- Back to Home »
- Embun »
- bonus. "kesenjangan budaya daerah jatim"
Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id
Sabtu, 22 Agustus 2015
Entah apa yang membuat budaya yang berkembang ini sangat jauh
perbedaanya. Padahal masih sama-sama sedaratan dan masih sama-sama bahasa yang
digunakanya.
Beberapa perbedaan yang cukup terasa antara kedua wilayah ini
hanyalah pada suhu diantara kedua wilayah ini, yang satunya berada didaerah
pantai dengan karakter panas dan satunya berada di daratan tinggi dengan
karakter sejuknya.
Ya, lamongan malang.
Untuk penulis yang baru keluar dari daerah kelahiran pada
usia 17 tahun untuk menempuh perhuruan tinggi dikota lain, sunguh sangat
kontras rasanya dengan yang selama ini dirasakan dari lahir sampai usia remaja.
Begitu tabu didaerah kelahiranku, bahwa tatto, ngopi, keluar
malam selalu dipandang sebagai suatu yang negatif. Siapa saja yang memiliki
tatto ditubuhnya mesti di cap sebagai orang yang tidak baik. Warung kopi pun
masih terlihat angker dan menjadi tempat remang-remang untuk melakukan
mabuk-mabukan dan main wanita dan keluar malam diangap sebagai kebiasaan orang
jahat, apalagi dilakukan oleh seorang wanita.
Di kota ini, swizerlan van java. Tatto sudah menjadi suatu
karya seni dan banyak menghiasi tubuh seseorang dan tidak membuat orang yang
memiliki tatto di cap orang jahat. Yang paling keren, di malang ini warung kopi
bukanlah tempat orang yang hedon saja, banyak warung dikota ini diguakan
sebagai tempat untuk berdiskusi dan membicarakan masalah negara. Dan pulang
malam pun diangap sebagai kegiatan yang biasa saja, tentunya dipengaruhi dari
gerakan produktif di warung kopi tadi.
Penulis sempat geleng-geleng kepala, kanapa sampai sejauh ini
budaya yang berkembang diantara kedua wilayah ini, padahal kalau bicara
teknologi, sebenarnya lamongan tidaklah kalah telak dari malang, bahkan saat
ini hampir mayoritas anak setingkat SMP sudah memegang smart phone dan
mengunakan media sosial dan bermain game online, jadi tidak dapat dijadikan
suatu alasan ketinggalan teknologi yang membuat perbedaat budaya ini begitu
mencolok diantara kedua tempat ini.
Pernah perpikir mungkin karena dunia pendidikan, tapi
pandangan ini kembali mental karena dilamongan saat ini sudah banyak perguruan
tinggi yang berkembang, meskipun semuanya masih berkelas suasta.
Sebenarnya alasan dunia pendidikan sempat menjadi alasan yang
sangat dipegang erat oleh penulis, karena dilamongan mahasiswanya hanya lokal
daerah lamongan dan setelah kuliah kebanyakan kempali pulang ke rumah
masing-masing. Sehinga interaksi antara mahasiswa satu dan yang lain tidak
terjadi sampai larut malam seperti yang terjadi di malang -mungkin-
Namun pada dewasa ini, pikiran penulis kembali pada budaya
yang berkembang sejak dalam momongan ibu. Budaya yang membedakan salah satunya
adalah budaya membaca. Bisa dilihat bahwa dilamongan saat ini pun masih sangat
jarang terdapat toko buku yang menyediakan kebutuhan wawasan. Berbeda sekali
dengan dimalang, disini cukup menjamur toko-toko buku, bahkan di malang pun ada
toko buku bekas yang menyediakan literatur manis berharga miring.
Dapat dipahami bahwa apabila kita sering membaca, akan lebih
banyak pengetahuan yang dapat kita serap dan pelajari agar hidup kita juga
lebih baik. Teringat kata bung hatta “aku boleh diasingkan dan dipenjara,
asalkan aku membawa koper berisi buku, karena dengan buku aku bebas”. Dari
ungkapan tersebut sungguh bahwa buku bisa membawa pikiran kita terbang
melintasi dunia meskipun kita sedang duduk manis dirumah kita.
Buku memang dapat membuka pikiran kita untuk membuka
cakrawala lebih lebar lagi, dan membuat kita memiliki pemikiran yang lebih
dewasa dengan selalu membandingan kejadian empiris yang terjadi disekitar kita
dengan apa yang kita hasilkan dari proses membaca.
Sehingga kehidupan kita lebih baik. Mari kita tengok sejarah
gus dur. Kita ketahui bahwa gus dur adalah seorang anak yang keluar dikeluarga
pesantren yang kental dan masa mudanya juga dihabiskan dengan mengenyam
pelajaran agama di pondok pesantren, tetapi gus dur tidak puas hanya dengan
pendidikan itu, dari cerita bahwa beliau adalah salah seorang fans dari gandi
dan telah membaca des kapital sejak usia remaja, dan bisa kita lihat betapa matangnya
pemikiran beliau meskipun beliau berlatar belakan pondok pesantren.
Sehingga mari kita membaca dan berusaha memperbaiki daerah
kita, agak kita bisa benar-benar mewujudkan dunia kita menjadi dunia yang
madani.
Semoga kita tetap bisa beryukur pada keadaan saat ini dan
tidak mudah putus asa.