Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id Kamis, 25 Juli 2019

[Sumber: hot.detik.com/]

Setelah beberapa waktu lalu menulis respon orang-orang pada film dua garis biru yang dicap banyak madhorodnya. Akhirnya setelah itu aku putuskan untuk menonton dan membuktikan apakah film ini benar-benar sebegitu buruknya atau malah berisi sebaliknya dan menjadi film yang patut direkomendasikan.

Ekspektasi awal sebelum menonton film dua garis biru adalah film yang akan berisi banyak hal haru dan memilukan. Apalagi dari sedikit cuplikan di trailer ada beberapa adegan marah-marahan antara orang tua ke anak. Selain itu juga ada kalimat vonis dokter kehamilan pada Rara dan Bisa tentang bahayanya hamil di usia muda.

Dan ternyata benar saja, setelah menonton film yang durasinya hampir dua jam itu, adegan cerianya hanya sepersekian menit saja. Sedikit sekali, sekolah, bercanda, pulang, bercanda di kamar terus buyar. Bahkan adegan enak-enakpun yang dikhawatirkan itu tak ada. Semi enak-enak tak ada. Enak-enak disensor ndak ada. Bahkan pemanasan enak-enak pun ndak ada. Blas ndak ada titik film yang bisa membuat ngaceng sedikit saja. Blas ndak ada. Astagaaaa.

Selanjutnya, mungkin dari menit ke 10 menit awal sampai selesai, film itu isine pilu kabeh, penyesalan, kebingungan, keputusasaan, kekecewaan dan keharu-biruan sejenis.

Sesuai ekspektasi!. Setidaknya egoku menang melawan orang-orang yang bilang kalau “film ini akan mengajarkan enak-enak” serta yang mengakatakan bahwa “enak-enak pada pelajar itu oke”.

“Mana ada? Tidak ada yang seperti itu” batin egoku.

Selain pemuas atas ego, film ini masuk dalam kategori yang menyenangkan. Bahkan kalau dirangking, film ini bisa mendapat poin 9/10 dalam takaran kepuasanku.

9/10 ini pun bukan isapan jempol, ada alasan jelas dariku kenapa nilainya bisa sampai 9/10. Satu kata pertama kenapa film ini menyenangkan sekali: komplit!.

Saya kira film ini sudah memiliki semua hal-hal yang aku butuhkan untuk dikatakan menyenagkan untuk dilihat.

Film ini kuat pada dramanya, nangis adu biyung. Apalagi konflik yang dibangun adalah konflik keluarga. Huhuhu. Apalagi setjara subjektif ancen aku ndak isoan kalau konflik yang diangkat adalah keluarga, sedihe ya Tuhan. Seperti saat film cek toko sebelah. Sedih banget.

Selain itu keruwetan yang dihadirkan dalam drama konflik dua keluarga ini juga seru. Penataan latar belakang dan sifat yang dikenakan pada masing-masing tokoh juga bagus. Rara berlatar belakang keluarga kaya dan sudah pasti orang tuanya menjadi sibuk, rumah menjadi sering kosong dan kahirnya Rara sering cerita ke adiknya. Sementara Bima adalah keluarga miskin di pingiran sungai Jakarta, punya ayah yang alim nan sabar dan ibu yang khas stereotip ibu-ibu gang, cerewet dan ceplas-ceplos.

Kehadiran tokoh yang kuat ini di beberapa adegan menjadikan cerita menjadi sangat dramatis. Apalagi saat Rara ketahuan hamil dan ke dua orang tua mereka dipanggil sekolah. Pertangkaran di ruang UKS menjadi adegan tumplek blek karakter kuat di satu ruangan yang menghasilkan adegan yang sensasional.

Selain drama yang kuat, sepanjang film aku menunggu pada poin “di mana akan ada pelajaran tentang seks?” akankah ada superhero yang tiba-tiba muncul dan menjelaskan apa itu kesehatan resproduksi? Ataukah info itu akan muncul dari layar teve atau berita, ataukah akan ada seseorang kerabat yang kebetulan seorang pegiat kesehatan reproduksi?

Jawaban itu turun pada dokter kehamilan. Cukup wajar. Dan akhirnya menjadikan adegan tidak terlalu dibuat-buat.

Penyampaian materi itu pun wajar dan tidak berlebihan sampai membuat film ini menyerupai film dokumenter yang banyak keterangan dan penjelasan. Dalam menyampaikan penjelasan pun diselinggi adegan yang cukup mengelitik dan membuat keterangan tidak begitu tegang.

Selain ada keterangan eksplisit, dalam film ini juga menampilkan keterangan implisit dari setiap adegan yang ada. Semisal tentang perubahan perut dan kondisi kehamilan, kapan bayi mulai menendang, cek USG sampai keluarnya susu saat seorang ibu hamil.

Asli untuk urusan susu keluar pas ibu lagi hamil dan mendekati masa kelahiran adalah hal yang baru aku tau.

Film bermanfaat gini kok dibilang ngajari enak-enak. Hilih.

Belum lagi saat masa-masa klimaks, muncul beberapa kata yang cukup menguncang batin. Untukku bagian ini jatuh saat dialog Bima dan Ibunya setelah solat. Bima bilang dia selalu berdoa kalau dia masuk neraka, dia ndak pengen ibunya ikut masuk neraka karena Bima. Dijawab juga oleh ibunya bima, bahwa beliau selalu berdoa semoga anaknya masuk surga. Ini hampir pecah, tapi belum. Sampai muncul kata dari Ibunya bima “harusnya kita lebih sering ngobrol kayak gini ya bim”. Tumpahlah anak dan ibuk itu dipelukan yang basah oleh air mata.

Dan satu hal lagi yang membuat aku suka dengan film ini adalah saat memberikan jawaban atas konflik yang dibangun.

Dalam cerita itu ada satu konflik yang dibangun, yakni ananya Rara yang masih dalam kandungan rencananya akan diberikan ke tantenya karena tantenya itu berdua belum dikaruniai anak. Bima tak setuju, bukan hanya karena itu anaknya, tetapi keputusan akan memberikan bayinya Rara dan Bima ke tantenya Rara adalah keputusan sepihan ibunya Rara. Rara pun tak setuju.

Belum lagi saat ibunya Rara bilang “ngurusi anak itu bukan hal yang mudah, mama aja gagal, apalagi kamu Ra yang masih kecil”. Rara dan Bima tersudut, mau ndak mau mereka mengakui memang masih muda dan mungkin belum siap mengurusi bayi. Belum lagi urusan pekerjaan dan sekolah yang masih jadi mimpi. Mereka anak SMA dan belum punya penghasilan untuk ngerumat keluarga, tentu sulit kalau dipikir-pikir. Mereka terlihat menyerah dan mungkin terpaksa mengiyakan pinta mamanya Rara.

Tetapi jawaban atas konflik ini indah sekali. Bukan atas adu argumen Rara dan Bima vs Mamanya Rara, tetapi pada hasil yang didapatkan Rara.

Ternyata Rara saat melahirkan mendapat bekas pendarahan di rahim dan membuatnya harus dioprasi pengangkatan Rahim. Yessss!

Ini keputusan yang bagus, pengangkatan rahim Rara memastikan anaknya tidak akan diberikan ke tantenya Rara. Jawaban yang indah, meskipun aslinya adegan itu sangat sedih. Terutama untuk Mamanya Rara yang harus menerima kenyataan bahwa anak sulungnya harus oprasi pengangkatan rahim sebelum anaknya genap lulus SMA. Haru biru. Hu hu hu

Jadi, kurang lebih itulah hal-hal indah yang aku temukan dalam film dua garis biru. Dan dari serangkaian keindahan film ini, kembali bisa aku pastikan bahwa kekhawatiran film ini menjadi pelegalan enak-enak adalah bualan belaka.

Lawong sedih tok, kapan enak-enake, sampek afirmasi enak-enak... hemmm

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

Tengok Sahabat

Diberdayakan oleh Blogger.

Top Stories

About

- Copyright © Tigabelas! -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -