- Back to Home »
- Kalau GUSDURian tidak berpolitik praktis, apakah itu artinya GUSDURian mengajak kadernya golput?
Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id
Sabtu, 29 September 2018
[karya Miftahu Ainin Jariah, termuat di miftahuaj.tumblr.com/] |
“Ini berasal dari spektrum gerakan Gus Dur yang sangat luas. Gus Dur itu kan membela petani di pegunungan kendeng dari industri yang ingin menghancurkan kehidupan mereka tapi juga mendampingi TKI yang sedang mengalami tuntutan hukuman mati, jadi banyak. Karena itu, kemudian ketika Gus Dur wafat, kita kebingungan bagaimana caranya merawat pemikiran Gus Dur, akhirnya kita pisahkan antara Gus Dur sebagai politisi dan Gus Dur sebagai pejuang demokrasi dan rakyat. Nah, Gus Dur sebagai pejuang rakyat dijaga oleh Jaringan GUSDURian oleh para GUSDURian, Gus Dur sebagai politisi ini diikuti oleh para kader politik Gus Dur. Yang hari ini membuat pernyataan adalah konsorsium kader politik Gus Dur yang ada di berbagai kelompok. Sementara Jaringan GUSDURian tetap pada jalur politik kebangsaan, tidak akan masuk pada isu-isu politik praktis/politik elektoral, tapi fokus pada nilai-nilai” kurang lebih seperti itu kalimat yang diucapkan Ibu Alissa Wahid saat diwawancarai oleh Metro TV dalam merespon deklarasi dukungan Barisan Kader Gus Dur (Barikade Gus Dur) dalam menghadapi pemilihan presiden 2019 sekaligus menjelaskan posisi GUSDURian di kancah perpolitikan Indonesia saat ini.
Dari
apa yang disampaikan Ibu Alissa tadi, saya semakin mafhum bahwa manusia
tidaklah materi satu dimensi, yang mana tidak mungkin ada orang yang hanya
berperan di satu posisi dalam hidupnya. Tidak hanya Gus Dur, tapi kita semua.
Berlaku bagi mereka yang menyebut dirinya sebagai seseorang yang memiliki peran
khusus -misal, Mendaulat dirinya sebagai penulis, seniman, pejuang kemanusiaan,
dll- atau yang tidak mendefinisikan jalan hidupnya.
Taruh
contoh, dosen saya di kimia yang secara tidak kebetulan juga sebagai pengurus
Muhammadiyah DIY, tentu kita bisa sebut beliau selain sebagai ilmuwan, beliau
juga sebagai organisatoris bahkan bisa jadi sebagai kiai. Ada juga dosen saya
yang lain, yang kebetulan punya CV. yang mengelola konversi minyak, selain
sebagai ilmuwan tentu bisa disebut juga sebagai pengusaha. Dan ada juga ibu
dosen saya yang sebelum berangkat ngajar masih sempat buatin sarapan untuk
anaknya, selain sebagai ilmuwan beliau juga bisa disebut ibu rumah tangga juga
kan.
Nah,
keniscayaan inilah yang perlu kita sadari, bahwa kita memang hidup dan proses
di banyak posisi dan peran.
Seperti
yang sempat diobrolkan banyak orang kemarin, saat Ibu Yenny Wahid bersama
Barikade Gus Dur -sekali lagi Barikade Gus Dur, bukan GUSDURian-
mendeklarasikan dukungan untuk paslon nomor 1 di pilpres tahun depan, lalu
orang mulai bingung. “Katanya gusdurian tak berpolitik praktis?”, “ini pasti
bisa-bisanya keluarga Gus Dur memobilisasi masa untuk salah satu paslon”, “kok
jarang-jarang, ini keluarga Gus Dur dengan terang-terang mendukung salah satu
calon, dulu-dulu kok gak pernah”, dan lain-lain.
Dalam
merespon hal-hal itu, kita bisa kembali kepada pemahaman bahwa manusia memang
memiliki banyak dimensi. Yang kita perlukan adalah sadar tentang siapa yang
mendeklarasikan itu dan sedang berperan sebagai apa?. Kemudian, tentu dapat
membedakan antara GUSDURian dan Barikade Gus Dur, dan saya kira sudah banyak
sekali tulisan yang menjelaskan tentang ini.
Contoh
yang ekstrem, kan ya boleh-boleh saja Ibu Alissa Wahid selaku penjahit Jaringan
GUSDURian menunjukkan siapa pilihan beliau di pilpres mendatang, itu hak beliau
sebagai warga negara, bisa memilih dan dipilih. Tapi, saya sangat yakin, kalau
hal itu terjadi, Ibu Alissa tidak dalam posisi sebagai penjahit Jaringan
GUSDURian, tetapi beliau sebagai warga negara yang punya hak memilih.
Sehingga,
untuk orang yang proses di GUSDURian, apakah bisa berpolitik praktis?
Ya
tentu bisa, kan berpolitik itu hak setiap warga negara. Siapapun boleh untuk
ikut nimbrung di politik elektoral macam itu, yang tidak boleh adalah
mengaku-ngaku berpolitik mewakili GUSDURian apalagi menggunakan GUSDURian
sebagai alat pendulang suara seperti “pilihlah saya, saya orang GUSDURian”,
“saya mewakili GUSDURian”, “GUSDURian bersepakat mengusung saya dan mendukung
paslon nomor sekian” dan-lain-lain. Karena jelas di kode etik GUSDURian, bahwa
GUSDURian tidak ikut berpolitik praktis.
Jadi
tentu silahkan saja semua kader GUSDURian berpolitik, itu malah hal yang bagus.
Ikut berpartisipasi menentukan siapa pemimpin yang dikehendaki. Ikut menyimak
apa saja yang ditawarkan para calon pemimpin, menentukan pilihan kemudian
mengawasi siapapun yang terpilih. Saya kira kader Jaringan GUSDURian akan
sangat baik memangku peran-peran semacam itu, karena mereka semua mengamalkan
nilai-nilai yang ditelurkan Gus Dur, semisal pembebasan. Dalam nilai pembabasan
ini, kader GUSDURian tentu bisa menilai para calon pemimpin ini pernah punya track
record yang seperti apa, kemudian ditimbang-timbang mana calon yang lebih
baik dalam hal tidak membatasi akses seseorang, kemudian saat terpilih diawasi
dengan mencermati setiap gagasan dan gerakan yang dilakukan dalam memimpin,
sesuai atau tidak dengan janji dan nilai-nilai kemanusiaan.
Dan
apakah GUSDURian mengajak untuk golput? Kan tidak berpolitik praktis?
Ya
tentu tidak. Karena yang tidak berpolitik itu GUSDURian-nya, para kader
GUSDURian kan tak hanya hidup sebagai GUSDURian, mereka semua punya peran
sebagai warga negara juga. Memiliki hak untuk memilih, dipilih atau -mungkin-
tidak perlu memilih.
Jadi,
tak ada kepastian bahwa saat seseorang menyetujui suatu gagasan seseorang, akan
otomatis menyetujui gagasannya seseorang yang sama di bidang yang lain. Bahkan
kader Jaringan GUSDURian sendiri pun bisa saja tidak setuju dengan gagasan dan
cara hidup Gus Dur, semisal dalam hal ngopi, Gus Dur suka minum kopi, tapi
beliau tidak merokok, tapi banyak sekali ditemui penggerak Jaringan GUSDURian
malah sebagai ahli hisab yang ulung dan juga penikmat kopi yang dahsyat.
Salam.