- Back to Home »
- Embun »
- menggugat orang tua
Posted by : bakhruthohir.blogspot.co.id
Senin, 05 Oktober 2015
Malang, lima
oktober 2015
Selamat sore
Indonesia, kuucapkan juga selamat hari TNI nasional, semoga TNI negeri ini
lebih baik dan benar-benar menjadi penjaga stabilitas negeri ini.
Pada kesempatan
kali ini akan kita bahas tentang pendidikan yang ada di sekitar kita, karena
penulis juga percaya beberapa fenomena yang akan penulis kemukakan dibawah
tidak menjadi kebiasaan yang universal di setiap tempat. Ada yang mengalami dan
mungkin juga tidak mengalami.
Penggugatan ini
bermula dari keresahan penulis pada fenomena pendidikan yang penulis alami dan
penulis lihat disekiar penulis.
Bermula dari
kesadaran kita untuk menyelesaikan semua tanggung jawab kita. Kita semua
memiliki kesibukan dan gaya pendidikan sendiri-sendiri. Ada disekitar kita
lebih memilih hanya fokus pada satu titik tanpa ada hasrat mengembangkan
kemampuan yang lain, dan ada pula yang ingin mengembangkan hoby-hoby dan
kegemaranya dengan mengasahnya lebih dalam. Dan tentu kita semua sadar, setiap
apapun corak pendidikan kita harus dilakukan dengan tanggung jawab.
Fokus yang
dimaksut dimuka dibagi berdasarkan jenis pendidikan kita, sehingga dengan
sederhana penulis membaginya menjadi 3 fokus besar, yang pertama adalah fokus
pendidikan formal, kedua fokus pendidikan informal dan yang ketiga adalah fokus
pendidikan non-formal.
Kita angkat
satu contoh gaya pendidikan seseorang yang memilih melakukan pendidikan di
banyak fokus. Seseorang yang memiliki gaya seperti ini dalam pendidikanya tidak
hanya melakukan pendidikan formal saja, tetapi akan memilih beberapa pendidikan
informal dan non-formal yang lain untuk menunjang keterampilanya dan
mengukuhkan jati dirinya. Orang seperti ini selain melakukan kewajiban
pendidikan formalnya. Akan memilih juga beberapa organisasi untuk tempatnya
belajar, mengikuti beberapa pelatihan dan tetap mengasah skil maupun hobynya.
Dalam mencapai
kesuksesan disetiap pilihan tersebut, tanggung jawab adalah sebuah kata kunci. Tangung
jawab diperlukan secara mutlak dalam mendapat apa yang diinginkan.
Selanjutnya,
tentu kita sadari semua bahwa baik pendidikan formal, informal dan non-formal
pun akan memberikan dampak positif pada diri kita. Pembaca mungkin pernah
mendengar ungkapan “pekerjalah sesuai kegemaranmu”, penulis memang mengamini
ungkapan tersebut, karena sudah jadi maklum, apabila kita bekerja didunia yang
memeng passion kita, akan membuahkan hasil kerja yang lebih melegakan hati
kita, dan karena kelegaan hati kita, nyaman dan damai yang akan menjadi ujung
dari itu semua.
Sehingga menurut
penulis, seorang lulusan jurusan pendidikan yang memiliki hoby gambar kemudian
dalam pekerjaanya berkutat didunia desain dan tidak didunia pendidikan adalah
hal yang sah-sah saja.
Kemudian, keresahan
ini bermula dari beberapa pertanyaan yang menyelimuti pikiran penulis secara
bertubi-tubi. Pertanyaan yang pertama kali muncul adalah, apabila setiap
pendidikan bermanfaat untuk kita, lantas kenapa seakan-akan hanya pendidikan
formal yang dimintai pertanggung jawaban oleh orang tua kita?. Dalam kasus ini
memang penulis dan lingkungan sekitar penulis terjadi fenomena ini.
Di sekitar
penulis terjadi fenomena yang mana setiap orang tua, keluarga dan orang-orang
disekitar akan menaruh fokus lebih hanya pada pendidikan formal saja. Bahkan sampai
teman-teman sesama mahasiswapun yang ditanyakan hanya seputar pendidikan formal
saja. Pertanyaan semacam “berapa IP mu?””kapan lulus S1?” adalah sebuah
pertanyaan yang sangat wajar. Jarang sekali terdengar pertanyaan yang keluar
dari keluarga kita tentang trend organisasi kita, hasil pelatihan kita atau
sekedar perkembangan hoby kita.
Selanjutnya
penulis menduga-duga, kenapa orang tua dan keluarga kita hanya fokus pada
pendidikan formal saja. Dugaan yang pertama adalah keluarga kita masih
menggangap bahwa suksesnya kita kelak sangat dipengaruhi hanya oleh pendidikan
formal kita, sehingga pendidikan formal harus diperhatikan lebih. Sukses
disinipun masih diterjemahkan sangat sempit oleh keluarga kita, mungkin yang
dimaksut adalah kesuksesan materil saja, kesuksesan yang dihitung dengan
seberapa banyak kita bisa menghasilkan uang dari pekerjaan kita, tidak pernah
terfikir bahwa kita puas dengan pekerjaan kita dan bahagia karena pekerjaan kita
masuk menjadi menjadi tolak ukur kesuksesan.
Apakah penilaian
seperti ini tidak tergolong kedonyan? Toh sukses hanya tergantung pada uang.
Dugaan diatas
bisa jadi benar bisa jadi salah, sehingga penulis memiliki dugaan yang lain.
Mungkin kenapa
orang tua dan keluarga kita hanya fokus pada pendidikan formal, dikarenakan
hanya pada pendidikan formal kita harus mengeluarkan uang biaya pendidikan. Sementara
dihidup penulis dan sekitar penulis, teman-teman yang memilih menjalankan
pendidikan non-formal dan informal tidak dipungut biaya pendidikan. Sehinga seakan-akan kita punya kewajiban
untuk menyelesaikan pendidikan formal saja.
Lalu, apabila
memang uang pendidikan alasanya, apakah ini juga suatu bentuk kedonyan di
dimensi yang lain? Toh orang-orang masih risau dengan uang itu dibuang secara
percuma. Apakah tidak sama saja dengan kita yang masih takut untuk miskin,
padahal katanya kita percaya tuhan maha kaya.
Sebenarnnya penggugatan
ini berujung pada harapan mari kita belajar bersama-sama, bahwa kita bisa
sukses dimana saja dan dengan bentuk apa saja. Sehingga mari kita belajar pada
banyak hal, kenapa kita harus menjadi kaku pada fokus pendidikan. Karena menurut
penulis, bentuk kaku seperti ini adalah maniferstasi mental kita yang masih
sangat jauh pada sifat zuhud (gak kedonyan).
Mas penulis, ku kira ada dugaan selanjutnya. Ini tulisan berlanjut ta?
BalasHapusSepintas tadi ada keinginan mengembangkan.. Namun dalam bingkai yg berbeda.. Tapi kalo ada masukan monggo.. Biar bisa jadi tambahan khasanah keilmuan bersama :)
BalasHapusWoow jelas buerat ini mas penulis :D
HapusMonggo d sheringkan .. Mungkin ada dugaan2 yg belom saya tuliskan :)
BalasHapus