- Back to Home »
- Embun »
- Integrasi (antara jalan islami atau hanya produk kolonial belanda di Indonesia)
Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id
Minggu, 31 Januari 2016
Malang, tiga puluh satu Januari 2016
Selamat petang Indonesia.. penulis ucapkan pula, selamat hari
ulang tahun yang ke 90 untuk Nahdhotul Ulama’. Semoga semakin mengukuhkan Islam
nusantara sebagai penjaga aset bangsa.
Di temani hujan di petang ini, penulis merasa kangen sekali
berbagi keresahan dan pengalaman penulis. Karena memang terhitung sudah cukup
lama penulis tak mencorat-coret dinding blog pribadi. Kali ini penulis akan
membagi pengetahuan penulis yang barang kali ada sebagian teman-teman yang
tertarik ingin mendiskusikan ulang dan berulang agar kita semua paham budaya
kita, budaya nenek moyang kita, budaya Indonesia.
Kali ini penulis akan membagi seputar pendidikan. Pendidikan ilmu
agama atau pendidikan ilmu umum.
Integrasi adalah sebuah kata yang sangat umum di sebut di
kampus tempat penulis menunut ilmu dalam jenjang strata 1. Hampir semua jurusan
dalam kampus ini membahas integrasi dalam mata kuliahnya.
Lantas apakah integrasi ini benar-benar ada atau hanya di
ada-adakan?
Awal mula muncul integrasi mungkin diawali dengan anggapan
bahwa terdapat berbedaan antara ilmu agama (dalam hal ini agama Islam) dengan
ilmu umum (semacam psikologi, kimia, matematika, dst.). sehingga kita mencari
jalan persamaan antara keduanya.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia integrasi diartikan dengan
makna pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh dan bulat. Apabila dilihat
dari perspektif ini, sehingga dari kedua hal yang ingin di integrasikan mesti
memiliki sesuatu yang berbeda, dan dari sesuatu yang berbeda ini dicari jalan
yang dapat membuatnya menjadi kesatuan yang utuh. Sehingga pertanyaan
selanjutnya, apakah ilmu kimia, ilmu psikologi, ilmu pendidikan dst. tidak
beragama sehingga harus di integrasikan dengan agama (Islam)?
---
Mengutip dari pendapat KH. Ahmad Musthofa Bisri (Gus Mus)
yang sempat disampaikan dalam kuliah perdana di fakultas kehutanan UGM. Beliau mengatakan
bahwa dikotomi pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum adalah karya kolonial
belanda. Sehingga beliau cukup menyayangkan pada kondisi kita saat ini. Kita yang
sudah selama ini merdeka dari jajahan belanda -fisiknya- nyatanya masih
terjajah oleh belanda dalam segi pemikirannya. Bahkan sampai tahapan sendi
kehidupan kita semua masih sangat di pengaruhi pemikiran belanda ini.
Tak jarang kita temukan bahwa orang-orang alumni lembaga
pendidikan berbasis agama selalu di sangkut-pautkan hanya dengan urusan akhirat.
Pun begitu sebaliknya, orang-orang yang alumni pendidikan umum seakan-akan tak
mengerti sama sekali urusan akhirat. Padahal pandangan seperti ini tak tepat menurut
Gus Mus. Beliau mengatakan, menurut islam ilmu itu hanya ada satu yakni fardhu.
Sehingga kalau fardhu semua orang wajib belajar ilmu. Setelah dari fardhu
tersebut baru di pisah menjadi dua. Yakni fardhu ain dan fardhu kifayah. Ilmu fardhu
ain adalah ilmu tentang Tuhan. Sehingga semua orang wajib mempelajari Tuhan dan
mengenal Tuhannya masing-masing. Sementara selebihnya dari sana adalah ilmu
fardhu khifayah.
Menurut penulis, pandangan Islam tentang ilmu yang
disampaikan Gus Mus ini lebih menarik dari pada dikotomi belanda sampai
melahirkan integrasi antara agama dan ilmu pengetahuan yang lain.
Bangsa ini memang harus benar-benar mengadakan revolusi mental,
dari dikotomi belanda yang telah mengkutup-kutupkan antara ilmu agama dan ilmu
umum. Karena hal ini telah menancap di seluruh elemen kehidupan kita. Karena bangsa
ini telah banyak orang terpelajar namun sedikit orang terdidik. Banyak orang
yang pintar namun memiliki atitud yang jelek karena efek pemisahan ilmu
agama dan ilmu umum.
Orang-orang beranggapan bahwa ketika dirinya belajar ilmu
umum (semisal psikologi) dia tak berkewajiban menyentuh nilai-nilai agama
seperti mendoakan dan taat pada guru. Hal seperti ini yang di anggap kurang
tepat. Karena dalam belajar mencari ilmu harus selalu berbarengan antara
pendidikan dan pengajaran.
Siswa tak hanya diajari bagaimana menyelesaikan masalah di
keilmuannya saja, namun juga dididik untuk memperbaiki perilakunya. Guru pun
demikian, guru umum tak ubahnya seperti ustad di pondok-pondok. Dekan atau rektor
tak ubahnya seperti kiai di pondok-pondok. Tugasnya tak hanya menyampaikan
ilmunya, namun juga mendidik dan mendoakan semua murid, mahasiswa, dan
santri-santrinya.
Sehingga dari sana kita tak akan terbelenggu dalam pemikiran
integrasi antara agama dan ilmu pengetahuan umum. Karena memang semuanya itu
sama. Bukan sesuatu yang berbeda dan harus di cari jalan yang dapat
menghubungkan antara keduanya.
---
Apabila hal ini dapat dipahami oleh semua elemen pendidikan. Murid
akan tetap taat pada guru. Dan guru akan mengajari, mendidik dan mendoakan
muridnya. Tak ada lagi anggapan bahwa dosen jurusan kimia tak wajib mendoakan
mahasiswanya.
Kita juga harus ingat satu hal, bahwa pendidikan paling baik
adalah dengan menjadi suri tauladan yang baik, seperti yang telah di contohkan
Rasulullah SAW dalam mendidik semua sahabatnya. Contoh kongkret adalah
pendidikan yang paling baik dan mudah
diterima oleh murid. Sehingga dosen-dosen harus berperilaku baik dan memberikan
atitud yang baik untuk dapat dilihat mahasiswanya. Sehingga dari sana
akan terlihat sebuah gambaran pendidikan yang bernuansa nusantara.
Wallahu A’lam
Kita semua dapat memilih jalan pendidikan kita masing-masing.
Karena adanya integrasi juga tak dapat kita salahkan keberadaannya. Tetap integrasi
adalah pengetahuan yang wajib kita syukuri keberadaannya. Dan mari kita semua
tetap dalam koridor Tuhan. Amin.