- Back to Home »
- Embun »
- Refleksi Ramadan #18
Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id
Kamis, 23 Mei 2019
[Sumber: merdeka.com] |
Mbok kalau malam nuzulul quran di masjid kui ngaji karo mujahadah, ogak malah teriak-teriak dan main bom. Gitu pas ada anak main pecut-pecutan sarung saat teraweh dimarahin, la dapurane dewe ceto-ceto gak tadarus.
Rasane wes emang
kita gak bisa bener-bener percaya pada simbol identitas.
Gimana kalau kita
bersepakat saja, ndak ada itu pakaian islami, musik islami, sampai makanan
islami. Kalau udah kek gini, narasi mlintir makin mudah saja. Bermodal sorban
lalu melakukan aksi anarkis, kok jek uwenake bilang rezim represi islam karena
aksinya ditolak. La islam seperti saya yang masih mementingkan buka gratis dari
pada demo-demo yang jelas bikin puasa syariat tidak kuat ini dianggap apa?
Lek sek
diterus-teruskan lebel islami itu disandarkan pada sesuatu yang kulit,
besok-besok kita juga akan liat orang yang buka puasa pakai kurma lebih islami
dari yang pakai nasi padang. Yang denger mahir zain lebih islami dari yang
denger coldplay. Yang mukulin orang pakek didahului takbir lebih islami dari
tinju yang fairplay, gitu? Terus pas semua percaya ada sesuatu yang lebih
islami dari yang lain, baru lah akal-akalan lebih suci dimainkan. Terus pas argumennya kalah main aksi playing victim
lah anda. Gocik tenan.
Disaat seperti
ini, hadirnya elit berpengaruh untuk tampil dengan sikap kesatria sangat
diharapkan.
Kesatria tidak
sekedar berani untuk gontok-gontokan, menang-menangan, berbicara keras. kesatria
tidak selalu diterjemahkan menjadi orang yang tidak punya takut seperti
superhero. Keberanian yang lebih diutamakan adalah soal keberanian mengelola
hati dan memenagkannya dari kungkungan ego, nafsu, sahwat kekuasaan dan
amarah.
Kok ya dilalah,
elit yang harusnya berperan dalam meredam segala kericuhan ini malah jadi oknum
minyak gas ketika ada kayu-kayu terbakar. Malah nuding-nuding ini antek ini
antek, antek endoke.
Yo ancen sih,
egois itu enak. Enak betul jadi anak kecil. Enak betul jadi tidak bijaksana.
ENAK BANGET DINGERTIIN.
Yang ra enak itu
ya pas mau berbagi, pas sadar bahwa kita iki bareng-bareng, dan gak iso semua
orang menuruti egonya kita.
Nuruti ego itu
gak ada ujungnya, menahan sahwat dan amarah, itu yang lebih diutamakan. Pakai nurani
dalam tindakan. Kalau salah ya minta maaf, kalau kalah ya ngaku kalah, kalau
menang ya bersyukur, kalau pinter yang ojok keminter. Kabeh enek cocokane, ogak
terus lek kalah gak trimo tapi lek menang diterimo.
Kalau salah minta
maaf itu bukan konsep yang diperuntukan hanya untuk anak-anak pas hari raya,
bukan diperuntukan untuk latihan membentuk karakter pada anak-anak, bukan juga
diperuntukan untuk masyarakat akar rumut yang sudah bertikai horizontal karena
elit awale cakar-cakaran. Yang lebih penting minta maaf i mereka yang punya
kuasa, mereka yang elit, mereka yang egonya lebih besar.
Kayak misal di
rumah, yang harusnya minta maaf ki ya orang tua, lawong mereka yang punya
kehendak dan egonya lebih besar, bukan malah anak-anak.
Mengajari anak
minta maaf kalau ada salah itu hal yang berbeda. Kita sedang membicarakan
egonya siapa yang lebih berpengaruh dan menguasai ego yang lain.
Jadi di momen
seperti ini, adanya kestaria hadir dengan penuh kekuatan yang bisa mengontrol
amarah dan sahwat sangat diharapkan. Pemimpin yang berpikir untuk indonesia ke
depan lebih baik untuk semua kalangan.
Jadi gimana,
masih ingin merasakan ramadan lagi atau kita wes bener-bener pengen
meninggalkan ramadan demi menuruti nafsu dan amarah?
Yo semoga ae si,
pas gontok-gontokan dan nuruti sahwat gak bertepatan pas lailatul qodar,
lek pas, lak modar iku. Dosa amarah 1000 bulan.
Semoga
keselamatan tetap pada teman-teman semua :)