- Back to Home »
- Embun »
- Bukti Kalau Kita Sudah Lupa Jati Diri
Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id
Minggu, 16 Oktober 2016
Sumber: 2.bp.blogspot.com
Lamongan, Enambelas
Oktober 2016
Dari data yang di himpun oleh
malesbanget.com terkait pekerjaan yang dianggap keren oleh orang tua, ada 9 hal
yang diinginkan orang tua untuk disandang anak-anaknya kelak, antara lain;
dokter, insinyur, polisi, pilot, tentara, bankir, arsitek, PNS dan pengacara. Dari
kesembilan pekerjaan yang nampaknya hanya postulat dan tidak dari hasil riset
ilmiah ini kita gunakan saja data yang disajikan malesbanget.com. Toh nyatanya
memang penulis tak pernah menemukan ada orang tua yang kecewa pada anaknya yang
bepekerjaan sebagai dokter dan/atau polisi.
Dari kesembilan pekerjaan itu
penulis menaruh rasa aneh pada pekerjaan polisi, tentara dan PNS. Kenapa demikian?
Kok sampainya orang tua itu pada anak-anaknya dibiarkan melarat. Kalau kita
tenggok data dari Peraturan Pemerintah nomor 32 Tahun 2015 gaji paling rendah
polisi setingkat Bhayangkara dua hanya Rp. 1.565.200 per bulan dan yang paling
tinggi setingkat Jendral Polisi sebesar Rp. 4.986.700 per bulan. Untuk tentara Sesuai
Peraturan Pemerintah nomor 31 Tahun 2015 gaji paling rendah tentara tingkat
persan dua hanya Rp. 2.003.300 per bulan dan yang paling tinggi untuk Jendral
Laksamana Marsekal sebesar Rp. 5.646.100 per bulan. Sementara untuk PNS sesuai
Peraturan Pemerintah nomor 30 tahun 2015 yang terendah Golongan 1a hanya
sebesar Rp. 1.486.500 per pulan dan yang paling tinggi untuk golongan 4e
sebesar Rp. 5.620.300 per bulan. Ini tentu nilai yang kecil apalagi untuk
mereka yang berdomisili di kota-kota besar dan dengan gaya hidup yang jauh dari
kata sederhana. Belum lagi kebutuhan keluarga yang mendesak untuk dipenuhi. Sehingga
kita jadi tak heran orang-orang dengan pekerjaan polisi, tentara dan PNS banyak
berimprovisasi, gesek sana gesek sini, ceperan sana ceperan sini, karena memang
gaji pokok mereka ada yang masih di bawah UMR.
Dari data itu penulis
mengira-ngira sebenarnya yang di butuhkan manusia bukan hanya uang, tetapi juga
pengakuan ego dari orang lain. Orang rela hidupnya melarat asalkan disanjung
dan dihargai orang lain. Kebutuhan “dianggap ada” oleh orang lain adalah
sesuatu yang sangat penting. Tetapi kenapa pekerjaan yang di pilih adalah
polisi, tentara dan PNS. Kenapa data yang disajikan itu tidak juga mencatut
guru?
Karena menurut penulis, profesi
sebagai guru dan polisi? –kita ambil saja 1 contoh dari polisi, tentara dan PNS-
sama-sama harus didasari dengan jiwa pengabdian, dan kalau dihitung dari hasil
gaji perbulan, kedua pekerjaan ini juga hanya menghasilkan sedikit pemasukan.
---
Mari kita menengok terlebih dulu
strata sosial yang diterapkan kerajaan majapahit yang di paparkan oleh
Budayawan KH. Agus Sunyoto. Pada zaman majapahit ada 7 tingkatan masyatakat. Tingkatan
yang paling tinggi sampai yang paling rendah adalah Brahmana (Kaum
Rohaniawan), Ksatria (pengurus pemerintahan), Waisya (Petani), Sudra
(Saudagar), Candala (Algojo, Pemburu), Mleccha (Orang Asing) dan Tuccha
(Perampok, Penjahat).
Dari strata sosial itu, polisi
berada di level kedua yakni Ksatria, sementara Guru berada di level
puncak yakni Brahmana. Harusnya secara ideal orang yang paling disegani adalah
mereka yang menjadi rohaniawan, pembimbing dan pendidik generasi muda. Dan tentu
pekerjaan yang paling membanggakan orang tua adalah saat anak-anaknya menjadi
guru. Kenapa kejadian saat ini memutar itu 180 derajat, mereka yang menjadi
guru mesti di anggap orang yang melarat dan dicibir, bahkan sudah banyak orang
tua yang malu saat anaknya menjadi guru dan sekolah di fakultas pendidikan.
Sebenarnya dari mana asal mula
pengagungan berlebih pada level kedua masyarakat itu, dan sejak kapan level
paling puncak di strata masyarakat ini menjadi bahan cibiran? Apakah kita sudah
melupakan akar budaya kita?
---
Kalau kita tengok strata
masyarakat pada era majapahit, memang seakan-akan ada kelas dan menimbulkan
banyak kesenjangan di masyarakat. Namun sebenarnya strata itu sangatlah ideal
dan telah berhasil menjadikan majapahit sebagai kerajaan yang berjaya dan maju
dalam banyak hal.
Mereka yang berhak berbicara
adalah mereka yang berpangkat Brahmana, yang berhak mentafsir kitab dan
memberikan petunjuk adalah mereka yang sudah tak terpaut lagi dengan urusan
dunia. Kebiasaan para brahmana adalah menyepi dari hingar-bingar dunia. Sementara
yang berpangkat Ksatria juga tak boleh terpaut dengan dengan hal-hal
yang berbau duniawiah, bahkan untuk ksatria yang menyimpan kekayaan
pribadi harus di kucilkan dari masyarakat. Selanjutnya Waisya di taruh
dilevel ke tiga karena mereka memikirkan dunia, mereka memikirkan tanah garapan
dan hasil bumi, tetapi merekalah yang memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, sehingga
level sosialnya masih ditaruh di bawah kesatria. Selanjutnya Sudra
atau saudagar adalah orang yang pekerjaanya menumpuk harta, hatinya sudah
banyak terpaut oleh kebutuhan duniawi. Kemudian yang lebih bawah lagi Candala
atau jagal ditaruh dilevel setelah saudagar karena kebiasaannya memangsa mahluk
lain, dalam memenuhi kebutuhan pribadi saja masih mengorbankan mahluk lain. Sementara
Mleccha atau orang asing dianggap orang yang tidak berguna, mereka harus
menjadi pelayan pribumi, bekerja untuk pribumi. Saat itu pribumi tidak diperbolehkan
bekerja pada masyarakat Mleccha. Dan yang paling rendah adalah Tuccha
atau begal, kategori paling buruk karena untuk hidup saja perlu merusak hidup
orang. Andaikan saat itu ada koruptor, mereka juga masuh dalam kategori Tuccha.
Dari sini mari melihat
bersama-sama, bagaimana pola pikir kita yang sudah rancu dan jauh dari akar
budaya. Maksud penulis memberikan contoh pekerjaan polisi vs guru hanya satu
dari berbagai kerancuan pandang kita. Bagaimana kita lebih memuliakan orang
asing dari pribumi, membiarkan koruptor masih berkeliaran, tak begitu
memperhatikan kesejahteraan para petani, kebiasaan siapa saja bisa mentafsir
kitab suci dan masih banyak yang lain.
Dari sana mari kita memposisikan
pandangan kita dengan lebih bijaksana. Kalau selama ini pandangan kita yang
begitu mengagungkan jajaran birokrasi, polisi, tentara dan PNS masih
mendominasi, harusnya para brahmana saat ini seperti kiai dan guru kita
berikan porsi yang lebih.
Wallahu A’lam
Kembali berpijak pada kaidah
”mengunakan yang baik dari masa lalu dan menerima yang baik dari masa depan”
saat pola pikir serta pandang era majapahit masih sangat relevan dan dapat diterapkan,
kenapa kita harus ikut-ikut budaya orang lain yang belum tentu cocok dengan
kebiasaan dan budaya kita.