- Back to Home »
- Embun »
- Sosial Media: "Obat Yang Ampuh untuk Lupa Daratan"
Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id
Sabtu, 26 November 2016
Sumber: @buka.pikiran
Malang, duapuluh enam November 2016
Dunia sosial media memang sering membuat orang lupa apa saja. Tak hanya soal waktu, bahkan lupa pada dirinya sendiri.
Baru beberapa hari yang lalu kejadian yang unik dan menampar siapa saja terjadi, tepatnya di rumah Jack Dorsey pemilik sosial media Twitter. Aktornya tak lain tak bukan akun @gusmusgusmu.
Kisah bermula saat akun Kiai yang penulis hormati itu berkicau menanggapi isu rencana solat Jumat di jalan raya.
Tak lebih hanya ada 7 kultwit dan beberapa twit pelengkap saja yang di kicaukan @gusmusgusmu. Namun sudah membuat gempar nyaris panik pemeluk ajaran panikisme.
Nah, tamparan pertama jelas. Kita sebagai penguna sosial media masih saja bertingkah sebagai member yang reaksioner. Padahal sudah jelas dari kultwit yang dikicaukan @gusmusgusmu bahwa yang dikomentari adalah perihal sojum alias solat Jumat di jalan raya.
Kalau dicermati dari pemegang ajaran panikisme, mereka mengira Gus Mus berujar soal demo, sojum dan solat id di lapangan, manufer politik serta tunggang-menunggang kepentingan di demo membela Al Qur'an. padahal jelas yang dikritisi adalah sojum di jalan raya.
Yang menjadi semakin geli adalah mereka yang beraliran panikisme biasanya berafiliasi dengan ajaran sheriyah. Mereka hobi sekali mengapresiasi sebuah gagasan yang disampaikan lewat esai sederhana, mereka murah berbagi dan saling menyebar informasi, biasanya akan kita temui juga kata-kata seperti "yang setuju shere, untuk saudara muslim kita". Nah pertanyaan lanjutannya adalah, kalau twit yang karakternya hanya maskimal 140 kata mereka salah tangkap, bagaimana dengan esai-esai yang mereka shere, esai itu sampai 1000 kata?
Oke, kita lanjut ke tamparan kedua. Tamparan ini akan asik saat disampaikan dengan arogan dan dalam bahasa Jawa seperti ini "makane, cocotmu iku dijogo!". Kurang lebih seperti itu.
Cocot yang menjadi titik tekan memiliki arti dalam bahasa Indonesia adalah mulut. dengan kejadian ini, kita harus benar-benar mawas diri dan berhati-hati menjaga mulut.
Kalau kita dapat merespon kegelisahan para calon pelaku sojum di jalan, dan menangkap reaksi-reaksi yang mereka tunjukan -yang paling fenomenal adalah munculnya perkataan "bit'ah ndasmu!" dari akun @panduwijaya_- dan para santri @gusmusgusmu geram karena perkataan yang kasar dari @panduwijaya_. harusnya kita juga memikirkan nasib para pendukung ulama' pembela Al-Quran dan gerakan sojum di jalan. memangnya mereka para calon pelaku sojum di jalan dan pembela Al Qur'an tak marah saat ada orang yang mencaci ulama' panutannya? Jadi lebih baik menjaga mulut saja. Berbeda pendapat itu Sunnah, terpecah belah yang jangan, karena inilah konsekuensi dari hidup sebagai manusia.
Tuhan membuat kita berperan menjadi manusia di bumi ini karena dirasa kita bisa hidup saling menghargai dengan mereka yang berbeda. Kalau kita tak bisa hidup berdampingan dengan yang berbeda, kita akan di buat Tuhan menjadi sapi, anjing atau burung camar yang selalu seirama. Jadi optimislah, kita pasti bisa menghargai dan berdampingan dengan yang berbeda. Mari berusaha.
Yuk lanjut ke tamparan yang ketiga. Kemarin tanggal 25 diperingati sebagai hari guru Nasional. Kalau kita berbincang guru, kita bisa kembali pada adagium klasik Jawa yakni "Guru iku digugu lan ditiru" artinya guru adalah orang yang dapat dipercaya dan diikuti ucapannya.
Tepat pada tanggal 25 itu juga @panduwijaya_ bertandang ke Lateh Rembang untuk meminta maaf langsung pada Gus Mus karena jompolnya kepleset sampai terketik kata-kata "bit'ah ndasmu!". Dan respon yang diberikan Gus Mus kurang lebih seperti ini "tak ada yang perlu dimaafkan, kesalahannya hanyalah mengunakan kata khusus di tempat umum" sangat meneduhkan.
Perihal maaf memaafkan memang perkara yang mudah di teori tapi sulit dilakukan apalagi oleh mereka yang mudah baper. Saat tak ada masalah mereka ingin negeri khilafah, saat ada masalah mereka berujar "ini negara hukum, maaf saja tak cukup", rumit bukan soal maaf memaafkan? Sampai merubah ideologi lo.
Yaudah lah ya, terserah anda mau pilih guru yang mana. Semoga refleksi hari guru kemarin menempatkan kita dipilihan guru yang tak hanya pintar tapi juga meneduhkan.
Sebenarnya masih ada tamparan lagi, cumak penulis keburu lupa, semoga masih ada umur untuk melanjutkan diskusi ini. Dan penulis juga tak minta dipercaya apa-apa yang sudah ditulis di esai ini, karena ini hanya esai mendekati curhatan. Ini bukanlah fatwa, tak patut diikuti, diamalkan apalagi sampai dibela. Hahaha
Wallahu a'lam