lebih progresif, yang dilakukan hanyalah mengeja. Karena bisa dikatakan dari banyaknya orang yang membaca Alquran kemarin sama-sama tidak mengerti maksud dan tujuan dari apa yang dibaca.

Manfaat dan sedikit tafsir diberikan saat selesai berdoa bersama. Namun yang benar-benar aku baru sadar adalah khotmil quran di desa selalu dibarengkan dengan kegiatan sholawat nabi.

Sebenarnya sejak dulu, cuma aku sadarnya baru sekarang, bahwa apa yang berhubungan dengan Alquran selalu gandeng dengan sholawat nabi.

Ini tentu bukan sesuatu yang diada-adakan, kita tahu bersama bahwa Alquran adalah mukjizat paling agung dari Rasul Muhammad saw. Sehingga tentu kita perlu berterimakasih pada baginda Muhammad saw.

Kalau diingat-ingat, saat itu, saat turunnya Alquran untuk pertama kali, terjadi 3 buah peristiwa besar yang terjadi di waktu bersamaan. 1. Turunnya Alquran dari langit arsy ke langit bumi 2. Menandai awal masa kenabian dan 3. Lailatul Qadar.

Sungguh ramadan menjadi bulan yang semakin istimewa. Apalagi sampai kita tidak menyia-nyiakan malam ramadan. Bisa jadi kita juga bertemu dengan Lailatul Qadar yang notabene adalah hari di mana Nabi Muhammad saw. pertama menerima wahyu Alquran dan memulai masa kenabian.

Sehingga sudah sangat pasti bahwa Alquran dan hadis adalah satu kesatuan yang selalu berkelindan.

Namun, kita sebagai orang awam tak bisa serampangan menggunakan kedua wahyu agung itu. Kita perlu juru masak isi kandungan Quran dan Hadis, si pemilik otoritas tafsir yang dapat membantu kita memahami sari pati kandungan Alquran dan Hadis.

Semoga kita tidak terlalu tinggi hati yang membuat tidak mau belajar.
Salam :)
Sabtu, 01 Juni 2019
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Refleksi Ramadan #26

[Sumber: travel.kompas.com]
Akhirnya untuk mengawali puasa yang ke 26 ini, saya bisa sahur di rumah bersama seluruh keluarga. Setelah menempuh jarak ratusan kilo dengan waktu tempuh nyaris satu sesi puasa, alias dari sahur sampai buka, akhirnya sampai juga di rumah.

Puasa di rumah tentu memberikan sebuah sensasi yang berbeda dengan saat di daerah rantau, dari hidup yang lebih teratur tidak bisa tidur dari pagi sampai sore, segala macam kebutuhan dari yang materil sampai spirituil ada di rumah sampai ramainya suasana sahur dan berbuka bersama. Apalagi untuk saya yang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah karena malasnya main-main ke luar apalagi saat malam, rumah menjadi sebuah tempat paling berkesan ketika pulang kampung.

Berkesan dalam arti banyak sekali rasa yang dapat hadir di rumah, dari suka sampai duka. Ya itu lah rumah.

Rumah memang memberikan banyak kenangan, kadang yang menyenangkan, kadang yang menyebalkan. Rumah adalah hidup. Tidak mungkin hidup hanya berisi kebahagiaan. Hidup itu kompleks dari bahagia bukan main sampai sedih luar biasa.

Dulu aku sempat protes kenapa ada sesuatu yang masam hadir di rumah? Kayaknya hal itu datang ketika aku kecanduan motivasi yang katanya kontruktif, ya meskipun rasa yang nyata hadir ada juga yang membuat hidup tambah destruktif. Motivator bilang “rumah adalah surga”, kok buatku saat ini, kata-kata itu semacam racun yang pelan-pelan bisa membunuh, karena kita akan tetap merasakan kecutnya hidup di rumah.

Dari sana aku sering protes karena kehidupan di rumah ndak selalu manis kayak di surga, pikiranku saat itu rumah harus berisi sesuatu yang manis saja, tidak boleh ada yang asam. Dan saat asamnya kehidupan itu datang, brontak datang menjadi-jadi.

Saat ini mulai aku meyadari bahwa picik juga kalau mengharap rumah hanya berisi yang manis, sementara rumah adalah hidup itu sendiri. karena hidup, sehingga isinya harus beragam. Tinggal kita yang cerdik atau tidak dalam mengelola setiap rasa yang datang. Atau kita hanya mau pasrah dan mengharap kebahagiaan tanpa mau mengolah diri dan perspektif yang nantinya akan membuat mata kita memaknai hidup lebih berbeda.

Ya itulah rumah, tempat paling tempat untuk kita memahami hidup.

Ada diantara kita yang bahagianya bukan main kalau sedang di rumah bersama keluarga dan ada juga yang sebaliknya. Rumah benar-benar menjadi salah satu contoh paling tepat tentang kompleksnya kehidupan yang penuh dengan spektrum situasi hidup.

Menjadi contoh yang sangat tepat juga untuk kita dalam melatih hawa nafsu saat puasa, karena yang kita hadapi adalah bagian dari diri kita sendiri.

Mungkin kita bisa sabar dengan ulah ngawur orang di jalan yang tidak kita kenal, tetapi kalau kejadian menyebalkan itu terjadi di rumah, apakah kita tetap bisa mengendalikan emosi? Tentu menjadi sangat sulit apalagi kita merasa punya hak untuk meredam situasi yang tidak kita suka. Salah pendekatan dan berakibat pada semakin kacaunya situasi, kondisi pun tambah gak enak, karena kejadiannya ya tetap di rumah.

Rumah adalah tempat keintiman kita dengan jati diri.

Jika rumah buat sebagian teman-teman adalah tempat yang menyebalkan, coba ubah persepektif, jangan terlalu banyak berharap pada hal yang tidak bisa kita ubah. Yang bisa kita kendalikan adalah diri kita sendiri. ubah cara kita memandang rumah dan menjadi manusia proaktif.

Untuk teman-teman yang tidak bisa pulang kampung, jangan sampai berkecil hati, karena yang tidak bisa ditemui saat lebaran ini hanya rumah sebagai benda, bukan rumah sebagai sifat.

Sebenarnya, di manapun kita dan sejauh apapun kita pergi, kita tetap berada di rumah dengan segala gejolak kehidupan yang hadir di dalamnya.

Semoga ramadan yang nyaris akan segera berkahir ini dapat membuat kita menjadi manusia yang lebih efektif. Salam :)
Jumat, 31 Mei 2019
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Popular Post

Tengok Sahabat

Diberdayakan oleh Blogger.

Top Stories

About

- Copyright © Tigabelas! -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -