Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id Minggu, 02 Juni 2019


[Sumber: santriwirausaha.blogspot.com]
Pernah gak si setiap ramadan, kalian diberi oleh-oleh sama sekolah semacam buku kendali kegiatan selama puasa? Buku itu berisi absen solat isya dan teraweh, lembar resum materi ceramah selepas teraweh, kendali jumlah tadarus sampai absensi silaturahmi selepas solat id.

Dulu, aku tumbuh bersama buku itu. Tepatnya ketika masih MTs atau setara SMP. Pada mulanya masih program sekolah, jadi belum kayak sekarang yang dikordinir kantor kementrian agama kabupaten.

Buku kendali masih berupa map yang isinya kolom-kolom kosong untuk tanda tangan dalan laporan kegiatan.

Kehadiran buku itu disambut dengan baik oleh murid-murid seangkatanku, ya karena memang pengalaman baru untuk ramadan. Kita isi semua buku dengan sungguh-sungguh. Tidak ada tema ceramah yang luput dari perhatian kami, apalagi absen solat dan tadarus Alquran. Semuan kami lakukan dengan suka cita. Sungguh gambaran kampung santri yang ada di video clip lagu kota santri.

Tidak ada pikiran buruk pada program itu. Toh memang sebelumnya, aku beserta teman-teman, memang sudah melakukan semua yang ada di buku itu. Kita sudah dengar ceramah, solat rutin, tadarus juga, cuma tidak dicatat saja. Sehingga hadirnya buku itu cuma nambahi kegiatan minta tandatangan legalitas telah melakukan ibadah yang selama ini juga sudah dilakukan.

Malahan atmosfer MTs-ku sangat mendukung akan kesuksesan pengisian buku itu. Sering di antara kami yang bersaing mengisi buku itu, siapa di antara kami yang lebih giat dalam beribadah. Sering kami saling lihat sudah berapa ayat yang telah dibaca teman, kok ndilalah punya kita lebih sedikit, hal itu jadi motivasi untuk lebih giat beribadah.

Bisa jadi kesenangan kami pada buku kendali ibadah itu karena kegiatan ini merupakan sesuatu yang baru untukku dan teman-teman sebaya, sehingga penerimaanku ya baik-baik saja.

Tetapi kalau aku lihat semakin kesini, ke adik-adik yang saat ini masih mengisi buku itu, kok rasanya ada yang berbeda. Karena malah terlihat buku itu lebih tidak elok dan tidak diharapkan kehadirannya.

Karena sepengamatan bertahun-tahun ini, buku itu malah membiasakan para siswa untuk hidup dalam kungkungan formalistik tok. Mungkin karena sudah jadi kegiatan formal menahun, sehingga buku itu dipandang sebagai sesuatu yang formal saja, yang penting terisi.

Ibadah hanya selesai di absen dan tadarus selesai di jumlah, ya meskipun memang anak-anak masih dalam tahap belajar dengan membaca dan menghafal lebih banyak. Tapi hadirnya buku itu membuat atmosfer lebih tidak sehat, menurutku.

Malahan yang lebih lucu adalah saat mengisi kolom silaturahmi selepas solat id, banyak di antara adik-adik siswa yang ketika masuk ke rumah guru-gurunya menyodorkan buku itu lebih dulu. Sehingga tradisi meminta maafnya menjadi kegiatan nomer 2 atau bahkan sampai terlupa. Sehingga sering kali guru mengingatkan ulang tentang makna utama yang harus dicapai, yakni silaturahminya, bukan malah buku yang menjadi tujuan utama.

Sedikit FYI, ini tidak sebatas asumsi, aku mengerti dinamika ini karena memang aku tumbuh di keluarga guru, sehingga pemandangan itu mudah ditemui setiap lebaran di rumah.

Kejadian-kejadian lucu ini mengingatkanku pada ceramah Gus Mus perihal “kita jangan sampai lupa, mana yang jalan mana yang tujuan hidup”

Gus Mus sering mengingatkan dengan cara bertanya pada para jamaah “apa sebenarnya tujuan kita? Partai kah? Pilpres kah? NU kah? Islam kah? Atau Allah? Islam itu pun adalah jalan, masih wasilah, tujuan atau ghoyah kita ya tetap Allah”

Nah praktik kita sehari-hari itu sering menempatkan islam sebagai tujuan, bukan lagi Allah. Sehingga saat agama dikoyak, kita jadi bingung dan lupa tujuan. Yang seharusnya kita harus tetap fokus pada tujuan mencari ridho dan menuju Allah, malah seringnya kita teralih dan menuhankan islam. Kita jadi gampang marah dan mensupah serapahi liyan, padahal bisa jadi Allah tidak ridho kita seperti itu. Kita jadi terhalusinasi pandangan dan kabur dari tujuan, kita jadi koyak akan menyakini bahwa islam adalah jalan, bukan tujuan.

Ya Allah sungguh maafkan kami.

Hal ini tentu persis dengan tingkah lucu anak-anak tadi, tentu membuat kita gemas kan. Buku ramadan itu kan jalan, tujuannya adalah ibadah dilakukan dengan baik dan sungguh-sungguh.
Sebenarnya yang terpenting buat anak-anak itu ya rajib ibadah, kalau ceramah ya didengar, kalau selepas solat id ya silaturahmi ke guru, bukan malah fokus dan terpenjara pada tuntutan mengisi buku sampai yang hanya jalan.

Anak-anak itu jadi lebih mementingkan isi buku yang full dari pada rutin beribadah. Anak-anak itu lupa mana yang jadi tujuan dan jalan.

Sehingga kehadiran guru yang selalu membersamai murid jadi penting, yang selalu mengingtakan mana sebenarnya tujuan dan mana yang sekedar jalan. Dan semoga juga, dalam keberislaman kita, tetap ada alim ulama’ yang membersamai kita dan tidak lelah mengingatkan kita mana yang tujuan dan mana yang jalan.

Kalau murid tidak percaya guru yang selalu mengingatkan mana tujuan dan jalan, seraya berani berkata “pak minta tanda tangan absen silaturahmi, ini berhubungan dengan nilai”. Kita cuma bisa berharap bahwa dalam berislam kita tidak berperilaku seperti itu juga pada alim ulama yang biasanya membimbing kita, apalagi sampai punya standar ganda pada ulama’ demi kepentingan tertentu.
Salam :)

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

Tengok Sahabat

Diberdayakan oleh Blogger.

Top Stories

About

- Copyright © Tigabelas! -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -