- Back to Home »
- Embun »
- Pendidikan, Tersisih dan Menjadi Tamu di Rumah Sendiri
Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id
Jumat, 18 November 2016
Sumber: smpn1tasikmalaya.blogspot.com
Malang, Delapanbelas
Nopember 2016
Menerawang pendidikan negeri ini lama kelamaan
saya silau juga dengan bentuk yang ada. Selain karena isu yang sudah banyak
membanjiri dunia pendidikan dari mahalnya biaya, minimnya infrastruktur sampai
kualitas pendidikan yang kadang kala tak pernah sampai pada ranah perbaikan
moral.
Isu-isu yang beredar belum juga di selesaikan,
isu yang lain pun akan terus bermunculan dan semakin membuat pening kepala para
pemerhati pendidikan.
Isu mainstrem terkait kebobrokan moral pelajar
sudah menjadi hal yang sangat biasa. Berbahaya bukan?
Padahal perbuatan tak senonok seorang pelajar
harusnya menjadi masalah yang serius dan menjadi perhatian, tetapi karena
terlalu sering bahkan sangat dekat dengan kita menjadikan hal ini isu
mainstream.
Terlepas dari berbagai isu yang sudah beredar,
kali ini penulis ingin berkontribusi pada pendidikan Indonesia dengan menambah
dua lagi masalah yang acap kali membuat kita semakin pening melihat pendidikan
di negeri sendiri.
---
Kita ketahui bahwa pendidikan yang sekarang
diterapkan di Indonesia dan disebut masyarakat sebagai pendidikan formal adalah
buah karya kaum kolonial yang sempat berkuasa atas negeri ini beberaa tahun
yang lalu.
Lalu, apakah sebelum kolonial masuk ke
Indonesia pribumi tak punya sistem pendidikan? Dengan lantang kita bisa katakan
“tidak”. Sebelum kolonial masuk, kita sudah punya sistem pendidikan, semisal
padepokan silat dan pondok pesantren.
Lalu, apakah sistem pendidikan karya kolonial
yang sekarang kita terapkan salah?
Silahkan berpendapat, kadang kala bisa benar
kadang kala bisa salah, tetapi kalau versinya bapak pendidikan Indonesia Ki
Hajar Dewantoro, sistem pendidikan kita saat ini hanya mencetak generasi kuli.
Kok kuli? Bukankah kuli hanya titel yang
disandang mereka yang kurang beruntung tak mendapatkan pendidikan formal atau
mereka yang hanya bisa sekolah sampai setingkat SD.
Kita perlu mengakui bahwa Ki Hajar Dewantro
itu bukan orang bodoh, segala tutur pasti dipikir dan ada maksud, lalu kenapa
beliau menyebut pendidikan sekarang hanya mencetak kuli?
Kalau versi penulis, ini semua dikarenakan fokus
pendidikan saat ini hanya untuk mendapat ijazah. Ijazah menjadi benda yang maha
sakti saat ini. Karena dengan ijazah dapat mengantarkan kita berkarir di segala
perusahaan. Semakin tinggi pendidikan kita, perusaan yang bersedia menerima kita
pun akan semakin besar dan iming-iming jabatan yang sangat tinggi. Ujung dari ijazah
adalah kita kerja dan bahagia dengan ukuran banyak uang alias kaya.
Tepat sekali, karena dengan ijazah kita bisa
melamar kerja, karena itulah, selama kita ikut di perusaan orang lain, setinggi
apapun jabatan kita, kita tetap menjadi kuli.
Pendidikan saat ini yang hanya berorientasi
ijazah, selain mencetak generasi kuli, juga menjadi miskin muatan moral. Sistem
target materi membuat penyampaiyan materi kering akan nilai-nilai moral. Karena
yang menjadi beban guru bukanlah kualitas moral yang semakin membaik, tetapi
terselesaikannya kurikulum tiap hari meskipun harus menangalkan khasanah
nilai-niali moral.
Karena itu pula pendidikan kita saat ini
menjadi sangat jauh dari nuansa keagamaan, bahkan agama adalah sesuatu yang
berbeda dari pendidikan. Tak usah melakukan penelitian terkait hal ini, anda
tak percaya pun tak masalah. Nyatanya untuk kalian yang bersekolah di SMA dan
Universitas asuhan kemenristek ada mata pelajaran atau mata kuliah khusus
agama, dan teman-teman kalian yang besekolah di Aliyah atau Universitas Islam
kalian anggap lebih religius.
Pertanyaanya? Untuk apa harus ada mata pelajaran
atau mata kuliah agama? Karena pendidikan dan agama sudah menjadi hal yang
berbeda.
Satu sinis penulis pada pendidikan khas
kolonial adalah menjauhkan pendidikan dari nuansa keagamaan yang menyejukkan
dan membuat penyampaian materi kering dari nilai moral.
Selanjutnya pendidikan karya kolonial juga tak
berpihak pada mereka yang tak pintar.
Lo kok bisa? Bukannya pendidikan untuk
mencerdaskan kehidupan anak bangsa.
Kalau tak percaya, silahkan tenggok gejolak
dunia pendidikan di bulan-bulan juni sampai agustus, di sana akan kalian temui
segerombolan orang yang berhasrat sekolah dan berbondong-bondong mendaftar ke
sekolah idaman. Tapi ada di antara mereka yang bernasip buruk. Mereka di tolak
bersekolah di sekolah idaman.
Benar sekali, di tolak bersekolah karena gagal
tes.
Untuk kalian yang ingin bersekolah di SMA atau
universitas favorit, kalian sudah harus pintar terlebih dahulu. Tak bisa kalian
melengang dengan santai dan bersekolah disana hanya bermodal hasrat.
Sehingga pendidikan kita saat ini tak ramah
pada mereka yang ingin bisa, karena sekolah-sekolah saat ini hanya mau menerima
mereka yang sudah pintar, bukan untuk menerima kalian yang ingin pintar.
Selanjutnya, mereka yang sudah ditolak
sekolah-sekolah favorit akan menghampiri sekolah-sekolah non ungulan yang mau
menerima buangan calon siswa sekolah favorit. Seperti itu saja dan akan
sama-sama berorientasi ijazah dan menciptakan generasi kuli.
Bedakan dengan pendidikan yang sudah ada di
nusantara sebelum kolonial masuk, pondok pesantren dan padepokan silat. Pernah mendengar
cerita ada orang di tolak mondok dan bergabung di padepokan karena mereka tak
bisa membaca tulisan pegon atau merek belom bisa kuda-kuda?
Sekarang kalau sudah seperti ini, pendidikan
siapa yang lebih mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara kita?
Kita akan sulit keluar dari jeratan sistem
semacam ini, tapi bukan berarti tak bisa. Karena itu mari kita semua sebagai
anak bangsa yang lahir dari rahim rakyat mensejahterakan rakyat.
Semoga Ki Hajar Dewantoro tentram di alam sana
dan semua pengasuh pondok pesantern, padepokan silat serta semua yang merawat
pendidikan khas nusantara tetap lestari di tanahnya sendiri.
Wallahu A’lam