Archive for Oktober 2015

Wajar



Wajar, memang sudah wajar
melihat gula dikrumuni semut
wajar, memang sudah wajar
melihat bunga dikrumuni kupu

          wajar, memang sudah wajar
          melihat oase dikrumuni musafir yang haus
          wajar, memang sudah wajar
          melihat berita baru dikrumuni masyarakat

sewajarnya aku merasakan sesuatu yang sama
seperti semut, kupu, musyafir dan masyarakat
Minggu, 25 Oktober 2015
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Seperti orang lagi kasmaran


Malang, duapuluh lima Oktober 2015

Selamat siang Indonesia, cukup lama tak menyapa dan mengotori dunia blog ini. Bukan karena banyak kesibukan tetapi karena banyak istirahat, hehe, semoga semua kegiatan kita membawa manfaat.

Kali ini tema yang ingin dibawakan cukup berbeda dengan tema-tema sebelumnya, ya sesuai dengan judul, kali ini mari kita sedikit bersua tentang dunia asmara, ya biar disebut lagi kasmaran, hehe. Padahal tetap masih dibingungkan dengan pertanyaan “siapa yang mau sama aku?” hahahahaha.

Tulisan ini adalah sebuah rangkuman percakapan diskusi ringan malam dengan teman-teman yang biasa berkumpul dan menamainya jamaah hepi (helium ngopi).

Malam itu kondisi teman-teman memang sedang tak baik, karena ada beberapa hal yang membuat hati bermuram durja. Inisiatif saja agar malam itu tidak berlarut-larut menjadi sebuah malam yang suram, kita mendiskusikan soal asmara, karena tak ada satupun orang didunia ini yang tak butuh cinta, hehe

Bermula dari sebuah pertanyaan “bagaimana cara kita menemukan cinta sejati?”

Agaknya pertanyaaan ini cukup menggugah pemikiran teman-teman dan antusias menyuarakan pendapat.

Sebelum memasuki pemaparan jawaban, penulis sempat menyampaikan latar belakang kehidupan asmara penulis. Menurut penulis, cinta hanya dapat dibuktikan dengan sebuah pernikahan, karena pernikahan adalah sebuah ikatan komitmen untuk saling menyayangi dan mendapat ridho dari semua keluarga dan tuhan. untuk orang yang mengaku cinta tetapi masih dalam ikatan pacaran, menurut penulis itu belum cinta, maksimal itu hanya sebuah perasaan sayang. Selain itu penulis perpendapat bahwa pacaran hanyalah sebuah ilusi kebahagiaan, karena kondisi berpacaran hanya mamaksa kita tersenyum tanpa kita bisa berbuat apa-apa pada pasangan kita.

Selanjutnya, penulis coba memaparkan kemugkinan jawaban  dari pertanyaan yang di utarakan di atas. Pertama/ cara menemukan cinta sejati tak perlu dengan sebuah tahapan pacaran, cukup berteman baik, dan kita mengenal satu sama lain dan apabila sudah siap dan cocok, bisa langsung kita mintak sebagai calon istri dengan dilamar. Kedua/ perlu tahapan pacara tetapi tahu batasan dan saling menghargai.

Setelah penulis berbicara, giliran teman-teman yang berpendapat. Yang menarik dari percakapan itu adalah beragamnya latar belakang asmara masing-masing personal. Ada diantara kita yang sudah pacaran cukup lama, ada yang sampai LDR dan ada pula yang sedang mengejar-ngejar cinta.  

Jawaban pertama yang diutarakan teman yang sedang pacaran, dalam menemukan cinta sejati, kita bisa mengunakan metode dengan kita berhubungan sampai menemukan kondisi yang nyaman dan tak ada lagi kerisihan, semisal tak ada rasa malu-malu lagi semisal ingin kentut didepan pasangan. Artinya kita harus bisa menerima dan memaklumi kebiasaan baik atau buruk pasangan kita. Pendapat yang kedua yang diutarakan oleh teman yang sedang mengejar-ngejar cinta, cinta hanya soal waktu, kita berhubungan dan menjaga komunikasi dengan baik, dan nantinya waktu yang akan menjawab. Pendapat yang ketiga, diutarakan oleh teman yang sedang LDR, cinta sejati harus memiliki rasa saling percaya, karena dengan saling percaya, cinta kita tetap akan terjaga.

Setelah pemaparan diatas, penulis teringat dua buah metode mencari cinta sejati yang dilakukan dua saudara penulis. Metode yang menurut penulis sangat berbeda 180 derajat meskipun kita hidup di atap yang sama. Pendapat yang pertama, dalam menemukan cinta sejati, kita harus menanam komitmen dan kepercayaan, kita harus menjaga cinta kita, bahkan waktu pacaran selama 10 tahun itu dikatakan wajar, karena itu adalah sebuah proses mengusahakan sesuatu yang dicita-citakan. Pendapat yang kedua adalah dengan hidup tetap nyaman, kalau kita menjalin hubungan dengan status pacaran, jalani saja seadanya, yang penting bisa tertawa, kalau sudah tak cocok ya tinggal putus saja. Namun apabila niat kita sudah mencari pasangan hidup, kita harus benar-benar mengusahakanya.

Semua pendapat diatas menurut penulis benar, kita bisa memilih jalan asmara kita masing-masing. Toh, semuanya ada bukti dan sudah ada yang berhasil dengan masing-masing metode tersebut.

Ditenggah perjalanan diskusi, muncul sebuah pertanyaan lagi “bagaimana cara cinta karena allah?”

Beberapa waktu yang lalu penulis sempat berdiskusi dengan tema tasawuf, teringat pada sebuah pertanyaan, “kenaapa kita harus meninggalkan dunia untuk bisa mertemu dengan tuhan?” dan jawabanya adalah “karena tuhan itu luas dan dunia itu sempit, untuk mencapai yang luas, kita harus bisa meningalkan yang sempit”.

Cinta karena allah, sehingga kita mencintai semata-mata juga untuk mendekat pada tuhan, lantas bagaimana cara kita menemukan sebuah cinta yang itu masuk dalam kategori cinta karena allah.
Tatkala kita cinta karena kecantikan orang, itu suatu hal yang jelas tergolong bukan cinta karena allah, karena cantik adalah perhiasan dunia.

Kalau kita cinta karena ilmu yang dimiliki calon pasangan kita, apakah itu tergolong cinta karena allah?. Dalam konteks pendidikan, ilmu dapat digolongkan sebuah perkara akhirat. Tapi dalam urusan cinta, ketika kita cinta karena ilmu yang dimiliki pasangan kita, dengan harapan anak turun kita bisa pinta, apakah itu bukan sebuah perilaku yang kedonyan? Karena kita masih risau pada kecerdasan anak turun kita, padahal kita ketahui tuhan maha pintar.

Sempat terbinggung cukup lama dengan jawaban ini, namun jawaban dari senior yang satu ini cukup bisa mewakili kebuntuan kami dalam memecahkan masalah kita terkait bagaimana kita cinta karena allah.

Allah adalah dzat yang maha cinta, dzat yang memiliki kasih sayang. Cinta adalah anugerah tuhan, dan anugerah itu juga di sampaikan pada umatnya. Tuhan ingin melihat umatnya mengunakan anugerah itu pada kebaikan, dan tidak terjerumus pada jurang nafsu.

Kita dipersilahkan untuk saling mencintai sesuai dengan metode kita masing-masing. Namun kita tetap harus ingat batasan moral sosial dan aturan agama. Dan perlu diingat, semua yang ada didunia ini adalah titipan tuhan, sehingga apabila sewaktu-waktu tuhan ingin mengambil titipan itu, kita harus ihlas. Apabila tuhan ingin mengambi pasangan kita, entah dengan cara putus atau mati, kita harus ihlas.

Agaknya demikianlah salah satu ciri bagaimana kita bisa mencinta karena allah. Dan tentu masih banyak kekurangan dan hal-hal lain yang belum di ungkapkan.

Wallahu a’lam

Semoga kita bisa terus belajar dan memperbaiki diri. Dan semoga kita senantiasa berbuat baik dan menebar kebahagiaan di atas dunia.


Dan yang terahir penulis ucapkan terimakasih pada semua yang telah ikut berdistorsi pemikiran sehingga menambak pengetahuan penulis. Semoga jamaah hepi tetap bisa menyampaikan sebuah pengetahuan yang asik dan bermanfaat. 
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Sami’na wa ato’na adalah doktrinasi

Gambar dari dwinugros.files.wordpress.com

Malang, empatbelas oktober 2015

Selamat pagi Indonesia. Sebagian pendudukmu yang beragama islam hari ini sedang bergembira karena merayakan tahun baru hijriyah yang ke 1437. Semoga spirit ini bisa menyemangati kita dalam memperbaiki negeri ini dan kita bisa hijrah menjadi lebih baik dan barokah.

Kali ini penulis akan mengulas masalah istilah sami’na wa ato’na. Istilah yang mungkin untuk sebagian kalangan tak asing ditelinga. Dan memang beberapa hari kemarin penulis sempat merasakan keresahan pada kata ini.

Sebelum memulai pembahasan, mari kita berkenalan terlebih dahulu dengan sami’na wa ato’na ini.

Sami’na wa ato’na adalah sebuah kata yang berarti aku mendengar dan aku taat. Kata ini berada di beberapa ayat al-qur’an dan salah satunya berada di penutupan surat al baqarah. Menurut beberapa tafsir, banyak kemuliaan pada ayat ini, dan tuhan akan mengganjar lebih pada umat yang bisa melafalkanya setiap malam. Istilah ini juga sangat umum terdengar di dunia santri dan dunia pendidikan yang bernafas islam. Istilah ini sering ditujukan pada para siswa agar selalu taat pada setiap ucapan guru.

Namun, pernahkah pembaca semua terfikir, apabila kita menelan mentah-mentah hal ini, akan jadi sama dengan proses doktrinasi?

Menurut penulis, dalam memahami kata ini, kita harus melakukan kajian yang dalam pada esensinya agar tidak terjebak dalam pengartianya.

Aku mendengar dan aku taat, oke pada siapa terlebih dahulu? Kalua rasul cukup fine menurut penulis karena beliau dijaga tuhan dan sudah berlebel maksum (terbebas dari dosa), sehingga apabila kita taat pada nabi sudah dapat dijamin aman dunia ahirat. Namun kok rosul tak memaksa orang-orang dimasanya masuk islam dengan mengatakan pada mereka “taatlah padaku yang telah maksum ini”, dan malah mengeluarkan kata yang sangat toleran seperti “bagiku agamaku dan bagimu agamamu”. Padahal apabila sami’na wa ato’na digunakan sebagai senjata politik rasul dalam mengislamkan dunia, akan sangat terlihat masif perjuangan beliau.

Dalam proses ini, bukankan rasul sudah mengajari kita untuk berbuat toleran dan adil, rasul tak pernah memaksa orang masuk islam, artinya rasul memberikan pilihan pada siapa saja untuk memilih agamanya, bukan mendoktrinasi.

Karena rasul paham islam adalah agama yang damai, damai dapat terlahir dari toleran dan tak ada toleran yang lahir dari satu keragaman.

Sehingga dalam prosesnya, rasul juga menuntun kita untuk berfikir, kita memilih sebuah kepercayaan harus berfikir terlebih dahulu, jadi dalam proses sami’na wa ato’na terselip proses berfikir dulu. Kita mendengar kita berfikir baru setelah itu kita menentukan sikap dengan taat.

Sehingga dari sana penulis memang lebih sepakat apabila dalam proses sami’na wa ato’na terselip proses memahami dengan berfikir, karena memberikan pilihan itu lebih nyaman dari pada didoktrinasi. Dan nyaman itu terlahir dari suatu yang lembut dan islam adalah agama yang lembut.

Dewasa ini, proses semacam memberikan pilihan sedang dikembangkan dalam dunia pendidikan. Yang mana muridlah yang harus membuat dan memilih standart sukses belajar, bukan seorang pengajar yang memberikan standart pada muridnya. Dari usaha ini tentu diharapkan setiap murid akan melampaui batas nyamanya, setiap murid akan lebih bisa mengeksplor kemampuanya, dan tidak terpaku pada satu sosok panutan yakni guru.

Tentu kita ingat ungkapan “guru yang sukses adalah yang memiliki murid dengan kemampuan malampaui dirinya”. Hal-hal semacam inilah yang diharapkan dalam proses pembelajaran dengan menentukan standart sukses sendiri-sendiri. Dan apabila kita memegang sami’na wa ato’na secara substansi saja, apakah terjadi hal seperti ini? Penulis rasa tidak, karena sang murid juga akan taat dan tahu hanya dari apa-apa saja yang diketahui gurunya.

Proses memperbaiki diri, evaluasi, toleransi, kosmopolitan dan lain-lain akankah akan terjadi kalau kita hanya sami’na wa ato’na secara substansi?

Hal ini juga sempat disingung oleh 10 ajaran hidup sunan kalijaga, yang salah satunya berbunyi “jangan terheran-heran”. Dalam ungkapan itu sunan kalijaga ingin mengajari kita agar kita tidak menjadi orang yang mudah heran pada kebaikan atau keburukan orang, sehingga kita tidak minder dalam belajar dan akan terus berusaha melampaui batas kita dan pada ujungnya kita tidak menjadi orang yang fanatik. Apabila kita menjadi orang yang mudah terheran lalu kita menaruh perhatian lebih pada orang itu, dan setiap ucapnya kita taati tanpa proses olah fikir, bukankah akan menggekang pengetahuan kita dan membuat semakin menipisnya orang yang luwes dan mau mengevaluasi diri?

Gus dur pun tak luput dari hal ini, penulis tak mengenal begitu dalam dan memahami semua kerangka berfikir beliau, hanya sedikit yang penulis tahu, dan salah satu yang penulis tahu saat gus dur bertanya pada putri pertamanya masalah nikah, beliau bertanya seperti ini “kamu gak na nikah? Tapi kalau gak nikah juga gak papa se, tapi tahu konsekuensinya kan?” pertanyaan tersebut sunguh mengugah penulis, karena pertanyaan itu gus dur tak sedikitpun memaksa dan mendoktrin pada anaknya untuk segera menikah, tapi cukup memberikan pilihan.

Dan menutur penulis, apabila kita bisa melakukan sami’na wa ato’na yang terselip proses berfikir tadi, entah kita diposisi guru atau murid, secara tidak langsung kita juga telah mengamalkan nilai kemanusiaan, keadilan dan pembebasan. Karena dengan sami’na wa ato’na yang terselip berfikir tadi, kita membebaskan fikiran orang untuk berfikir dan memahami sesuatu dan memanusiakan manusia dengan mencukupi hak nya sebagai manusianya dalam berfikir dan memilih. Dan itu adalah hal yang adil ketika dibanding harus memaksa seperti proses doktrinasi.

Waallahu a’lam

Penulis ucapkan terimakasih pada kelas pemikiran gus dur yang telah banyak menginspirasi beberapa tulisan dan memperkaya khasanah pandangan penulis.


Semoga kita lebih baik, salaing mengoreksi diri sendiri dan membangun bangsa ini agar atlantis yang hilang itu segera ditemukan.
Rabu, 14 Oktober 2015
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Karena Tuhan Belum Terlalu Kaya



Malang, Tujuh Oktober 2015

Selamat pagi Indonesia, sejuk sekali pagi ini, semoga juga ikut menyejukan siapa saja yang sedang panas hati.

Beberapa waktu lalu di negeri ini sempat banyak orang yang mengingat-ingat suatu peristiwa dan merefleksikanya. Ada pula diantara kita yang berpanas hati, dan semoga panas hati ini bisa disejukan juga oleh indahnya alam dan sejuknya udaramu.

Yap, peristiwa G30S/PKI nampaknya masih cukup menarik untuk diperbincangkan, apalagi akhir-akhir ini terungkap beberapa temuan fakta baru. Selain hal ini, memang sejarah di negeri ini banyak yang masih kabur, sehingga masih tetap hangat saja ketika kita di mintak untuk membahasnya, demikian juga dengan peristiwa 65 -G30S/PKI- .

Beberapa dari kita ada yang mengatakan bahwa peristiwa ini adalah sebuah proses kudeta yang dilancarkan 7 dewan jendral TNI untuk mengulingkan kekuasaan rezim soekarno. Beberapa yang lain mengatakan adalah proses kudeta dibalik kudeta. Jadi, memang sudah ada yang tahu bakal ada kudeta bertingkat. Ada yang mengatakan pula bahwa peristiwa ini adalah puncak kebengisan suatu partai politik dalam melakukan perilaku semena-menanya.

Namun, bebaslah kita mempersepsikan sebelah mana. Toh memang kebenaran yang pasti dan diakui secara mutlak dan universal tak ada.

Dalam tulisan ini penulis memposisikan dan mengartikan kejadian ini adalah sebuah praktik adu domba skala internasional. Kenapa demikian? Menurut penulis, pada kejadian 65 tersebut, dunia sedang diadu domba oleh perkumpulan besar manusia dengan beragam ideologi yang sedang mencari jati diri.

Praktik adu domba ini adalah sebuah manifestasi dari kerakusan manusia pada hal-hal duniawi saja. Sehingga dalam kejadian 65 tersebut segerombolan besar manusia tersebut kedapatan jiwanya telah lupa bahwa mereka masing-masing memiliki tuhan yang maha kaya dan maha kasih.

Dimuka dikatakan bahwa peristiwa ini masih kabur kebenaran dan merupakan sebuah praktik adu domba skala internasional. dibawah ini coba penulis utarakan sedikit runtutan kenapa dikatakan peristiwa ini sebagai adu domba skala internasional sepemahaman penulis.

Dalam peristiwa ini, beberapa versi mengatakan diawali dengan adanya keinginan kudeta oleh dewan jendral TNI karena kondisi yang semakin genting dinegeri ini pada presiden. Disisi yang lain, dalam tubuh TNI yang orang-orangnya memiliki latar belakang PKI tidak sepakat pada hal itu, karena pada saat itu PKI adalah pendukung utama presiden soekarno, dan apabila hal itu terjadi, nasib PKI dibirokrasi akan diujung tanduk. Saat itu presiden dan PKI memang kedapatan memiliki hubungan yang sangat dekar, seperti termanifestasi dalam NASAKOM. Sehingga pada saat itu PKI dikejar waktu dengan kudeta yang dilancarkan 7 jendral, sehingga PKI merencanakan aksi penculikan pada 7 jendral tersebut dan berniat mengintrogasi pada dewan jendral, dan dengan cara memaksa.

Diluar ini ada sosok jendral yang kurang diperhitungkan -soeharto- dan telah mengetahui adanya rencana penculikan ini, dan kedapatan soeharto memang membiarkan aksi penculikan pada ketujuh jendral ini dikarenakan soeharto menganggap ketujuh jendral  tersebut adalah saingan terberatnya dalam memperoleh kekuasaan dinegeri ini, sehingga saat tujuh jendral tersebut diculik dan dibunuh, dia akan melenggang dengan mudah untuk memegang kursi kekuasaan tertinggi negeri ini.

Akhir-akhir ini ada fakta yang mengatakan bahwa soeharto adalah putra terbaik Amerika di Indonesia. Lo kok amerika ikut?

Cerita diawal kita runtut dari isu skala kecil lalu membesar keatas, apabila diruntut dari atas adalah seperti ini.

Amerika adalah negara yang memegang ideology Liberalis Kapitaslis. Sudah jadi barang yang umum Amerika sering perang dingin dengan Soviet yang memegang falsafah komunis. Namun kedua kutup Ideologi dunia ini tak pernah berperang secara langsung. Mereka berdua sering kali berperang dingin dengan membiayai perang-perang diasia. Dari sini sudah cukup terasa kan aroma adu dombanya.

Saat itu, amerika sedang tidak suka pada perilaku soekarno yang menjadi inisiator pada negara-negara di asia dan afrika dengan gerakan non blok -gerakan anti blok barat dan timur- dan keputusan mengelola kekayaan alam sendiri tanpa ada campur tangan asing. Hal ini sangat dibenci oleh amerika karena falsafah kapitalisnya yang selalu ingin memperkaya diri sendiri akan tersendat. Sehingga bagaimanapun soekarno harus digulingkan agar memuluskan rencana amerika. Dalam proses pengulingan soekarno, amerika memiliki tangan yakni soeharto, yang kedapatan memang pemegang falsafah kapital. Ketakutan amerika tidak hanya itu, amerika juga takut nantinya Indonesia dan negara sekitarnya akan memegang falsafah komunis. Karena kita ketahui partai pendukung terbesar soekarno adalah PKI dan PKI adalah partai komunis ketiga terbesar didunia saat itu. Meskipun Indonesia non-blok, tapi ketika partai pendukung pemerintah yang paling kuat adalah PKI, masih ada kemungkinan Indonesia berbelok menjadi negara yang komunis, dan amerika tidak menginginkan hal itu.

Pasca kejadian itu, proses adu domba belum selesai. Proses pembersihan komunis di Indonesia sepenuhnya dipegang oleh soeharto. Dia melancarkan propaganda pada masyarakat yang mengatakan komunis adalah sekumpulan orang keji, atheis dan perongrong Pancasila serta kekuasaan. Sehingga PKI layak dimusnahkan dari negeri ini. Dan nampaknya efek dari propaganda tersebut cukup kuat dan masih meracuni otak masyarakat lebih dari 30 tahun.

Kejadian ini selain penulis katakana sebagai praktik adu domba skala internasional, juga penulis katakana sebagai manifestasi orang yang masih mengganggap tuhan tidak kaya. Orang-orang pada saat itu sedang kedonyan stadium akut, semua masih tahut miskin dan masih risau dengan kekuasaan. Bagaimana tidak dikatakan demikian? Saat itu soekarno tak ingin mundur dan malu sehingga menggait PKI, saat itu PKI tidak ingin keluar dari birokrasi sehingga mendekati soekarno, saat itu 7 jendral ingin menguasai negeri sampai ingin kudeta, saat itu soeharto ingin menguasai Indonesia sehingga membiarkan 7 jendral dibunuh, saat itu amerika ingin mengkapitalisasi dunia, dan soviet ingin mengkomuniskan dunia.

Selanjutnya, apa yang akan kita lakukan? Ingin membunuh, ingin mengkudeta atau ingin mengadu domba, Ingin membalas dendam, Ingin memaksa orang untuk meminta maaf? Penulis rasa itu sama bodohnya dengan para pelaku peristiwa 65 tersebut.

Saat ini yang bisa kita lakukan adalah mengihlaskan dan memaafkan kejadian itu. Baik kita dipihak yang dibunuh -PKI- atau yang membunuh.

Peristiwa yang jelas saja kita diminta untuk memaafkan, apalagi hanya sekedar hal kabur semacam sejarah negeri seperti ini, dan nampaknya kita harus kembali pada perkataan “cinta sewajarnya dan benci seperlunya”

Agar kita tidak terlalau fanatik pada mereka yang membela PKI dengan membawa isu HAM atau pada mereka yang membenci PKI karna kebengisanya.

Dan yang terahir, penulis sangat yakin, apabila dalam satu elemen pelaksana peristiwa 65 tersebut ada sekelompok orang zuhud disana, penulis yakin tak pecah peristiwa tersebut. Sehingga apabila ditanya bagaimana cara melawan situasi seperti itu? Dengan teguh hati penulis akan mengatakan “mari belajar zuhud bersama-sama”.

Wallahu A’lam


Semoga ini bermanfaat dan penulis ucapkan pada semua yang telah memberikan data serta fakta untuk melengkapi pengetahuan penulis terkait ini. 
Rabu, 07 Oktober 2015
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

menggugat orang tua



Malang, lima oktober 2015

Selamat sore Indonesia, kuucapkan juga selamat hari TNI nasional, semoga TNI negeri ini lebih baik dan benar-benar menjadi penjaga stabilitas negeri ini.

Pada kesempatan kali ini akan kita bahas tentang pendidikan yang ada di sekitar kita, karena penulis juga percaya beberapa fenomena yang akan penulis kemukakan dibawah tidak menjadi kebiasaan yang universal di setiap tempat. Ada yang mengalami dan mungkin juga tidak mengalami.

Penggugatan ini bermula dari keresahan penulis pada fenomena pendidikan yang penulis alami dan penulis lihat disekiar penulis.

Bermula dari kesadaran kita untuk menyelesaikan semua tanggung jawab kita. Kita semua memiliki kesibukan dan gaya pendidikan sendiri-sendiri. Ada disekitar kita lebih memilih hanya fokus pada satu titik tanpa ada hasrat mengembangkan kemampuan yang lain, dan ada pula yang ingin mengembangkan hoby-hoby dan kegemaranya dengan mengasahnya lebih dalam. Dan tentu kita semua sadar, setiap apapun corak pendidikan kita harus dilakukan dengan tanggung jawab.

Fokus yang dimaksut dimuka dibagi berdasarkan jenis pendidikan kita, sehingga dengan sederhana penulis membaginya menjadi 3 fokus besar, yang pertama adalah fokus pendidikan formal, kedua fokus pendidikan informal dan yang ketiga adalah fokus pendidikan non-formal.

Kita angkat satu contoh gaya pendidikan seseorang yang memilih melakukan pendidikan di banyak fokus. Seseorang yang memiliki gaya seperti ini dalam pendidikanya tidak hanya melakukan pendidikan formal saja, tetapi akan memilih beberapa pendidikan informal dan non-formal yang lain untuk menunjang keterampilanya dan mengukuhkan jati dirinya. Orang seperti ini selain melakukan kewajiban pendidikan formalnya. Akan memilih juga beberapa organisasi untuk tempatnya belajar, mengikuti beberapa pelatihan dan tetap mengasah skil maupun hobynya.

Dalam mencapai kesuksesan disetiap pilihan tersebut, tanggung jawab adalah sebuah kata kunci. Tangung jawab diperlukan secara mutlak dalam mendapat apa yang diinginkan.

Selanjutnya, tentu kita sadari semua bahwa baik pendidikan formal, informal dan non-formal pun akan memberikan dampak positif pada diri kita. Pembaca mungkin pernah mendengar ungkapan “pekerjalah sesuai kegemaranmu”, penulis memang mengamini ungkapan tersebut, karena sudah jadi  maklum, apabila kita bekerja didunia yang memeng passion kita, akan membuahkan hasil kerja yang lebih melegakan hati kita, dan karena kelegaan hati kita, nyaman dan damai yang akan menjadi ujung dari itu semua.

Sehingga menurut penulis, seorang lulusan jurusan pendidikan yang memiliki hoby gambar kemudian dalam pekerjaanya berkutat didunia desain dan tidak didunia pendidikan adalah hal yang sah-sah saja.

Kemudian, keresahan ini bermula dari beberapa pertanyaan yang menyelimuti pikiran penulis secara bertubi-tubi. Pertanyaan yang pertama kali muncul adalah, apabila setiap pendidikan bermanfaat untuk kita, lantas kenapa seakan-akan hanya pendidikan formal yang dimintai pertanggung jawaban oleh orang tua kita?. Dalam kasus ini memang penulis dan lingkungan sekitar penulis terjadi fenomena ini.

Di sekitar penulis terjadi fenomena yang mana setiap orang tua, keluarga dan orang-orang disekitar akan menaruh fokus lebih hanya pada pendidikan formal saja. Bahkan sampai teman-teman sesama mahasiswapun yang ditanyakan hanya seputar pendidikan formal saja. Pertanyaan semacam “berapa IP mu?””kapan lulus S1?” adalah sebuah pertanyaan yang sangat wajar. Jarang sekali terdengar pertanyaan yang keluar dari keluarga kita tentang trend organisasi kita, hasil pelatihan kita atau sekedar perkembangan hoby kita.

Selanjutnya penulis menduga-duga, kenapa orang tua dan keluarga kita hanya fokus pada pendidikan formal saja. Dugaan yang pertama adalah keluarga kita masih menggangap bahwa suksesnya kita kelak sangat dipengaruhi hanya oleh pendidikan formal kita, sehingga pendidikan formal harus diperhatikan lebih. Sukses disinipun masih diterjemahkan sangat sempit oleh keluarga kita, mungkin yang dimaksut adalah kesuksesan materil saja, kesuksesan yang dihitung dengan seberapa banyak kita bisa menghasilkan uang dari pekerjaan kita, tidak pernah terfikir bahwa kita puas dengan pekerjaan kita dan bahagia karena pekerjaan kita masuk menjadi menjadi tolak ukur kesuksesan.

Apakah penilaian seperti ini tidak tergolong kedonyan? Toh sukses hanya tergantung pada uang.

Dugaan diatas bisa jadi benar bisa jadi salah, sehingga penulis memiliki dugaan yang lain.

Mungkin kenapa orang tua dan keluarga kita hanya fokus pada pendidikan formal, dikarenakan hanya pada pendidikan formal kita harus mengeluarkan uang biaya pendidikan. Sementara dihidup penulis dan sekitar penulis, teman-teman yang memilih menjalankan pendidikan non-formal dan informal tidak dipungut biaya pendidikan.  Sehinga seakan-akan kita punya kewajiban untuk menyelesaikan pendidikan formal saja.

Lalu, apabila memang uang pendidikan alasanya, apakah ini juga suatu bentuk kedonyan di dimensi yang lain? Toh orang-orang masih risau dengan uang itu dibuang secara percuma. Apakah tidak sama saja dengan kita yang masih takut untuk miskin, padahal katanya kita percaya tuhan maha kaya.


Sebenarnnya penggugatan ini berujung pada harapan mari kita belajar bersama-sama, bahwa kita bisa sukses dimana saja dan dengan bentuk apa saja. Sehingga mari kita belajar pada banyak hal, kenapa kita harus menjadi kaku pada fokus pendidikan. Karena menurut penulis, bentuk kaku seperti ini adalah maniferstasi mental kita yang masih sangat jauh pada sifat zuhud (gak kedonyan).
Senin, 05 Oktober 2015
Posted by bakhruthohir.blogspot.co.id
Tag :

Popular Post

Tengok Sahabat

Diberdayakan oleh Blogger.

Top Stories

About

- Copyright © Tigabelas! -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -