- Back to Home »
- Embun »
- Komedi memang nakal, tapi mereka bisa bertanggung jawab, Harusnya
Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id
Selasa, 27 November 2018
[IG: @ebspict] |
Perihal obrolan dan praktik
komedi yang beberapa waktu lalu sempat gonjang-ganjing karena kontroversi
–menurut orang-orang itu- yang dilakukan pasangan komedian Coki dan Muslim
membuat obrolan kita menjadi ngeri-ngeri sedap. Bagaimana tidak, saat ini dapat
banyak kita temui orang-orang yang terlalu mempermasalahkan sebuah opini yang
disampaikan lewat cara komedi, membuat orang-orang sensitif lalu serta merta
melaporkan hal-hal yang tidak disetujui yang seharusnya dapat dibicarakan
dengan baik-baik. Namun, setelah datang ke acara stand up hutan akhir pekan
lalu, membuatku berpikir ulang terkait mendudukan komedi sebagai jalan yang sah
dalam menyampaikan opini atau komedi yang dibuat hanya untuk mengolok-olok
seseorang dan menurutku itu tidak keren.
Setidaknya aku sudah dua kali
hadir di acara open mic stand up comedy di Jogja ini. Satu, saat parade budaya
dalam rangka pembukaan temu nasional GUSDURian. Dan yang kedua, saat acara
stand up hutan yang diadakan stand up indo di hutan mangunan Bantul. Kedua
acara itu memiliki aturan yang sama, yakni penonton dilarang merekam
pertunjukan dalam bentuk apapun, bahkan berupa stori IG yang berdurasi 15
detik. Hal itu tak lain dan tak bukan adalah tindakan preventif dalam meminimalisir reaksi diluar tertawa (baca: berlebihan/persekusi) yang akan membahayakan komika saat komedi-komedi itu keluar ke pasar bebas.
Tentu saat komedi dari para
komika keluar ke pasar umum bisa menjadi sebuah kontroversi baru dan menghambat
karir para komika. Apalagi memang terang-terang ada beberapa pihak yang tidak
suka akan hadirnya stand up comedy, terlebih saat materi yang dibawa cukup
sensitif semisal agama. Sehingga para komika memang memiliki materi-materi
khusus saat open mic di acara yang eksklusif seperti ini, materi yang dibawakan
terkadang sangat sensitif dan berani. Materi-materi semacam ini tak mungkin
digunakan dan sebarkan di pasar bebas semacam teve atau yutup. Tapi apa jadinya saat kita
sudah datang ke acara eksklusif seperti itu, tapi tidak mendapatkan komedi
kelas tinggi yang dapat membuat penonton berpikir ulang tentang komedi yang
disampaikan, tapi hanya sebatar candaan olok-olok yang lazim ditemui
di pertemanan anak SD. Perlukan ada aturan tidak boleh merekam saat pertunjukan,
kalau yang ditampilkan hanya parade olok-olok?
Pembahasan akan saya mulai dari
pertanyaan yang paling sering muncul setelah pembahasan komedi ini mulai naik
daun.
Pertama-tama
“bolehkah komedi membuat agama sebagai bahan bercandaan?”. Secara pribadi aku
mengatakan boleh, sangat boleh. Menurut hematku, komedi hanyalah salah satu
cara seseorang dalam mengekspresikan pendapat. Kalau kita melihat sebuah
pengajian dari Kiai Anwar Zahid asal Bojonegoro, kita bisa dibuat tertawa
terpingkal-pingkal dari awal pengajian sampai selesai. Apakah ceramah dari Kiai Anwar Zahid hanya terdefinisi sebagai pengajian atau bisa digolongkan juga sebuah
komedi? Tentu bisa juga dikategorikan sebagai komedi, apalagi kalau melihat definisi
komedi yang merupakan sebuah sandiwara (baca: premis) yang bermuara pada rasa
bahagia (baca: tertawa). Komedi adalah cara yang digunakan Kiai Anwar Zahid
dalam berceramah, ini terlepas dari komedi yang dibuat disengaja atau tidak
oleh Kiai Anwar Zahid.
Di penceramah yang lain, ada yang
mengunakan cara-cara santun dan membuat respon jamaah hanya mantuk-mantuk.
Tarik contoh semisal ceramah Kiai Quraish Shihab, saat beliau berceramah,
jarang sekali ada celetukan komedi, dan jamaah yang hadir dan sepakat dengan
Beliau ya hanya mantuk-mantuk saja, tak ada yang memberikan respon tertawa
seperti gaya komedi.
Kembali pada poin bahwa komedi
adalah salah satu cara menyampaikan pendapat, kita bisa mulai dengan kembali
meneguhkan bahwa opini bisa dikeluarkan oleh siapapun, apalagi kita berpijak
di negara yang demoktaris, beropini di negeri ini malah terfasilitasi
dengan baik, meskipun tentu ada batas-batas yang tak bisa diterjang begitu saja
karena seperti itu lah ciri negara demoktatis, punya aturan main. Oke, dari sini kita bisa
bersepakat bahwa segala opini, ide, gagasan, pemikidan dan apalah itu, bisa
dibicakakan di negara ini asal tidak menerjang batas aturan yang berlaku.
Selanjutnya adalah soal cara
menyampaikan ide-ide tersebut. Dalam hal ini ada banyak sekali cara yang dapat
dilakukan, mungkin secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 yakni secara
langsung dan tak langsung. Menyampaikan ide secara langsung semisal dengan
ceramah atau membicarakan point utama tanpa aling-aling semisal “ayo kita
solat”, ada pula cara langsung semisal dengan media poster dengan kata yang
jelas, bisa juga dengan marah-marah, saya kita saat ada orang tua memarahi
anak, ada pesan yang ingin disampaikan dan memang pesannya baik, tidak asal
marah, semisal “anak kok susah banget dibilangin, ayo solat!!!”. Untuk cara tak langsung ragamnya juga banyak,
bisa berupa sindiran, gambar anekdot atau komedi. Tinggal kita bisa menempatkan setiap metode penyampaian opini dengan tepat secara ruang dan waktunya.
Apakah Kiai Anwar Zahid dan Kiai Quraish Shibah ada konten yang ingin disampaikan dalam setiap ceramahnya? Ya
tentu ada, tapi disampaikan dengan cara yang berbeda. Itu yang perlu dicatat.
Jadi, komedi mau memakai premis soal agama, suku, ras, budaya, dan apapun yang
lain, itu sah-sah saja, asal memang ada pesan yang ingin disampaikan. Ya meskipun kadang-kadang komedi tak melulu soal menyampaikan opini. Komedi juga bisa menjadi sangat sederhana, yakni asal bisa tertawa.
Yang
selanjutnya, ini adalah soal hasil pertemuan dan menyaksikan para
komika open mic di acara stand up hutan akhir pekan lalu. Saya sudah sepakat
dengan diri saya sendiri, bahwa komedi adalah cara orang menyampaikan gagasan, terlebih stand up cemody, sehingga di acara itu saya memang siap untuk tertawa dengan opini-opini dari yang komika utarakan, memang cukup tinggi ekspektasiku. Dan benar saja, materi-materi mereka sangat beragam,
ada yang mengangkat kisah asmara, dunia setelah menikah, toleransi, politik,
ketimpangan sosial, agama sampai soal selangkangan dan wanita.
Pada pertunjukan itu, aku sangat apresiatif pada komika yang berani mengulik soal agama, politik, ras dan ketimpangan sosial. Ada pesan yang ingin disampaikan dan memang perlu perenungan kembali setelah pulang dari acara itu. Namun sayangnya, frekwensi komika mengomongkan selangkangan juga tak kalah banyak, bahkan kata-kata “kentu”, “ngewe”, “coli” dan kata-kata lain banyak dan sering kali terucap. Menjadi tidak apa-apa kalau memang ada pesan yang ingin disampaikan seputar dunia perempuan dan kesetaraan gender, soal argumen setuju tak setuju pada LGBT juga oke saja, tapi saat kata-kata itu diguanakan hanya untuk mengais tawa dan tak ada pesan yang ingin disampaikan, lalu apa bedanya dengan obrolan ngawur yang tak ada jeluntrungannya.
Pada pertunjukan itu, aku sangat apresiatif pada komika yang berani mengulik soal agama, politik, ras dan ketimpangan sosial. Ada pesan yang ingin disampaikan dan memang perlu perenungan kembali setelah pulang dari acara itu. Namun sayangnya, frekwensi komika mengomongkan selangkangan juga tak kalah banyak, bahkan kata-kata “kentu”, “ngewe”, “coli” dan kata-kata lain banyak dan sering kali terucap. Menjadi tidak apa-apa kalau memang ada pesan yang ingin disampaikan seputar dunia perempuan dan kesetaraan gender, soal argumen setuju tak setuju pada LGBT juga oke saja, tapi saat kata-kata itu diguanakan hanya untuk mengais tawa dan tak ada pesan yang ingin disampaikan, lalu apa bedanya dengan obrolan ngawur yang tak ada jeluntrungannya.
Pun demikian soal agama, bisa dong kita bercanda soal agama, tapi harusnya ada ilmu yang sip dulu yang menjadi latar belakang dari setiap premis dari gugatan-gugatan yang diajukan. Soal demokrasi, perempuan, ras, dan lain-lain pun sama. Komedi stand up menurutku harusnya tidak seperti komedi saat kita berseloroh ngawur di tongkrongan ,“woo gendut”, “woo kulit ireng”, “woo kriting”, dan kemudian teman-teman tertawa bersama karena merasa lebih superior dibandingkan yang dibully. Karena aku masih yakin bahwa kulaitas dari stand up comedy memang lebih baik dari sekedar dagelan basi yang mencari tawa dari kesusahan orang lain. Karena stand up comedy dipikirkan dengan kejernihan hati dan diledakkan dengan tertawa atas ironi yang dialami. Sayangnya banyak komika di stand up hutan yang mengais tawa dengan cara mengolok-olok tanpa ada opini yang dibawa, sangat berbeda ketika acara stand up di malam pembukaan temu nasional GUSDURian yang semua komika menampilkan opini tentang keberagaman.
Sehingga, perbedaan yang paling
jelas antara dua open mic itu adalah pada pesan yang dibawa, sehingga saat ada
peringatan tidak boleh merekam, sangat tidak worth it dilakukan pada acara
stand up hutan. Karena kembali terbentur pada bentuk tanggung jawab.
Sekali lagi, himbauan untuk tidak
merekam adalah sekedar tindakan preventif dari fenomena “membuat kontroversi”,
yang artinya semisal materi-materi komedi eksklusif tadi bocor ke pasar bebas,
tetap bisa dipertanggung jawabkan dengan berbagai argumen yang kuat dan matang.
Bukan malah sebagai sistem imun dalam membicarakan hal yang tak bisa dipertanggung
jawabkan.
Wallahu A'lam
Nice Bahru
BalasHapus