- Back to Home »
- Embun »
- Refleksi Ramadan #10
Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id
Rabu, 15 Mei 2019
[Sumber: gesuri.id] |
Sesuai dengan namanya, kegiatan yang kita lakukan adalah berkunjung ke kediaman kiai sembari menyari berbagai hikmah dari setiap ucapan dan laku sang kiai. Minggu lalu ke gus muwafiq dan semalem ke gus yusuf magelang.
Buanyak sekali
hal yang dapat diteladani dari berbagai sosok kiai yang sudah kita sowani, dari
lakunya yang santun, takdzim, low profile, guyup, santai bin selow dan muwasih
banyak lagi khasanah yang bisa dipetik. Dari serangkaian hal-hal menarik tadi,
kali ini aku ingin mengambil satu khasanah yang didapat dari perjalanan, yakni
perihal menghibahkan tubuh dan waktunya untuk umat.
Saya kira ini
perkara yang sangat tidak enteng.
Dari serangkaian
perjalanan sowan, 2 kali saya berserta rombongan ahirnya bisa terjaga dari
tidur sampai sahur. 2 kali juga selama sowan ini kami baru sampai rumah jam 2 yang
artinya kita baru pamit dari kediaman kiai selalu lebih dari tengah malam. Malah
dari dua rangkaian ini, sebenarnya kita semua ingin pamit sebelum jam 12,
ketika prosesi wawancara untuk konten sudah selesai, tetapi malah
sang kiai jua yang menahan kita dan mempersilahkan kita semua makan dulu.
Durasi yang kita
habiskan saat sowan sebenarnya tidaklah singkat, karena rata-rata kita telah
berada di kediaman kiai sejak pukul 9 dan sejak itu juga kita selalu diajak
berbicara, diceritani dan didengar keluh kesahnya selama lebih dari 3 jam. Tentu
selalu disisipi dengan kelakar dan berbagai joke serta banyolan khas pesantren.
Dan kami pun tak
sendiri, sejak kami masuk kediaman kiai, sebenarnya sudah banyak tamu yang juga
sedang sowan. Banyak dari para tamu yang menceritakan keperluannya, dan semua
dilayani serta disambut dengan baik.
Sehingga,
sebenarnya para kiai ini tidak hanya menghibahkan tubuhnya untuk ngopeni santri
yang ada di pondok, tetapi juga banyak waktunya yang memang dialokasikan untuk melayani
umat. Malah sebenarnya yang diopeni bukan hanya santri yang mukim, tetapi
santri tidak mukim dan masyarakat sekitar.
Selama sowan pula
kita tidak pernah menemui satu pun mimik dari kiai yang merasa engan disowani,
malah sangat terlihat senang meskipun waktu sudah menunjukan pukul 1 dini hari.
Tetap bergairah untuk bercerita dan berbagi pengalaman. Sehingga kita semua
yang hadir juga sebenarnya sangat enjoy saja, tidak merasa ditekan dan diburu
waktu.
Menarik sekali
memang ketika kita mau ngulik soal bagaimana para kiai ini benar-benar
menghibahkan waktunya untuk umat. Tentu tidak semua dari kita bisa seperti itu,
tetapi setidaknya kita perlu belajar menerima manusia yang datang pada kita
sebagai manusia seperti yang telah dicontohkan para kiai tadi.
Tidak pernah
ditemui, kiai saat disowani akan mengunakan semacam SOP atau tata aturan sowan,
misal tolong sampaikan pertanyaan terus dapat giliran ditanggapi seperti mesin
ATM yang digilir para pengunjung untuk mendapatkan informasi terkait saldo
yang tersisa.
Semua dilayani
layaknya teman yang datang ngajak cerita. Ketika haus ya disediakan minum,
ketika dirasa karena sowannya lama dan mungkin sudah lapar atau mepet waktu
sahur ya dipersilahkan makan, kalau kebelek pipis ya dipersilahkan pipis dulu
dan berjalan sangat luwes saja. Benar-benar seperti kekancan akrab. Meskipun tentu
sebagai tamu kita juga harus menyesuaikan adab, tidak sekarepe dewe.
Point menerima
manusia yang datang sebagai manusia yang utuh ini memang menarik secara pribadi
untukku, karena ketika kita menerima manusia yang datang sebagai manusia bisa
memunculkan rasa.
Rasa inilah yang
menarik dan menjadi khas interaksi antara manusia dengan manusia. Kita bisa
bahagia, sedih, takut sampai marah.
Coba bedakan
ketika teman-teman nonton stand up yang lucunya ra karu-karuan itu. Saya jamin
rasanya akan berbeda ketika teman-teman datang ke sebuah pertunjukan langsung
dengan hanya menikmati dari yutup. Pasti ada sebuah rasa yang gagal dihadirkan
yutup, ya memang begitulah kalau kita menerima manusia yang datang layaknya
mesin. ya gimana? apa keperluannya? ini solusinya! Bisa skip, skip, skip kalau membosankan.
Kegagalan
kita menerima manusia sebagai manusia yang utuh juga menjadi banyak sebab dari penyakit sosial seperti ketimpangan kelas sosial. adanaya kelompok yang ditindas. sekelompok masyarakat yang diperlakukan tidak adil. direngut haknya dan masih banyak penyakit sosial lain yang hadir.
Sehingga, mulai belajar menerima manusia yang datang sebagai manusia meskipun terlihat sederhana, tetapi ini cukup rumit. Aku masih berkeyakinan kalau kita bisa melakukan ini, hidup kita akan baik dan nyaman, sampai-sampai kita nggak perlu repot follow akun indonesia tanpa pacaran, hehe, karena munculnya akun semacam ini dikarenakan banyak praktik pacaran yang tidak mamansiakan manusia.
Saya kira ini
dulu, selamat menunggu buka. Salam :)