- Back to Home »
- Embun »
- Aku Mau Kurban Seribu Lembu dan Tahun Depan Jadi Haji Mabrur
Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id
Rabu, 14 September 2016
Lamongan, Empat belas September 2016
“Hai
mas, baru pulang ngopi” seru tetanggaku yang berjenggot ini padaku dan temanku
yang sedang berjalan pulang dari warung kopi.
“iya
mas, sampean mau ke mana?” jawabku seadanya.
“mau
pulang mas, barusan dari toko beli sabun cuci” sambil menunjukkan barang yang
baru Ia beli. “sampean tiap hari ngopi ya mas, pasti juga sambil ngerokok”
“iya
mas, nyambung silaturahmi saja sama yang lain, enaknya ngobrol di warung kopi”
“seharian
gitu, kopi sama rokoknya bisa habis berapa ribu mas?”
“ya
kalo rokok bisa habis 15.000 satu bungkus, kopi 10.000 buat berdua” jawabku
lagi-lagi seadanya.
“wah
lumayan banyak ya mas, totalnya 25.000” jawabnya dengan pelan-pelan sambil
menghitung sesuatu yang aku tak tahu dan hening cukup lama. “jadi setahun bisa
habis kurang lebih 9.000.000 lebih ya mas?!”
“iya
mungkin mas, gak pernah ngitung gituan” firasatku sudah mulai tampak nyata, Ia
mau menyindir pengeluaranku per tahunku untuk ngopi.
“besok
Idul adha sampean Kurban mas?” tanyanya dengan wajah berbinar seakan jadi juara
olimpiade matematika tingkat nasional.
“Endak
mas, belum bisa kurban” aku sudah merasa terpojok.
“Lo
kenapa mas? Sampean sanggup beli kopi 9.000.000 masak buat kurban saja tak sanggup.
Mbok ya di tabung buat simpanan akhirat” mulai berceramahlah dia. “sampean tahu
mas, darah, bulu dan daging kurban semuanya bisa jadi tambahan amal kita. Per bulu
bisa menghapus kesalahan, meningkatkan derajat dan masih banyak yang lain”
“wah
sampean kok ngerti banyak hal mas” sahut temanku yang dari tadi diam dan
nampaknya mulai tak enak terus-terusan di sindir.
“ah
endak mas, sedikit saja, barusan baca di media online”
“sampean
ngopi mas?”
“endak
mas, tak suka”
“sampean
ngerokok?”
“saya
tak kuat sama asap rokok mas”
“sampean
kurban tahun ini?”
“emmm.
Anu mas... Belum kuat beli kambing mas”
“La
uang 9 juta sampean yang gak di pakek ngopi sama rokok di kemanain mas?!”
“emm,
gini mas.. Anu.. yang itu ya.. ini lo mas.. buat tambahan masak istri”
Dan
kita semua berlalu...
Sumber: http://saharalaptop.blogspot.co.id/
Dari percakapan klise di atas antara mereka yang sering kali
memahami suatu text dengan pendekatan linier dan mereka yang ceplas-ceplos
dapat bebas kita pahami. Mau kita pahami dengan mengkambing hitamkan pria
berjenggot itu ya monggo, mau di pahami dengan menyalahkan mereka yang suka
ngopi ya monggo, mau di pahami bahwa urusan rizeki sudah ada jalan dan aturan
dari Tuhan ya monggo.
Nyatanya hal-hal semacam ini banyak sekali kita temui di
masyarakat. Meskipun kita akan menemui jenis orang yang lain dari 3 orang dalam
percakapan di atas, semisal kita menemui orang yang tak suka kopi dan dia tahun
ini kurban satu kambing, apakah kita bisa serta merta menyalahkan siapapun yang
tak kurban dan hanya menghabiskan uangnya di meja kopi? Tentu tidak pula.
Apakah kita yang kurban sapi 100.000.000 lebih mulia dari
yang kurban sapi 20.000.000? apakah kita yang kurban sapi 20.000.000 lebih
mulia dari yang kurban kambing 3.000.000? dan apakah yang kurban kambing 3.000.000
bisa serta merta lebih mulia dari yang belum sempat kurban?
Apakah kurban tergantung harga, jumlah dan besar ukuran hewan?.
Atau ada hal lain yang lebih menentukan kualitas kurban kita.
Tentu kita -yang sudah baca berita online dan sempat
ngaji- tahu bahwa kurban ini di lakukan untuk menghormati peristiwa suci yang
di alami nabi Ibrahim. Beliau yang tak segan kurban beribu-ribu ekor hewan tiap
tahun, bahkan sampai malaikat pun kagum
atas kedermawanannya.
Sampai suatu ketika beliau bernadzar “jangankan hewan, kalau
aku punya anak, aku akan mengkurbankannya untuk Allah”. Dan suatu ketika saat
nabi Ibrahim benar-benar memiliki anak, beliau di ingatkan Allah lewat mimpinya
“Ibrahim, laksanakanlah nadzarmu”. Dan mimpi itu terjadi berulang-ulang
menjelang tanggal 10 Dzulhijah sampai akhirnya dengan penuh ketakwaan,
berkurbanlah nabi Ibrahim.
Sehingga tentu ukuran kurban bukanlah terletak pada jumlah
dan harga, tetapi pada keihlasan dan ketakwaan kita pada yang maha memberi
rizki.
---
Sumber: http://www.kabarmakkah.com/
Saat ini pula ada sebagian saudara kita yang sedang dipanggil
Allah untuk berkunjung ke tanah suci. Dan yang pasti diinginkan para jamaah
haji adalah menjadi haji yang mabrur. Pertanyaannya sama, apakah mereka yang
akan menjadi haji mabrur adalah mereka yang bisa mencium kabah? Atau yang dapat
mencium hajar aswad? Atau yang dapat salat di hijir ismail? Atau mereka yang
dapat salat di raudhoh? Atau mereka yang semangat sekali berlari sai? Atau mereka
yang sampai menangis darah saat wukuf? Atau mereka yang botak usai tahalul? Atau
mereka yang sampai di barisan paling depan saat melempar jumroh? atau mereka
yang hajinya di undang raja Salman?
Ini bukan ukuran. Haji adalah ibadah yang mengajari kita
untuk selalu berlaku sosial lebih baik. Orang yang berhaji selalu diniati
mencari ridho Allah, dan misal saat mencium hajar aswad karena saking ramainya
lokasi Masjidil Haram, untuk siapa saja yang ingin mencium hajar aswad harus
menerobos dan mendesak sesama saudaranya bahkan hampir melukai, apakah proses
saling melukai ini yang di inginkan saat haji?
Kita harus berhati-hati antara kita mencari ridho Allah atau
menuruti nafsu untuk mencium hajar aswad.
Karena tanda mabrur hanya membaiknya laku.
Wallahu A’lam
Semoga kita bisa belajar dengan lebih elegan.
Serta sengaja penulis baru merampungkan tulisan ini di
tanggal 12 Dzulkhijah agar semangat kita untuk bincang kurban tak usai di
tanggal 10 dan keesokan harinya sudah lupa dengan indahnya berkurban, mencari
ridho, ihlas dan takwa.
BalasHapusrencanakan kurban anda dengan tabungan kurban inshaAllah akan mempermudah para perkurban untuk mempunyai hewan kurban pada saat akan berkurban di hari raya idul adha.