Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id Sabtu, 25 Mei 2019

[Sumber: portal-ilmu.com]
Sudah akan memasuki sepuluh terakhir ramadan, artinya waktu kita bermesra-mesraan pada intensitas dengan Tuhan dan mengistirahatkan nafsu dan sahwat karena dilatih dengan puasa pada bulan ramadan juga akan segera berakhir. Sempat merasa ndak nyaman juga karena ramadan kita sempat teralih fokus pada sesuatu yang menjemukan. Nah, aku kira kita perlu menata ulang lagi hati kita agar benar-benar  bisa memanfaatkan sisa ramadan dengan baik. Agar kita tidak meninggalkan ramadan sebelum ramadan meninggalkan.

Sejujure godaan untuk tidak fokus kontemplatif dan mengevaluasi diri pada ramadan ini buatku sendiri sangat masif dan lebih masif dari tahun-tahun yang lalu. Waktu yang tenang juga kadang sulit ditemui, terlalu banyak intrik duniawi yang sering kali membuat ibadah kehilangan fokus.

Kalau pada ramadan-ramadan sebelumnya, godaan paling masif untuk orang berpuasa adalah persoalan makan, makan dan makan. Siang memang puasa, tetapi habis asar kita sudah mikir akan buka dengan apa, agak malam kita mikir cemilan terbaik, saat sahur kita pun ingin menambah sedikit multivitamin agar puasa bisa kuat, katanya, eh~.

Tetapi saat ini, yang membuat kita ndak fokus-fokus amat sama puasa tidak hanya soal perut, tetapi soal sahwat politik juga. Padahal lo ya, yang punya kepentingan iki kan sebagian elit saja, tapi emosi masa ini bisa bener-bener dimobilisasi. Kan harusnya untuk ukuran orang puasa yang benar-benar ingin mengolah emosi dan nafsu, harusnya ndak usah ikut termobilisai emosinya untuk ikut nyinyiri kepentinagan elit politik itu. Tapi nyatanya, banyak diantara kita yang tergoda, alias puasa kita ya sebentulnya ndak bener-bener menjadi momen kita mengunci sahwat dan nafsu.

Dan kalau kita melirik pada apa saja yang diperlukan dalam beribadah, kan ya ndak cukup kalau hanya diwakili oleh tubuh. Dalam ibadah kehadiran fokus pikiran dan hati menjadi penting.

Ya mengkin selama ini kita tetap solat rutin, puasa juga jalan, tetapi apakah qolb kita yang selalu bersama Tuhan itu hadir, kok kayaknya ndak. Apalagi serbuan untuk ndak ingat Tuhan ini ya masif seperti yang barusan aku sebutkan.

Padahal, dalam beribadah kita tau bersama bahwa ibadah tidak bisa hanya diwakili oleh mulut, tetapi juga perlu kehadiran hati kita yang selalu mengingat Tuhan.

Mulut kita yang terbatas tidak bisa mewakili dalam memuji dan berkomunikasi dengan Tuhan. Mata kita yang terbatas tidak bisa mewakili untuk melihat Tuhan. Indra peraba kita yang terbatas pun tak dapat mewakili dalam merasakan kebersamaan kita dengan Tuhan. Karena Tuhan memang tidak terjebak dalam kordinat waktu dan ruang. Sementara semua alat indra kita terjebak kordinat waktu dan ruang.

Bagaimana mungkin bisa mensingkronkan 2 hal yang berbeda sifat, tentu kita benar-benar perlu menghadirkan qolb dalam setiap doa-doa kita. Agar doa kita tidak dalam dimensi mahluk saja. Agar kita tidak menganggap bahwa doa terbaik kita adalah doa yang dilafalkan pada waktu mustajab dan dikirim dari tempat yang dianggap mustajab, tok. Tetapi kita harus yakin, bahwa setiap doa kita pasti didengar Tuhan. Jangan sampai berkurang kepercayaan kita kepada Tuhan.

Selama 20 hari ini, apakah kita sudah benar-benar mengunakan qolb kita untuk berintraksi dengan Tuhan? Kalau tidak, kan ya berarti solat kita selama ini hanya gerakan dan rapalan doa saja. Doa tidak hadir dari hati/qolb yang bisa berkomunikasi dengan Tuhan, tetapi hanya dihadirkan dari mulut yang sangat terbatas.

Sedari itu, agaknya kita benar-benar harus memberikan jarak yang pas ketika akan beribadah dengan hal-hal yang bisa mengalihkan kita dari mengingat Tuhan dengan qolb.

Kita bisa mulai memahami bahwa saat kita wudhu adalah jalan kita aktif berkomunikasi dengan Tuhan. Saat kita wudhu kita berusaha menyingkirkan sahwat dan nafsu dunia dari diri kita, kita sadar bahwa wudhu kita tidak sekedar memberiskan muka dengan air. Kemudian langsung disusul dengan ibadah kita yang menghadirkan seluruh komposisi yang dibutuhkan dalam berkomunikasi dengan Tuhan. Tidak hanya sebatas urusan lahiriah yang terbatas ini.

Sehingga kita bisa melatih diri lebih baik dan menaikkan level hidup dan ibadah kita. Kita juga bisa lebih kenal siapa diri kita sebenarnya, karena kunci mengenal Tuhan adalah kenal dirinya sendiri terlebih dahulu. Sehingga kontemplasi dan evaluasi dalam tahapan ibadah kita menjadi penting. Tidak hanya simbol, gerakan serta rapalan yang menjadi acuan dan ukuran. Semoga kita bisa sampai di level itu.

Kayaknya ini saja dulu, semoga kita tidak terjebak pada ruang dan waktu terbaik dalam mencoba aktif berkomunikasi dengan Tuhan, karena Tuhan tidak terikat kordinat ruang dan waktu. Allah lebih besar dari sekedar kordinat itu. Ramadan kita juga bukan kita maksudkan sebagai waktu yang paling baik, kita harus percaya kapan pun itu baik. Agar kita tidak pesimis pada doa kita di luar ramadan dan fokus pada bonus-bonus ramadan.

Semoga kita tidak lupa bahwa sejatinya tuhuan kita adalah Allah swt.
Salam :)

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

Tengok Sahabat

Diberdayakan oleh Blogger.

Top Stories

About

- Copyright © Tigabelas! -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -