Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id Jumat, 24 April 2020

[Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=x1RksGCuLj0]
Hari pertama Ramadhan 1441 H jatuh pada hari jumat tanggal 24 April 2020. Pada hari ini pula, tepat 6 kali jumat kita semua melaksanakan ibadah dari rumah sesuai anjuran pemerintah. Pada jumat pertama dan kedua, saya memutuskan tidak jumatan karena memang berada di daerah rawan Covid-19, yakni di sekitaran kota Yogyakarta, setelah itu saya dijemput dan 2 minggu selanjutnya saya tidak melaksanakan ibadah sholat jumat karena sedang menjalani masa ODP. Baru setelah lewat 14 hari masa karantina, saya punya sedikit kesempatan untuk keluar dari rumah misal jalan ke lapangan atau beli sesuatu di toko. Setelah masa karantina 14 hari itu juga saya mulai melaksanakan ibadah salat jumat lagi, dan jumat ini adalah jumat kedua saya melaksakanan solat jumat.
Sebenarnya tidak begitu tampak secara signifikan bagaimana perbedaan kegiatan warga desa dengan atau tanpa corona, meskipun memang tetap ada beberapa hal yang memang berubah. Akan saya ceritakan secara singkat beberapa hal itu pada kesempatan ini.
Pertama, apa yang tidak berubah dari kegiatan desa tentu adalah kegiatan harian warga desa. Saat aku pulang kurang lebih 4 minggu yang lalu, sawang tengah menguning yang menandakan padi siap dipanen. Kegiatan yang tidak akan berubah dengan atau tanpa corona adalah kegiatan merawat sawah, selain karena padi sudang menguning, yang namanya sawah tentu tidak mengenal istilah work from home dan diganti dengan kekuatan internet seperti himbauan pemerintah, tidak mungkin bisa. Selain kegiatan di sawah, kegiatan yang mesti dilakukan dengan keluar rumah dan tetap berjalan normal di desa adalah kegiatan nelayan mencari ikan. Selain para petani dan nelayan, yang kegiatannya tetap berjalan normal adalah para pedagang yang biasanya keliling gang desa untuk menjajakan sayur, makanan untuk sarapan dan jajanan pasar. Tetap ada pedagang yang berkeliling dan membuat pagi hari begitu terasa ‘normal’. 
Hal lain yang tidak ada beda dibanding hari biasa adalah kegiatan beribadah. Di desa tempat saya lahir dan besar, tetap melaksanakan ibadah jamaah dengan biasa. Untuk memberikan gambaran lebih, desa saya 2/3 adalah orang NU dan beberapa dari kita juga tahu bahwa NU memberikan 3 kategori pada masjid yang ingin melaksanakan ibadah, dari masjid di zona merah yang tidak perlu melaksanakan jamaah, kuning yang lebih baik tidak dan hijau yang boleh melaksanakan. Dari surat edaran itu desa saya bisa dikategorikan daerah hijau, karena memang tidak ada satupun pasien dalam pengawasan apalagi yang suspect corona. Sehingga jamaah tetap dilaksanakan meskipun dengan beberapa modifikasi, semisal masa khutbah jumat yang menjadi lebih singkat.
Setelah hal-hal yang tidak berubah, hal-hal yang berubah dari desa saya yang paling jelas terlihat adalah apa yang dilantunkan di langgar dan masjid selama musim pandemi ini, yakni tak pernah berhenti dikumandangkan pujian sekaligus doa tolak wabah dari Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari yakni “li khomsatun…”. Li khomsatun terdengar minimal 5 kali sehari, yakni sebelum jamaah dimulai dan setelah jamaah wirid, doa itu dikumandangkan hampir di semua langgar dan masjid. Hal lain lain berubah selain kumandang doa li khomsatun adalah adanya tong berisi air yang memang ditujukan pada jamaah masjid dan langgar agar mencuci tangan dulu sebelum masuk tempat ibadah. Dari salah satu imam masjid yang saya dengar, beliau mengatakan begini “usaha kita ada dua, yakni usaha lahir dan batin, lahir kita dibersihkan dengan cuci tangan sebelum masuk masjid dan batin kita dikuatkan dengan selalu berdoa li khomastun”
Hal berbeda lain yang terjadi selama pandemi ini tentu adalah kegiatan belajar mengajar. Sudah lebih dari sebulan adik-adik dari tingkat paud sampai SMA mengkonversi cara mereka belajar yang semula datang ke sekolah, kini berubah menjadi mengerjakan tugas dari rumah setiap hari. Keponakan saya yang paud setiap hari mewarnai dan keponakan saya yang sudah SMA setiap hari mencatat materi serta mengerjakan soal dari guru-gurunya. Terakhir, perbedaan lain selama masa pandemi terjadi semalam dan akan terus berlangsung selama ramadhan, yakni cara orang menghidupkan bulan ramadhan. Kalau di tahun-tahun sebelumnya langgar akan ramai dengan para santri madrasah diniyah karena tadarus dan menginap di langgar, untuk tahun ini kegiatan tadarus langsung difokuskan pada pukul 8 selepas tarawih sampai pukul 9. Selepas itu santri harus pulang ke rumah masing-masing dan tidak boleh ada santri yang tidur di langgar.
Saya kira itulah situasi paling dekat yang bisa dilihat selama masa pandemi dari desa. Lalu apa yang terjadi di kota-kota terutama yang sudah berstatus zona merah? Bisa jadi apa yang terjadi di kota-kota zona merah corona kegiatan jamaah sudah ditiadakan dan seluruh ritual ramadhan yang selama ini dilakukan di masjid harus dilakukan masing-masing di rumah, dari shalat jamaah, tarawih, tadarus dan i'tikaf.
Namun, hal ini bukanlah suatu hal yang perlu disesali dan diratapi, karena ada hal lain yang perlu digaris bawahi dan menurut saya ini adalah poin penting dan positif dari kondisi yang kita alami saat ini. Ramadhan kali ini menjadi sangat hening, syahdu dan penuh nuansa kontemplatif. Bagaimana tidak, kegiatan berkerumun sudah benar-benar dilarang, dan hal itu memaksa kita sering menyendiri di rumah. Saya kira, situasi ini bisa kita gunakan menjadi ajang yang bagus dalam mendekatkan diri pada Tuhan dan lebih jauh mengenal diri sendiri. Momennya sangat pas. Suasananya hening, kita tidak bisa berkerumun dan sedang bulan puasa. Kita bisa lebih dalam membaca alquran, kita bisa lebih intim berdoa, dan kita bisa lebih hangat berbicara pada diri kita masing-masing.
Saya kira kegiatan protes pada keadaan dan menyia-nyiakan kesunyian ini akan membuat kita merugi. Pertama karena kita tidak tahu pandemi ini kapan berakhir, kedua kita harus beradaptasi dengan kondisi yang terjadi dan ketiga kita harus tetap produktif. Ini momen yang langka, jangan disia-siakan. Buat ramadhan kali ini menjadi lebih intim dan kontemplatif. Ramadhan yang jauh dari hiruk-pikuk kerumunan mengejar santap takjil di jalan-jalan protokol. Selamat menahan diri dan melakukan self-talk.
***
Mulai bulan puasa ini, insyaallah saya akan kembali menulis rutin setiap hari, namun mungkin akan dibungkus dengan beberapa kemasan, bisa jadi berupa #CatatanPuasa yang senada dengan rutinitas tahun lalu yakni #RefleksiRamadhan. Catatan yang akan berakhir saat ramadhan telah usai. Selain itu akan dikemas juga dalam kemasan #CatatanCorona yang entah akan sampai kapan selesainya, dan juga bisa berupa catatan gabungan seperti pada catatan pertama ini. Disampaikan berupa postingan di facebook, blog pribadi saya atau beberapa web mainstream yang segan menerima catatan saya. Sehat selalu teman-teman, selamat berpuasa.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

Tengok Sahabat

Diberdayakan oleh Blogger.

Top Stories

About

- Copyright © Tigabelas! -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -