- Back to Home »
- Embun »
- Refleksi Ramadan #28
Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id
Minggu, 02 Juni 2019
[Sumber: santriwirausaha.blogspot.com] |
Dulu, aku tumbuh bersama buku itu. Tepatnya ketika masih MTs atau setara SMP. Pada mulanya masih program sekolah, jadi belum kayak sekarang yang dikordinir kantor kementrian agama kabupaten.
Buku kendali
masih berupa map yang isinya kolom-kolom kosong untuk tanda tangan dalan
laporan kegiatan.
Kehadiran buku
itu disambut dengan baik oleh murid-murid seangkatanku, ya karena memang
pengalaman baru untuk ramadan. Kita isi semua buku dengan sungguh-sungguh.
Tidak ada tema ceramah yang luput dari perhatian kami, apalagi absen solat dan tadarus Alquran. Semuan kami lakukan dengan suka cita. Sungguh gambaran
kampung santri yang ada di video clip lagu kota santri.
Tidak ada pikiran
buruk pada program itu. Toh memang sebelumnya, aku beserta teman-teman, memang
sudah melakukan semua yang ada di buku itu. Kita sudah dengar ceramah, solat
rutin, tadarus juga, cuma tidak dicatat saja. Sehingga hadirnya buku itu cuma nambahi
kegiatan minta tandatangan legalitas telah melakukan ibadah yang selama ini juga sudah dilakukan.
Malahan atmosfer
MTs-ku sangat mendukung akan kesuksesan pengisian buku itu. Sering
di antara kami yang bersaing mengisi buku itu, siapa di antara kami yang lebih
giat dalam beribadah. Sering kami saling lihat sudah berapa ayat yang telah
dibaca teman, kok ndilalah punya kita lebih sedikit, hal itu jadi motivasi
untuk lebih giat beribadah.
Bisa jadi
kesenangan kami pada buku kendali ibadah itu karena kegiatan ini merupakan
sesuatu yang baru untukku dan teman-teman sebaya, sehingga penerimaanku ya
baik-baik saja.
Tetapi kalau aku
lihat semakin kesini, ke adik-adik yang saat ini masih mengisi buku itu, kok
rasanya ada yang berbeda. Karena malah terlihat buku itu lebih tidak elok dan
tidak diharapkan kehadirannya.
Karena sepengamatan
bertahun-tahun ini, buku itu malah membiasakan para siswa untuk hidup dalam
kungkungan formalistik tok. Mungkin karena sudah jadi kegiatan formal menahun,
sehingga buku itu dipandang sebagai sesuatu yang formal saja, yang penting
terisi.
Ibadah hanya
selesai di absen dan tadarus selesai di jumlah, ya meskipun memang anak-anak
masih dalam tahap belajar dengan membaca dan menghafal lebih banyak. Tapi hadirnya
buku itu membuat atmosfer lebih tidak sehat, menurutku.
Malahan yang
lebih lucu adalah saat mengisi kolom silaturahmi selepas solat id, banyak
di antara adik-adik siswa yang ketika masuk ke rumah guru-gurunya menyodorkan
buku itu lebih dulu. Sehingga tradisi meminta maafnya menjadi kegiatan nomer 2
atau bahkan sampai terlupa. Sehingga sering kali guru mengingatkan ulang tentang
makna utama yang harus dicapai, yakni silaturahminya, bukan malah buku yang
menjadi tujuan utama.
Sedikit FYI, ini
tidak sebatas asumsi, aku mengerti dinamika ini karena memang aku tumbuh di
keluarga guru, sehingga pemandangan itu mudah ditemui setiap lebaran di rumah.
Kejadian-kejadian
lucu ini mengingatkanku pada ceramah Gus Mus perihal “kita jangan sampai lupa,
mana yang jalan mana yang tujuan hidup”
Gus Mus sering
mengingatkan dengan cara bertanya pada para jamaah “apa sebenarnya tujuan kita?
Partai kah? Pilpres kah? NU kah? Islam kah? Atau Allah? Islam itu pun adalah
jalan, masih wasilah, tujuan atau ghoyah kita ya tetap Allah”
Nah praktik kita
sehari-hari itu sering menempatkan islam sebagai tujuan, bukan lagi Allah. Sehingga
saat agama dikoyak, kita jadi bingung dan lupa tujuan. Yang seharusnya kita
harus tetap fokus pada tujuan mencari ridho dan menuju Allah, malah seringnya
kita teralih dan menuhankan islam. Kita jadi gampang marah dan mensupah
serapahi liyan, padahal bisa jadi Allah tidak ridho kita seperti itu. Kita jadi
terhalusinasi pandangan dan kabur dari tujuan, kita jadi koyak akan menyakini
bahwa islam adalah jalan, bukan tujuan.
Ya Allah sungguh
maafkan kami.
Hal ini tentu
persis dengan tingkah lucu anak-anak tadi, tentu membuat kita gemas kan. Buku ramadan
itu kan jalan, tujuannya adalah ibadah dilakukan dengan baik dan
sungguh-sungguh.
Sebenarnya yang
terpenting buat anak-anak itu ya rajib ibadah, kalau ceramah ya didengar, kalau
selepas solat id ya silaturahmi ke guru, bukan malah fokus dan terpenjara pada
tuntutan mengisi buku sampai yang hanya jalan.
Anak-anak itu
jadi lebih mementingkan isi buku yang full dari pada rutin beribadah. Anak-anak
itu lupa mana yang jadi tujuan dan jalan.
Sehingga kehadiran
guru yang selalu membersamai murid jadi penting, yang selalu mengingtakan mana
sebenarnya tujuan dan mana yang sekedar jalan. Dan semoga juga, dalam
keberislaman kita, tetap ada alim ulama’ yang membersamai kita dan tidak lelah
mengingatkan kita mana yang tujuan dan mana yang jalan.
Kalau murid tidak percaya guru yang selalu mengingatkan mana tujuan dan jalan, seraya berani berkata “pak minta tanda tangan absen silaturahmi, ini berhubungan dengan nilai”. Kita cuma bisa
berharap bahwa dalam berislam kita tidak berperilaku seperti itu juga pada alim
ulama yang biasanya membimbing kita, apalagi sampai punya standar ganda pada
ulama’ demi kepentingan tertentu.
Salam :)